BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw.
sebagai petunjuk, peringatan, dan sumber hukum yang bersifat pokok keterangan
sehingga diperlukan usaha pemahaman lebih terperinci dan mendalam untuk
memberikan kemudahan dalam mengimplementasikan ajarannya di setiap sudut
kehidupan. Penggalian makna yang tersimpan di dalam setiap ayat al-Qur’an harus
dilakukan dengan usaha penafsiran yang mendalam dengan tetap mengacu pada
syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mufassir dan tidak melenceng dari
ajaran Islam yang sebenarnya. Kedudukan tafsir dalam Islam sangat dijunjung
tinggi karena melihat objek yang ditafsirnya, yaitu Kitab Allah, al-Qur’ān
al-Karīm. Merupakan sebuah keagungan bagi mereka yang mampu menyingkap
tabir makna al-Qur’an.
Para ulama sepakat, kaitannya dengan
pengklasifikasian tafsir al-Qur’an dilihat dari sumber penafsirannya, membagi
dalam tiga kategori; yaitu, tafsir bi al-ma’thūr atau tafsir bi
al-riwāyah, tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-dirāyah, dan
tafsir bi al-iqtirāni atau campuran antara nas dan akal pikiran manusia.
Dari ketiga macam tafsir di atas yang menjadi
bahan perdebatan antar para ulama tafsir adalah tafsir bi al-ra’yi.
Banyak terdapat perbedaan pendapat diantara mereka dalam pembolehan menafsirkan
al-Qur’an dengan menggunakan akal pikiran karena dikhawatirkan, menurut mereka
yang anti tafsir bi al-ra’yi, hanya ditafsirkan secara subjektif
untuk mendukung kepentingan pribadi atau kelompok mereka.
Namun, juga sangat disayangkan sekali ketika
anugerah akal yang memang seharusnya diperuntukkan manusia untuk mencari
kebenaran dan hikmah di balik ayat-ayat-Nya, baik yang tersurat maupun yang
tersirat selama tetap dalam koridor syariah yang telah baku, tidak difungsikan
sebagaimana mestinya. Sebaliknya, akal yang semestinya diperuntukkan
menunjukkan dan mempertimbangkan kebenaran dalam segala bentuknya
disalahgunakan untuk menggiring al-Qur’an mengikuti keinginannya. Merupakan
sesuatu yang sangat diluar batas kewajaran kita sebagai seorang hamba.
Berpijak dari uraian di atas dalam makalah
ini kami sajikan secara mendalam deskripsi tentang tafsir bi al-ra’yi,
baik dalam hal pendefinisian, persimpangan pendapat para ulama tafsir,
latarbelakang munculnyanya, macam-macam tafsir bi al-ra’yi, dan sebagian
contoh dari tafsir bi al-ra’yi menurut macam-macamnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari tafsir bi al-ra’yi ?
2. Apa syarat Syarat-syarat mufassir bi
al-ra’yi ?
3. Apa saja Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir bi
al-Ra’yi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
tafsir bi al-ra’yi
1.
Menurut Bahasa
Al-ra’yu
memiliki akar kata dari ra’a-yara-ra’yan-ru’yatan. Memiliki kata jamak ārā’un
atau ar’ā’un yang bisa berarti pendapat, opini berfikir tentang dasar
sesuatu (al-fikr), keyakinan (al-I’tiqād), analogi (al-qiyās),
atau ijtihad. Kaitannya dalam bentuk penafsiran al-Qur’an, al-tafsīr bi
al-ra’yi sering disebut juga dengan istilah al-tafsīr bi al-dirāyah,
al-tafsīr bi al-ma’qūl, al-tafsīr al-‘aqliy, atau al-tafsīr
al-ijtihādiy.[1]
2.
Menurut
Istilah
Secara istilah bisa didefinisikan sebagaimana
pendapat al-Dhahābiy[2],
bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil
berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui
bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema
penafsiran seperti asbāb al-nuzūl, al-nāsikh wa al-mansūkh, dan
sebagainya.
Al-Farmāwiy[3]
juga agak sama pendapatnya dengan al-Dhahābiy, bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah
cara menafsirkan al-Qur’an dengan jalan ijtihad setelah terlebih dahulu mufassir
mengetahui metode kosa kata bahasa Arab beserta muatannya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Musa’īd Muslīm
‘Abdullāh[4],
bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah menerangkan isi ayat-ayat al-Qur’an
dengan berpijak pada kekuatan akal pikiran setelah terlebih dahulu memahami
ilmu bahasa Arab dan pengetahuan terahadap hukum-hukum sharī’ah sehingga tidak
ada pertentangan dengan produk tafsir yang dihasilkannya.
Dari beberapa pendapat di atas penulis bisa
merumuskan bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah metode tafsir dengan menggunakan
kekuatan akal pikiran si mufassir yang sudah memenuhi syarat dan memiliki
legitimasi dari para ulama untuk menjadi seorang mufassir, namun penafsirannya
harus tetap selaras dengan hukum shari’ah, tanpa ada pertentangan sama sekali.
B. Syarat-syarat mufassir bi al-ra’yi
Ada beberapa ketentuan sebagai syarat yang
harus dipenuhi oleh mufassir berkaitan dengan diterima tidaknya dalam
melakukan tafsir bi al-ra’yi, yaitu, sebagai berikut;[5]
1.
Mempunyai keyakinan (al-i’tiqād) yang
lurus dan memegang teguh ketentuan-ketentuan agama
2.
Mempunyai tujuan yang benar, ikhlas semata-mata
untuk mendekatkan diri (al-taqarrub) kepada Allah swt.
3.
Bersandar pada naql pada Nabi saw. dan para
sahabat, serta menjauhi bid’ah.
4.
Menguasai 15 bidang ilmu yang diperlukan oleh
seorang mufassir, antara lain; ilmu al-naḥwu, al-lughah, al-taṣrīf,
al-istiqāq, ‘ilm al-ma’āniy,’ ilm al-badī’, ‘ilm al-qirā’at, uṣūl al-dīn, uṣūl
al-fiqh, asbāb al-nuzūl, ‘ilm al-nāsikh wa al-mansūkh, fiqh, hadis-hadis
yang menjelaskan tafsir al-mujmāl dan al-mubhām, serta ‘ilm
al-mauhibah.
Menurut al-Dzahabi, ada lima perkara yang harus
dijauhi oleh seorang mufassir agar tidak jatuh dalam kesalahan dan tidak
termasuk pentafsir bi al-ra’yi yang fasid. Lima perkara tersebut
adalah;[6]
1.
Menjelaskan maksud Allah Swt. dalam al-Qur’an
dengan tanpa memenuhi terlebih dahulu syarat-syarat sebagai seorang mufassir.
2.
Mencampuri hal-hal yang merupakan monopoli
Allah untuk mengetahuinya, seperti ayat-ayat al-mutashābihāt yang tidak
dapat diketahui kecuali oleh Allah sendiri.
3.
Melakukan penafsiran seiring dengan dorongan
hawa nafsu dan kepentingan pribadi
4.
Menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung madzhab
yang fasid, sehingga faham aliran menjadi pokok dan tafsir dipaksakan selaras
untuk mengikuti keinginan madzhabnya.
5.
Menafsirkan dengan memastikan, “demikianlah
kehendak Allah” terhadap tafsirannya sendiri padahal tanpa ada dalil yang
mendukungnya.
Syarat-syarat dan hal yang harus dijauhi oleh
seorang mufassir tersebut merupakan acuan untuk mengukur diterima tidaknya
sebuah produk tafsir al-Qur’an bi al-ra’yi. Dengan ketentuan-ketentuan
tersebut secara tidak langsung merupakan syarat mendapatkan legitimasi jumhur
ulama untuk diakui dan ditetapkan sebagai seorang mufassir.
Menurut penulis dengan adanya
ketentuan-ketentuan di atas hal tersebut menunjukkan sikap kehati-hatian para
ulama tafsir agar tidak semua orang dengan mudah menafsirkan al-Qur’an.
Syarat-syarat di atas juga hanya berlaku untuk orang per seorangan bukan untuk
kumpulan orang yang memiliki kemampuan keilmuan yang memadai dalam satu bidang
kemudian berkumpul dengan orang yang memiliki kemampuan keilmuan yang berbeda
yang dibutuhkan untuk memenuhi syarat menjada penafsir dan secara kolektif
menafsirkan al-Qur’an. Itu tidak boleh dan tetap tidak bisa diterima produk
tafsirnya karena yang dimaksud dengan syarat-syarat di atas hanya ditujukan
untuk satu orang saja. Dalam artian, jika seseorang memiliki kemampuan keilmuan
seperti yang disebutkan dalam syarat menjadi seorang mufassir maka tafsirnya
bisa diakui dan diterima, namun jika secara kolektif mereka menafsirkan
al-Qur’an dengan berbekal kemampuan keilmuan masing-masing untuk memenuhi
syarat sebagai penafsir maka itu tidak boleh dan tertolak semua tafsirnya.
C. Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir bi al-Ra’yi
Mula-mula tafsir al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy
(wicara, dari mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan
kitab-kitab kumpulan hadis, maka tafsir al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan
hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis.
Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari
permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul
pembahasan.
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal
pemerintahan Bani Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang
ilmu pengetahuan, tafsir al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup
mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat
penafsiran, secara tertib menurut urutan mushhaf.
Penafsiran al-Qur’an pada masa-masa pertama
memakai cara naqli, yaitu yang terkenal dengan istilah al-manhaj al-tafsīr
bi al-ma’thūr. Setelah itu para ahli ilmu menafsirkan al-Qur’an menurut
keahlian mereka masing-masing. Kemudian setelah lahirnya sekte-sekte aqidah
didukung dengan semakin berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan dibuktikan dengan
dijadikan ilmu tersebut sebagai disiplin ilmu tersendiri, bermuncullah
penta’wilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, untuk menopang paham mereka
masing-masing, meskipun sebenarnya bibit-bibit ta’wil al-Qur’an sudah dimulai
oleh beberapa sahabat, seperti ‘Aliy bin Abi Ṭālib, ‘Abdullāh bin Mas’ūd, dan ‘Abdullāh
bin ‘Abbās ra. Kemudian setelah itu, melalui Mu’tazilah, terjadilah perluasan
tafsir bi al-ra’yi, sehingga tidak terjadi pertentangan antara nash
al-Qur’an dan akal pikiran, seperti kitab tafsir al-Kashshaf oleh
al-Zamakhshāriy.[7]
D. Perbedaan Pendapat Ulama Tafsir Tentang Tafsir
bi al-Ra’yi
Pemahaman ulama tafsir terhadap tafsir bi
al-ra’yi membagi mereka dalam dua golongan, yaitu ulama tafsir yang
melarang dan membolehkan tafsir bi al-ra’yi. Umumnya yang melarang
melakukan penafsiran al-Qur’an dengan al-ra’yu adalah golongan ulama
salaf.
Menurut mereka yang tidak membolehkan, pada
tafsir bi al-ra’yi seorang mufassir menerangkan makna-makna yang
terkandung di balik teks al-Qur’an hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan
penyimpulannya (istinbāṭ) didasarkan pada akal semata. Dan landasan
pemahamannya juga jauh dari ruh syari’at dan nas-nasnya.[8]
Al-ra’yu semata
tidak disertai dengan bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap
kitabullah. Kebanyakan orang yang melakukan penafsiran dengan semangat demikian
adalah ahli bid’ah, penganut madzhab batil. Mereka menafsirkan al-Qur’an
menurut pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar pijakan berupa pendapat
atau penafsiran ulama salaf, sahabat dan tabi’in. Mereka mengambil dasar firman
Allah:
ولا تقف ما ليس لك به علم (الاسرأ:٣٦ )
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”
(QS. Al-Isra’ : 36)
Dan firman Allah,
اتقولون على الله ما لا تعلمون
(الأعراف : ٢٨)
“Apakah
kamu berani menyatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui” (QS.
Al-A’raf : 28)
Mereka juga menunjukkan sebuah hadis Rasulullah
saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmīdhiy dari Ibnu ‘Abbās,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari
Ibnu ‘Abbas ra. dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan
al-Qur’an dengan tanpa ilmu, maka bersiaplah tempatnya di neraka”
Abu
Bakar Ṣiddīq[9]
pernah berkata,
أي الارض تقلني و أي السماء تظلني إذا
قلت فى القرأن برأيي
“Bumi
manakah yang akan menahanku dan langit mana yang akan meneduhiku jika aku
menyatakan tentang al-Qur’an dengan akal pikiranku”
Dan Ibnu
Taimiyah[10]
juga berkata,
فمن قال فى القرأن برأيه فقد تكلف ما لا علم له به وسلك غير ما
أمر به فلو اصاب المعنى فى نفس الامر لكان قد أخطأ لأنه لم يأت الأمر من بابه كما
حكم بين الناس على جهل فهو فى النار وإن وفق حكمه الصواب فى نفس الأمر ولكن يكون
اخف جرما.
“Barang
siapa mengatakan tentang al-Qur’an dengan dasar pikirannya saja, maka berarti
dia telah menentukan beban yang tidak ada ilmu di dalam hal ini, dan berarti
telah menempuh hal yang tidak diperintahkan. Maka sekalipun dia mungkin tepat
mengartikan hal itu, namun dia tetap bersalah karena dia tidak mendatangi
sesuatu di pintunya, seperti halnya seorang hakim yang memutuskan perkara orang
dengan kebodohan, maka dia akan masuk neraka sekalipun keputusannya itu sesuai
dengan kebenaran. Tetapi hal itu hanya lebih ringan dasarnya dari pada orang
berbuat salah.”
Namun sebagian besar ulama membolehkan
menafsirkan dengan menggunakan metode tafsir bi al-ra’yi. Dengan tingkat
kehati-hatian (ikhtiyāṭ) yang tinggi, mereka menempuh jalur al-jam’u
wa al-tafrīq (mengkompromikan dan memilah-milah) sehingga mereka
memunculkan beberapa syarat bagi mufassir sebagai ketentuan baku yang telah
disepakati.[11]
Mereka, para ulama tafsir yang membolehkan,
berpijak pada al-Qur’an sendiri yang mendorong supaya berijtihad dan memikirkan
ayat-ayatnya, guna mengetahui hukum-hukum yang ada di balik rangkaian ayat-ayat
di dalamnya. Mereka bersandar pada firman Allah sendiri,
كتاب انزلناه اليك مبارك ليدبروا
اياته وليتذكر اولوا الالباب. (ص : ٢٩)
“Ini
adalah kitab yang Kami turunkan kepada engkau penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang
berakal.” (QS. Shad : 29)
Tentunya jika tafsir bi al-ra’yi tidak
boleh, maka ijtihad pun tidak boleh sehingga hukum banyak yang terkantung-kantung.
Di antara mereka ada yang menafsirkan al-Qur’an
dengan ungkapan-ungkapan yang indah dan menyusupkan ajaran madzhabnya ke dalam
untaian kalimat yang dapat memperdaya banyak orang. Hal ini antara lain
dilakukan oleh Al-Zamakhshāriy dalam Tafsir Al-Kashshaf. Al-Zamakhshāriy
dalam kitabnya menyisipkan paham Mu’tazilah, madzhab yang dianutnya.
Hal serupa juga dilakukan oleh para ahli kalam
yang menafsirkan ayat-ayat sifat dengan selera pemahamannya. Golongan ini lebih
dekat dengan madzhab Ahli Sunnah daripada ke madzhab Mu’tazilah. Namun tatkala
mereka membawakan penafsiran yang bertentangan dengan pendapat sahabat dan
tabi’in, maka mereka tidak ada bedanya dengan Mu’tazilah dan ahli bid’ah
lainnya.
E. Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi terbagi menjadi dua
bagian:
1. Tafsir al-Maḥmūdah
Tafsir al-maḥmūdah adalah
suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang
yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai
dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya
dalam memahami nas-nas Qur’aniyah.
Hukum
tafsir bi al-ra’yi al-maḥmūd menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad dengan
tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran
al-Qur’an), serta berpegang kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap
ayat-ayat al-Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut tafsir al–maḥmūd
atau tafsir al-mashrū’.[12]
Kitab-kitab
tafsir bi al-ra’yi yang tergolong al-maḥmūdah yang
banyak dikenal, antara lain, adalah:
a.
Mafātiḥ al-Ghayb, oleh:
Fakhr al-Dīn al-Rāziy
b.
Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, oleh
Al-Baiḍawi
c.
Madārik al-Tanzīl wa Ḥaqā’iq al-Ta’wīl, oleh:
Al-Nasāfi
d.
Lubāb al-Ta’wīl fi Ma’ān al-Tanzīl, oleh:
Al-Khāzin
e.
Al-Bahr al-Muḥīṭ, oleh:
Abū Hayyān
f.
Al-Tafsīr al Jalālayn, oleh:
Jalāl al-Dīn Al-Maḥalliy dan Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭi
g.
Gharā’ib al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān, oleh:
Al-Naisabūriy
h.
Al-Sirāj al-Munīr, oleh:
Al Khātib Al-Sharbiniy
i.
Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh:
Abū al-Sa’ūd
Selayang pandang beberapa kitab Tafsir bi
al-ra’yi al-mahmūdah
a.
Mafātiḥ al-Ghayb
Tafsir ini adalah karya Muḥammad bin ‘Umar bin
al-Ḥasan al-Tamīmiy al-Tabaristaniy al-Rāziy (Fakhr al-Dīn al-Rāziy), masyhur
dengan Ibnu al-Khatib al-Syafi’i al-Faqih. Dilahirkan di Ray pada tahun 543 H,
dan wafat di Harah pada 606 H.
Dalam penafsirannya beliau menempuh jalan para
hukama al-Ilāhiyyah, yang tercermin pada dalil-dalil beliau dalam
pembahasan-pembahasan tentang Tuhan. Disitu beliau menentang aliran Mu’tazilah
dan aliran-aliran tersesat lainnya dengan alasan-alasan yang kuat dan
bukti-bukti yang nyata. Beliau juga menolak tuduhan-tuduhan dari orang-orang
yang ingkar dan menentang agama dengan uraian-uraian yang amat jelas. Sungguh
tafsir beliau ini merupakan yang terluas dalam membahas ilmu kalam.
Al-Razi juga seorang ahli dalam ilmu kedokteran
dan ilmu alam. Beliau juga berbicara soal astronomi, juga tentang langit dan
bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan tentang manusia. Tujuan utama beliau
dalam tafsirnya adalah untuk menolong kebenaran serta mengetengahkan
bukti-bukti adanya Allah swt, disamping menentang ulah orang-orang yang
tersesat.
b.
Madārik al-Tanzīl wa Ḥaqā’iq al-Ta’wīl
Tafsir ini ditulis oleh Shaykh al-‘Ālim
al-Zahīd ‘Abdullāh bin Ahmad al-Nasafiy. Wafat tahun 701 H. Tafsir ini dikenal
juga dengan tafsir Al-Nasafiy (dinisbahkan pada penulisnya), tafsir ini
sebuah tafsir besar, terkenal, mudah dan mendalam. Bila dibandingkan dengan
tafsir-tafsir al-ra’yi yang lain lebih ringkas dan sempurna.
Pengarang kitab Kashf al-Ẓunūn
mengatakan, “Tafsir ini adalah kitab sederhana tentang takwil, namun mencakup
seluruh segi i’rāb dan qirā’ah, mencakup segala keindahan ilmu al-badī’
dan isyarat, memuat beberapa pendapat ahlus sunnah wal jama’ah dan jauh dari
kebathilan kelompok-kelompok bid’ah dan menyesatkan. Kitab ini tidak panjang
lebar, namun juga tidak pendek”.
c.
Al-Baḥr al-Muhīṭ
d.
Pengarang tafsir ini adalah Shaykh Muḥammad bin
Yusūf bin Ḥayyān al-Andalusi. Wafat tahun 745 H. Tafsir ini terdiri dari
delapan jilid, yang mana beliau melengkapi beberapa bidang ilmu, meliputi
nahwu, sharraf, balaghah, hukum-hukm fiqhiyyah dan lain-lainnya, sehingga
dianggap sebagai referensi tafsir. Bahasanya memang mudah. Dinamakan Al-Baḥr
al-Muhīṭ, karena didalamnya memuat banyak ilmu yang bersangkutan dengan
materi tafsir.
2. Tafsir al-Madhmūmah
Tafsir al-madhmūm adalah
penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan
kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau
dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang
tersesat, seperti kitab tafsir al-Kashshaf karya al-Zamakhshāriy.[14]
Sekilas memang banyak ulama tafsir yang memuji
ketajaman analisa bahasa dan kesusastraan bahasa al-Qur’an dalam tafsir al-Kashshaf.[15]
Namun disayangkan sekali ketika penafsiran-penafsiran yang dilakukan
dirasuki pula dengan dukungan ajaran paham mu’tazilah sering menggunakan al-amthīl
(perumpamaan) dan al-takhyīl (pengandaian) sehingga banyak yang
menyimpang atau ada ketidakcocokan dengan makna lahir ayat yang sebenarnya,
mencela wali Allah, selalu mengarahkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an ke jalur
madzhab mereka, dan lain-lain. Sehingga kalau memang sudah sedemikian parah,
sebagaimana pendapat Subhi Salih, tafsir al-Kashshaf dapat digolongkan sebagai
tafsir bi al-ra’yi yang madzmumah.[16]
Hukum
tafsir bi al-ra’yi al-madhmūmah adalah
haram karena menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’yi dan ijtihad
semata tanpa ada dasar yang ṣaḥīḥ. Allah berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ (الإ ســــراء: ٣٦)
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya”. (QS. Al-Isra’: 36)
Firman
Allah lagi:
قـُلْ إِنَّمَا حـَرَّمَ رَبِّيَ ٱلْفـَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلإِثـْمَ وَٱلْبَغْيَ بِغَـيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن
تـُشْــرِكـُواْ بِٱللّـَهِ مَا لَمْ يُنـَزِّلْ بِهِ سُلْـطَاناً وَأَن
تَقـُولُواْ عَلَى ٱللّـَهِ مَا لاَ تَعْـلَمــُونَ
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan
perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa.
Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan
(mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu
ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)
Contoh-contoh Tafsir al-Madzmūmah
و من كان في هـذه أعمى فهـو في الآخـرة
أعمى و أضـل سبيـلا (الإ ســــراء: ٧٢)
“Dan
barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”. (QS,
Al-Isra’: 72)
Pada ayat ini, sebagian orang bodoh dan
tersesat menafsirkan bahwasanya setiap orang yang buta (matanya) di dunia, maka
di akhiratpun mereka tetap buta mata, dan akan sengsara dan menderita di
akhirat kelak dengan dimasukkannya mereka ke dalam neraka. Padahal yang
dimaksudkan dengan buta dalam ayat ini adalah buta hati (عمى القلوب),[17]
dengan dalil firman Allah swt,
فاٍنها لا تعمى الأ بصـار و لكن تعمى
القلوب التي في الصـدور (الحـج: ٤٦)
“Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada”. (QS, Al Hajj: 46)
Ada juga dari golongan Mu’tazilah yang sangat
keterlaluan dalam menafsirkan al-Qur’an untuk memenangkan pendapat dan
pemikiran mereka sendiri, seperti terhadap firman Allah swt,
وكلم الله موسى تكليما (النساء : ١٦٤)
“dan
Allah telah berbicara dengan Musa secara langsung” (Al-Nisa’: 164)
Menurut pandangan mereka kata kallama (telah
berbicara) dalam ayat tersebut bukan berasal dari akar kata kalam (berbicara),
melainkan dari akar kata al-jarh (luka). Dengan demikian ayat tersebut
bermakna, “Allah melukai Musa dengan kuku ujian dan cobaan”. Penafsiran yang
keterlaluan itu hanya untuk memperkuat aliran mereka.[18]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa,
tafsir bi al-ra’yi adalah upaya menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan
menggunkan kemampuan akal pikiran namun tetap dalam batasan yang tidak
melenceng dari sharī’ah Islam dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para
ulama. Terhadap tafsir bi al-ra’yi, sebenarnya, para ulama berbeda
pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang mengharamkannya. Jika dikaji
ulang, sebetulnya pengharaman mereka hanya berlaku kalau di dalam menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan ra’yu itu tidak terdapat dasar sama sekali atau
dilaksanakan tanpa pengetahuan kaidah bahasa Arab, pokok-pokok hukum syari’at
dan sebagainya, atau penafsirannya tersebut dipakai untuk menguatkan kemauan
nafsu belaka. Mengacu pada pernyataan tersebut para ulama tafsir sepakat
membagi tafsir bi al-ra’yi dalam dua bagian, yaitu tafsir al-maḥmūdah
dan al-madhmūmah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
‘Abdullāh, Musa’īd Muslīm. Aṭhar al-Taṭawwur
al-Fikr fi al-Tafsīr, (Beirut: Dār al-Fikr, 1987.
Al-Dhahābiy, Muḥammad Ḥusain, al-Tafsīr wa
al-Mufassirūn. Dār al-Kutub al-Hadīth, tt.
Al-Ṣābūniy, Muḥammad ‘Aliy, al-Tibyān fi
‘Ulūm al-Qur’ān. Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985.
Al-Ṣāliḥ, Ṣubḥiy, Mabāhith fi ‘Ulūm
al-Qur’ān. Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977.
Al-Suyūṭiy, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Raḥmān. Itmām
al-Dirāyah li Qurrā’ al-Nuqāyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985.
—————— Al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Mesir:
Mustashfā Al-Bāb al-Ḥalabiy, 1951.
Al-Shirbāṣiy, Aḥmad. Sejarah Tafsir Qur’an. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1985.
Al-Qaṭṭān, Mannā’, Mabāhith fi ‘Ulūm
al-Qur’ān. Saudi Arabi: al-Dār al-Su’ūdiyāt li al-Naṣr, tt.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta:
DEPAG RI, 1989.
Anwar, Rosihan. ‘Ulūm al-Qur’ān, Bandung:
Pustaka Setia, 2008.
Maḥmūd, Manī’ ‘Abd al-Ḥalīm. Manāhij
al-Mufassirīn. Kairo: Dār al-Kitāb al-Miṣriy, 1978.
[1] Rosihan
Anwar, ‘Ulūm al-Qur’ān, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 220.
[2] Muḥammad
Ḥusain Al-Dhahābiy, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. (Beirut: Dār al-Kutub
al-Hadīth, tt.), h. 25.
[3] Rosihan
Anwar, ‘Ulūm al-Qur’ān…, h. 220.
[4] Musa’īd
Muslīm ‘Abdullāh, Aṭhar al-Taṭawwur al-Fikr fi al-Tafsīr, (Beirut: Dār
al-Fikr, 1987), h. 96.
[5] Mannā’al-Qaṭṭān,
Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Saudi Arabi: al-Dār al-Su’ūdiyāt li
al-Naṣr, tt), h. 163-165; Ṣubḥiy al-Ṣāliḥ, Mabāhith fi ‘Ulūm
al-Qur’ān. (Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977), h. 291-292; Jalāl al-Dīn ‘Abd
al-Rahmān al-Suyūṭiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Mesir: Mustashfā
al-Bāb al-Halabiy, 1951), h. 176, 180-181.
[6] Al-Dhahābiy,
al-Tafsīr…, j. I, h. 275.
[7] Rosihan
Anwar, ‘Ulūm al-Qur’ān…, h. 220-221.
[8] Mannā’al-Qaṭṭān,
Mabāhith…, h. 302
[9] Rosihan
Anwar, ‘Ulūm al-Qur’ān…, h. 222.
[10] Ibnu
Taimiyah. Pengantar Ilmu Tafsir. (terj), h. 13.
[11] Mannā’
al-Qaṭṭān, Mabāhith…, h. 186; Al-Dhahābiy, Al-Tafsīr…, j.
I, h. 264.
[12] Muḥammad
‘Aliy al-Ṣābūniy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. (Jakarta: Dinamika
Barokah Utama, 1985), h. 157
[13] Ibid.
h. 195.
[14] Ibid.
h. 157-158; Ṣubḥiy al-Ṣāliḥ, Mabāhith…, h. 294
[15] Ṣubḥiy
al-Ṣāliḥ, Mabāhith…, h. 294-295
[16] Manī’
‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd. Manāhij al-Mufassirīn. (Kairo: Dār al-Kitāb
al-Miṣriy, 1978), h. 109; Al-Dhahabiy, al-Tafsīr …, juz I, h. 454-455
[17] Muḥammad
‘Aliy Al-Ṣābūniy, al-Tibyān…, h. 158.
[18] Ahmad
Al-Shirbāṣi,. Sejarah Tafsir Qur’an. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985),
h. 118-119.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar