BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut CFT, interaksi
antara logam transisi dan ligan diakibatkan oleh tarikan antara kation logam
yang bermuatan positif dan elektron bukan-ikatan ligan yang bermuatan negatif.
Teori ini dikembangkan menurut perubahan energi dari lima degenerat orbital-d ketika dikelilingi
oleh ligan-ligan. Ketika ligan mendekati ion logam, elektron dari ligan akan
berdekatan dengan beberapa orbital-d logam dan menjauhi yang lainnya,
menyebabkan hilangnya kedegeneratan (degeneracy). Elektron dari orbital-d
dan dari ligan akan saling tolak menolak. Oleh karena itu, elektron-d yang
berdekatan dengan ligan akan memiliki energi yang lebih besar dari yang
berjauhan dengan ligan, menyebabkan pemisahan energi orbital-d.
Pemisahan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
1.
sifat-sifat ion logam.
2.
keadaaan oksidasi logam. Keadaan oksidasi yang lebih besar menyebabkan
pemisahan yang lebih besar.
3.
susunan ligan disekitar
ion logam.
4.
sifat-sifat ligan yang
mengelilingi ion logam. Efek ligan yang lebih kuat akan menyebabkan perbedaan
energi yang lebih besar antara orbital 3d yang berenergi tinggi dengan
yang berenergi rendah.
Struktur kompleks yang
paling umum adalah oktahedon; dalam struktur ini, enam ligan membentuk oktahedron
di sekitar ion logam. Pada simetri oktahedron, orbital-d akan berpisah
menjadi dua kelompok energi dengan perbedaan energi Δoct. Orbital dxy,
dxz dan dyz akan memiliki energi yang lebih
rendah daripada orbital dz2 and dx2-y2.
Hal ini dikarenakan orbital dxy, dxz dan dyz
memiliki posisi yang lebih jauh dari ligan-ligan, sehingga mendapatkan gaya
tolak yang lebih kecil. Kompleks tetrahedron juga merupakan struktur yang umum; dalam struktur
ini, empat ligan membentuk tetrahedron disekitar ion logam. Dalam pemisahan
medan kristal tetrahedron, orbital-d kembail berpisah menjadi dua
kelompok dengan perbedaan energi Δtet. Orbital dz2
dan dx2-y2 akan
memiliki energi orbital yang lebih rendah, dan dxy, dxz
dan dyz akan memiliki energi orbital yang lebih tinggi. Hal
bertolak belakang dengan struktur oktahedron. Selain itu, dikarenakan elektron
ligan pada simetri tetrahedal tidaklah berorientasi pada orbital-orbital-d,
pemisahan energi akan lebih kecil daripada pemisahan energi oktaherdal.
Struktur geometri datar persegi juga dapat dideskripsikan oleh CFT.
Besarnya perbedaan
energi Δ antara dua kelompok orbital tergantung pada beberapa faktor, seperti
sifat-sifat ligan dan struktur geometri kompleks. Beberapa ligan selalu
menghasilkan nilai Δ yang kecil, sedangkan beberapa lainnya akan selalu
menghasilkan nilai yang lebih besar. Alasan di balik perbedaan ini dapat
dijelaskan dengan teori ligan medan. Deret spektrokimia adalah daftar-daftar ligan yang disusun berdasarkan
perbedaan energi Δ yang dihasilkan (disusun dari Δ yang kecil ke Δ yang besar):
I− < Br− < S2− < SCN− < Cl− < NO3− < N3− < F− < OH− < C2O42− < H2O < NCS− < CH3CN < py < NH3 < en < 2,2'-bipiridina < phen < NO2− < PPh3 < CN− < CO
Keadaan oksidasi logam
juga memengaruhi besarnya Δ antara aras energi (energy level) yang tinggi dan
rendah. Semakin tinggi keadaan oksidasi logam, semakin tinggi pula Δ. Kompleks
V3+ akan memiliki Δ yang lebih besar dari kompleks V2+.
Hal ini dikarenakan perbedaan rapatan muatan yang mengizinkan ligan lebih dekat
dengan ion V3+ daripada ion V2+. Jarak antar ligan dan
ion logam yang lebih kecil akan menyebabkan nilai Δ yang lebih besar karena
elektron logam dan ligan lebih berdekatan, sehingga gaya tolak menolak menjadi
lebih besar.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari
teori Medan Kristal?
2.
Apa yang dimaksud Warna Kompleks Logam Transisi?
3.
Apa kelemahan Medan
Kristal?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Medan Kristal
Teori medan Kristal
digunakan untuk mendiskribsikan stuktur elektronik dari ion logam dalam
kristal, dimana ion logam tersebut dikelilingi ion oksida atau anion lain untuk
membentuk medan elektrostatik dengan simetri yang bergantung pada stuktur
kristal. Energi dari orbital d pada ion logam mengalami spiltting oleh medan
elektrostatik, dan mendekati harga nilai
energi yang dapat dihitung. Teori medan kristal dikembangkan pada tahun 1930
(Miessler, 2003). Teori ini dikembangkan oleh fisikawan yang bernama Hans Bethe dan John Hasbrouck van Vleck.
Teori ini pada akhirnya digabungkan dengan teori orbital molekul, membentuk teori medan ligan yang lebih akurat dan
menjelaskan proses ikatan kimia pada senyawa kompleks logam
transisi (Wikipedia, 2010).
Teori medan kristal
berhasil menjelaskan beberapa sifat-sifat magnetik, warna, entalpi hidrasi, dan struktur spinel senyawa kompleks dari logam transisi, namun ia tidak
ditujukan untuk menjelaskan ikatan kimia (Wikipedia, 2010).
Apabila orbital d dari ion
logam membentuk kompleks okatahedral dengan pasangan elektron dari ligan,
beberapa elektron akan terusir oleh medan. Sebagai hasilnya adalah orbital dx2-y2
dan dz2 yang
diarahkan dosekeliling ligan. Orbital dxy, dxz
dan dyz, yang diarahkan disekitar ion (Miessler,
2003). Orbital dx2-y2
dan dz2keduanya
memilki cuping yang sangat terkonsentrasi dalam lingkungan muatan, sedangkan
Orbital dxy, dxz dan dyz,
memiliki cuping yang terarah diantara muatan yang ditunjukkan
dalam gambar 1.[1]
Gamabar 1. Rapatan elektron dalam kelima orbital dterhadap set tatanan oktahedra
muatan negatif
Orbital dx2-y2 dan dz2 mempunyai energi
yang sama, orbiatal tersebut disebut orbital eg dan Orbital dxy,
dxz dan dyz disebut orbital t2g,
ketiganya memiliki energi yang sama. Energi t2g lebih rendah
dari pada energi eg. perbedaan energi antara orbilal eg dan
t2g dinyatakan sebagai Δo, diamana indeks o menyatakan
oktahedra. Tingkat enerhi eg
terletak ∆o diatas dan tingkat energi t2g terletak ∆o dibawah orbital d yang terpisah.[2]
Gambar 2. Pembelahan medan
ligan dalam medan oktahedral dan tetrahedral. (Saito, 1996).
Faktor-faktor yang mempengaruhi ∆o
1.
Sebanding dengan besarnya
muatan ion pusat : Fe3+ > Fe2+
2.
Sebanding dengan ukuran
orbital d : 5d > 4d > 3d
3.
Jumlah dan geometri ligan : 6
ligan oktahedral > 4 ligan tetrahedral/bujur sangkar
4.
Berbanding terbalik dengan
ukuran ligan (Suyanta, 2010)
B.
Crystal Field Stabilization Energi (CFSE)
Energi stabilisasi medan
kristal (Bahasa Inggris:crystal field stabilization energi), disingkat
CFSE, adalah stabilitas yang dihasilkan dari penempatan ion logam pada medan
kristal yang dibentuk oleh sekelompok ligan-ligan. Ia muncul karena ketika orbital-d terpisah pada medan ligan,
beberapa dari orbital itu akan memiliki energi yang lebih rendah. Sebagai
contoh, pada kasus oktahedron, kelompok orbital t2g memiliki
energi yang lebih rendah dari energi orbital pada sentroid. Sehingga, jika
terdapat sembarang elektron yang menempati orbital-orbital ini, ion logam akan
menjadi lebih stabil pada medan ligan relatif terhadap sentroid dengan nilai
yang dikenal sebagai CFSE. Sebaliknya, orbital-orbital eg
(pada kasus oktaheral) memiliki energi yang lebih tinggi daripada sentroid,
sehingga menempatkan elektron pada orbital tersebut menurunkan CFSE.[3]
Jika pemisahan orbital-d pada medan oktahedron adalan Δoct,
tiga orbital t2g distabilkan relatif terhadap sentroid
sebesar 2/5 Δoct, dan orbital-orbital eg
didestabilkan sebesar 3/5 Δoct. Stabilisasi medan kristal dapat digunakan dalam menjelaskan geometri
kompleks logam transisi. Alasan mengapa banyak kompleks d8
memiliki geometri datar persegi adalah karena banyaknya stabilisasi medan
kristal yang dihasilkan struktur geometri ini dengan jumlah elektron 8.
Gambar 3. Oktahedra crystal
field stabilization energi. (Wikipedia, 2010)
Jika splitting antara orbital t2g dan eg besar maka nilai ∆o
besar. Tetapi jika splitting antara t2g dan eg kecil, maka nilai ∆o
kecil.
Pada spin rendah energi
pembelahan ∆o lebih kecil dari pada energi perpasangan (pairing energi =p) sehingga elektron
akan mengisi orbital t2g
terlebih dahulu dan memenuhinya dengan berpasangan dan barulah mengisi orbital eg. sedangkan pada spin
tinggi ∆o lebih besar dari pada energi perpasangan, sehingga
elektron akan mengisi orbital terlebih dahulu dan mengisi orbital eg.
(Miessler, 2003)
CFSE dihitung dengan pedoman,
penambahan CFSE sebesar 0,4∆o untuk setiap penempatan 1 e
pada orbital t2g dan pengurangan CFSE sebesar 0,6∆o untuk
setiap penempatan 1 e pada orbital eg.[4]
Sistem
|
Konfigurasi
(spin tinggi)
|
CFSE
|
Konfigurasi
(spin rendah)
|
CFSE
|
d1
d2
d3
d4
d5
d6
d7
d8
d9
d10
|
t2g1
t2g2
t2g3
t2g3 eg1
t2g3 eg2
t2g4 eg2
t2g5 eg2
t2g6 eg2
t2g6 eg3
t2g6 eg4
|
0,4∆o
0,8∆o
1,2∆o
0,6∆o
0
0,4∆o
0,8∆o
1,2∆o
0,6∆o
0
|
t2g4
t2g5
t2g6
t2g6 eg1
|
1,6∆o
2,0∆o
2,4∆o
1,8∆o
|
C.
Warna Kompleks Logam Transisi
Warna-warna cerah yang
terlihat pada kebanyakan senyawa
koordinasi dapat dijelaskan dengan teori medan kristal ini. Jika orbital-d dari sebuah kompleks berpisah
menjadi dua kelompok seperti yang dijelaskan di atas, maka ketika molekul
tersebut menyerap foton dari cahaya tampak, satu atau
lebih elektron yang berada dalam orbital tersebut akan meloncat dari orbital-d
yang berenergi lebih rendah ke orbital-d yang berenergi lebih tinggi,
menghasilkan keadaam atom yang tereksitasi. Perbedaan energi antara atom yang
berada dalam keadaan dasar dengan yang berada dalam keadaan tereksitasi sama
dengan energi foton yang diserap dan berbanding terbalik dengan gelombang
cahaya. Karena hanya gelombang-gelombang cahaya (λ) tertentu saja yang dapat
diserap (gelombang yang memiliki energi sama dengan energi eksitasi),
senyawa-senyawa tersebut akan memperlihatkan warna komplementer (gelombang
cahaya yang tidak terserap).
Seperti yang dijelaskan di
atas, ligan-ligan yang berbeda akan
menghasilkan medan kristal yang energinya berbeda-beda pula, sehingga kita bisa
melihat warna-warna yang bervariasi. Untuk sebuah ion logam, medan ligan yang
lebih lemah akan membentuk kompleks yang Δ-nya bernilai rendah, sehingga akan
menyerap cahaya dengan λ yang lebih panjang dan merendahkan frekuensi ν.
Sebaliknya medan ligan yang lebih kuat akan menghasilkan Δ yang lebih besar,
menyerap λ yang lebih pendek, dan meningkatkan ν. Sangtalah jarang
energi foton yang terserap akan sama persis dengan perbedaan energi Δ; terdapat
beberapa faktor-faktor lain seperti tolakan elektron dan efek Jahn-Teller yang akan mempengaruhi
perbedaan energi antara keadaan dasar dengan keadaan tereksitasi.[5]
Warna-warna
yang terlihat
Gambar 4. Roda warna.
Roda warna mendemonstrasikan warna senyawa yang akan terlihat jika ia hanya
menyerap satu gelombang cahaya. Sebagai contoh, jika senyawa tersebut menyerap
warna merah, maka ia akan tampak hijau.
l
Diserap
|
Warna Terpantau
|
Ungu (400 nm)
|
Hijau-kuning (560nm)
|
Blue (450 nm)
|
Kuning (600nm)
|
Biru-hijau (490nm)
|
Merah (620nm)
|
Kuning (580nm)
|
Ungu (410nm)
|
Jingga (600nm)
|
Biru tua (430nm)
|
Merah (650nm)
|
Biru (450nm)
|
D. Kelemahan medan kristal
Teori medan kristal dapat
menjelaskan tentang pembentukan senyawa kompleks, sifat magnetik dan
perubahannya karena pengaruh temperatur serta kestabilan dari senyawa kompleks.
Kelemahan teori ini adalah berkenaan dengan asumsi yang mendasarinya yaitu
interaksi antara ion pusat dan ligan-ligan dianggap sebagai interaksi
elektrostatik. Berdasarkan asumsi ini maka.
1.
Medan yang ditimbulkan oleh
ligan negatif seharusnya lebih kuat dibandingkan medan yang dihasilkan oleh
ligan netral. Misalnya untuk ligan OH- dan H2O.
Seharusnya medan yang ditimbulkan oleh OH- adalah lebih kuat
dibandingkan medan yang ditimbulkan oleh H2O. Dalam kenyataan
terjadi pada keadaan yang sebaliknya.
2.
Ligan yang memiliki momen
dipol lebih besar seharusnya menimbulkan medan yang lebih kuat dibandingkan
ligan yang momen dipolnya lebih kecil. Misalnya untuk ligan NH3
dengan μ = 4,90.10-30 cm dan ligan H2O μ =
6,17.10-30 cm seharusnya medan yang ditimbulkan oleh H2O
adalah lebih kuat dibandingkan medan yang ditimbulkan oleh NH3.
dalam kenyataannya terjadi keadaan sebaliknya.
3.
Senyawa kompleks dengan
atom pusat memiliki bilangan oksidasi nol dan ligan yang netral seperti [Ni(CO)4]
seharusnya tidak mungkin terbentuk karena tidak terdapat gaya elektrostatik
antara atom pusat dengan ligan-ligan pada kenyataannya senyawa tersebut dapat
terbentuk dan stabil.[6]
Fakta-fakta diatas
menunjukan bahwa asumsi yang mendasari teori medan kristal tidak sepenuhnya
benar. Fakta ketiga menunjukan bahwa disamping interaksi elektrostatik,
pembentukan kompleks juga melibatkan interaksi kovalen.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teori medan Kristal
digunakan untuk mendiskribsikan stuktur elektronik dari ion logam dalam
kristal, dimana ion logam tersebut dikelilingi ion oksida atau anion lain untuk
membentuk medan elektrostatik dengan simetri yang bergantung pada stuktur
kristal. Energi dari orbital d pada ion logam mengalami spiltting oleh medan
elektrostatik, dan mendekati harga nilai
energi yang dapat dihitung. Teori medan kristal dikembangkan pada tahun 1930
(Miessler, 2003). Teori ini dikembangkan oleh fisikawan yang bernama Hans Bethe dan John Hasbrouck van Vleck.
Teori ini pada akhirnya digabungkan dengan teori orbital molekul, membentuk teori medan ligan yang lebih akurat dan
menjelaskan proses ikatan kimia pada senyawa kompleks logam
transisi
B.
Saran
Demikianlah makalah ini
kami buat, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
Cotton, F. A. dan Wilkinson, Geoffrey, (2009), Kimia Anorganik Dasar, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
http://www.wikipedia.org/teori_medan_kristal
Miessler, G. L. and Tarr, D. A. (2003), Inorganic Chemistry 3rd edition,
New Jersey: Pearson Prentice Hall
Saito, Taro, (1996), ebook Kimia
Anorganik, Tokyo: Iwanami Publishing Company
Suyanta, (2010), BAB II: Ikatan Dalam Senyawa Koordinasi
Brady, J. E., Russell,
J. W., and Holum, J. R. 2000. Chemistry
Matter and Its Change,3rdEd. New York: Jhon Wiley & Sons,
Inc.
Companion, A. L. 1964. Chemical Bonding. New York: McGraw-Hill
Book Company.
Cotton, F. A. and
Wilkinson, G. 1980. Advanced Inorganic
Chemistry, a Comprehensive Text, 4th Ed. New York: Jhon Wiley
& Sons.
DeKock, R. L. and Gray,
H. B. 1980. Chemical Structure and
Bonding. Menlo Park: The Benjamin/Cummings Publishing Company.
Douglas, B. E., Mc
Daniel, D. H., and Alexander, J.J. 1983. Problems
for Inorganic Chemistry. New York: Jhon Wiley & Sons, Inc.
Effendi. 1998. Kimia
Koordinasi. Malang: FMIPA IKIP Malang
Effendi. 2003. Teori
VSEPR dan Kepolaran Molekul. Malang: Bayu Media Publishing.
Huheey, J. E., Keiter,
E. A., R. L. 1993. Inorganic Chemistry,
Principles of Structure and Reactivity, 4th Ed. New York: Harper
Collins College Publisher.
Sugiyarto, K.H. 2000. Kimia Anorganik, Dasar-Dasar Kimia Anorganik. Yogyakarta: FMIPA
Universitas Negeri Yogyakarta.
[1] Miessler, G. L. and Tarr, D. A. (2003), Inorganic Chemistry 3rd edition,
New Jersey: Pearson Prentice Hall, hlm 79.
[2] Cotton, F. A. and Wilkinson, G. 1980. Advanced Inorganic Chemistry, a Comprehensive
Text, 4th Ed. New York: Jhon Wiley & Sons. Hlm 67.
[4] Cotton, F. A. dan Wilkinson, Geoffrey, (2009), Kimia Anorganik Dasar, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, hlm 43.
[5] Sugiyarto, K.H. 2000. Kimia Anorganik, Dasar-Dasar Kimia Anorganik. Yogyakarta: FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Hlm 56.
[6] Effendi. 2003. Teori VSEPR dan Kepolaran Molekul.
Malang: Bayu Media Publishing. Hlm. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar