BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat
dunia pada umumnya mengalami perobahan yang luar biasa, seiring dengan kemajuan
teknologi yang semakin pesat. Sekarang masyarakat tengah menyaksikan revolusi
komunikasi yang berdampak besar terhadap media komunikasi, baik isi berita
maupun tata cara penyampaiannya. Perubahan alat-alat komunikasi berlangsung
dengan cepat. Belum lagi selesai orang mengagumi televisi, sudah muncul video
yang berupa pita rekaman yang bisa memutar film kapan saja sesuai keinginan
seseorang. Pita rekaman segera digantikan oleh komputer yang dapat mempercepat
proses pengelolaan naskah. Buku-buku yang dulu dicetak halaman demi halaman,
kini bisa dibuat langsung buku dalam bentuk digital yang bisa dimuat lebih
banyak dalam sebuah komputer.
Peledakan
informasi komunikasi dan teknologi (Information Communication Technology-ITC)
saat ini, sudah dimaklumi berbagai pihak. Menurut Andi Faisal Bakti – dalam Suf
Kasman – data sepuluh tahun terakhir, dalam satu tahun terbit lebih dari dua
juta artikel yang ditulis oleh kurang lebih tujuh puluh lima ribu penulis dalam
lima puluhan bahasa. Saat ini ICT lebih untuk diri lagi dengan inovasi
terbarunya. Diduga dalam tahun ini lahir empat sampai lima juta karya dari
berbagai corak disiplin ilmu. Gejala ini perlu disikapi berbagai pihak, karena
semua kemajuan teknologi yang telah dan akan terjadi memberi pengaruh besar
terhadap sistem informasi (sistem dan pola komunikasinya).
Sistem
informasi yang berlaku di suatu tempat – bangsa – biasanya seirama dengan
kebudayaan bangsa itu sendiri, cara suatu bangsa berkomunikasi mencerminkan
sistem budaya bangsa itu sendiri. Sebaliknya norma-norma dan budaya bangsa
biasanya mempengaruhi perilaku komunikasi warganya. Masyarakat informasi, kata
Kennichi Kohyama, ditandai dengan munculnya revolusi informasi dan fenomena
informasi lainnya. Sistem informasi dalam Islam menjadi suatu yang menarik
untuk dikaji, dalam kajian keislaman hal ini merupakan sesuatu yang baru,
karena terdapatnya persentuhan antara ilmu-ilmu Islam dengan ilmu-ilmu sosial,
yang pada akhirnya akan mempengaruhi terhadap hubungan antar komponen dalam
Islam sendiri.
Dalam
kaitannya dengan Islam, istilah sistem Informasi mungkin akan lebih mengarah
kepada pembicaraan pers Islam. Pers Islam dalam pertumbuhan dan perkembangannya
dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu pers Islam yang menampilkan Islam sebagai
rubrik, dan pers Islam yang menonjolkan Islam sebagai nafas, semangat, dan
komitmen. Pers Islam yang menampilkan Islam sebagai rubrik, biasanya dimaksudkan
sebagai sarana dakwah. Karena pers Islam yang seperti ini biasanya diterbitkan
oleh lembaga-lembaga Islam, seperti ormas, yayasan, dan lembaga pendidikan
Islam. Sedangkan pers Islam yang menampilkan Islam sebagai nafas, semangat, dan
komitmen dikelola oleh orang-orang yang memiliki kepedulian dan komitmen
terhadap kepentingan Islam.
Dalam
tulisan ini penulis mencoba mengkaji tentang sistem informasi dan pers Islam,
perbincangan ini meliputi: pengertian, fungsi sistem informasi dalam Islam,
ciri-ciri pers Islam, kekuatan dan kelemahan pers Islam, langkah-langkah
fungsionalisasi di tengah kekuatan pers Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Fungsi Sistem Informasi dalam Islam
Sistem
informasi dalam Islam merupakan istilah baru yang menjadi perbincangan dalam
kajian keislaman. Oleh karena itu, pengertian yang penulis munculkan dalam
tulisan ini tentang sistem informasi dalam Islam masih sangat sederhana dan
memerlukan interpretasi yang lebih dalam. Pertama penulis ingin merinci dari
pengertian sistem, sistem adalah tatahubungan di antara dua atau lebih komponen
(unsur) yang bersifat saling mempengaruhi (Interdependent Components), dan
saling ketergantungan, dalam membentuk suatu kesatuan (entity); di mana
komponen-komponen tersebut selalu dalam keadaan berfungsi atau bergerak,
membuat kesatuan tersebut selalu dalam keadaan seimbang dan berfungsi.
Sedangkan
informasi dari kata information yang berarti keterangan atau penerangan. Onong
Uchjana Effendy – dalam bukunya Kamus Komunikasi – menjelaskan bahwa informasi
adalah kegiatan menyebarluaskan pesan yang disertai dengan penjelasan, baik
secara langsung maupun melalui media komunikasi kepada khalayak yang baginya
merupakan hal atau sesuatu yang baru. Informasi juga dapat diartikan sebagai
suatu pesan yang disampaikan kepada seseorang atau sejumlah orang yang baginya
merupakan sesuatu hal unik dan baru, atau Informasi merupakan benda abstrak
yang berisi apa saja dan dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan positif atau
sebaliknya. Informasi dapat mempercepat atau memperlambat pengambilan keputusan
dalam kajian sistem informasi manajemen (SIM). Informasi mempunyai sesuatu
power atau kekuatan untuk membangun ataupun merusak sistem dalam kehidupan
masyarakat. Salah satu makna informasi seperti yang dikemukakan oleh C. Shanoon
and W. Weaver adalah Patterned- matter- energy that affects the probabilities
of alternatif available to an individual making decision.
Dari
definisi informasi secara umum turut mempengaruhi para tokoh-tokoh Islam dalam
memberikan artikulasi tentang informasi Islam, di antara definisi informasi
Islam adalah sebagai berikut:
1.
Informasi Islam adalah Penjelasan
tentang sesuatu objek, yang sesuai dengan pola pikir manusia.
2.
Informasi Islam adalah sesuatu
yang dapat membekali manusia, dengan penjelasan yang benar dan membantu
terbentuknya opini.
3.
Informasi Islam adalah
transformasi nilai- nilai Islam serta menjelaskan sesuatu yang bertujuan
mencerdaskan dan mencerahkan manusia, dan dalam proses penyampaikan informasi
tesebut sesuai dengan kadar pemikiran masa.
4.
Informasi Islam adalah membekali
manusia dengan nilai-nilai Islami berdasarkan al-Qur’an dan sunnah dan membantu
bagi pembentukkan opini publik, serta bertujuan pada aktualisasi pengamalan
ibadah dan muamalat.
5.
Informasi Islam adalah informasi
atau penjelasan yang bersumber dari Allah dan bertujuan untuk Allah, Artinya
informsi yang bersumber dari Alllah mempunyai dua demensi kewahyuan dan dimensi
realitas kehidupan manusia.
Dari
berbagai bentuk definisi di atas, dapat diartikan bahwa sistem informasi adalah
sekumpulan komponen pembentuk sistem yang mempunyai keterkaitan antara satu
komponen dengan komponen lainnya yang bertujuan menghasilkan suatu informasi
dalam suatu bidang tertentu. Dalam sistem informasi diperlukannya klasifikasi
alur informasi, hal ini disebabkan keanekaragaman kebutuhan akan suatu
informasi oleh pengguna informasi. Kriteria dari sistem informasi antara lain,
fleksibel, efektif dan efisien. Maka, sistem informasi dalam Islam dapat
diartikan sebagai tata hubungan antara satu komponen dengan komponen yang lain,
saling berkaitan dan ketergantungan dalam mewujudkan satu kesatuan atau kondisi
nyata, yaitu mewujudkan kondisi kebijakan dan strategi informasi yang islami
secara publik dan domistik.
Dalam
perspektif Islam ada tiga sumber informasi yang selalu digunakan atau
dimanfaatkan oleh manusia, di antaranya Pertama, Wahyu (al Qur’an dan
al-Hadits) atau lazim disebut sebagai Foundamental of Information. Inilah salah
satu karakter khusus tentang kajian informasi dalam Islam; Kedua, Manusia.
Manusia sebagai sumber informasi terbagai pada dua aspek. Aspek pertama adalah
ide atau gagasan. Ide dan gagasan dari manusia dapat diolah menjadi informasi.
Aspek kedua adalah pendapat atau opini juga dapat di olah menjadi informasi,
yang menghasilkan scientific information; Ketiga, peristiwa atau realitas yang
mensejarah. Peristiwa adalah kejadian yang telah diceritakan atau diberitakan
dalam kehidupan sosial, dan hal tersebut dapat diolah atau diproduksi menjadi
informasi. Ketiga sumber tersebut tersusun dalam satu sistem yang saling
terkait dalam membentuk dan menghasilkan suatu informasi.
Sedangkan
kompononen dalam sistem informasi Islam adalah, Islam dan Informasi, Umat Islam
(sebagai pengguna, dan pengelola Informasi), Media Massa (sebagai alat/media),
Produksi Informasi (sebagai hasil), dan Lembaga penyebaran informasi – Lembaga
keagamaan, pustaka, tokoh masyarakat dan keluarga – (sebagai sarana) dan
Tujuan. Komponen atau unsur-unsur tersebut senantiasa bergerak, kontinyu dan
selalu dinamis dalam menciptakan suatu kondisi nyata sesuai dengan yang
diharapkan.
Perkembangan
selanjutnya yang turut mempengaruhi sistem informasi di atas adalah salah satu
unsurnya yang sangat urgen yakni pers itu sendiri. Di mana pers sebagai lembaga
kemasyarakatan – subsistem dari sistem kemasyarakatan – akan mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh masyarakat. – subsistem lainnya – Oleh karena itu, dalam
perjalanan sejarah Islam peranan pers Islam sangat menentukan terhadap proses
pencapaian tujuan yang diharapkan.
Istilah
pers Islam diambil dari dua kata, yakni pers dan Islam. Pers secara umum,
sering diartikan sebagai proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan
berita/peristiwa (news) atau opini/pandangan (views) kepada masyarakat luas.
Istilah pers berasal dari Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press.
Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara
tercetak atau publikasi secara tercetak (printed publications). Dalam
perkembangannya, pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian
sempit dan pers dalam pengertian luas. Pers dalam pengertian sempit hanya
terbatas pada media massa cetak, seperti surat kabar, majalah, tabloid, dan
bulletin kantor berita. Sedangkan pers dalam pengertian luas meliputi segala
penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran, dan televisi
siaran.
Emha Ainun Nadjib menyatakan, pers Islam adalah sebuah teknologi dan sosialisasi informasi (dalam kegiatan penerbitan tulisan) yang mengabdikan diri kepada nilai agama Islam bagaimana dan ke mana semestinya manusia, masyarakat, kebudayaan, dan peradaban mengarahkan dirinya. Senada hal itu A. Muis menyatakan, pers Islam adalah menyebarkan (menyampaikan) informasi kepada pendengar, pemirsa, atau pembaca tentang perintah dan larangan Allah swt.
Emha Ainun Nadjib menyatakan, pers Islam adalah sebuah teknologi dan sosialisasi informasi (dalam kegiatan penerbitan tulisan) yang mengabdikan diri kepada nilai agama Islam bagaimana dan ke mana semestinya manusia, masyarakat, kebudayaan, dan peradaban mengarahkan dirinya. Senada hal itu A. Muis menyatakan, pers Islam adalah menyebarkan (menyampaikan) informasi kepada pendengar, pemirsa, atau pembaca tentang perintah dan larangan Allah swt.
Bertolak
dari pengertian di atas, pers Islam dapat dimaknai sebagai suatu proses
meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa yang sarat dengan
muatan nilai-nilai Islam, kepada khalayak, serta berbagai pandangan dengan
perspektif ajaran Islam, dengan mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik/norma-norma
yang bersumber al Qur’an dan sunah-Nya. Pers Islam dalam pertumbuhan dan
perkembangannya dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu pers Islam yang
menampilkan Islam sebagai rubrik, dan pers Islam yang menonjolkan Islam sebagai
nafas, semangat, dan komitmen. Pers Islam yang menampilkan Islam sebagai
rubrik, biasanya dimaksudkan sebagai sarana dakwah. Karena pers Islam yang
seperti ini biasanya diterbitkan oleh lembaga-lembaga Islam, seperti ormas,
yayasan, dan lembaga pendidikan Islam. Sedangkan pers Islam yang menampilkan
Islam sebagai nafas, semangat, dan komitmen dikelola oleh orang-orang yang
memiliki kepedulian dan komitmen terhadap kepentingan Islam.
Sebagai pers yang bernafaskan religius – ajaran Islam – menurut Alamsyah Ratu Perwiranegara yang dikutip Rusdji Hamka dalam buku Islam dan Era Informasi, seharusnya media massa Islam memegang peranan penting dan berjasa besar dalam kehidupan beragama masyarakat, terutama masyarakat Islam.
Onong Uchjana Effendy – dalam bukunya Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek – menyebutkan bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan (social institution). Sebagai lembaga kemasyarakatan, pers merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama-sama dengan subsitem lainnya. Dengan demikian, maka pers tidak hidup mandiri, tetapi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara, karena eksistensi pers dipengaruhi, bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu tumbuh dan berkembang.
Sebagai pers yang bernafaskan religius – ajaran Islam – menurut Alamsyah Ratu Perwiranegara yang dikutip Rusdji Hamka dalam buku Islam dan Era Informasi, seharusnya media massa Islam memegang peranan penting dan berjasa besar dalam kehidupan beragama masyarakat, terutama masyarakat Islam.
Onong Uchjana Effendy – dalam bukunya Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek – menyebutkan bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan (social institution). Sebagai lembaga kemasyarakatan, pers merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama-sama dengan subsitem lainnya. Dengan demikian, maka pers tidak hidup mandiri, tetapi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara, karena eksistensi pers dipengaruhi, bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu tumbuh dan berkembang.
Menurut
Deddy Djamaluddin Malik, – Pakar komunikasi Universitas Padjadjaran – pers
Islam merespon berbagai problem sosial yang tengah terjadi di tengah-tengah
masyaraka. Pertama, pers Islam harus bersifat kritis terhadap lingkungan luar,
sanggup menyaring informasi Barat yang relevan dan tidak bias terhadap Islam.
Hal ini sesuai dengan pesan suci al-Qur’an “Jika orang fasik membawa berita,
selidikilah berita itu” (al-Hujurat/49:6).
Kedua,
pers Islam harus mampu menjadi penterjemah dan “frontier spirit” – pembatas –
pembaharuan dan gagasan-gagasan kreatif kontemporer. Di sini Islam perlu
diorientasikan ke depan agar sanggup berbicara dengan berbagai problem sosial
dewasa ini dan akan datang. Al-Qur’an menyatakan “Hai orang-orang beriman
bertaqwalah kepada kepada Allah dan hendaklah setiap diri melihat apa yang
sudah dipersiapkannya untuk masa depannya, bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (al-Hasyr/59:18).
Ketiga,
pers Islam hendaknya sanggup melakukan proses sosialisasi sebagai upaya untuk
memelihara dan mengembangkan khazanah intelektual Islam. Keempat, pers Islam
harus sanggup mempersatukan setiap kelompok umat sambil memberikan kesiapan
untuk bersikap terbuka bagi perbedaan paham. Pers Islam dalam hal ini berperan
seperti apa yang dipesankan al-Qur’an: “Dan berpeganglah kamu sekalian pada
tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-cerai” (Ali Imran/3: 103).
Jalaluddin
Rakhmat – dalam Rusjdi Hamka – menambahkan, para jurnalis Islam harus berperan
sebagai muaddib (pendidik), musaddid (pelurus), mujaddid (pembaharu), muwahhid
(pemersatu) dan sebagai mujahid (berjuang untuk menghidupkan citra Islam).
B. Ciri-ciri Pers Islam
Sebagaimana
definisi tentang pers Islam di atas, bahwa pers Islam adalah suat proses
meliput, mengolah, mengumpulkan, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan
muatan nilai-nilai Islam dengan mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik/ norma-norma
yang bersumber dari al Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Pers Islam diutamakan
kepada dakwah islamiyah, yaitu mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar.
Dari definisi tersebut terlihat kekhasan pers Islam dibanding dengan pers lain. Pers Islam mengemban misi yang sama dengan misi Islam yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Selain itu pers Islam bukan sekedar berbau Islam, tetapi pers Islam yang benar-benar menghayati risalah Islam; bukan sekedar bermoto Islam, tetapi yang terpenting harus mempunyai tugas rangkap, yaitu ke dalam bertugas mempersatukan umat dan berdiri di atas semua golongan, sedangkan ke luar menagkis serta membendung segala bentuk yang ingin memperdaya atau melemahkan persatuan umat. Menurut hemat penulis, pers Islam seperti inilah yang sangat dibutuhkan sekarang ini dalam menghadapi arus gelombang pemutarbalikkan fakta/berita yang ditusukkan ke tubuh umat.
Menurut A. Muis – dalam tulisannya Media Massa Islam dan Era Reformasi – ciri khas sistem pers Islam itu salah satunya adalah menyebarkan (menyampaikan) informasi kepada pendengar, pemirsa atau pembaca tentang perintah dan larangan Allah swt (al Qur’an dan Hadits Nabi). Pada dasarnya agama sebagai kaedah dan sebagai perilaku adalah pesan (informasi) kepada warga masyarakat agar berperilaku sesuai dengan perintah larangan Allah.
Dari definisi tersebut terlihat kekhasan pers Islam dibanding dengan pers lain. Pers Islam mengemban misi yang sama dengan misi Islam yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Selain itu pers Islam bukan sekedar berbau Islam, tetapi pers Islam yang benar-benar menghayati risalah Islam; bukan sekedar bermoto Islam, tetapi yang terpenting harus mempunyai tugas rangkap, yaitu ke dalam bertugas mempersatukan umat dan berdiri di atas semua golongan, sedangkan ke luar menagkis serta membendung segala bentuk yang ingin memperdaya atau melemahkan persatuan umat. Menurut hemat penulis, pers Islam seperti inilah yang sangat dibutuhkan sekarang ini dalam menghadapi arus gelombang pemutarbalikkan fakta/berita yang ditusukkan ke tubuh umat.
Menurut A. Muis – dalam tulisannya Media Massa Islam dan Era Reformasi – ciri khas sistem pers Islam itu salah satunya adalah menyebarkan (menyampaikan) informasi kepada pendengar, pemirsa atau pembaca tentang perintah dan larangan Allah swt (al Qur’an dan Hadits Nabi). Pada dasarnya agama sebagai kaedah dan sebagai perilaku adalah pesan (informasi) kepada warga masyarakat agar berperilaku sesuai dengan perintah larangan Allah.
Jalaluddin
Rahmad sebagaimana yang dikemukakan di atas, cirikhas pers Islam itu dapat
dilihat dari perannya, antara lain:
1.
Muaddib (Pendidik)
Salah
satu fungsi media massa adalah mendidik. Jutaan orang dapat dicapai secara
serentak dan simultas melalui fungsi media massa. Sebagai jurnalis Islam, ia
harus memahami Islam lebih baik dari rata-rata konsumen informasinya. Ia
memikul tugas mulia untuk mendidik saudara-saudaranya dalam Islam dan mengajak
yang berada di luar Islam.
2.
Musaddid (Pelurus)
Banyak
media massa yang memberikan disinformasi tentang dunia Islam, baik nasional
maupun internasional. Pers Islam seharusnya meluruskan informasi ini. Ayat al
Qur’an mengingatkan “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Q.S. al Hujurat: 6)
3.
Mujaddid (Pembaharu)
Pers
Islam adalah – seharusnya – event guard dalam penyebaran faham pembaharuan.
Artinya ia harus penerjemah dari gagasan-gagasan kontemporer bagi kaum muslimin
yang awam. Ia harus menjadi penafsir. Apapu yang terjadi, pembaharuan ternyata
lebih mudah disebarkan lewat bantuan pers ketimbang para kiyai di madrasah atau
pesantren.
4.
Muwahhid (Pemersatu)
Seorang
jurnalis Islam adalah juru bicara bagi umat Islam. Ia berjuang untuk Islam,
bukan untuk kelompok-kelompok tertentu. Ia harus menjadi jembatan yang
mempersatukan antara satu kelompok dengan kelompok Islam lain. Karena itu,
informasi yang memecah umat Islam harus dihindari dalam pers Islam.
5.
Mujahid (Pejuang)
Peran
terakhir – sebetulnya peran yang menyimpulkan sepuruh peran di atas – adalah
pers Islam sebagai mujahid. Ia adalah pejuang yang berusaha keras untuk
membentuk opini public yang mendorong perkembangan Islam, menghidupkan citra
Islam yang positif, menggairahkan pengamalan Islam di tengah-tengah masyarakat,
dan menghidupkan semangat umat untuk memperjuangkan Islam.
C. Kekuatan dan Kelemahan Sistem Informasi dan Pers Islam
Tidak
semua tokoh pers setuju dengan adanya kebebasan pers, sehingga tahun 80-an
muncullah sebuah istilah “pers kepiting” sebagai julukan bagi pers yang memilih
posisi melionerisme adalah bukti betapa sulitnya dikembangkan persepsi yang
sama di antara para tokoh pers tentang kebebasan pers. Terlebih lagi dengan
adanya pergeseran fungsi penerbitan sekarang yang lebih ke arah bisnis – pers
bukan lagi sepenuhnya diterbitkan atas dasar idealisme seperti pada awalnya –
semakin membuat jarak di antara sesama tokoh pers dalam memahami fungsi dan
kebebasan pers.
Terutama pers Islam yang menganut garis serius, yakni pers yang lahir dari garis genealogi intelektual kaum modernis Islam, agaknya tidak mungkin (sepenuhnya) dapat melangkah ke arah pers bisnis. Marwan Saridjo, dalam Islam dan Era Informasi, mengatakan bahwa pers Islam dari garis ini berada pada posisi idealism. Ia juga tetap mempertahankan sikap jati diri independen.
Terutama pers Islam yang menganut garis serius, yakni pers yang lahir dari garis genealogi intelektual kaum modernis Islam, agaknya tidak mungkin (sepenuhnya) dapat melangkah ke arah pers bisnis. Marwan Saridjo, dalam Islam dan Era Informasi, mengatakan bahwa pers Islam dari garis ini berada pada posisi idealism. Ia juga tetap mempertahankan sikap jati diri independen.
Bila
dilihat dari potensi umat Islam, terutama jumlahnya yang besar, maka pers Islam
sebenarnya memiliki prospek yang cukup cerah. Namun demikian, sudah barang
tentu prospek cerah tersebut adalah tergantung kepada bagaimana cara
pengelolaan pers itu sendiri. Di antaranya adalah menyangkut idealism yang
diembannya di samping tergantung kepada bagaimana manajemen yang diterapkannya
sesuai dengan kondisi sosio-kultural masyarakat yang terus berkembang.
Sehubungan
dengan itu, bagaimana prospek pers Islam pada abad millennium ketiga yang
merupakan era informasi di abad modern. Berikut ini catatan tentang prospek
pers Islam di masa yang akan datang:
1.
Peran media massa sebagai media
komunikasi massa yang religius-Islami, hendaknya mampu memerankan diri sebagai
“media dan corong kemajuan bangsa”. Artinya mampu berfungsi menjadi sumber
informasi objektif-positif, kontrol sosial yang konstruktif, penyaluran
aspirasi masyarakat atau penyambung kehendak dan minat rakyat, mobilisator dan
dinamisator pembangunan, serta sebagai mediator antara kepentingan pemerintah
dan masyarakat tanpa ada yang dikorbankan salah satunya.
Seandainya
pers Islam sanggup menjalankan tugasnya dalam pembangunan sebagai media dan corong
kemajuan bangsa, maka pers Islam akan mendapat tempat di hati masyarakat.
2.
Media massa Islam harus kritis
terhadap lingkungan luar dan sanggup menyaring informasi dari Barat yang kadang
menanam bias kejahatan terhadap Islam. Hal ini sesuai dengan pesan al Qur’an
surat al-Hujurat: 6.
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu. (Q.S. al Hujurat: 6)
3.
Media massa Islam hendaknya
sanggup menjadi “media profetik”. Artinya bahwa ia mesti mampu menjadi pembawa
amanat atau risalah agama, yaitu amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan keadilan
dan kebenaran. Di sini media massa Islam – dengan segala karaktekristiknya yang
islami – perlu menjalankan fungsi profetik kritisnya dalam rangka
partisipasinya dalam pembangunan bangsa. Fungsi profetik kritis yang dimaksud
adalah bahwa media massa Islam mampu menjadi suara rakyat menyampaikan dan
mengemukakan kritik konstruktifnya kepada golongan sosial yang sedang berkuasa
atau kepada pemegang tampuk pemerintahan atas dasar kaedah-kaidah keadilan
sosial dan atas nama ajaran agama yang benar.
Dengan
kata lain, pers Islam mampu menjaga hubungan dengan Allah dan hubungan dengan
manusia (hablum minallh wa hablum minannas). Pers Islam atas nama agama harus
mampu membawa harapan rakyat meraih keadilan sosial sesuai hak dan kewajibannya
(vertikal dan horizontal) dan hak-hak azazi manusia. Akan tetapi, sudah barang
tentu pendekatan dan cara yang digunakan bukan bersifat destruktif, tapi
konstruktif penuh kebijaksanaan sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.
4.
Media massa Islam sebagai media
komunikasi massa hendaknya mampu menjadi “agen” pemersatu bagi umat. Terutama
dalam mensukseskan pembangunan kerukunan antar umat beragama. Di sini, media
massa Islam – dalam rangka pembangunan nasional yang sedang berlangsung – sudah
saatnya memiliki idealisme yang bersifat nasionalistik-religius. Orientasinya
harus diarahkan kepada terciptanya masyarakat Pancasila yang agamis. Melalui
media massa Islam, diharapkan akan terwujud masyarakat yang memiliki “modus
Vivendi” dan “modus operandi” yang sesuai dengan norma kebangsaan dan agama.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 103.
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk. (Q.S. Ali Imran: 103)
5.
Media massa Islam, yang nota
benenya merupakan alat komunikasi masyarakat, niscaya perlu memiliki bahasa
yang komunikatif-dialogis. Bahasa komunikatif-dialogis dimaksudkan di sini
adalah bahasa yang bersifat persusif-sofistikatif atau bahasa yang mampu
menggugah perasaan dan tindakan masyarakat secara lemah lembut, menarik dan
indah, serta penuh dialog-dialog yang demokratis dan manusiawi. Karenaitu,
media massa Islam harus menghindari bahasa, lambang-lambang, dan makna-makna
yang terlalu agresif dan vulgar. Hal ini karena bagaimana pun juga masyarakat
era informasi modern cenderung bersikap demokratis-dialogis, serta cenderung
lebih menerima informasi yang mudah dimengerti dan memiliki nilai praktis yang
tinggi.
Demikian
pula, bahasa yang dialogis juga didasarkan pada suasana penuh kepercayaan, rasa
kasih sayang, kejujuran, i’tikad baik dan bermakna. Tenpa bahasa komunikatif
dan dialogis, media massa Islam akan sulit meraih hati pembacanya. Di sini pers
Islam harus mampu menjadi penerjemah bagi perbaharuan dan gagasan-gagasan
kreatif kontemporer. Di sini Islam perlu diorientasikan ke depan agar sanggup
berbicara tentang berbagai masalah sosial yang berkembang.
6.
Last but not least, adalah bahwa
media massa Islam dalam era informasi, niscaya harus dikelola secara lebih
professional. Artinya, kalau tak mau ketinggalan, kegiatan pengelolaannya musti
didasarkan pada sistem managemen professional. Tanpa “profesionalisme oriented”
adalah sulit media massa Islam dapat tumbuh dan berkembang menjadi media yang
besar, menarik pembacanya, kompetitif dan dapat merebut pasaran informasi di
tengah masyarakat luas dalam era informasi modern yang semakin canggih.
7.
Peran signifikan dari media massa
Islam adalah untuk menentukan masa depan Islam terhadap perhatian dari banyak
cendekiawan muslim. Karya-karya yang berupaya menggali peran jurnalistik di
masa lampau dan prospeknya di masa dating sudah sangat banyak, namun sangat
jarang yang membicarakan pers Islam dalam posisinya sebagai peluang dakwah bi
al-aqlam, apalagi mencoba menggalinya secara langsung dari pesan-pesan al
Qur’an.
D. Hegemoni Barat terhadap Umat Islam
Hubungan
antara Islam dan Barat merupakan masalah strategis. Seperti apakah hubungan
Islam dan Barat. Apakah hubungan itu ditandai dengan konflik, ataukah dengan
akomodasi?. Menurut Thahir Amin, dalam tulisannya “Islam dan Barat: Konflik
atau Akomodasi”, ada tiga argument pokok berkenaan dengan hubungan Islam dan
Barat. Pertama, bahwa Barat ingin menegakkan hegemoni yang terlembagakan di
wilayah dunia lain – di luar Barat – dan bahwa ada pengaruh budaya yang
potensial menimbulkan pertentangan karena hegemoni tersebut dianggap sebagai
ancaman terhadap kepentingan-kepentingan Barat. Kedua, kebangkitan Islam sudah
dianggap sebagai bagian dari proses sejarah pemberontakan dalam arti luas
terhadap Barat. Ketiga, bahwa pada dasarnya kebijak-kebijan Baratlah yang akan
menentukan apakah hubungan mereka dengan budaya lain akan menjadi hubungan
konflik atau hubungan akomodatif. Dan Islam berada pada di persimpangan jalan.
Sekaitan dengan itu, ada berbagai macam persepsi Barat terhadap Islam. Namun
yang dominan adalah bahwa Islam merupakan ancaman di masa depan bagi Barat.
Heboh
kasus Salman Rusydie, penulis buku The Satanic Verses, telah mereda. Tidak
sebagaimana yang terjadi pada tahun-tahun yang lalu, di mana beritanya
menggemparkan seluruh media massa, cetak dan elektronik. Di luar substansi buku
tersebut, atau motivasi Rusydie dalam menulis novel tersebut, ada hal-hal yang
menarik untuk diamati terkait hegemoni Barat terhadap Islam.
Pertama,
adalah kenyataan bahwa kasus itu menjadi amat menggemparkan setelah
dimaklumkannya ancaman Imam Khomeini terhadap penulis dan penerbit novel
tersebut. Sebelum pemimpin negeri Iran itu bertindak, beberapa Negara di mana
jumlah penduduk Islam adalah signifikan, seperti Pakistan dan India, telah
berusaha untuk menyatakan sikap mereka terhadap Salman Rusydie. Sikap kedua
Negara tersebut mempunyai gaung yang cukup berarti, namun masih berada pada
tingkat nasional. Artinya kurang mampu menggerakkan massa Islam pada tingkat
yang lebih tinggi. Dengan kata lain, kegusaran mereka terhadap novel tersebut
masih kurang mengandung minat New York, London, dan Paris – pusat-pusat kantor
berita raksasa. Dalam pandangan pers Barat, India dan Pakistan, paling tidak
sejak munculnya gejolak Timur Tengah, bukan merupakan representasi suara Islam.
Sebaliknya sikap Iran, dianggap sebagai the call from the Minaret, suara
panggilan yang tidak saja mempunyai makna religious, tetapi juga bersifat politis.
Kedua,
adalah kenyataan bahwa pemberitaan tentang kasus tersebut sangat didominasi
oleh pers Barat. Pemberitaan secara besar-besaran oleh media massa, telah
menciptakan image tersendiri tentang kasus tersebut. Bagi kalangan Muslim, di
satu pihak, hal ini telah menjalin suatu rasa solidaritas dan sikap militansi
tersendiri. Walaupun hal itu tidak berarti bahwa mereka sependapat dengan
sikap, atau merasa terpanggil oleh ajakan Imam Khomeini.
Bagi
kalangan non-Muslim, di pihak lain, hubungan ini telah menjadikan Islam sebagai
berita. Fokus perhatian mereka bukan lagi tentang substansi The Satani Verses
atau ancaman Imam Khomeini. Melainkan hubungan tersebut telah menciptakan
persepsi tertentu pada diri mereka tentang Islam dan umatnya. Hal ini
sebgaimana tampak pada pemberitaan-pemebritaan pers Barat, berkisar di antara
spectrum pandagan bahwa Islam itu tidak toleran, tidak menghargai kebebasan,
Islam adalah agama sempit, dan lain sebagainya.
Dari
uraian singkat di atas, nampak bahwa media massa mempunyai andil besar dalam
membentuk opini masyarakat. Baik buruknya pemberitaan tentang Islam dalam kasus
tersebut – dan juga dalam kasus besar lainnya – tergantung pada arus informasi
yang diciptakan. Dalam hubungan dengan persoalan di atas, kelihatan bahwa arus
informasi yang diciptakan sangat dikuasai oleh media massa dan sarana
komunikasi negara-negara maju (Barat).
Yang
perlu mendapat perhatian bagi umat Islam adalah tentang sikap dan cara media
massa Barat mengkover masalah-masalah Islam. Meskipun tidak semua – ada yang
baik – media massa Barat dalam mengkover persoalan Islam agak berat sebelah dan
tidak jarang malah tendisius. Kecenderungan untuk berprasangka atau curiga
terhadap Islam ini nampaknya tidak terlepas dari kesalafahaman terhadap Islam
itu sendiri/ mindlessness. Sebagaiman diketahui, negara-negara Barat mengetahui
dan memahami Islam umumnya dari buku-buku kaum orientalis. Lahirnya orientalis
itu sendiri pada dasarnya tidak terlepas dari tujuan-tujuan politis negara
Barat untuk menguasai negara-negara Islam. Sebab lain adalah karena Barat
dihinggapi trauma Perang Salib.
Keadaan ini lebih diperburuk lagi karena publikasi tentang Islam yang baik tidak sampai kepada mereka, baik karena masalah distribusi atau pun karena masih kurangnya jumlah pakar-pakar Islam yang mampu menjelaskan Islam secara lebih sempurna dengan menggunakan bahasa Barat. Hal ini turut memperparah citraan Islam di mata Barat.
Keadaan ini lebih diperburuk lagi karena publikasi tentang Islam yang baik tidak sampai kepada mereka, baik karena masalah distribusi atau pun karena masih kurangnya jumlah pakar-pakar Islam yang mampu menjelaskan Islam secara lebih sempurna dengan menggunakan bahasa Barat. Hal ini turut memperparah citraan Islam di mata Barat.
E. Langkah-langkah fungsionalisasi di tengah kekuatan pers Barat
Melalui
pendekatan sejarah, dapat dilihat bahwa sedikit banyak telah diperoleh gambaran
mengenai keberadaan, posisi dan perkembangan media massa Barat, juga bagaimana
pandangan dan sikap mereka terhadap Islam. Dari pembahasan sebelumnya, pers
Indonesia umumnya dan pers Islam khsusnya dapat mengembangkan usaha-usaha yang
sifatnya perbaikan diri dan pengembangan pers Islam ke arah yang lebih baik.
Hal tersebut di antaranya:
Pertama,
pers Indonesia, termasuk pers Islam bisa mentransformasikan atau meniru
profesionalisme yang dimiliki pers Barat. Dalam hal-hal tertentu, menurut
penulis ada beberapa media massa Indonesia yang bersifat umum sudah menerapkan
profesionalisme dalam bekerja. Tetapi belum demikian halnya dengan pers Islam.
Profesionalisme masih menjadi persoalan, sehingga hal ini mempengaruhi lemahnya
posisi pers Islam di antara media-media lain.
Kedua,berbagai
bentuk dan gaya jurnalisme konvensional maupun modern bisa diterapkan pada pers
Islam, tetapi untuk kepentingan masa depan Islam, kini sudah saatnya
dikembangkan jurnalisme profetik, sehingga suatu jurnalisme yang secara sadar
dan bertanggungjawab memuat kandungan nilai dari cita-cita etik dan sosial
Islam yang didasarkan kepada kemanusiaan, liberasi, dan transendensi yang
didasarkan misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam al Qur’an surat Ali
Imran ayat 110.
Ketiga, dalam masalah kebebasan pers, media Islam harus melakukan antisipasi kritis terhadap hakekat dan makna kebebasan itu sendiri, serta menghubungkannya dengan dimensi profetik di atas. Kebebasan yang tepat dalam dimensi profetik adalah kebebasan fungsional, karena fungsional mengandung tanggungjawab.
Ketiga, dalam masalah kebebasan pers, media Islam harus melakukan antisipasi kritis terhadap hakekat dan makna kebebasan itu sendiri, serta menghubungkannya dengan dimensi profetik di atas. Kebebasan yang tepat dalam dimensi profetik adalah kebebasan fungsional, karena fungsional mengandung tanggungjawab.
Keempat,
dalam mengekspresikan ide, gagasan, atau tulisan media Islam di samping
berpijak kepada etika profesi, juga harus berdasar dan berorientasi pada wahyu.
Di Indonesia, etika profesi sudah dirumuskan dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Hal tersebut sudah cukup baik, dan
apabila dilaksanakan secara konsekwen akan memberikan hasil yang positif bagi
kredibilitas dan pengembangan jurnalisme Indonesia. Akan tetapi, untuk seorang
yang karena identitas, tugas dan tanggungjawabnya berpredikat sebagai “wartawan
muslim”, di samping mempunyai komitmen pada KEJ atau KEWI juga mempunyai
tanggungjawab profetik, yaitu mengupayakan agar ajaran Islam tetap dan selalu
fungsional serta aktual dalam kehidupan.
Ada
sebuah pesan yang sering disampaikan oleh Ziauddin Sardar – dari Center for
Policy and Future Studies – di Chicago bahwa seorang wartawan muslim – bagian
dari pers Islam – hendaknya mampu berperan sebagai penjaga kebudayaan Islam
yang handal, sekaligus mampu menjadi kreator kebudayaan dalam kaum inteligensia
daripada professional. Wartawan muslim harus selalu berfikir sambil bekerja
atau bekerja sambil berpikir. Dengan kata lain, pers Islam semestinya commited
terhadap integrasi dari seluruh peran di atas (muaddib/ pendidik, musaddid/
pelurus, mujaddid/ pembaharu, muwahhid/ pemersatu dan sebagai mujahid/ perjuang
untuk menghidupkan citra Islam).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Islam mempunyai berbagai jenis Informasi
perlu untuk mengelompkkan jenis-jenis informasi dalam Islam. Dengan demikian
akan terlihat bagaimana sistem informasi dalam islam. Jenis-jenis informasi
tersebut adalah:
1.
Fundamental Information
Informasi
yang bersumber dari wahyu, yakni al-Qur’an dan hadits. Al-Qur’an dan Hadits
merupakan sumber informasi yang jalur pengirimannya mempunyai corak yang sangat
unik. Al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril. Malailat Jibril kepada Rasulullah,
dan Rasuslulah disampaikan kepada para sahabat. Dan pada rentang waktu yang
sangat panjang, al-Qur’an diproduksi sebagai kitab yang berbentuk cetakan yang
dapat dibaca. Begitu juga Hadits, melaui proses yang panjang dengan dua jalur
riwayah dan dirayah diproduksi sebagai kitab hadits.
2.
Scientific Information
Informasi
yang diperoleh dari hasil penelitian dan kajian atau pengamatan terhadap
fenomena alam dan sosial atau aktivitas kemanusiaan berserta masalah yang
mengintarinya. Sedangkan pers Islam dapat dimaknai sebagai suatu proses
meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa yang sarat dengan
muatan nilai-nilai Islam, kepada khalayak, serta berbagai pandangan dengan
perspektif ajaran Islam, dengan mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik/norma-norma
yang bersumber al Qur’an dan sunah-Nya, sebagai (muaddib/ pendidik, musaddid/
pelurus, mujaddid/ pembaharu, muwahhid/ pemersatu dan sebagai mujahid/ perjuang
untuk menghidupkan citra Islam).
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Abdullah, Amin,
“Arah Baru Kajian Islam”, Makalah Seminar Annual Comperence, Yogyakarta: Hotel
Syahid Raya, 2003
Aljamri, Mansoor
(ed), Islamism, Pluralism, dan Civil Cociety, terj. Yogyakarta: Tiara Wacana,
2007
Effendy, Onong
Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000),
h. 145
_______, Kamus
Komunikasi, Bandung: Mandar Maju, 1989
Ghani, Zulkipli Abd., Islam Komunikasi dan Teknologi Maklumat, Kuala Lumpur: UP & D Sdn Bhn, 2001
Ghani, Zulkipli Abd., Islam Komunikasi dan Teknologi Maklumat, Kuala Lumpur: UP & D Sdn Bhn, 2001
Hamka, Rusjdi
(ed), Islam dan Era Informasi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1989
Kasman, Suf,
Jurnalisme Universal: Menelusuri Prinsip-prinsip Dakwah bi al-Qalam dalam al
Qur’an, Jakarta: Teraju, 2004
Kohar, Wakidul,
Sistem Informasi Islam: Menjawab Tantangan di Era Informasi, “Kumpulan Artikel”
2005
Malik, Dedy Djamaluddin,
Peranan Pers Islam di Era Informasi, Kumpulan artikel dalam Islam dan Era
Informasi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1989
Sophian, Ainur
Ropiq, Tantangan Media Informasi Islam: Antara Profesionalisme dan Dominasi
Zionis, Surabaya: Risalah Gusti, 1993
Tebba, Sudirman,
Islam menuju Era Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacan Yogya, 2001
Wahyudi, J.B.,
Teknologi Informasi dan Produksi Citra bergerak, Jakarta: Gramedia, 1992
Weaver, C.Shanoon
and W., The Matematical Theory of Communication, Urbana, univ.of Ilinois, 1949,
Wikipedia Bahasa
Indonesia, Sistem Informasi, wikipedia@foundation.Inc., didownload tanggal 10
Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar