Selasa, 06 Juni 2017

MAKALAH KONSEP ISLAM TENTANG KEBUDAYAAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Antropologi Agama adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya, atau disebut juga Antropologi Religi. Meskipun ada yang berpendapat ada perbadaan pengerian antara Antropologi Agama dengan Antropologi Religi, namun keduanya mengandung arti adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan yang ghaib. Keduanya juga menyangkut adanya buah pikiran sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan kekuasaan yang tidak nyata.
Buah pikiran dan perilaku manusia tentang keagamaan dan kepercayaannya itu pada kenyataannya dapat dilihat dalam wujud tingkah laku dalam acara dan upacara-upacara tertentu menurut tata cara yang ditentukan dalam agama dan kepercayaan masing-masing. Dengan demikian Agama tidaklah mendekati agama itu sebagaimana dalam teologi (Ilmu Ketuhanan), yaitu ilmu yang menyelidiki Wahyu Tuhan.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan, Islam yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam peraturan dunia global. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya.


B.     Rumusan Masalah  
1.      Konsep Islam Tentang Kebudayaan
2.      Saling hubungan islam dengan kebudayaan




























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Islam Tentang Kebudayaan
Dari segi etimologis, kata kebudayaan adalah kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Sansekerta buddhi yang berarti intelek (pengertian). Kata buddhi berubah menjadi budaya yang berarti “yang diketahui atau akal pikiran”. Budaya berarti pula pikiran, akal budi, kebudayaan, yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang, beradab, maju (Poerwadarminta,1982:157).
Dari pengertian budaya di atas, dapat diutarakan dengan bahasa lain bahwa kebudayaan merupakan gambaran dari taraf berpikir manusia. Tinggi-rendahnya taraf berpikir manusia akan terlihat pada hasil budayanya. Kebudayaan merupakan cetusan isi hati suatu bangsa, golongan, atau individu. Tinggi-rendahnya, kasar-halusnya pribadi manusia, golongan, atau ras, akan terlihat pada kebudayaan yang dimiliki sebagai hasil ciptaannya. Maka dapat juga dikatakan bahwa kebudayaan merupakan orientasi dan pola pikir manusia, golongan, atau bangsa. Kebudayaan merupakan suatu konsep yang sangat luas ruang lingkupnya. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang timbulnya suatu kebudayaan itu sendiri. Dawson (1993:57) memberikan empat faktor yang menjadi alasan pokok yang menentukan corak suatu kebudayaan, yaitu faktor geografis, keturunan atau bangsa, kejiwaan, dan ekonomi.
Dalam Islam , memang tidak ada suatu rumusan yang kongkret mengenai suatu kebudayaan. Berkaitan dengan masalah kebudayaan. Islam memberi kerangka asas atau prinsip yang bersifat hakiki atau esensial. Dengan kata lain, Islam hanya memberikan konsep dasar yang dalam perwujudannya tergantung pada pemahaman pendukungnya.Dalam keadaan atau waktu yang berbeda, esensinya diwujudkan oleh aksidensi yang sangat ditentukan oleh aspek ekonomi, politik, sosial budaya, teknik, seni, dan mungkin juga oleh filsafat.
Ciri-ciri yang membedakan antara kebudayaan Islam dengan budaya lain, diungkapkan oleh Siba’i bahwa ciri-ciri kebudayaan Islam adalah yang ditegakkan atas dasar aqidah dan tauhid, berdimensi kemanusiaan murni, diletakkan pada pilar-pilar akhlak mulia, dijiwai oleh semangat ilmu (Zainal, 1993:60).
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudyaan Islam dapat dipahami sebagai hasil olah akal, budi, cipta, karya, karsa, dan rasa manusia yang bernafaskan wahyu ilahi dan sunnah Rasul. Yakni suatu kebudayaan akhlak karimah yang muncul sebagai implementasi Al-Qur’an dan Al-Hadist dimana keduanya merupakan sumber ajaran agama Islam, sumber norma dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Dengan demikian kebudayaan Islam dapat dipilah menjadi tiga unsur prinsipil, yaitu kebudayaan Islam sebagai hasil cipta karya orang Islam, kebudayaan tersebut didasarkan pada ajaran Islam, dan merupakan pencerminan dari ajaran Islam.
Ketiga unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisah satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, sebagus apapun kebudayaannya, jika itu bukan merupakan produk kaum Mslimin tidak bisa dikatakan dan diklaim sebagai budaya Islam. Demikian pula sebaliknya, meskipun budaya tersebut merupakan produk orang-orang Islam, tetapi substansinya sama sekali tidak mencerminkan norma-norma ajaran Islam. Dengan kata lain, Al-Faruqi (2001) menegaskan bahwa sesungguhnya kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan Al-Qur’an“, karena semuanya berasal dari rangkaian wahyu Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW pada abad ketujuh. Tanpa wahyu kebudayaan Islami Islam, filsafat Islam, hukum Islam, masyarakat Islam maupun organisasi politik atau ekonomi Islam.
Islam, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia mempunyai tipikal yang spesifik bila dibandingkan dengan ajaran Islam di berbagai negara Muslim lainnya. Menurut banyak studi, Islam di Indonesia adalah Islam yang akomodaatif dan cenderung elastis dalam berkompromi dengan situasi dan kondisi yang berkembang di Indonesia, terutama situasi sosial politik yang sedang terjadi pada masa tertentu. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas, terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Indonesia. Disinilah terjadi dialog dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia, sehingga dikenal sebagai “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” dimaknai sebagai Islam yang berbau kebudayaan Indonesia. Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.


Meskipun Islam lahir di negeri Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan kekhasannya dan pada waktu yang sama sangat berpengaruh di bumi Indonesia yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme, serta agama besar seperti Hindu dan Budha. Dengan demikian, wajah Islam yang tampil di Indonesia adalah wajah Islam yang khas Indonesia, wajah Islam yang berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Oleh karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan hasil dialog dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam kenyataannya, Islam di Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak monolit, dan tidak simple, walaupun sumber utamanya tetap pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Islam Indonesia bergelut dengan kenyataan negara-negara, modernitas, globalisasi, kebudayaan likal, dan semua wacana kontemporer yang menghampiri perkembangan zaman dewasa ini.
Tulisan ini ditulis dalam konteks sebagaimana tersebut diatas dalam memandang event peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam realitanya memang terdapat berbagai tradisi umat Islam dibanyak Negara Muslim seperti Indonesia, Malasyia, Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya yang menimbulkan “kontroversi” dari perspektif hukum tentang boleh atau tidaknya atau halal atau haramnya untuk mengamalkannya. Di Antara tradisi yang menimbulkan kontroversi itu Antara lain melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Muharram, dan lain-lain.
Oleh karena kontroversi-kontroversi yang menyelimuti peringatan-peringatan tersebut, maka tulisan ini berupaya menjelaskan posisi peringatan Maulid Nabi Saw, perspektif hukum Islam, akan tetapi tidak bersifat tunggal, namun memberikan horizon pilihan yang memungkinkan kita untuk bersikap arif dan bijaksana terhadap pihak yang berbeda pahamnya.
Dari riwayat Rasulullah Saw, Islam membiarkan beberapa adat kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat dan adab-adab Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw tidak menghapus seluruh adat dan budaya masyarakat Arab (pada masa itu) yang ada sebelum datangnya Islam. Akan tetapi Rasulullah Saw melarang budaya-budaya yang mengandung unsur syirik, seperti pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang, dan budaya-budaya yang bertentangan dengan adab-adab Islami.



B.     Saling Hubungan Islam dengan kebudayaan
Hubungan Agama dan Kebudayaan Kebudayaan dikenal karena adanya hasil-hasil atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan terus menerus bertambah seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan.
Manusia mengembangkan kebudayaan; kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia disebut makhluk yang berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian makhluk berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya masa lalu atau warisan nenek moyangnya; melainkan termasuk mengembangkan (hasil-hasil) kebudayaan.
Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama ke dalam komunitas budaya (dan tradisi) tertentu; banyak unsur-unsur kebudayaan (misalnya  puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) di isi formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan atau sinkretis antara agama dan kebudayaan. Kebudayaan dan berbudaya, sesuai dengan pengertiannya, tidak pernah berubah; yang mengalami perubahan dan perkembangan adalah hasil-hasil atau unsur-unsur kebudayaan.  
Namun, ada kecenderungan dalam masyarakat yang memahami bahwa hasil-hasil dan unsur-unsur budaya dapat berdampak pada perubahan kebudayaan. Perbedaan antara agama dan budaya tersebut menghasilkan hubungan antara iman-agama dan kebudayaan. Sehingga memunculkan hubungan (bukan hubungan yang saling mengisi dan membangun) antara agama dan budaya. Akibatnya, ada beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan, yaitu:
1.      Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Agama atau Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika menjadi umat beragama.
2.      Sikap Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama dan kebudayaan.
3.      Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.
4.      Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan memperbaharui hasil kebudayaan.
Oleh sebab itu, jika umat beragama mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitasnya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya. Karena adanya aneka ragam bentuk hubungan Agama dan Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama). Dan untuk mencapai hal tersebut tidak mudah
Seperti halnya kebudayaan agama sangat menekankan makna dan signifikasi sebuah tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan agama bahkan sulit dipahami kalua perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari  pengaruh agama. Sesunguhnya tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya didasarkan  pada agama. Untuk sebagian kebudayaan juga terus ditantang oleh ilmu pengetahuan, moralitas secular, serta pemikiran kritis. Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat saling mempengarui. Agama mempengaruhi system kepercayaan serta praktik-praktik kehidupan. Sebalikny akebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam hal bagaimana agama di interprestasikan/ bagaimana ritual-ritualnya harus dipraktikkan. Tidak ada agama yang bebas  budaya dan apa yang disebut Sang Illahi tidak akan mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi budaya, dlam masyarakat Indonesia saling mempengarui antara agama dan kebudayaan sangat terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan hamper umum dalam semua agama.























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kebudayaan Islam adalah hasil akal, budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang. Hasil akal, budi rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban.
Sejarah Islam mencatat bahwa perkembangan kebudayaan dalam Islam  diawali dari periode klasik dan mencapai masa kejayaan pada dinasti Abbassiyah dan kemudian mengalami masa kemunduran pada abad pertengahan, diantara penyebabnya adalah pada saat itu umat Islam terlena oleh kemewahan yang bersifat material dan tidak mau melanjutkan tradisi keilmuan yang diwariskan oleh para ulama besar masa klasik dan pertengahan.
Masjid sebagai pusat pembinaan umat  Islam mempunyai dua fungsi pokok, yaitu :
1.      sebagai pusat ibadah ritual dan
2.      sebagai pusat ibadah sosial. Sebagai pusat ibadah ritual berarti menyangkut hubungan vertikal (dengan Allah) dan sebagai pusat ibadah sosial artinya hubungan manusia dengan manusia yang lainnya, hidup saling tolong menolong dan bergotong royong memajukan agama dan bangsa.




Daftar Pustaka
Al Faruqy, ismail R, 2001. Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, Bandung; Mizan
Asyari, Musa, 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al Qur’an. Yogyakarta; LESFI
Ghazalba, Sidi, 1998. Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Jakarta; Pustaka Antara
Nasution, Harun, 1986. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta; Bulan Bintang
Wahyuddin, dkk. 2009. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Jakarta; PT Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...