BAB I
PENDAHULUAN
Partai Politik adalah perkumpulan
(segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan, (terutama di bidang
politik). Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang
dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka; maupun yang
berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan
berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) parpol juga berarti perkumpulan yang didirikan untuk
mewujudkan ideologi politik tertentu (KBBI, 1990 : 650). Dalam sejarah
Indonesia, keberadaan Parpol di Indonesia diawali dengan didirikannya
organisasi Boedi Oetomo (BO) pada tahun 1908 di Jakarta oleh dr. Wahidin
Soediro Hoesodo dkk. Walaupun pada waktu itu BO belum bertujuan ke politik
murni, tetapi keberadaan BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah
Indonesia sebagai perintis organisasi modern. Dengan kata lain, BO merupakan
cikal bakalnya organisasi massa atau organisasi politik di Indonesia.
Berpacu kepada latar belakang
adanya partai politik di Indonesia. Dengan demikian Makalah ini akan
menguraikan sedikit sejarah perkembangan partai politik dan penyelenggaraan
pemilu di Indonesia
BAB II
PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DAN
PENYELENGGARAAN PEMILU DI INDONESIA
1. Perkembangan Partai Politik dari Masa ke Masa
A. Parpol di Masa Penjajahan Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, partai – partai politik tidak dapat hidup
tenteram. Tiap partai yang bersuara menentang atau bergerak tegas, akan segera
dilarang, pemimpinnya ditangkap dan dipenjarakan atau diasingkan. Partai
politik yang pertama lahir di Indonesia adalah Indische Partij yang didirikan
pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung dan dipimpin oleh Tiga Serangkai,
yaitu Dr. Setiabudi, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara. Tujuan
partai itu adalah Indonesia lepas dari Belanda. Partai itu hanya berusia 8
bulan karena ketiga pemimpin masing – masing dibuang ke Kupang, Banda, dan
Bangka, kemudian diasingkan ke Belanda.
B.
Parpol di Masa Pendudukan Jepang
Setelah Perang Pasifik berjalan 3
bulan, pada bulan Maret 1942 tentara Jepang dipimpin Jendral Imamura mendarat
di Pulau Jawa. Dengan semboyan “kemakmuran bersama” dan “Asia untuk bangsa
Asia”, banyaklah di antara pemimpin-pemimpin Indonesia yang terpikat hatinya
oleh Jepang, sebab percaya pada propagandanya yang katanya mengadakan Perang
Suci.
Kedatangan bangsa Jepang yang
sesungguhnya menggantikan kedudukan penjajahan Belanda, disambut dengan gembira
disesbabkan oleh Belanda dapat kekalahan dan dihina oleh Jepang. Parpol
dilarang, kecuali Masyumi boleh berkembang. Untuk memuaskan bangsa Indonesia,
Jepang mengatur strategi yaitu kota-kota di Indonesia yang sejak zaman Belanda
diganti dengan nama Belanda, lalu diganti lagi dengan nama Indonesia asli.
Ketika Jepang berkuasa di
Nusantara mereka bertindak sewenang-wenang, berbuat sangat kejam dan hidup
kemewahan, sedang ribuan rakyat Indonesia yang mati kelaparan dan dipaksa
menjadi budak romusha yang menderita, kepercayaan Perang Suci di Asia Timur
Raya itu hanya tipis sekali di hati bangsa Indonesia. Beberapa golongan bangsa
Indonesia yang tidak tahan lagi melihat kekejaman Jepang lalu memberontak,
seperti pemberontakan PETA di Blitar, Tasikmalaya, Cirebon, dan Kalimantan
Barat. Setelah peristiwa tersebut terjadi, rakyat Indonesia terutama pemudanya
yang sudah mendapat latihan militer menyadari bahwa nasib bangsa Indonesia yang
dijajah oleh siapa pun sama berat rasanya. Maka dari itu bulatlah tekad mereka
untuk merebut kemerdekaan, sekalipun akan menimbulkan korban lautan darah.
C.
Awal Perkembangan Parpol Pada Masa Kemerdekaan
Dalam perjuangan mempertahankan
dan mengisi kemerdekaan, rakyat tidak hanya menyusun pemerintahan dan militer
yang resmi, tetapi juga menyusun laskar atau badan perjuangan bersenjata dan organisasi
politik. Pada zaman kemerdekaan ini, partai politik tumbuh di Indonesia ibarat
tumbuhnya jamur di musim hujan, dengan berbagai haluan ideologi politik yang
berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya maklumat Pemerintah RI 3
November 1945 yang berisi anjuran mendirikan partai politik dalam rangka
memperkuat perjuangan kemerdekaan.
Diantaranya yaitu : 1. Partai
Sosialis 2. Partai Komunis Indonesia (PKI) 3. Partai Buruh Indonesia 4. Partai
Rakyat Jelata atau Murba 5. Masyumi 6. Serindo – PNI
D.
Parpol di Masa UUDS 1950 – 1959
Ketika itu Indonesia menganut
demokrasi liberal, karena kabinetnya bersifat parlementer. Dalam demokrasi
parlementer, demokrasi liberal atau demokrasi Eropa Barat, kebebasan individu
terjamin. Begitu juga lembaga tinggi. Dalam sistem politik menurut UUDS 1950
peranan partai-partai besar sekali. Antara partai politik dan DPR saling
terdapat ketergantungan, karena anggota DPR umumnya adalah orang-orang partai.
Dalam tahun-tahun pertama sesudah pengakuan kedaulatan, orang berpendapat bahwa
partai merupakan tangga ketenaran atau kenaikan kedudukan seseorang.
Pemimpin-pemimpin partai akan besar pengaruhnya terhadap pemerintahan baik di
pusat maupun di daerah-daerah dan menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan
meskipun pendidikannya rendah. Partai politik pada zaman liberal diwarnai
suasana penuh ketegangan politik, saling curiga mencurigai antara partai
politik yang satu dengan partai politik lainnya. Hal ini mengakibatkan hubungan
antar politisi tidak harmonis karena hanya mementingkan kepentingan (Parpol)
sendiri.
E.
Partai Politik Pada Masa Orde Lama
Dengan dikeluarkannya maklumat
pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan dibentuknya Parpol,
sejak saat itu berdirilah puluhan partai. Maklumat ini ditandatangani oleh
Wakil Presiden Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat yang meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang
seluas-luasnya untuk mendirikan Partai Politik. Partai Politik hasil dari
Maklumat Pemerintah 3 November 1945 berjumlah 29 buah, dikelompokkan dalam 4
kelompok partai berdasarkan ketuhanan, kebangsaan, Marxisme, dan kelompok
partai lain-lain yang termasuk partai lain-lain adalah Partai Demokrat Tionghoa
Indonesia dan Partai Indo Nasional. Partai-partai peserta pemilu yang tidak
berhasil meraih kursi disebut sebagai “Partai Gurem”, partai yang tidak jelas
power base-nya. Parta-partai Gurem itu semakin lama semakin tidak terdengar
lagi suaranya. Sementara itu partai yang berhasil meraih kursi melakukan
penggabungan-penggabungan dalam pembentukan fraksi. Sampai dengan tahap ini
perkembangan kepartaian mengalami proses seleksi alamiah berdasarkan
akseptabilitas masyarakat. Jumlah partai yang semula puluhan banyaknya,
terseleksi sehingga hingga menjadi belasan saja. Jumlah yang mengecil itu
bertahan sampai dengan berubahnya iklim politik dari alam demokrasi liberal ke
alam demokrasi terpimpin. Proses penyederhanaan partai berlangsung
terus-menerus. Pada tanggal 5 Juli 1960 Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan
Presiden No.13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran
partai-partai. Pada tanggal 14 April 1961 Presiden Sukarno mengeluarkan
Keputusan Presiden no. 128 tahun 1961 tentang partai yang lulus seleksi, yaitu
PNI, NU, PKI, partai Katolik, Pertindo, Partai Murba, PSII, Arudji, dan IPKI.
Dan 2 partai yang menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam Perti. Jadi pada
waktu itu, parpol yang boleh bergerak hanya 10 partai saja, karena parpol yang
lain dianggap tidak memenuhi definisi tentang partai atau dibubarkan karena
tergolong partai Gurem. Tetapi jumlah partai yang tinggal 10 buah itu berkurang
satu pada tahun 1964. Presiden Sukarno atas desakan PKI dan antek-anteknya,
membubarkan Partai Murba dengan alasan Partai Murba merongrong jalannya
revolusi dengan cara membantu kegiatan terlarang seperti BPS (Badan Pendukung
Sukarnoisme) dan Menikebu (Manifesto Kebudayaan).
F.
Partai Politik Pada Masa Orde Baru
Perkembangan partai politik
setelah meletus G. 30 S/PKI, adalah dengan dibubarkannya PKI dan dinyatakan
sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Menyusul setelah itu Pertindo juga
menyatakan bubar. Dengan demikian partai politik yang tersisa hanya 7 buah.
Tetapi jumlah itu bertambah dua dengan direhabilitasinya Murba dan terbentuknya
Partai Muslimin Indonesia. Golongan Karya yang berdiri pada tahun 1964, semakin
jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial politik baru. Dalam masa Orde Baru
dengan belajar dari pengalaman Orde Lama lebih berusaha menekankan pelaksanaan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Orde Baru berusaha menciptakan politik
dengan format baru. Artinya menggunakan sistem politik yang lebih sederhana
dengan memberi peranan ABRI lewat fungsi sosialnya. Kristalisasi Parpol Suara
yang terdengar dalam MPR sesudah pemilu 1971 menghendaki jumlah partai
diperkecil dan dirombak sehingga partai tidak berorientasi pada ideologi
politik, tetapi pada politik pembangunan. Presiden Suharto juga bersikeras
melaksanakan perombakan tersebut. Khawatir menghadapi perombakan dari atas,
partai-partai yang berhaluan Islam meleburkan diri dalam partai-partai non
Islam berfungsi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian
semenjak itu di Indonesia hanya terdapat tiga buah organisasi sosial politik,
yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Berikut sejarah singkat berdirinya tiga partai
besar tersebut.
1.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Pada tanggal 5 Januari 1973
terbentuk Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan fusi dari NU, Pamusi,
PSII, dan Perti. Pada awalnya bernama golongan spiritual, lalu menjadi kelompok
persatuan, serta Fraksi Persatuan Pembangunan. Ketika itu partai-partai Islam
berusaha menggunakan nama dengan label Islam untuk partai dari fusi, tetapi ada
imbauan dari pemerintah agar tidak menggunakannya sehingga yang muncul adalah
“Partai Persatuan Pembangunan”. Dengan demikian PPP lahir sebagai hasil fusi
dari partai-partai Islam pada awal 1973 yang sesungguhnya adalah partai Islam
yang mulai tercabut dari akar-akar sejarahnya.
2.
Golongan Karya (Golkar)
Pengorganisasian Golkar secara
teratur dimulai sejak tahun 1960 dengan dipelopori ABRI khususnya ABRI-AD, dan
secara eksplisit organisasi ini lahir pada tanggal 20 Oktober 1964 dengan nama
Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), dengan tujuan semula untuk
mengimbangi dominasi ekspansi kekuasaan politik PKI, serta untuk menjaga
keutuhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jadi semula Golkar merupakan organisasi
yang dipakai untuk mengimbangi kekuatan ekspansasi politik PKI pada tahun1960-an,
yang kemudian terus berkembang hingga saat ini, di mana fungsi Golkar sama
seperti partai politik. Perkembangan lain dari Golkar yang tadinya Golkar dan
ABRI menyatu, karena Golkar dipimpin ABRI aktif, makin lama sudah makin
mandiri, dalam arti sudah tidak lagi bersangkut-paut dengan ABRI aktif. Pada
perkembangan lebih lanjut Golkar sebagai kekuatan Orde Baru bertekad
melaksanakan, mengamalkan, dan melestarikan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen, dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang menuju
tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Perkembangan Golkar pada Orde Baru adalah sebagai kekuatan sosial politik yang
merupakan aset bangsa yang selalu komit dengan cita-cita pembangunan nasional.
Dalam rel politik orde baru
Golkar merupakan kekuatan sosial politik yang terbesar dengan 4 kali menang
dalam pemilihan umum (1971, 1977, 1982, 1992) 3. Partai Demokrasi Indonesia
(PDI)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
dibentuk pada tanggal 10 Januari 1973. Pembentukan PDI sebagai hasil fusi dari
lima partai politik yang berpaham Nasionalisme, Marhaenisme, Sosialisme,
Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kelima partai politik yang berfusi
menjadi PDI adalah PNI, TPKI, Parkindo, Partai Murba, dan Partai Katolik. Dalam
sejarah sebagai organisasi sosial politik, PDI sering berhadapan dengan masalah
pertentangan/konflik di kalangan pemimpinnya. Pada hakikatnya potensi konflik
hanya salah satu masalah yang dihadapi PDI. Sejumlah masalah yang lain juga dihadapi,
seperti masalah identitas partai (khususnya sejak Pancasila ditetapkan sebagai
asas tunggal), masalah kemandirian, demokratis di tubuh partai, dan masalah
rekruitasi. Dan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kini sistem kepartaian
negara kita telah dalam situasi mantap, di mana ketiga kekuatan sosial politik
yang ada, yaitu PPP, Golkar, dan PDI telah menjadikan Pancasila sebagai
satu-satunya asas.
G. Parpol di Masa Reformasi
Perubahan yang menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam
pemerintah, keberadaan partai politik sangat erat dengan kiprah para elit
politik, mengerahkan massa politik, dan kian mengkristalnya kompetisi
memperebutkan sumber daya politik.
Hakikat reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh
kekuatan – kekuatan masyarakat yang disalurkan melalui partai – partai politik
sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2
Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang
memungkinkan lahirnya partai – partai baru dalam percaturan kepartaian di
Indonesia. Namun dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh
suara yang signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Harapannya adalah dengan kehadiran banyak partai itu jangan sampai justru
menambah ruwetnya sistem pemerintahan NKRI. Ruwetnya pemerintahan ini
mengakibatkan bangsa Indonesia akan banyak mengalami kendala untuk segera keluar
dari krisis multidevresional yang sudah berjalan.
Pada pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar. Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetepi dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 23. Untuk menindak lanjuti pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 tersebut dibuatlah UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung. Yang dalam penjelasan antara lain diuraikan bahwa salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya dilaksanakan menurut Undang – Undang sebagai perwujudan negara hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa “ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik gabungan – gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksaaan pemilihan umum “.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara LUBER serta JURDIL ( Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil ) yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri.
Pada pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar. Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetepi dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 23. Untuk menindak lanjuti pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 tersebut dibuatlah UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung. Yang dalam penjelasan antara lain diuraikan bahwa salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya dilaksanakan menurut Undang – Undang sebagai perwujudan negara hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa “ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik gabungan – gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksaaan pemilihan umum “.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara LUBER serta JURDIL ( Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil ) yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri.
2. Sistem dan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia
A. Dasar Hukum Pelaksanaan Pemilu di Indonesia
Berbeda dengan Konstitusi RIS dan UUDS 1950, UUD 1945 dalam pasal-pasalnya
tidak secara jelas mengatur tentang pemilihan umum. Ketentuan pemilihan umum
itu hanya dikembangakan dari:
1. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
yang menyatakan “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR.” Syarat kedaulatan rakyat adalah Pemilihan Umum;
2. Pasal 7 UUD 1945 yang
menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama 5 tahun dan
sesudahnya dapat dipih kembali;”
3. Penjelasan Pasal 3 UUD 1945
yang menyatakan, “…sekali dalam 5 tahun Majelis memerhatikan segala halyang
terjadi…” Dari butir 2 dan 3 dapat dapat dikembangakan bahwa pemilu di
Indonesia dilaksanakan sekali dalam lima tahun.
4. Pasal 19 UUD 1945, susunan
DPR ditetapkan dengan undang-undang. Undang – undang yang dimaksud berarti mengatur
pemilihan umum.
Dari ke empat pasal tersebut diatas itu merupakan dasar awal undang-undang
yang mengatur tentang pemilihan umum di Indonesia namun undang-undang tersebut
masih bersifat abstrak artinya belum ada ketentuan kongkrit dalam melaksanakan
pemilihan umum dan dimungkinkan masih bersifat multi tafsir dalam memahami
undang-undang tersebut.
Tetapi keinginan untuk melaksanakan pemilihan umum oleh pembentukan UUD
1945 tercermin dalam Aturan Tanbahan yang berbunyi: “ Dalam enam bulan sesudah berakhirnya
peperangan Asia Timur, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala
hal yang ditetapkan oleh undang-undang dasar ini.” Di samping itu menurut Sri
Soemantri M., landasan berpijak lainnya mengenai pemilu yang juga mendasar
adalah demokrasi Pansacila yang secara tersirat dan tersurat juga ditemukan
dalam pembukan UUD 1945, paragraph ke empat. Sila ke empat menyatakan, “
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan.”
Akan tetapi, karena keadaan ketatanegaraan yang belum
memungkinkan ketika itu, selama berlakunya UUD 194 yang pertama ini pemilu
belum dapat dilaksanakan . baru setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1950, disusun sebuah Konstitusi (UUDS 1950 ) yang mengatur penyelenggaraan
pemilihan yang dalam pasal 53 menyatakan, “Kemauan rakyat adalah dasar
kekuasaan penguasa, kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur
dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan kebersamaan serta
dalam pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin
kebebasan mengeluarkan suara.” Atas dasar pasal ini pemerintah dan DPR membentuk UU No. 7 Tahun 1953
tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR, dan pada tanggal 29
September 1955 diselenggarakan pemilu yang pertama.
Setelah lahirnya UU No. 15 Tahun 1969 dan UU No. 16 Tahun 1969 tersebut,
pemilu berikutnya menggunkan pijakan yuridis, di antaranya :
- UU No. 4 Tahun 1975 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 1969;
- UU No. 5 Tahun 1975 tentang perubaan UU No. 16 Tahun 1969;
- UU No. 2 Tahun 1980 tentang Perubahan atas UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan / Perwakilan Rakyat sebagaiman telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1975;
- UU No. 1 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1975 dan UU No. 2 Tahun 1980
- UU No. 2 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD sebgai ana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 1975;
- UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu;
- UU No. 12 Tahun 2003 tenang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Setelah diadakannya Perubahan UUD 1945 oleh MPR pada Sidang Tahunan 2001,
masalah pemilu mulai diatur secara tegas dalam UUD 1945 Bab VIIB tetang Pemilu.
Pasal 22E berbunyi sebagai berikut.
1) Pemilihan umum
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap
lima tahun sekali.
2) Pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3) Peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah partai politik.
4) Peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan.
5) Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemiihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri.
6) Ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Adanya ketentuan mengenai pemilihan umum dalam UUD
1945 dimaksudkan untuk memberikan landasan hokum yang lebih kuat bagi pemilu
sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dengan adanya ketentuan itu
dalam UUD 1945, maka lebih menjamin waktu penyelenggaraan pemilu secara teratur
regular (per lima tahun) maupun menjamin proses dan mekanisme serta kualitas
penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), serta
jujur dan adil (jurdil).
B. Sistem Pemilihan
Umum
Pada umumnya, cara yang biasa diatur untuk mengisi
keanggotaan lembaga perwakilan melalui pengangkatan (penunjukan) atau
pengangkatan biasa disebut sistem pemilihan organis dan pemilihan umum yang
biasa disebut sistem pemilihan mekanis. Akan tetapi, pelaksanaan kedua sistem tersebut tidak sama di semua Negara
karena biasanya disesuikan dengan masing-masing Negara.
Menurut Wolhoff, dalam sistem organisme, rakyat
dipandang sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama-sama dalam
beraneka warna persekutuan hidp seperti genealogi (rumah tangga), territorial
(desa, kota, daerah), fungsi special (cabang industri), lapisan-lapisan, dan
sebagainya. Badan perwakilan menurut sistem organisme ini bersifat badan
perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup yang biasa disebut
Dewan Korporatif. Sistem pemiliha mekanis biasanya dilaksanakan dengan dua
sistem pemilihan umum yaitu:
1) Sistem Proporsional
Sistem pemilihan proporsional adalah suatu sistem pemilihan di mana kursi
yang tersedia di parlemen dibagikan kepada partai-partai politik (organisasi
pemilihan umum) sesuai dengan imbangan perolehan suara yang didapat partai
politik/organisasi peserta pemilihan yang bersangkutan. Oleh karena itu sistem
pemilihan ini disebut juga dengan “sistem berimbang”.
2) Sistem Distrik
Sistem pemilian distrik adalah suatu sistem pemilihan yang wiayah negaranya
dibagi atas distrik-distrik pemilihan, yang jumlahnya dsama dengan jumlah kursi
yang tersedia di parlemen. Setiap distrik pemilihan hanya memilih satu orang wakil
dari calon-calon yang diajukan oleh masing-masing partai politik/organisasi
perserta pemilihan umum. Oleh karena itu, sistem ini juga disebut “single-member
constitueny”.
Untuk konteks Indonesia, banyak sekali orang yang mempercampuradukan antara
electoral laws dengan electoral processes. Dedalam ilmu politik
yang disebut dengan electoral laws menurut Douglas Rae, adalah “those which
govern the processes by which which electoral preference are articulated as
vote and by which these votes are translated into distribution of governmental
authority (typical parliamentary seats) among the competing political parties”.
Artinya, sistem pemilihan dan aturan yang menata bagaimana pemilu dijalankan
serta distribusi hasil pemilihan umum. Serta electoral process adalah mekanisme
yang dijaankan di dalam pemilihan umum, seperti mekanisme penentuan calon, cara
berkampanya, dan lain lain.
BAB III
KESIMPULAN
Partai Politik merupakan
perkumpulan (segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan, (terutama
di bidang politik). Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian
yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka; maupun yang
berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan
berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya.
Perkembangan partai politik di Indonesia merupakan hal
yang sudah lama dan menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia itu sendiri
yaitu sejak adanya penjajah belanda datang ke Inodesia sampai saat sekarang
pasca refomasi yang mana dinamika pergolakannya semakin tinggi.
Dasar dari penyelenggaraan pemilu
di Indonesia terdapat pada Undang Undang dasar 1945 yaitu : Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.”
Syarat kedaulatan rakyat adalah Pemilihan Umum”. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 bagian
dari dasar- dasar hokum yang lain dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia,
dan konstutisi ini berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan relevansi
terhadap kondisi sekarang.
Dalam sistem pemilihan umum ada
yang disebut pemilihan organis dan pemilihan umum yang biasa disebut sistem pemilihan
mekanis. Dalam pemilihan mekanis biasanya dilaksanakan dengan dua sistem yaitu
: Sistem Proporsional dan Sistem Distrik.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakara: PT
Gramedia Pustaka Utama, Edisi revisi Cetakan pertama.
Huda, Ni’matul, 2009. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar