Selasa, 06 Juni 2017

MAKALAH PARPOL DAN PENYELENGGARAAN PEMILU



BAB I
PENDAHULUAN
Partai Politik adalah perkumpulan (segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan, (terutama di bidang politik). Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka; maupun yang berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) parpol juga berarti perkumpulan yang didirikan untuk mewujudkan ideologi politik tertentu (KBBI, 1990 : 650). Dalam sejarah Indonesia, keberadaan Parpol di Indonesia diawali dengan didirikannya organisasi Boedi Oetomo (BO) pada tahun 1908 di Jakarta oleh dr. Wahidin Soediro Hoesodo dkk. Walaupun pada waktu itu BO belum bertujuan ke politik murni, tetapi keberadaan BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai perintis organisasi modern. Dengan kata lain, BO merupakan cikal bakalnya organisasi massa atau organisasi politik di Indonesia.
Berpacu kepada latar belakang adanya partai politik di Indonesia. Dengan demikian Makalah ini akan menguraikan sedikit sejarah perkembangan partai politik dan penyelenggaraan pemilu di Indonesia









BAB II
PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DAN
PENYELENGGARAAN PEMILU DI INDONESIA

1. Perkembangan Partai Politik dari Masa ke Masa
A. Parpol di Masa Penjajahan Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, partai – partai politik tidak dapat hidup tenteram. Tiap partai yang bersuara menentang atau bergerak tegas, akan segera dilarang, pemimpinnya ditangkap dan dipenjarakan atau diasingkan. Partai politik yang pertama lahir di Indonesia adalah Indische Partij yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung dan dipimpin oleh Tiga Serangkai, yaitu Dr. Setiabudi, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara. Tujuan partai itu adalah Indonesia lepas dari Belanda. Partai itu hanya berusia 8 bulan karena ketiga pemimpin masing – masing dibuang ke Kupang, Banda, dan Bangka, kemudian diasingkan ke Belanda.
B. Parpol di Masa Pendudukan Jepang
Setelah Perang Pasifik berjalan 3 bulan, pada bulan Maret 1942 tentara Jepang dipimpin Jendral Imamura mendarat di Pulau Jawa. Dengan semboyan “kemakmuran bersama” dan “Asia untuk bangsa Asia”, banyaklah di antara pemimpin-pemimpin Indonesia yang terpikat hatinya oleh Jepang, sebab percaya pada propagandanya yang katanya mengadakan Perang Suci.
Kedatangan bangsa Jepang yang sesungguhnya menggantikan kedudukan penjajahan Belanda, disambut dengan gembira disesbabkan oleh Belanda dapat kekalahan dan dihina oleh Jepang. Parpol dilarang, kecuali Masyumi boleh berkembang. Untuk memuaskan bangsa Indonesia, Jepang mengatur strategi yaitu kota-kota di Indonesia yang sejak zaman Belanda diganti dengan nama Belanda, lalu diganti lagi dengan nama Indonesia asli.
Ketika Jepang berkuasa di Nusantara mereka bertindak sewenang-wenang, berbuat sangat kejam dan hidup kemewahan, sedang ribuan rakyat Indonesia yang mati kelaparan dan dipaksa menjadi budak romusha yang menderita, kepercayaan Perang Suci di Asia Timur Raya itu hanya tipis sekali di hati bangsa Indonesia. Beberapa golongan bangsa Indonesia yang tidak tahan lagi melihat kekejaman Jepang lalu memberontak, seperti pemberontakan PETA di Blitar, Tasikmalaya, Cirebon, dan Kalimantan Barat. Setelah peristiwa tersebut terjadi, rakyat Indonesia terutama pemudanya yang sudah mendapat latihan militer menyadari bahwa nasib bangsa Indonesia yang dijajah oleh siapa pun sama berat rasanya. Maka dari itu bulatlah tekad mereka untuk merebut kemerdekaan, sekalipun akan menimbulkan korban lautan darah.
C. Awal Perkembangan Parpol Pada Masa Kemerdekaan
Dalam perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, rakyat tidak hanya menyusun pemerintahan dan militer yang resmi, tetapi juga menyusun laskar atau badan perjuangan bersenjata dan organisasi politik. Pada zaman kemerdekaan ini, partai politik tumbuh di Indonesia ibarat tumbuhnya jamur di musim hujan, dengan berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya maklumat Pemerintah RI 3 November 1945 yang berisi anjuran mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan.
Diantaranya yaitu : 1. Partai Sosialis 2. Partai Komunis Indonesia (PKI) 3. Partai Buruh Indonesia 4. Partai Rakyat Jelata atau Murba 5. Masyumi 6. Serindo – PNI
D. Parpol di Masa UUDS 1950 – 1959
Ketika itu Indonesia menganut demokrasi liberal, karena kabinetnya bersifat parlementer. Dalam demokrasi parlementer, demokrasi liberal atau demokrasi Eropa Barat, kebebasan individu terjamin. Begitu juga lembaga tinggi. Dalam sistem politik menurut UUDS 1950 peranan partai-partai besar sekali. Antara partai politik dan DPR saling terdapat ketergantungan, karena anggota DPR umumnya adalah orang-orang partai. Dalam tahun-tahun pertama sesudah pengakuan kedaulatan, orang berpendapat bahwa partai merupakan tangga ketenaran atau kenaikan kedudukan seseorang. Pemimpin-pemimpin partai akan besar pengaruhnya terhadap pemerintahan baik di pusat maupun di daerah-daerah dan menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan meskipun pendidikannya rendah. Partai politik pada zaman liberal diwarnai suasana penuh ketegangan politik, saling curiga mencurigai antara partai politik yang satu dengan partai politik lainnya. Hal ini mengakibatkan hubungan antar politisi tidak harmonis karena hanya mementingkan kepentingan (Parpol) sendiri.
E. Partai Politik Pada Masa Orde Lama
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan dibentuknya Parpol, sejak saat itu berdirilah puluhan partai. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat yang meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk mendirikan Partai Politik. Partai Politik hasil dari Maklumat Pemerintah 3 November 1945 berjumlah 29 buah, dikelompokkan dalam 4 kelompok partai berdasarkan ketuhanan, kebangsaan, Marxisme, dan kelompok partai lain-lain yang termasuk partai lain-lain adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan Partai Indo Nasional. Partai-partai peserta pemilu yang tidak berhasil meraih kursi disebut sebagai “Partai Gurem”, partai yang tidak jelas power base-nya. Parta-partai Gurem itu semakin lama semakin tidak terdengar lagi suaranya. Sementara itu partai yang berhasil meraih kursi melakukan penggabungan-penggabungan dalam pembentukan fraksi. Sampai dengan tahap ini perkembangan kepartaian mengalami proses seleksi alamiah berdasarkan akseptabilitas masyarakat. Jumlah partai yang semula puluhan banyaknya, terseleksi sehingga hingga menjadi belasan saja. Jumlah yang mengecil itu bertahan sampai dengan berubahnya iklim politik dari alam demokrasi liberal ke alam demokrasi terpimpin. Proses penyederhanaan partai berlangsung terus-menerus. Pada tanggal 5 Juli 1960 Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No.13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai-partai. Pada tanggal 14 April 1961 Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden no. 128 tahun 1961 tentang partai yang lulus seleksi, yaitu PNI, NU, PKI, partai Katolik, Pertindo, Partai Murba, PSII, Arudji, dan IPKI. Dan 2 partai yang menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam Perti. Jadi pada waktu itu, parpol yang boleh bergerak hanya 10 partai saja, karena parpol yang lain dianggap tidak memenuhi definisi tentang partai atau dibubarkan karena tergolong partai Gurem. Tetapi jumlah partai yang tinggal 10 buah itu berkurang satu pada tahun 1964. Presiden Sukarno atas desakan PKI dan antek-anteknya, membubarkan Partai Murba dengan alasan Partai Murba merongrong jalannya revolusi dengan cara membantu kegiatan terlarang seperti BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) dan Menikebu (Manifesto Kebudayaan).
F. Partai Politik Pada Masa Orde Baru
Perkembangan partai politik setelah meletus G. 30 S/PKI, adalah dengan dibubarkannya PKI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Menyusul setelah itu Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian partai politik yang tersisa hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah dua dengan direhabilitasinya Murba dan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia. Golongan Karya yang berdiri pada tahun 1964, semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial politik baru. Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari pengalaman Orde Lama lebih berusaha menekankan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Orde Baru berusaha menciptakan politik dengan format baru. Artinya menggunakan sistem politik yang lebih sederhana dengan memberi peranan ABRI lewat fungsi sosialnya. Kristalisasi Parpol Suara yang terdengar dalam MPR sesudah pemilu 1971 menghendaki jumlah partai diperkecil dan dirombak sehingga partai tidak berorientasi pada ideologi politik, tetapi pada politik pembangunan. Presiden Suharto juga bersikeras melaksanakan perombakan tersebut. Khawatir menghadapi perombakan dari atas, partai-partai yang berhaluan Islam meleburkan diri dalam partai-partai non Islam berfungsi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian semenjak itu di Indonesia hanya terdapat tiga buah organisasi sosial politik, yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Berikut sejarah singkat berdirinya tiga partai besar tersebut.
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Pada tanggal 5 Januari 1973 terbentuk Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan fusi dari NU, Pamusi, PSII, dan Perti. Pada awalnya bernama golongan spiritual, lalu menjadi kelompok persatuan, serta Fraksi Persatuan Pembangunan. Ketika itu partai-partai Islam berusaha menggunakan nama dengan label Islam untuk partai dari fusi, tetapi ada imbauan dari pemerintah agar tidak menggunakannya sehingga yang muncul adalah “Partai Persatuan Pembangunan”. Dengan demikian PPP lahir sebagai hasil fusi dari partai-partai Islam pada awal 1973 yang sesungguhnya adalah partai Islam yang mulai tercabut dari akar-akar sejarahnya.
2. Golongan Karya (Golkar)
Pengorganisasian Golkar secara teratur dimulai sejak tahun 1960 dengan dipelopori ABRI khususnya ABRI-AD, dan secara eksplisit organisasi ini lahir pada tanggal 20 Oktober 1964 dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), dengan tujuan semula untuk mengimbangi dominasi ekspansi kekuasaan politik PKI, serta untuk menjaga keutuhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jadi semula Golkar merupakan organisasi yang dipakai untuk mengimbangi kekuatan ekspansasi politik PKI pada tahun1960-an, yang kemudian terus berkembang hingga saat ini, di mana fungsi Golkar sama seperti partai politik. Perkembangan lain dari Golkar yang tadinya Golkar dan ABRI menyatu, karena Golkar dipimpin ABRI aktif, makin lama sudah makin mandiri, dalam arti sudah tidak lagi bersangkut-paut dengan ABRI aktif. Pada perkembangan lebih lanjut Golkar sebagai kekuatan Orde Baru bertekad melaksanakan, mengamalkan, dan melestarikan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Perkembangan Golkar pada Orde Baru adalah sebagai kekuatan sosial politik yang merupakan aset bangsa yang selalu komit dengan cita-cita pembangunan nasional.
Dalam rel politik orde baru Golkar merupakan kekuatan sosial politik yang terbesar dengan 4 kali menang dalam pemilihan umum (1971, 1977, 1982, 1992) 3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dibentuk pada tanggal 10 Januari 1973. Pembentukan PDI sebagai hasil fusi dari lima partai politik yang berpaham Nasionalisme, Marhaenisme, Sosialisme, Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kelima partai politik yang berfusi menjadi PDI adalah PNI, TPKI, Parkindo, Partai Murba, dan Partai Katolik. Dalam sejarah sebagai organisasi sosial politik, PDI sering berhadapan dengan masalah pertentangan/konflik di kalangan pemimpinnya. Pada hakikatnya potensi konflik hanya salah satu masalah yang dihadapi PDI. Sejumlah masalah yang lain juga dihadapi, seperti masalah identitas partai (khususnya sejak Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal), masalah kemandirian, demokratis di tubuh partai, dan masalah rekruitasi. Dan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kini sistem kepartaian negara kita telah dalam situasi mantap, di mana ketiga kekuatan sosial politik yang ada, yaitu PPP, Golkar, dan PDI telah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
G. Parpol di Masa Reformasi
Perubahan yang menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah, keberadaan partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan massa politik, dan kian mengkristalnya kompetisi memperebutkan sumber daya politik.
Hakikat reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan – kekuatan masyarakat yang disalurkan melalui partai – partai politik sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang memungkinkan lahirnya partai – partai baru dalam percaturan kepartaian di Indonesia. Namun dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh suara yang signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Harapannya adalah dengan kehadiran banyak partai itu jangan sampai justru menambah ruwetnya sistem pemerintahan NKRI. Ruwetnya pemerintahan ini mengakibatkan bangsa Indonesia akan banyak mengalami kendala untuk segera keluar dari krisis multidevresional yang sudah berjalan.
Pada pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar. Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetepi dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 23. Untuk menindak lanjuti pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 tersebut dibuatlah UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung. Yang dalam penjelasan antara lain diuraikan bahwa salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya dilaksanakan menurut Undang – Undang sebagai perwujudan negara hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa “ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik gabungan – gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksaaan pemilihan umum “.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara LUBER serta JURDIL ( Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil ) yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri.



2. Sistem dan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia
A. Dasar Hukum Pelaksanaan Pemilu di Indonesia
Berbeda dengan Konstitusi RIS dan UUDS 1950, UUD 1945 dalam pasal-pasalnya tidak secara jelas mengatur tentang pemilihan umum. Ketentuan pemilihan umum itu hanya dikembangakan dari:
1. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.” Syarat kedaulatan rakyat adalah Pemilihan Umum;
2. Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipih kembali;”
3. Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 yang menyatakan, “…sekali dalam 5 tahun Majelis memerhatikan segala halyang terjadi…” Dari butir 2 dan 3 dapat dapat dikembangakan bahwa pemilu di Indonesia dilaksanakan sekali dalam lima tahun.
4. Pasal 19 UUD 1945, susunan DPR ditetapkan dengan undang-undang. Undang – undang yang dimaksud berarti mengatur pemilihan umum.
Dari ke empat pasal tersebut diatas itu merupakan dasar awal undang-undang yang mengatur tentang pemilihan umum di Indonesia namun undang-undang tersebut masih bersifat abstrak artinya belum ada ketentuan kongkrit dalam melaksanakan pemilihan umum dan dimungkinkan masih bersifat multi tafsir dalam memahami undang-undang tersebut.
Tetapi keinginan untuk melaksanakan pemilihan umum oleh pembentukan UUD 1945 tercermin dalam Aturan Tanbahan yang berbunyi: “ Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan oleh undang-undang dasar ini.” Di samping itu menurut Sri Soemantri M., landasan berpijak lainnya mengenai pemilu yang juga mendasar adalah demokrasi Pansacila yang secara tersirat dan tersurat juga ditemukan dalam pembukan UUD 1945, paragraph ke empat. Sila ke empat menyatakan, “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.”
Akan tetapi, karena keadaan ketatanegaraan yang belum memungkinkan ketika itu, selama berlakunya UUD 194 yang pertama ini pemilu belum dapat dilaksanakan . baru setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1950, disusun sebuah Konstitusi (UUDS 1950 ) yang mengatur penyelenggaraan pemilihan yang dalam pasal 53 menyatakan, “Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa, kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan kebersamaan serta dalam pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.” Atas dasar pasal ini pemerintah dan DPR membentuk UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR, dan pada tanggal 29 September 1955 diselenggarakan pemilu yang pertama.
Setelah lahirnya UU No. 15 Tahun 1969 dan UU No. 16 Tahun 1969 tersebut, pemilu berikutnya menggunkan pijakan yuridis, di antaranya :
  1. UU No. 4 Tahun 1975 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 1969;
  2. UU No. 5 Tahun 1975 tentang perubaan UU No. 16 Tahun 1969;
  3. UU No. 2 Tahun 1980 tentang Perubahan atas UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan / Perwakilan Rakyat sebagaiman telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1975;
  4. UU No. 1 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1975 dan UU No. 2 Tahun 1980
  5. UU No. 2 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD sebgai ana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 1975;
  6. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu;
  7. UU No. 12 Tahun 2003 tenang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Setelah diadakannya Perubahan UUD 1945 oleh MPR pada Sidang Tahunan 2001, masalah pemilu mulai diatur secara tegas dalam UUD 1945 Bab VIIB tetang Pemilu. Pasal 22E berbunyi sebagai berikut.
1) Pemilihan umum diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan.
5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemiihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Adanya ketentuan mengenai pemilihan umum dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk memberikan landasan hokum yang lebih kuat bagi pemilu sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dengan adanya ketentuan itu dalam UUD 1945, maka lebih menjamin waktu penyelenggaraan pemilu secara teratur regular (per lima tahun) maupun menjamin proses dan mekanisme serta kualitas penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil).
B. Sistem Pemilihan Umum
Pada umumnya, cara yang biasa diatur untuk mengisi keanggotaan lembaga perwakilan melalui pengangkatan (penunjukan) atau pengangkatan biasa disebut sistem pemilihan organis dan pemilihan umum yang biasa disebut sistem pemilihan mekanis. Akan tetapi, pelaksanaan kedua sistem tersebut tidak sama di semua Negara karena biasanya disesuikan dengan masing-masing Negara.
Menurut Wolhoff, dalam sistem organisme, rakyat dipandang sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka warna persekutuan hidp seperti genealogi (rumah tangga), territorial (desa, kota, daerah), fungsi special (cabang industri), lapisan-lapisan, dan sebagainya. Badan perwakilan menurut sistem organisme ini bersifat badan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup yang biasa disebut Dewan Korporatif. Sistem pemiliha mekanis biasanya dilaksanakan dengan dua sistem pemilihan umum yaitu:
1) Sistem Proporsional
Sistem pemilihan proporsional adalah suatu sistem pemilihan di mana kursi yang tersedia di parlemen dibagikan kepada partai-partai politik (organisasi pemilihan umum) sesuai dengan imbangan perolehan suara yang didapat partai politik/organisasi peserta pemilihan yang bersangkutan. Oleh karena itu sistem pemilihan ini disebut juga dengan “sistem berimbang”.
2) Sistem Distrik
Sistem pemilian distrik adalah suatu sistem pemilihan yang wiayah negaranya dibagi atas distrik-distrik pemilihan, yang jumlahnya dsama dengan jumlah kursi yang tersedia di parlemen. Setiap distrik pemilihan hanya memilih satu orang wakil dari calon-calon yang diajukan oleh masing-masing partai politik/organisasi perserta pemilihan umum. Oleh karena itu, sistem ini juga disebut “single-member constitueny”.
Untuk konteks Indonesia, banyak sekali orang yang mempercampuradukan antara electoral laws dengan electoral processes. Dedalam ilmu politik yang disebut dengan electoral laws menurut Douglas Rae, adalah “those which govern the processes by which which electoral preference are articulated as vote and by which these votes are translated into distribution of governmental authority (typical parliamentary seats) among the competing political parties”. Artinya, sistem pemilihan dan aturan yang menata bagaimana pemilu dijalankan serta distribusi hasil pemilihan umum. Serta electoral process adalah mekanisme yang dijaankan di dalam pemilihan umum, seperti mekanisme penentuan calon, cara berkampanya, dan lain lain.




BAB III
KESIMPULAN
Partai Politik merupakan perkumpulan (segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan, (terutama di bidang politik). Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka; maupun yang berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya.
Perkembangan partai politik di Indonesia merupakan hal yang sudah lama dan menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia itu sendiri yaitu sejak adanya penjajah belanda datang ke Inodesia sampai saat sekarang pasca refomasi yang mana dinamika pergolakannya semakin tinggi.
Dasar dari penyelenggaraan pemilu di Indonesia terdapat pada Undang Undang dasar 1945 yaitu : Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.” Syarat kedaulatan rakyat adalah Pemilihan Umum”. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 bagian dari dasar- dasar hokum yang lain dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, dan konstutisi ini berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan relevansi terhadap kondisi sekarang.
Dalam sistem pemilihan umum ada yang disebut pemilihan organis dan pemilihan umum yang biasa disebut sistem pemilihan mekanis. Dalam pemilihan mekanis biasanya dilaksanakan dengan dua sistem yaitu : Sistem Proporsional dan Sistem Distrik.







DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakara: PT Gramedia Pustaka Utama, Edisi revisi Cetakan pertama.
Huda, Ni’matul, 2009. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...