Selasa, 06 Juni 2017

MAKALAH WASIAT DAN WARIS



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Harta adalah salah satu benda berharga yang dimiliki manusia. Karena harta itu, manusia dapat memperoleh apapun yang dikehendakinya. Harta itu dapat berwujud benda bergerak atau benda tidak bergerak. Cara memperoleh harta pun kian beragam. Dari cara yang halal seperti bekerja keras hingga orang yang menggunakan “jalan pintas”. Salah satu cara memperoleh harta itu adalah melalui jalur warisan yaitu memperoleh sejumlah harta yang diakibatkan meninggalnya seseorang. Tentunya cara ini pun harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Khususnya hukum Islam. Melalui berbagai syarat dan ketentuan yang di atur dalam hukum Islam tersebut diharapkan seorang generasi penerus keluarga atau anak dari salah satu orang tua yang meninggal dapat memperoleh harta peninggalan orang tuanya dengan tidak menzhalimi atau merugikan orang lain.
Keberadaan wasiat sebagai suatu proses peralihan harta ternyata telah berlangsung cukup lama. Pada masa-masa sebelum kedatangan Islam, pelaksanaan wasiat kurang mengedepankan prinsip kebenaran dan keadilan. Hal ini antara lain terlihat pada masa Romawi. Selanjutnya, pada masa Arab Jahiliyah, wasiat diberikan kepada orang lain dengan tujuan untuk berlomba-lomba menunjukkan kemewahan, sedangkan kerabat yang ada ditinggalkan dalam keadaan miskin dan membutuhkan. Kondisi ini kemudian berubah dengan datangnya Islam yang mengarahkan tujuan wasiat kepada dasar-dasar kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, kepada pemilik harta diwajibkan untuk berwasiat kepada orang tua dan karib kerabat sebelum dilakukan pembagian harta warisan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Wasiat Dan Waris
Secara etimologi wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan, menaruh kasih saying, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Secara terminologi wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati[1]
Fuqoha Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan, wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan si penerima wasiat berhak memiliki 1/3 harta peninggalan si pemberi setelah meninggal, atau yang mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si pewasiat kepada penerima. kompilasi hukum islam mendefinisikan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia[2].
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ 
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui. Karena sensitif atau rawannya masalah harta warisan itu, maka dalam agama islam ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang warisan dan perhitungannya. Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.
B.       Hubungan Wasiat Dan Waris
Persamaannya dari keduanya yaitu sama- sama mengalihkan kepemilikan kita kepada orang lain. Perbedaan dari keduanya yaitu:  Waris terkait dengan harta peninggalan ( tirkah), Wasiat terkait dengan peninggalan seseorang diberikan ketika orang masih hidup (pelaksanaannya ketika orang yang berwasiat sudah meninggal). Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan. Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan yang terpenting pembagian harta warisan setelah di tunaikan dulu wasiat si mayat apabila ia berwasiat .
Dasar hukum dari wasiat adalah firman Allah swt :
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqoroh : 180)
Artinya : “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An Nisaa : 11)
Sedangkan didalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang wafat dalam keadaan berwasiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan sunnah Rasulullah, mati dalam keadaan takwa dan syahid, dan mati dalam keadaan diampuni atas dosanya.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun prosentase maksimal besarnya wasiat seseorang yang paling utama adalah tidak lebih dari sepertiga hartanya, sebagaimana ijma’ ulama. Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqash berkata,”Telah datang Nabi saw untuk menengokku, sedangkan aku berada di Mekah—beliau tidak suka mati di tanah yang beliau hijrah—beliau berkata,”Semoga Allah mengasihi anak lelaki Afra.’ Aku berkata,”Wahai Rasulullah apakah aku harus mewasiatkan semua hartaku?’ beliau saw menjawab,’Tidak.’ Aku berkata,’separuhnya.’ Beliau saw menjawab,’Tidak.’ Aku berkata,’Sepertiga?’
Beliau saw menjawab,’ya, sepertiga. Dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada manusia dengan tangan mereka. Sesungguhnya apa pun nafkah yang telah engkau nafkahkan, maka ia adalah sedekah hingga makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu…” (HR. Bukhori dan Muslim)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa sepertiga tersebut dihitung dari total harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuinya atau yang masih berkembang, sedangkan dia tidak mengetahuinya.
Apakah sepertiga harta yang menjadi pegangan wasiat itu harta pada saat dia mewasiatkan atau harta sesudah dia wafat? Imam Malik, an Nakh’i dan Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sepertiga peninggalan pada saat dilakukan wasiat. Sedangkan Abu hanifah, Ahmad dan pendapat yang lebih shahih dari kedua pendapat Syafi’i menyatakan bahwa sepertiga itu adalah sepertiga pada saat dia wafat. Inilah pendapat Ali dan sebagian tabi’in.
Jika pemberi wasiat mempunyai ahli waris maka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Jika dia mewasiatkan lebih dari sepertiga maka wasiat itu tidak dilaksanakan kecuali atas izin dari ahli waris dan pelaksanakannya diperlukan dua syarat berikut :
1.      Dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia, sebab sebelum dia meninggal, orang yang memberi izin itu belum mepunyai hak sehingga izinnya tidak menjadi pegangan. Apabila ahli waris memberikan izin pada saat pemberi wasiat masih hidup maka orang yang berwasiat boleh mencabut kembali wasiatnya apabila dia menginginkan. Apabila ahli waris memberikan izin sesudah orang yang berwasiat wafat maka wasiat itu dilaksanakan. Az Zuhri dan Rabi’ah berkata bahwa orang yang sudah wafat itu tidak akan menarik kembali wasiatnya.
2.      Mempunyai kemampuan yang sah dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian, pada saat memberikan izin. Jika orang yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris maka dia pun tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Kalangan pengikut Hanafi, Ishak, Syuraik dan Ahmad dalam satu riwayatnya membolehkan berwasiat lebih dari sepertiga. Sebab, dalam keadaan seperti ini orang yang berwasiat itu tidak meninggalkan orang yang dikhawatirkan kemiskinannya dan juga karena wasiat yang ada didalam ayat tersebut adalah wasiat secara mutlak hingga dibatasi oleh hadits dengan “mempunyai ahli waris.” Dengan demikian, wasiat secara mutlak ini tetap terjadi bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. (Fiqhus Sunnah juz IV hal 467 – 478)
Dari sumber lain disebutkan Adapun jika pembagian harta dilakukan dalam keadaan sakit berat yang kemungkinan akan berakibat kematian, maka para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk kategori hibah, tetapi sebagai wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1.      Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti: anak, istri, saudara, karena mereka sudah mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagaimana yang tersebut dalam hadist: “Tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ahmad dan Ashabu as-Sunan). Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat, pertama: Sebagai bantuan bagi yang membutuhkan, kedua: Sebagai sarana silaturahim.
2.      Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu membawa maslahat.
3.      Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dari seluruh harta yang dimilikinya. Dan dikeluarkan setelah diambil biaya dari pemakaman.
C.      Hukum Wasiat
Wasiat merupakan salah satu amalan ibadah yang disyariatkan dalam Islam memiliki sumber hukum yang berdasarkan pada:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(Al-baqoroh:180)
Dalam surat al-Baqarah ayat 240 juga disebutkan:
Artinya: "orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa baginya (wali atau waris dan yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Baqarah; 240)
Ayat di atas menunjukkan secara jelas mengenai hak wasiat serta teknis pelaksanaannya, serta materi yang menjadi objek wasiat. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan menafsirkan wasiat tentang hukum wasiat serta kedudukan Islam.
Hukumnya sunnah. Wasiat disunnahkan meski dilakukan oleh orang  yang  sehat  dan tidak dalam keadaan sakit, karena kematian datang tiba-tiba, maka mewasiatkan bagian tertentu harta yang dimiliki tidaklah wajib melainkan bagi orang yang memiliki tanggungan hutang, titipan, memiliki kewajiban atau tanggungan lainnya yang wajib diwasiatkan. Sesungguhnya Allah mewajibkan pelaksanaan amanat, dan jalannya melalui wasiat. Dalil tidak diwajibkannya  wasiat; mengenai wasiat, tidak dinukilkan dari mayoritas sahabat dan karena wasiat adalah tabarru’ atau pemberian yang tidak wajib dilaksanakan semasa hidup, maka setelah mati pun tidak diwajibkan, seperti pemberian kepada fakir miskin yang tidak ada hubungan apapun, baik karena keluarga ataupun kerabat. Sedangkan ayat yang artinya:
“diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf….”.(al-Baqoroh:180)
Dinaskh dengan firman-Nya yang berbunyi: “bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya…”(QS. an-Nisa’:7)
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar pun mengatakan, “Ayat mengenai wasiat dinaskh dengan ayat tentang warisan.” Setelah hukum wasiat dinaskh, maka tetaplah hukum disunnahkan wasiat diberikan untuk orang yang tidak memiliki hak warits, sebagaimana hadits tersebuat diatas, “Sesungguhnya Allah bersedekah atas kalianketika kalian wafat, denagn menggunakan sepertiga harta kalian.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin sirin, katanya, ketika Ibnu ‘Abbas duduk dan membaca surat Al-baqoroh hingga sampai ayat ini:
ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ
Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya, “ia pun mengatakan: ayat ini sudah dinaskh”[3]
Sesuai dengan kesepakatan ahlu ilmi, yang lebih utama adalah membuat wasiat untuk para kerabat yang bukan asli waris yang dalam keadaan fakir, karena Allah SWT berfirman, “dan berikanlah hak kepada kerabat dekat…”(al-Israa’:26) maka wasiat dimulai dengan memberikannya kepada golongan ini. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)…..”(al-Ahzaab:6) berbuat baik ditafsiri sebagai wasiat.
Juga karena sedekah untuk mereka semasa hidup adalah lebih utama, maka demikian halnya setelah meninggal. Namun, jiak mereka membuat wasiat untuk orang lain dengan membiarkan kerabat dalam keadaan tersebut, menurut pendapat mayoritas ulama’, wasiat mereka tetap sah. Terkadang, hukum wasiat bisa menjadi makruh dan haram. Maka jelas bahwa wasiat ada empat macam bila dilihat dari sifat hukum syar’inya, yaitu sebagai berikut:
1.      Wajib
Contohnya seperti wasiat untuk mengembalikan barang titipan dan hutang yang tidak diketahui dan tanpa surat, atau wasiat akan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggungan seperti zakat, haji, kafarat, fidyah puasa, fidyah shalat, dan sejenisnya. Hukum ini telah disepakati.
Golongan syafi’iyah mengatakan, adalah disunnahkan membuat wasiat untuk membuat hak-hak yang berupa hutang, mengembalkan barang titipan, pinjaman, dan sejenisnya. Pelaksanaan wasiat-wasiat lain apabila ada: memperhatikan urusan anak-anak dan sejenisnya seperti orang-orang gila dan orang-orang yang baligh namun dalam keadaan idiot. Dan wasiat yang berkenaan dengan hak adami adalah wajib, seperti barang titipan dan barang yang di ghashab jika orang tersebuat tidak mengetahuinya.
2.      Mustahab
Contohnya seperti wasiat kepadda para kerabat yang bukan ahli warits, dan wasiat yang ditujukan untuk pihak atau kepentingan kebajikan dan untuk orang-orang yang membutuhkan. Orang yang meninggalkan kebaikan (memiliki harta yang banyak, menurut adat) disunahkan menjadikan seperlima hartanya untuk orang-orang fakir yang dekat, jika tidak ada, maka untuk orang-orang miskin dan orang-orang alim yang agamis.
3.      Mubah
Contohnya seperti wasiat yang ditujukan untuk orang-orang kaya, baik itu orang lain, atau para kerabat sendiri. Wasiat untuk mereka ini boleh.
4.      Makruh Tahrim menurut Hanafiyah
Contohnya seperti wasiat yang ditujukan untuk ahli fasik dan maksiat. Wasiat secara mufakat dimakruhkan bagi orang fakir yang memiliki ahli waris dalam keadaan kaya, maka wasiat berhukum dimubahkan.
Secara mufakat, terkadang wasiat berhukum haram dan tidak benar, seperti wasiat berhukum haram dan tidak benar, seperti wasiat agar dilakukan sebuah maksiat, misalnya wasiat membangun gereja atau merenovasinya, wasiat menulis serta membacakan taurat dan injil, wasiat menulis buku-buku sesat dan filsafat serta ilmu-ilmu lain yang diharamkan, juga wasiat dengan menggunakan khamar atau wasiat untuk membiayai proyek-proyek yang membahayakan moralitas umum.
Wasiat juga haram apabila diberikan kepada orang asing( yang bukan keluarga atau kerabat) dan melebihi sepertiga harta, juga wasiat sesuatu untuk ahli waris secara mutlak. Pendapat shahih golongan Hanafiyyah menyatakan bahwa wasiat lebih dari sepertiga harta makruh, sedang wasiat untuk ahli waris haram.
Hal yang lebih utama adalah menyegerakan wasiat yang ditujukan untuk pihak atau kepentingan kewajiban semasa hidup dan tidak memperlambatnya hingga wafat. Karena bisa saja jika seseorang berwasiat, akan ada kesembronoan dalam pelaksanaan setelah dia meninggal, juga karena hadits riwayat Abu Hurairah r.a.
أي الصدقة أفضل قال أن تصدق وأنت صحيح شحيح تأمل الغنىوتخشى الفقرولا تمهل حتى إذا بلغتاالروح الحلقوم قلت : لفلان كذا ولفلان كذا وقد كان لفلان
“Rasulullah ditanya,’sedekah apakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘(Yaitu) kamu bersedekah, sedang kamu dalam keadaan sehat lagi bakhil, sedang kamu mengharapkan kaya dan takut kepada kefakiran. Janganlah memperlambat hingga ruh sampai pada kerongkongan, lalu kamu mengatakan, ‘untuk si A sekian, untuk si B sekian, padahal hal tersebut adalah milik si A dan si B.[4]
Sebagaimana yang dijelaskan sebelum ini bahawa pada peringkat permulaan Islam hukum berwasiat adalah wajib (lihat ayat 180 Surah al-Baqarah), namun hukum berkenaan telah dinasakhkan oleh ayat al-mawarits (ayat 11, 12, dan 176 Surah an-Nisa’). Walau bagaimanapun, amalan wasiat masih lagi digalakkan dengan had maksimum 1/3 harta pusaka dan ditujukan kepada bukan waris.
Dengan demikian, sedekah semasa hidup lebih utama daripada wasiat, karena orang yang bersedekah akan mendapati pahala amal dihadapannya, dan juga karena jelasnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah diatas.[5]
D.      Waktu Pelaksanaan Wasiat
Pelaksanaan wasiat dilaksanakan setelah si pewasiat meninggal dunia secara hakiki. Sebab harta peninggalan masih sangat dibutuhkan oleh si pewasiat seperti untuk melunasi hutang-hutangnya, kebutuhan-kebutuhannya, biaya sakitnya ketika sakit, biaya pengurusan jenazahnya dan lain-lain. Sehingga wasiat dilaksanakan ketika semua kebutuhan tersebut telah terpenuhi.
Para ulama bersepakat, tidak ada pelaksanaan wasiat yang dilakukan sebelum si pewasiat meninggal dunia. Jika demikian, si pewasiat bisa menarik kembali pemberiannya dikarenakan ia masih hidup kecuali jika wasiat tersebut adalah wasiat yang wajib.[6]
Wasiat dilaksanakan dengan mengambil sepertiga sisa dari harta peninggalan setelah digunakan untuk dan membayar biaya pengurusan  jenazah melunasi hutang-hutang si pewasiat, bukan sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan.
Hal ini seperti yang dijelaskan oleh para fuqoha mengenai hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan si pewasiat. Yaitu hartanya dipakai terlebih dahulu untuk biaya kain kafan dan melunasi hutang-hutang. Kemudian setelah itu di ambil untuk membagi wasiat kemudian untuk pemberian wasiat. Hal ini dilaksanakan baik sebelumnya sudah dipesan oleh si mayit atau belum.[7]
E.       Hal-hal yang membatalkan Wasiat
Ada beberapa hal yang membatalkan seseorang dari mendapatkan wasiat dari si mayit, yaitu :
1.      Jika si pewasiat murtad (keluar) dari agama Islam, akan tetapi jika ia sempat bertaubat (kembali lagi ke agama Islam) sebelum meninggal, maka orang yang mendapatkan wasiat masih terhalang untuk mendapatkan wasiat jika si pewasiat belum mengulangi akadnya kecuali sebelumnya telah tertulis kesepekatan tersebut dan masih terjaga ketika ia kembali Islam.
2.      Wasiat karena suatu kemaksiatan, seperti seseorang mewasiatkan hartanya untuk siapa saja yang bisa membunuh orang tertentu dengan alasan yang tidak benar dan wasiat untuk siapa saja yang minum khamr dan berzina dengannya.
3.      Menggantungkan wasiat dengan syarat yang tidak atau belum terjadi. Seperti seseorang berkata, “Jika aku mati karena sakitku ini, atau dalam perjalananku ini, aku berwasiat sekian harta untuk si A. Namun setelah itu dia tidak mati.
4.      Jika si penerima wasiat meninggal sebelum meninggalnya orang yang berwasiat atau si pewasiat.
5.      Sesuatu yang diwasiatkan hilang, musnah atau mati sebelum si pewasiat meninggal dunia. Misalnya seseorang diwasiatkan dengan sesuatu berupa hewan tertentu, kemudian hewan tersebut mati maka si penerima wasiat batal menerimanya.[8]
F.       Syarat-Syarat Bagi Orang yang Berhak Memperoleh Wasiat Wajibah
Syarat-syarat orang yang berhak atas wasiat wajibah yaitu:[9]
1.      Seseorang yang mendapatkan wasiat wajibah adalah bukan ahli waris. Jika ia menerima sejumlah harta warisan meskipun sedikit,maka tidak wajib wasiat untuknya.
2.      Orang yang meninggal seperti kakek atau nenek belum memberikan wasiat kepada anaknya. Harta tersebut mungkin telah diberikan kepada si anak, namun dengan jalan hibah.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari uraian-uraian tersebut di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur sedemikian rupa tentang peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada anggota keluarga atau kerabatnya yang masih hidup atau disebut juga sebagai ahli waris. Agar seseorang berhak mendapatkan sejumlah harta warisan, ia harus memiliki syarat; adanya hubungan pernikahan, keluarga, kekerabatan. Namun terlepas dari hak yang diperoleh para ahli waris, seseorang pun harus memiliki syarat seperti tidak terhijab atau terhalang untuk memperoleh harta warisan lantaran misalnya melakukan pembunuhan atau percobaan pembunuhan.
Secara pemahaman praktis, bahwa wasiat itu adalah permohonan oleh seseorang yang akan meninggal dunia, agar permohonan tersebut dapat dijalankan sesudah sang pewasiat meningal dunia.
Karena keterkaitan antara waris dan wasiat, maka dalam pembahasan wasiat terdapat bagian yang membicarakan wasiat wajibah. Yaitu wasiat yang wajib diberikan kepada ayah, ibu, dan kerabat terdekat khususnya yang tidak memperoleh bagian harta warisan. Demikian menurut QS Al-Baqarah: 180. Namun hal ini sejatinya masih terdapat pro dan kontra mengenai wasiat wajibah. Yaitu mengenai status ayat yang telah di naskh oleh ayat-ayat waris. Wasiat wajibah dapat diperoleh dengan syarat; seseorang bukan dari pihak ahli waris dan seseorang belum menerima wasiat dari orang tuanya.  



DAFTAR PUSTAKA

Fatchur Rahman, 1979,Ilmu Waris,Jakarta: Bulan Bintang
Ahmad Rofiq, MA. Hukum islam di Indonesia 1998: 438).
Abdullah bin Muhammad, tafsir Ibnu Katsir, judul asli, Lubaatul Tafsir Min Ibni Katsir, pernerjemah Muhammad ‘Abdul ghofar E.M.PUSTAKA Imam Asy-Syafi’I 2008 jilid 1
HR Bukhari dan Muslim, juga pengarang kitab-kitab sunan, kecuali at-Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya.
Wahbah az-Zuhaili, fiqih Islam wa adilatuhu, ter. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema insani:2011) jil 10
Hamzah Abu Faris, Al-Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan,
Nashr Farid Muhammad Washil, Fiqhul Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah, (Maktabah at-Tauqifiyyah)
Hamzah Abu Faris, Al-Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan,
Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam,(Jakarta:Bulan Bintang)




[1] Fatchur Rahman, 1979,Ilmu Waris,Jakarta: Bulan Bintang,hal. 63.  
[2] Drs, Ahmad Rofiq, MA. Hukum islam di Indonesia 1998: 438).
[3] Abdullah bin Muhammad, tafsir Ibnu Katsir, judul asli, Lubaatul Tafsir Min Ibni Katsir, pernerjemah Muhammad ‘Abdul ghofar E.M.PUSTAKA Imam Asy-Syafi’I 2008 jilid 1 hal.339
[4] HR Bukhari dan Muslim, juga pengarang kitab-kitab sunan, kecuali at-Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya.
[5]Wahbah az-Zuhaili, fiqih Islam wa adilatuhu, ter. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema insani:2011) jil 10 hal 158-160
[6] Hamzah Abu Faris, Al-Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan, Hal.158
[7] Nashr Farid Muhammad Washil, Fiqhul Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah, (Maktabah at-Tauqifiyyah) Hal.115
[8] Hamzah Abu Faris, Al-Mawarits wal Washoya fie asy-Syari’atil Islamiyyah Fiqhan wa ‘Amalan, Hal.156
[9] Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam,(Jakarta:Bulan Bintang)hal 295

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...