BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Antropologi Agama adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari tentang
manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya, atau disebut juga
Antropologi Religi. Meskipun ada yang berpendapat ada perbadaan pengerian
antara Antropologi Agama dengan Antropologi Religi, namun keduanya mengandung
arti adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan yang ghaib. Keduanya juga
menyangkut adanya buah pikiran sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya
dengan kekuasaan yang tidak nyata.
Buah pikiran dan perilaku manusia tentang keagamaan dan kepercayaannya itu
pada kenyataannya dapat dilihat dalam wujud tingkah laku dalam acara dan
upacara-upacara tertentu menurut tata cara yang ditentukan dalam agama dan
kepercayaan masing-masing. Dengan demikian Agama tidaklah mendekati agama itu
sebagaimana dalam teologi (Ilmu Ketuhanan), yaitu ilmu yang menyelidiki Wahyu
Tuhan.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses
dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena
realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah
dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah
terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat
diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas
kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan, Islam yang menjadi
gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat
juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang
belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang
disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah kerangka
"desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam
arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal
dalam peraturan dunia global. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang
terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan
makna yang lain.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi
kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal.
Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama
secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek
social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat
diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama
diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan
kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal
ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris
adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama
tidak akan menjadi sempurna.
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah
sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola
makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford
Geertz mengartikan ethos sebagai "tone, karakter dan kualitas dari
kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka."
Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang
kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama
memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar
pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus
bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan
(worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih
melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas
nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih
empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang
variatif tentang hubungan agama dan budaya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Konsep Islam Tentang Kebudayaan
2.
Saling hubungan islam dengan kebudayaan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Islam
Tentang Kebudayaan
Dari segi etimologis, kata
kebudayaan adalah kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa
Sansekerta buddhi yang berarti intelek (pengertian). Kata buddhi berubah
menjadi budaya yang berarti “yang diketahui atau akal pikiran”. Budaya berarti
pula pikiran, akal budi, kebudayaan, yang
mengenai kebudayaan yang sudah berkembang, beradab, maju
(Poerwadarminta,1982:157).
Dari
pengertian budaya di atas, dapat diutarakan dengan bahasa lain bahwa kebudayaan
merupakan gambaran dari taraf berpikir manusia. Tinggi-rendahnya taraf berpikir
manusia akan terlihat pada hasil budayanya. Kebudayaan merupakan cetusan isi
hati suatu bangsa, golongan, atau individu. Tinggi-rendahnya, kasar-halusnya
pribadi manusia, golongan, atau ras, akan terlihat pada kebudayaan yang
dimiliki sebagai hasil ciptaannya. Maka dapat juga dikatakan bahwa kebudayaan
merupakan orientasi dan pola pikir manusia, golongan, atau bangsa. Kebudayaan
merupakan suatu konsep yang sangat luas ruang lingkupnya. Hal ini tidak
terlepas dari latar belakang timbulnya suatu kebudayaan itu sendiri. Dawson
(1993:57) memberikan empat faktor yang menjadi alasan pokok yang menentukan
corak suatu kebudayaan, yaitu faktor geografis, keturunan atau bangsa, kejiwaan,
dan ekonomi.
Dalam Islam
, memang tidak ada suatu rumusan yang kongkret mengenai suatu kebudayaan.
Berkaitan dengan masalah kebudayaan. Islam memberi kerangka asas atau prinsip
yang bersifat hakiki atau esensial. Dengan kata lain, Islam hanya memberikan
konsep dasar yang dalam perwujudannya tergantung pada pemahaman
pendukungnya.Dalam keadaan atau waktu yang berbeda, esensinya diwujudkan oleh
aksidensi yang sangat ditentukan oleh aspek ekonomi, politik, sosial budaya,
teknik, seni, dan mungkin juga oleh filsafat.
Ciri-ciri yang membedakan antara
kebudayaan Islam dengan budaya lain, diungkapkan oleh Siba’i bahwa ciri-ciri
kebudayaan Islam adalah yang ditegakkan atas dasar aqidah dan tauhid,
berdimensi kemanusiaan murni, diletakkan pada pilar-pilar akhlak mulia, dijiwai
oleh semangat ilmu (Zainal, 1993:60).
Dari paparan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa kebudyaan Islam dapat dipahami sebagai hasil olah akal, budi,
cipta, karya, karsa, dan rasa manusia yang bernafaskan wahyu ilahi dan sunnah
Rasul. Yakni suatu kebudayaan akhlak
karimah yang muncul sebagai implementasi Al-Qur’an dan Al-Hadist dimana
keduanya merupakan sumber ajaran agama Islam, sumber norma dan sumber hukum
Islam yang pertama dan utama. Dengan demikian kebudayaan Islam dapat dipilah menjadi
tiga unsur prinsipil, yaitu kebudayaan Islam sebagai hasil cipta karya orang
Islam, kebudayaan tersebut didasarkan pada ajaran Islam, dan merupakan
pencerminan dari ajaran Islam.
Ketiga unsur
tersebut merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisah satu dengan yang
lainnya. Dengan demikian, sebagus apapun kebudayaannya, jika itu bukan
merupakan produk kaum Mslimin tidak bisa dikatakan dan diklaim sebagai budaya
Islam. Demikian pula sebaliknya, meskipun budaya tersebut merupakan produk
orang-orang Islam, tetapi substansinya sama sekali tidak mencerminkan
norma-norma ajaran Islam. Dengan kata lain, Al-Faruqi (2001) menegaskan bahwa
sesungguhnya kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan Al-Qur’an“, karena semuanya
berasal dari rangkaian wahyu Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW pada abad
ketujuh. Tanpa wahyu kebudayaan Islami Islam, filsafat Islam, hukum Islam,
masyarakat Islam maupun organisasi politik atau ekonomi Islam.
Islam, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada
kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk
menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam
waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan
terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam
kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang
berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta
mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip
semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara
Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat
perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32,
disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan
persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia mempunyai tipikal yang spesifik
bila dibandingkan dengan ajaran Islam di berbagai negara Muslim lainnya.
Menurut banyak studi, Islam di Indonesia adalah Islam yang akomodaatif dan
cenderung elastis dalam berkompromi dengan situasi dan kondisi yang berkembang
di Indonesia, terutama situasi sosial politik yang sedang terjadi pada masa
tertentu. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas, terutama
dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Indonesia. Disinilah terjadi dialog
dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah
Islam yang khas Indonesia, sehingga dikenal sebagai “Islam Nusantara” atau
“Islam Indonesia” dimaknai sebagai Islam yang berbau kebudayaan Indonesia.
Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang
ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Nusantara” atau “Islam
Indonesia” bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan
plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.
Meskipun Islam lahir di negeri Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat
tumbuh dan berkembang dengan kekhasannya dan pada waktu yang sama sangat
berpengaruh di bumi Indonesia yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme,
serta agama besar seperti Hindu dan Budha. Dengan demikian, wajah Islam yang
tampil di Indonesia adalah wajah Islam yang khas Indonesia, wajah Islam yang
berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat
Indonesia, tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Oleh karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan hasil dialog dan
dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam
yang khas Indonesia. Dalam kenyataannya, Islam di Indonesia memanglah tidak
bersifat tunggal, tidak monolit, dan tidak simple, walaupun sumber utamanya
tetap pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Islam Indonesia bergelut dengan kenyataan
negara-negara, modernitas, globalisasi, kebudayaan likal, dan semua wacana kontemporer yang menghampiri perkembangan zaman
dewasa ini.
Tulisan ini ditulis dalam konteks sebagaimana tersebut diatas dalam
memandang event peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam realitanya memang
terdapat berbagai tradisi umat Islam dibanyak Negara Muslim seperti Indonesia,
Malasyia, Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya yang
menimbulkan “kontroversi” dari perspektif hukum tentang boleh atau tidaknya atau halal atau haramnya untuk
mengamalkannya. Di Antara tradisi yang menimbulkan kontroversi itu Antara lain
melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw,
peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Muharram, dan lain-lain.
Oleh karena kontroversi-kontroversi yang menyelimuti peringatan-peringatan
tersebut, maka tulisan ini berupaya menjelaskan posisi peringatan Maulid Nabi
Saw, perspektif hukum Islam,
akan tetapi tidak bersifat tunggal, namun memberikan horizon pilihan yang
memungkinkan kita untuk bersikap arif dan bijaksana terhadap pihak yang berbeda
pahamnya.
Dari riwayat Rasulullah Saw, Islam membiarkan beberapa adat kebiasaan manusia
yang tidak bertentangan dengan syariat dan adab-adab Islam atau sejalan
dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw tidak menghapus seluruh adat dan
budaya masyarakat Arab (pada masa itu) yang ada sebelum datangnya Islam. Akan
tetapi Rasulullah Saw melarang budaya-budaya yang mengandung unsur syirik,
seperti pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang, dan budaya-budaya yang
bertentangan dengan adab-adab Islami.
B.
Saling
Hubungan Islam dengan kebudayaan
Hubungan Agama dan Kebudayaan
Kebudayaan dikenal karena adanya hasil-hasil atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur
kebudayaan terus menerus bertambah seiring dengan perkembangan hidup dan
kehidupan.
Manusia mengembangkan kebudayaan;
kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia disebut makhluk yang berbudaya,
jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian makhluk berbudaya,
bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya masa lalu atau warisan
nenek moyangnya; melainkan termasuk mengembangkan (hasil-hasil) kebudayaan.
Di samping kerangka besar
kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam interaksinya mempunyai norma,
nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya
dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat
pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya
pengaruh agama-agama ke dalam komunitas budaya (dan tradisi) tertentu; banyak
unsur-unsur kebudayaan (misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian,
seni lukis dan ukir) di isi formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan atau
sinkretis antara agama dan kebudayaan. Kebudayaan dan berbudaya, sesuai dengan
pengertiannya, tidak pernah berubah; yang mengalami perubahan dan perkembangan
adalah hasil-hasil atau unsur-unsur kebudayaan.
Namun, ada kecenderungan dalam
masyarakat yang memahami bahwa hasil-hasil dan unsur-unsur budaya dapat
berdampak pada perubahan kebudayaan. Perbedaan antara agama dan budaya tersebut
menghasilkan hubungan antara iman-agama dan kebudayaan. Sehingga memunculkan
hubungan (bukan hubungan yang saling mengisi dan membangun) antara agama dan
budaya. Akibatnya, ada beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan,
yaitu:
1. Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini
merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Agama dan
Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat berlawanan dengan
keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Agama atau
Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan
demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika
menjadi umat beragama.
2.
Sikap
Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara
Agama dan kebudayaan.
3.
Sikap
Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu
keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus
terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai dua tujuan
sekaligus.
4. Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan.
Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui masyarakat dan segala
sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan bermakna memperbaiki dan
membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan memperbaharui hasil
kebudayaan.
Oleh sebab itu, jika umat beragama
mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak
bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat,
maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya
pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal
mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitasnya, maka mereka wajib
melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika
mengfungsikan atau menggunakannya. Karena adanya aneka ragam bentuk hubungan
Agama dan Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan pengambilan
keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama). Dan untuk mencapai hal tersebut
tidak mudah
Seperti halnya kebudayaan agama
sangat menekankan makna dan signifikasi sebuah tindakan. Karena itu
sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan agama
bahkan sulit dipahami kalua perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari
pengaruh agama. Sesunguhnya tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya
didasarkan pada agama. Untuk sebagian kebudayaan juga terus ditantang
oleh ilmu pengetahuan, moralitas secular, serta pemikiran kritis. Meskipun
tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat saling mempengarui. Agama
mempengaruhi system kepercayaan serta praktik-praktik kehidupan. Sebalikny
akebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam hal bagaimana agama
di interprestasikan/ bagaimana ritual-ritualnya harus dipraktikkan. Tidak ada
agama yang bebas budaya dan apa yang disebut Sang Illahi tidak akan
mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi budaya, dlam masyarakat
Indonesia saling mempengarui antara agama dan kebudayaan sangat terasa. Praktik
inkulturasi dalam upacara keagamaan hamper umum dalam semua agama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebudayaan
Islam adalah hasil akal, budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia yang
berlandaskan pada nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia
untuk berkiprah dan berkembang. Hasil akal, budi rasa dan karsa yang telah
terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang
menjadi sebuah peradaban.
Sejarah Islam
mencatat bahwa perkembangan kebudayaan dalam Islam diawali dari periode
klasik dan mencapai masa kejayaan pada dinasti Abbassiyah dan kemudian
mengalami masa kemunduran pada abad pertengahan, diantara penyebabnya adalah
pada saat itu umat Islam terlena oleh kemewahan yang bersifat material dan
tidak mau melanjutkan tradisi keilmuan yang diwariskan oleh para ulama besar
masa klasik dan pertengahan.
Masjid sebagai
pusat pembinaan umat Islam mempunyai dua fungsi pokok, yaitu :
1.
sebagai pusat
ibadah ritual dan
2.
sebagai pusat
ibadah sosial. Sebagai pusat ibadah ritual berarti menyangkut hubungan vertikal
(dengan Allah) dan sebagai pusat ibadah sosial artinya hubungan manusia dengan
manusia yang lainnya, hidup saling tolong menolong dan bergotong royong
memajukan agama dan bangsa.
Daftar Pustaka
Al Faruqy, ismail R, 2001. Atlas
Budaya Islam, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, Bandung; Mizan
Asyari, Musa, 1992. Manusia
Pembentuk Kebudayaan dalam Al Qur’an. Yogyakarta; LESFI
Ghazalba, Sidi, 1998. Pengantar
Kebudayaan Sebagai Ilmu, Jakarta; Pustaka Antara
Nasution, Harun, 1986. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta; Bulan Bintang
Wahyuddin, dkk. 2009. Pendidikan
Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Jakarta; PT Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar