BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Harta adalah salah satu benda berharga yang
dimiliki manusia. Karena harta itu, manusia dapat memperoleh apapun yang
dikehendakinya. Harta itu dapat berwujud benda bergerak atau benda tidak
bergerak. Cara memperoleh harta pun kian beragam. Dari cara yang halal seperti
bekerja keras hingga orang yang menggunakan “jalan pintas”. Salah satu cara
memperoleh harta itu adalah melalui jalur warisan yaitu memperoleh sejumlah
harta yang diakibatkan meninggalnya seseorang. Tentunya cara ini pun harus
sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Khususnya hukum Islam. Melalui
berbagai syarat dan ketentuan yang di atur dalam hukum Islam tersebut
diharapkan seorang generasi penerus keluarga atau anak dari salah satu orang
tua yang meninggal dapat memperoleh harta peninggalan orang tuanya dengan tidak
menzhalimi atau merugikan orang lain.
Keberadaan wasiat sebagai suatu proses
peralihan harta ternyata telah berlangsung cukup lama. Pada masa-masa sebelum
kedatangan Islam, pelaksanaan wasiat kurang mengedepankan prinsip kebenaran dan
keadilan. Hal ini antara lain terlihat pada masa Romawi. Selanjutnya, pada masa
Arab Jahiliyah, wasiat diberikan kepada orang lain dengan tujuan untuk
berlomba-lomba menunjukkan kemewahan, sedangkan kerabat yang ada ditinggalkan
dalam keadaan miskin dan membutuhkan. Kondisi ini kemudian berubah dengan
datangnya Islam yang mengarahkan tujuan wasiat kepada dasar-dasar kebenaran dan
keadilan. Oleh karena itu, kepada pemilik harta diwajibkan untuk berwasiat
kepada orang tua dan karib kerabat sebelum dilakukan pembagian harta warisan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wasiat Dan Waris
Secara etimologi wasiat mempunyai beberapa arti
yaitu menjadikan, menaruh kasih saying, menyuruh dan menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lainnya. Secara terminologi wasiat adalah pemberian
seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang atau manfaat untuk
dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati[1]
Fuqoha Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan, wasiat adalah suatu transaksi yang
mengharuskan si penerima wasiat berhak memiliki 1/3 harta peninggalan si
pemberi setelah meninggal, atau yang mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si
pewasiat kepada penerima. kompilasi hukum islam mendefinisikan wasiat adalah
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia[2].
Kata mawaris berasal dari kata waris ( bahasa arab ) yang berarti
mempusakai harta orang yang sudah meninggal, atau membagi-bagikan harta
peninggalan orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah
orang-orang yang mempunyai hak untuk mendapat bagian dari harta peninggalan orang yang
telah meninggal. Ahli waris dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris
laki-laki dan ahli waris perempuan. QS:Al - baqarah : 188 sebagai berikut:
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ô‰è?ur !$ygÎ/ ’n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
Artinya: Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui. Karena sensitif atau rawannya masalah harta warisan
itu, maka dalam agama islam ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang mempelajari
tentang warisan dan perhitungannya. Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah
tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.
B.
Hubungan
Wasiat Dan Waris
Persamaannya dari
keduanya yaitu sama- sama mengalihkan kepemilikan kita kepada orang lain. Perbedaan
dari keduanya yaitu: Waris terkait
dengan harta peninggalan ( tirkah), Wasiat terkait dengan peninggalan seseorang
diberikan ketika orang masih hidup (pelaksanaannya ketika orang yang berwasiat
sudah meninggal). Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan
tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal pembagian harta
warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil -
adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka
bagi keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak
sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan
harta warisan. Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail,
rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling
bertikai dan bermusuhan yang terpenting pembagian harta warisan setelah di
tunaikan dulu wasiat si mayat apabila ia berwasiat .
Dasar hukum dari wasiat adalah firman Allah swt
:
|=ÏGä. öNä3ø‹n=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.y‰tnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§‹Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒy‰Ï9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym ’n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Artinya : “Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al Baqoroh : 180)
Artinya : “(Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya.” (QS. An Nisaa : 11)
Sedangkan didalam hadits yang diriwayatkan dari
Jabir bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang wafat dalam keadaan
berwasiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan sunnah Rasulullah, mati dalam
keadaan takwa dan syahid, dan mati dalam keadaan diampuni atas dosanya.” (HR.
Ibnu Majah)
Adapun prosentase maksimal besarnya wasiat
seseorang yang paling utama adalah tidak lebih dari sepertiga hartanya,
sebagaimana ijma’ ulama. Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Saad bin
Abi Waqash berkata,”Telah datang Nabi saw untuk menengokku, sedangkan aku
berada di Mekah—beliau tidak suka mati di tanah yang beliau hijrah—beliau
berkata,”Semoga Allah mengasihi anak lelaki Afra.’ Aku berkata,”Wahai
Rasulullah apakah aku harus mewasiatkan semua hartaku?’ beliau saw
menjawab,’Tidak.’ Aku berkata,’separuhnya.’ Beliau saw menjawab,’Tidak.’ Aku
berkata,’Sepertiga?’
Beliau saw menjawab,’ya, sepertiga. Dan
sepertiga itu banyak. Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismu
dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan ahli warismu
dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada manusia dengan tangan mereka.
Sesungguhnya apa pun nafkah yang telah engkau nafkahkan, maka ia adalah sedekah
hingga makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu…” (HR. Bukhori dan Muslim)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa sepertiga
tersebut dihitung dari total harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang
diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuinya atau yang masih
berkembang, sedangkan dia tidak mengetahuinya.
Apakah sepertiga harta yang menjadi pegangan
wasiat itu harta pada saat dia mewasiatkan atau harta sesudah dia wafat? Imam
Malik, an Nakh’i dan Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa yang menjadi
pegangan adalah sepertiga peninggalan pada saat dilakukan wasiat. Sedangkan Abu
hanifah, Ahmad dan pendapat yang lebih shahih dari kedua pendapat Syafi’i
menyatakan bahwa sepertiga itu adalah sepertiga pada saat dia wafat. Inilah
pendapat Ali dan sebagian tabi’in.
Jika pemberi wasiat mempunyai ahli waris maka
ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Jika dia mewasiatkan lebih
dari sepertiga maka wasiat itu tidak dilaksanakan kecuali atas izin dari ahli
waris dan pelaksanakannya diperlukan dua syarat berikut :
1. Dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal
dunia, sebab sebelum dia meninggal, orang yang memberi izin itu belum mepunyai
hak sehingga izinnya tidak menjadi pegangan. Apabila ahli waris memberikan izin
pada saat pemberi wasiat masih hidup maka orang yang berwasiat boleh mencabut
kembali wasiatnya apabila dia menginginkan. Apabila ahli waris memberikan izin
sesudah orang yang berwasiat wafat maka wasiat itu dilaksanakan. Az Zuhri dan
Rabi’ah berkata bahwa orang yang sudah wafat itu tidak akan menarik kembali
wasiatnya.
2. Mempunyai kemampuan yang sah dan tidak dibatasi
karena kedunguan atau kelalaian, pada saat memberikan izin. Jika orang yang
berwasiat tidak mempunyai ahli waris maka dia pun tidak boleh mewasiatkan lebih
dari sepertiga. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Kalangan pengikut Hanafi, Ishak, Syuraik dan
Ahmad dalam satu riwayatnya membolehkan berwasiat lebih dari sepertiga. Sebab,
dalam keadaan seperti ini orang yang berwasiat itu tidak meninggalkan orang
yang dikhawatirkan kemiskinannya dan juga karena wasiat yang ada didalam ayat
tersebut adalah wasiat secara mutlak hingga dibatasi oleh hadits dengan
“mempunyai ahli waris.” Dengan demikian, wasiat secara mutlak ini tetap terjadi
bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. (Fiqhus Sunnah juz IV hal 467 –
478)
Dari sumber lain
disebutkan Adapun jika pembagian harta dilakukan dalam keadaan sakit berat yang
kemungkinan akan berakibat kematian, maka para ulama berbeda pendapat di dalam
menyikapinya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk
kategori hibah, tetapi sebagai wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan
sebagai berikut:
1. Dia tidak boleh
berwasiat kepada ahli waris, seperti: anak, istri, saudara, karena mereka sudah
mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagaimana yang tersebut dalam hadist: “Tidak
ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ahmad dan Ashabu as-Sunan). Tetapi
dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka dalam hal ini dia mendapatkan
dua manfaat, pertama: Sebagai bantuan bagi yang membutuhkan, kedua: Sebagai
sarana silaturahim.
2. Dia boleh berwasiat
kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu membawa maslahat.
3. Wasiat tidak boleh
lebih dari 1/3 dari seluruh harta yang dimilikinya. Dan dikeluarkan setelah
diambil biaya dari pemakaman.
C.
Hukum
Wasiat
Wasiat
merupakan salah satu amalan ibadah yang disyariatkan dalam Islam memiliki
sumber hukum yang berdasarkan pada:
|=ÏGä. öNä3ø‹n=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.y‰tnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§‹Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒy‰Ï9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym ’n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang
di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(Al-baqoroh:180)
Dalam surat al-Baqarah ayat 240 juga
disebutkan:
Artinya: "orang-orang yang akan
meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk
isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan disuruh
pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada
dosa baginya (wali atau waris dan yang meninggal) membiarkan mereka berbuat
yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana." (QS. Al-Baqarah; 240)
Ayat di atas menunjukkan secara jelas
mengenai hak wasiat serta teknis pelaksanaannya, serta materi yang menjadi
objek wasiat. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan
menafsirkan wasiat tentang hukum wasiat serta kedudukan Islam.
Hukumnya sunnah. Wasiat disunnahkan
meski dilakukan oleh orang yang sehat dan tidak dalam
keadaan sakit, karena kematian datang tiba-tiba, maka mewasiatkan bagian
tertentu harta yang dimiliki tidaklah wajib melainkan bagi orang yang memiliki
tanggungan hutang, titipan, memiliki kewajiban atau tanggungan lainnya yang
wajib diwasiatkan. Sesungguhnya Allah mewajibkan pelaksanaan amanat, dan
jalannya melalui wasiat. Dalil tidak diwajibkannya wasiat; mengenai
wasiat, tidak dinukilkan dari mayoritas sahabat dan karena wasiat adalah tabarru’
atau pemberian yang tidak wajib dilaksanakan semasa hidup, maka setelah mati
pun tidak diwajibkan, seperti pemberian kepada fakir miskin yang tidak ada
hubungan apapun, baik karena keluarga ataupun kerabat. Sedangkan ayat yang
artinya:
“diwajibkan atas
kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma´ruf….”.(al-Baqoroh:180)
Dinaskh dengan firman-Nya yang
berbunyi: “bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang
tua dan kerabatnya…”(QS. an-Nisa’:7)
Sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar pun mengatakan, “Ayat mengenai wasiat
dinaskh dengan ayat tentang warisan.” Setelah hukum wasiat dinaskh, maka
tetaplah hukum disunnahkan wasiat diberikan untuk orang yang tidak memiliki hak
warits, sebagaimana hadits tersebuat diatas, “Sesungguhnya Allah bersedekah
atas kalianketika kalian wafat, denagn menggunakan sepertiga harta kalian.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad
bin sirin, katanya, ketika Ibnu ‘Abbas duduk dan membaca surat Al-baqoroh
hingga sampai ayat ini:
ٱلْمَوْتُ
إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ
Jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya, “ia pun mengatakan:
ayat ini sudah dinaskh”[3]
Sesuai dengan kesepakatan ahlu ilmi,
yang lebih utama adalah membuat wasiat untuk para kerabat yang bukan asli
waris yang dalam keadaan fakir, karena Allah SWT berfirman, “dan berikanlah
hak kepada kerabat dekat…”(al-Israa’:26) maka wasiat dimulai dengan
memberikannya kepada golongan ini. ” Dan orang-orang yang mempunyai
hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab
Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu
mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)…..”(al-Ahzaab:6) berbuat
baik ditafsiri sebagai wasiat.
Juga karena sedekah untuk mereka semasa
hidup adalah lebih utama, maka demikian halnya setelah meninggal. Namun, jiak
mereka membuat wasiat untuk orang lain dengan membiarkan kerabat dalam keadaan
tersebut, menurut pendapat mayoritas ulama’, wasiat mereka tetap sah.
Terkadang, hukum wasiat bisa menjadi makruh dan haram. Maka jelas bahwa wasiat
ada empat macam bila dilihat dari sifat hukum syar’inya, yaitu sebagai berikut:
1.
Wajib
Contohnya seperti wasiat untuk mengembalikan
barang titipan dan hutang yang tidak diketahui dan tanpa surat, atau wasiat
akan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggungan seperti zakat, haji, kafarat,
fidyah puasa, fidyah shalat, dan sejenisnya. Hukum ini telah disepakati.
Golongan syafi’iyah mengatakan, adalah
disunnahkan membuat wasiat untuk membuat hak-hak yang berupa hutang,
mengembalkan barang titipan, pinjaman, dan sejenisnya. Pelaksanaan
wasiat-wasiat lain apabila ada: memperhatikan urusan anak-anak dan sejenisnya
seperti orang-orang gila dan orang-orang yang baligh namun dalam keadaan idiot.
Dan wasiat yang berkenaan dengan hak adami adalah wajib, seperti barang titipan
dan barang yang di ghashab jika orang tersebuat tidak mengetahuinya.
2.
Mustahab
Contohnya seperti wasiat kepadda para
kerabat yang bukan ahli warits, dan wasiat yang ditujukan untuk pihak atau
kepentingan kebajikan dan untuk orang-orang yang membutuhkan. Orang yang
meninggalkan kebaikan (memiliki harta yang banyak, menurut adat) disunahkan
menjadikan seperlima hartanya untuk orang-orang fakir yang dekat, jika tidak
ada, maka untuk orang-orang miskin dan orang-orang alim yang agamis.
3.
Mubah
Contohnya seperti wasiat yang ditujukan
untuk orang-orang kaya, baik itu orang lain, atau para kerabat sendiri. Wasiat
untuk mereka ini boleh.
4.
Makruh Tahrim menurut
Hanafiyah
Contohnya seperti wasiat yang ditujukan
untuk ahli fasik dan maksiat. Wasiat secara mufakat dimakruhkan bagi orang
fakir yang memiliki ahli waris dalam keadaan kaya, maka wasiat berhukum
dimubahkan.
Secara mufakat, terkadang wasiat
berhukum haram dan tidak benar, seperti wasiat berhukum haram dan tidak benar,
seperti wasiat agar dilakukan sebuah maksiat, misalnya wasiat membangun gereja
atau merenovasinya, wasiat menulis serta membacakan taurat dan injil, wasiat
menulis buku-buku sesat dan filsafat serta ilmu-ilmu lain yang diharamkan, juga
wasiat dengan menggunakan khamar atau wasiat untuk membiayai proyek-proyek yang
membahayakan moralitas umum.
Wasiat juga haram apabila diberikan
kepada orang asing( yang bukan keluarga atau kerabat) dan melebihi sepertiga
harta, juga wasiat sesuatu untuk ahli waris secara mutlak. Pendapat shahih
golongan Hanafiyyah menyatakan bahwa wasiat lebih dari sepertiga harta makruh,
sedang wasiat untuk ahli waris haram.
Hal yang lebih utama adalah menyegerakan
wasiat yang ditujukan untuk pihak atau kepentingan kewajiban semasa hidup dan
tidak memperlambatnya hingga wafat. Karena bisa saja jika seseorang berwasiat,
akan ada kesembronoan dalam pelaksanaan setelah dia meninggal, juga karena
hadits riwayat Abu Hurairah r.a.
أي الصدقة أفضل قال أن تصدق وأنت صحيح
شحيح تأمل الغنىوتخشى الفقرولا تمهل حتى إذا بلغتاالروح الحلقوم قلت : لفلان كذا
ولفلان كذا وقد كان لفلان
“Rasulullah ditanya,’sedekah apakah
yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘(Yaitu) kamu bersedekah, sedang kamu
dalam keadaan sehat lagi bakhil, sedang kamu mengharapkan kaya dan takut kepada
kefakiran. Janganlah memperlambat hingga ruh sampai pada kerongkongan, lalu
kamu mengatakan, ‘untuk si A sekian, untuk si B sekian, padahal hal tersebut
adalah milik si A dan si B.[4]
Sebagaimana yang dijelaskan sebelum ini
bahawa pada peringkat permulaan Islam hukum berwasiat adalah wajib (lihat ayat
180 Surah al-Baqarah), namun hukum berkenaan telah dinasakhkan oleh ayat
al-mawarits (ayat 11, 12, dan 176 Surah an-Nisa’). Walau bagaimanapun, amalan
wasiat masih lagi digalakkan dengan had maksimum 1/3 harta pusaka dan ditujukan
kepada bukan waris.
Dengan demikian, sedekah semasa hidup
lebih utama daripada wasiat, karena orang yang bersedekah akan mendapati pahala
amal dihadapannya, dan juga karena jelasnya hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah diatas.[5]
D. Waktu Pelaksanaan
Wasiat
Pelaksanaan wasiat
dilaksanakan setelah si pewasiat meninggal dunia secara hakiki. Sebab harta
peninggalan masih sangat dibutuhkan oleh si pewasiat seperti untuk melunasi
hutang-hutangnya, kebutuhan-kebutuhannya, biaya sakitnya ketika sakit, biaya
pengurusan jenazahnya dan lain-lain. Sehingga wasiat dilaksanakan ketika semua
kebutuhan tersebut telah terpenuhi.
Para ulama bersepakat,
tidak ada pelaksanaan wasiat yang dilakukan sebelum si pewasiat meninggal
dunia. Jika demikian, si pewasiat bisa menarik kembali pemberiannya dikarenakan
ia masih hidup kecuali jika wasiat tersebut adalah wasiat
yang wajib.[6]
Wasiat
dilaksanakan dengan mengambil sepertiga sisa dari harta peninggalan setelah
digunakan untuk dan membayar biaya pengurusan jenazah melunasi
hutang-hutang si pewasiat, bukan sepertiga dari seluruh harta yang
ditinggalkan.
Hal ini seperti
yang dijelaskan oleh para fuqoha mengenai hak-hak yang berkaitan dengan harta
peninggalan si pewasiat. Yaitu hartanya dipakai terlebih dahulu untuk biaya
kain kafan dan melunasi hutang-hutang. Kemudian setelah itu di ambil untuk
membagi wasiat kemudian untuk pemberian wasiat. Hal ini dilaksanakan baik
sebelumnya sudah dipesan oleh si mayit atau belum.[7]
E.
Hal-hal yang membatalkan Wasiat
Ada beberapa hal
yang membatalkan seseorang dari mendapatkan wasiat dari si mayit, yaitu :
1.
Jika si pewasiat murtad (keluar) dari agama Islam, akan
tetapi jika ia sempat bertaubat (kembali lagi ke agama Islam) sebelum
meninggal, maka orang yang mendapatkan wasiat masih terhalang untuk mendapatkan
wasiat jika si pewasiat belum mengulangi akadnya kecuali sebelumnya telah
tertulis kesepekatan tersebut dan masih terjaga ketika ia kembali Islam.
2.
Wasiat karena suatu kemaksiatan, seperti seseorang
mewasiatkan hartanya untuk siapa saja yang bisa membunuh orang tertentu dengan
alasan yang tidak benar dan wasiat untuk siapa saja yang minum khamr dan
berzina dengannya.
3.
Menggantungkan wasiat dengan syarat yang tidak atau belum
terjadi. Seperti seseorang berkata, “Jika aku mati karena sakitku ini, atau
dalam perjalananku ini, aku berwasiat sekian harta untuk si A. Namun setelah
itu dia tidak mati.
4.
Jika si penerima wasiat meninggal sebelum meninggalnya
orang yang berwasiat atau si pewasiat.
5.
Sesuatu yang diwasiatkan hilang, musnah atau mati sebelum
si pewasiat meninggal dunia. Misalnya seseorang diwasiatkan dengan sesuatu
berupa hewan tertentu, kemudian hewan tersebut mati maka si penerima wasiat
batal menerimanya.[8]
F.
Syarat-Syarat Bagi Orang yang Berhak Memperoleh Wasiat
Wajibah
Syarat-syarat orang
yang berhak atas wasiat wajibah yaitu:[9]
1. Seseorang yang
mendapatkan wasiat wajibah adalah bukan ahli waris. Jika ia menerima sejumlah
harta warisan meskipun sedikit,maka tidak wajib wasiat untuknya.
2. Orang yang meninggal
seperti kakek atau nenek belum memberikan wasiat kepada anaknya. Harta tersebut
mungkin telah diberikan kepada si anak, namun dengan jalan hibah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian-uraian
tersebut di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam adalah
hukum yang mengatur sedemikian rupa tentang peralihan harta dari seorang yang
meninggal dunia kepada anggota keluarga atau kerabatnya yang masih hidup atau
disebut juga sebagai ahli waris. Agar seseorang berhak mendapatkan sejumlah
harta warisan, ia harus memiliki syarat; adanya hubungan pernikahan, keluarga,
kekerabatan. Namun terlepas dari hak yang diperoleh para ahli waris, seseorang
pun harus memiliki syarat seperti tidak terhijab atau terhalang untuk
memperoleh harta warisan lantaran misalnya melakukan pembunuhan atau percobaan
pembunuhan.
Secara pemahaman
praktis, bahwa wasiat itu adalah permohonan oleh seseorang yang akan meninggal
dunia, agar permohonan tersebut dapat dijalankan sesudah sang pewasiat meningal
dunia.
Karena keterkaitan
antara waris dan wasiat, maka dalam pembahasan wasiat terdapat bagian yang
membicarakan wasiat wajibah. Yaitu wasiat yang wajib diberikan kepada ayah,
ibu, dan kerabat terdekat khususnya yang tidak memperoleh bagian harta warisan.
Demikian menurut QS Al-Baqarah: 180. Namun hal ini sejatinya masih terdapat pro
dan kontra mengenai wasiat wajibah. Yaitu mengenai status ayat yang telah di
naskh oleh ayat-ayat waris. Wasiat wajibah dapat diperoleh dengan syarat;
seseorang bukan dari pihak ahli waris dan seseorang belum menerima wasiat dari
orang tuanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Fatchur Rahman, 1979,Ilmu Waris,Jakarta:
Bulan Bintang
Ahmad Rofiq, MA. Hukum islam di Indonesia 1998: 438).
Abdullah bin Muhammad, tafsir Ibnu Katsir, judul asli, Lubaatul Tafsir
Min Ibni Katsir, pernerjemah Muhammad ‘Abdul ghofar E.M.PUSTAKA Imam
Asy-Syafi’I 2008 jilid 1
HR Bukhari dan Muslim, juga pengarang kitab-kitab sunan, kecuali
at-Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya.
Wahbah az-Zuhaili, fiqih Islam wa adilatuhu, ter. Abdul Hayyie
al-Kattani (Jakarta: Gema insani:2011) jil 10
Hamzah Abu Faris, Al-Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil
Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan,
Nashr Farid Muhammad Washil, Fiqhul Mawarits wal Washoya fie
asy-Syari’atil Islamiyyah, (Maktabah at-Tauqifiyyah)
Hamzah Abu Faris, Al-Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil
Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan,
Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam,(Jakarta:Bulan
Bintang)
[1] Fatchur Rahman, 1979,Ilmu Waris,Jakarta: Bulan Bintang,hal. 63.
[2] Drs, Ahmad Rofiq, MA. Hukum islam di Indonesia
1998: 438).
[3] Abdullah bin Muhammad, tafsir Ibnu Katsir, judul
asli, Lubaatul Tafsir Min Ibni Katsir, pernerjemah Muhammad ‘Abdul ghofar
E.M.PUSTAKA Imam Asy-Syafi’I 2008 jilid 1 hal.339
[4] HR Bukhari dan Muslim, juga pengarang kitab-kitab
sunan, kecuali at-Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya.
[5]Wahbah az-Zuhaili, fiqih Islam wa adilatuhu, ter.
Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema insani:2011) jil 10 hal
158-160
[6] Hamzah Abu Faris, Al-Mawarits wal Washoya fie
asy-Syari’atil Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan, Hal.158
[7] Nashr Farid Muhammad Washil, Fiqhul Mawarits wal
Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah, (Maktabah at-Tauqifiyyah) Hal.115
[8] Hamzah Abu Faris, Al-Mawarits wal Washoya fie
asy-Syari’atil Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan, Hal.156
[9] Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris Hukum Waris
Dalam Syariat Islam,(Jakarta:Bulan Bintang)hal 295
Tidak ada komentar:
Posting Komentar