BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hadits adalah sumber hukum islam kedua setelah al qur’an.
Hadits merupakan segala tinkah laku, ucapan, keteetapan nabi Muhammad saw.
Hadits dibagi menjadi
dua, yakni berdasarkan kuantitas rawi
dan berdasarkan kualitas rawi.
Hadits berdasarkan
kuantitas rawi dibagi menjadi dua, yakni hadits mutawattir dan hadits ahad.
Sedangkan hadits
berdasarkan kualitas rawi dibagi menjadi tiga, yakni hadits Shahih, hadits
Hasan, hadits Dha’if.
Pada makalah ini kami
akan mencoba menjelaskan tentang hadits Hasan. Mengenai pengertian,
klasifikasi, dan kehujjahannya.
BAB II
PEMBAHASAN
HADITS HASAN
2.1. PENGERTIAN HADITS HASAN
مَا
تَسْتَهِيْهِ النَفْسِ وَتَمِيْلِ اِلَيْهِ
Sesuatu yang disenangi
dan dicondongi oleh nafsu.[3]
Sedangkan secara
istilah, hadits hasan didefinisikan secara beragam oleh ahli Hadits,
sebagai berikut :
1. Menurut Ibnu Hajar
al-Asqalani
وَخبرالأحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا
شا ذ هوالصحيح لذاته ، فإ ن خفَّ الضبط فا الحسن لذا ته.
Khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil,
sempurna kedhabit-annya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada
syadz dinamakn shahih lidzatih. Jika kurang sedikit ke-dhabit-annya disebut
hasan lidzatih.[4]
ما نقله عدل قليل الضبط متصل
السند غير معلل ولا شا ذ .
Hadits yang diriwayatkan oleh
periwayat yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak
mengandung illat, dan tidak pula mengandung syadz.[5]
2. Menurut Imam
at-Tirmidzi
كل حديث يروى لا يكو ن فى إسنا
ده من يّتّهم با لكذب ولا يكو ن الحديث شا دّا و يروى من غير وجه نحو ذالك .
Tiap-tiap hadits yang pada
sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada matannya tidak terdapat keganjalan, dan hadits itu
diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang
sepadan dengannya.
Definisi hadits hasan menurut
at-Tirmidzi ini terlihat kurang jelas, sebab bisa jadi hadits yang perawinya
tidak tertuduh dusta dan juga hadits gharib, sekalipun pada hakikatnya
berstatus hasan. Tidak dapat dirimuskan dalam definisi
ini sebab dalam definisi tersebut disyariatkan tidak hanya melalui satu jalan
periwayatan (mempunyai banyak jalan periwayatan). Meskipun demikian, melalui
definisi ini at-Tirmidzi tidak bermaksud menyamakan hadits hasan dengan hadits
shahih, sebab justru at-Tirmidzilah yang mula-mula memunculkan istilah hadits
hasan ini.[6]
3. Menurut
At-Thibi
مسند من قرب من درجة الثقة أو
مرسل ثقة وروي كلا هما من غير وجه وسلم من شدو ذٍ ا ولا علة .
Hadits musnad ( muttasil dan
marfu’ ) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah. Atau hadits mursal yang
sanad-sanadnya tsiqah, tetapi pada keduanya ada perawi lain, dan hadits itu
terhindar dari syadz ( kejanggalan ) dan illat (kekacauan).[7]
Dengan kata lain hadis hasan
adalah :
هو ما ا تصل سنده بنقل العدل
الذى قلَّ ضبطه و خلا من الشّذوذ والعلة .
Hadits hasan adalah hadits
yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit
ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada illat. [8]
Dengan kata lain, syarat
hadits hasan dapat dirinci sebagai berikut.
·
Sanadnya bersambung
·
Perawinya adil
·
Perawinya dhabit tetapi
ke-dhabit-annya dibawah ke-dhabit-an perawi hadits shohih
·
Tidak
terdapat kejanggalan (syadz)
B. Klasifikasi Hadits Hasan
1.
Hadits
Hasan Li Dzatihi
Hadits hasan li dzatih adalah
hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan
persyaratan yang ditentukan.[10]
Syarat untuk hadits hasan
adalah sebagaimana syarat untuk hadits shahih, kecuali bahwa perawinya hanya
termasuk kelompok keempat ( shaduq ) atau istilah lain yang setaraf atau sama
dengan tingkatan tersebut.[11]
Sebuah hadits dikategorikan
sebagai hasan li dzatih karena jalur periwayatannya, hanya melalui satu
jalur periwayatan saja. Sementara hadits hasan pada umumnya, ada kemungkinan
melalui jalur riwayat yang lebih dari satu. Atau didukung dengan riwayat yang
lainnya. Bila hadits hasan ini jumlah jalur riwayatnya hanya satu, maka hadits
hasan itu disebut dengan hadits hasan li dzatih. Tetapi jika jumlahnya
banyak, maka ia akan saling menguatkan dan akan naik derajatnya menjadi hadits
shahih li ghairih.[12]
Contoh hadits hasan lidzatih :
حدثنا قتيبة حدثنا جعفر بن سليما ن الضبعيٌّ عن
ابي عمران الجو نيّ عن ابي بكر بن ابي موسى الا شعرىّ قال سمعت أبي بحضر ة العد
وِّ يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنّ ابواب الجنّة تحت ظلال السيوف
“......dari Abu Bakar bin Abu
Musa al-Asy’ari, (berkata), saya mendengar ayahku ketika berada dihadapan musuh
berkata, Rasulullah saw. Bersabda: ‘sesungguhnya pintu-pintu surga berada
dibawah bayang-bayang pedang’.” (HR.al-Tirmidzi)
Menurut Mahmud al-Thalan,
Hadits diatas berkualitas hasan, karena para rawinya terpercaya (tsiqah),
kecuali Ja’far bin Sulaiman al-Dhuba’iy. Karena itulah, Hadits tersebut tidak
mencapai hadits shahih. Terkait rawi yang satu ini, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
berkomentar : الحديث حسن
(hadits yang
disampaikannya baik). Penilaian Ibnu Hajar ini menunjukkan bahwa hadits itu
berkualitas hasan.
2.
Hadits Hasan Li Ghairih
Hadits hasan li ghairih adalah
hadits-hadits dhaif yang tidak terlalu parah (kedhaifannya) dan diriwayatkan
dengan melalui beberapa jalur. Beberapa periwayatan hadits yang dhaif ini
kemudian saling menguatkan, dan akhirnya naik menjadi hasan. Sementara
bila beberapa riwayat hadits itu termasuk kategori dha’if yang berat, seperti
hadits matruk, munkar, maudhu. Dan sebagainya, maka hadits itu tidak bisa naik
menjadi hasan li ghairih.[13]
Hadits dha’if bisa naik
menjadi hadits hasan li ghairih dengan dua syarat, yaitu :
Ø Harus
ditemukan periwayatan sanad lain yang saling seimbang dan lebih kuat.
Ø Sebab
kedha’ifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan sepert
hapalan yang kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas
(majhul) identiras perawi.[14]
Contoh
hadits hasan li ghairih
Hadits
tentang keutamaan malam nishfu sya’ban (tanggal 15 sya’ban). Hadits-hadits
tentang tema ini cukup banyak. Dalam hitungan Ali Mustafa Ya’qub, jumlah
hadits-hadits tersebut tidak kurang dari sembilan buah. Namun disini akan di
kemukakan lima saja. Hadits-hadits tersebut adalah :
Hadits
riwayat Ali bin Abi Thalib
حدثنا الحسن بن علىٍّ الخلّا ل
حدثنا عبد الرزاق انبأنا ابن ابي سبرة عن ابرا هيم بن محمد بن معا وية بن عبدِالله
بن جعفر عن ابيه عن علي بن طا لب قال قال رسو ل الله ص.م - اذا كانت ليلة النصف من شعبان فقو موا ليلها
فصو موا يومها . فإن الله ينزل فيها لغروب الشمس الى سماء الدنيا فيقول ألا من
مستغفر فأغفر له ألا مسترزق فأرزقه ألا مبتلًى فأُ عا فِيَهُ ألا كذا ألا كذا حتّى يطلع الفجر . (رواه ابن
ما جه)
“....diriwayatkan
dari Ali ra., beliau berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda : Apabila datang
malam nishfu sya’ban, maka shalatlah kalian pada malam itu dan puasalah
besoknya ! karena Allah akan turun ke langiy dunia (yang terdekat dengan bumi)
seraya berkata : Adakah orang yang minta ampun ? (bila ada) maka Aku akan memberinya ampunan. Adkah orang
yang meminta rizki ? (mala bila ada), Ku akan beri rizki. Adakah yang sakit
(yang meminta kesembuhan)? (maka bila ada), Aku akan menyembuhkannya. Adakah
yang meminta ini dan itu. Allah melakukan hal itu sejak terbenam matahari
sampai terbit fajar.”
Hadits
diatas diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majjah. Dalam rangkaian sanadnya terdapat
seorang rawi yang bernama Ibn Abi Sabrah. Menurut imam Ahmad bin Hanbal, rawi
ini adalah seorang pendusta dan emalsu hadits. Imam al-Bukhari menambahkan,
bahwa Ibn Abi Sabrah adalah الحديثمنكر (haditsnya munkar karena banyak berbuat
maksiat). Sementara menurut imam al-Nasa’i Ibn Abi Sabrah adalah matruk
(dituduh pendusta ketika meriwayatkan hadits).
Dengan
beberapa penilain dari ulama hadits diatas, maka bisa disimpulkan bahwa
riwayatnya berkualitas dhaif sekali, yaitu termasuk Hadits munkar dan matruk.
Dengan demikian. Hadits diatas tidak tidak bisa dijadikan dalil sama sekali.
Hadits
Abu Musa al-Asy’ari
حدّ ثنا را شد بن سعيد بن راشد
الرّمليُّ حدّ ثنا الوليد عن ابن لهيعة عن الضّحا ك بن أيمن عن الضّحا ك بن عبد
الرّحمن بن عر زبٍ عن ابي موسى الأ شعريّ
عن رسول الله ص.م قال إنّ الله ليطلّعُ في ليلة النصف من شعبا ن فيغفر
لجميع خلقه إلّا لمشرك أو مشا حنٍ
“Diriwayatkan
dari Mu’adz bin Jabal ra., dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda : ‘pada malam
nishfu Sya’ban, Allah akan melihat semua makhluk-Nya, kemudian mengampuni
mereka kecuali yang musyrik (menyekutukan Allah) dan orang yang memusuhi orang
lain’.”
Dalam
rangkaian sanad Hadits riwayat Abu Musa al-Asy’ari di atas, menurut Imam
al-Bushairi dalam kitab al-Zawa’id, ada seorang rawi yang dinilai dha’if, yaitu
Ibn Lahi’ah.
Hadits
yang diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hanbal dari Abdullah bin Amr ra.. menurut
Imam al-Mundziri, sanad hadits ini kualitasnya ليّن (lunak Haditsnya), yang menunjukkan lemah.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, dari Katsir bin Murrah. Menurut Imam
al-Baihaqi sendiri, sanad Hadits ini nilai mursal jayyid (mursal yang baik).
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dari Aisyaj ra.. Sanad Hadits ini
munqathi (terputus).
Dari
beberapa penilaian para Ulama hadits diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa
hadits riwayat Ali bin Abi Thalib pada nomor satu termasuk kategori Hadits
dha’if kelas berat, yaitu munkar dan matruk. Sekali lagi, riwayat hadits ini
tidak bisa dijadikan dalil dalam hukum. Sementara empat riwayat selainnya,
memang termasuk kategori dha’if, hanya saja tidak termasuk kedalam kelas berat.
Karenanya ia bisa saling menguatkan antara yang satu dengan lainnya, sehingga
naik derajatnya menjadi hadits hasan li ghairihi. Dan hadits ini bisa
dijadikan dalil dalam hukum islam.[15]
C. ISTILAH-ISTILAH YANG DIGUNAKAN
DALAM HADITS HASAN
a. Diantar
gelar ta’dil para perawi ysng digunakan dalam hadits maqbul atau
hasan sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah
:
المعروف : Orang yang dikenal / orang baik
المحفوظ : Terpelihara
المُجوَّ دُ : Orang baik
الثّابت :
Orang yang teguh/ kuat
القَوِىُّ :
Orang kuat
المُشبَّهُ :
Serupa dengan Shahih
الصّلح
/ الجيِّد :
Orang baik / bagus
Sebagian ulama mempersamakan
dalam gelar ta’dil para perawi hadits dalam kitab al-Jayyid = bagus antara
shahih dan hasan, sebagia ulama laim berpendsapat bahwa sekaligus gelar
aljayyid dengan makna shahih, tetapi pars
muhsditsin senior tidak pindah dalam menilai shahih menjadi al-jyyid tersebut
kecuali ada tujuan tertentu. Misalnya naiknya hadits hasan lidzaih dan ragu
mencapai derajat shahih, berarti tingkat hadits gelar al-jayyid ini dibawah
shahih, demikian juga gelar al-qowi.
Gelar ta’dil as-Shahih berlaku
bagi shahih dan hasan karena keduanya layak dijadikan hujjah dan berlaku bagi
hadits dha’if yang patut dalam penelitian pencarian sanad lain. Gelar al-ma’ruf
lawan dari al-munkar, al-Mahfudz lawan dari asy-syadzdz, al-Mujawwad dab
ats-Tsabit berlaku untuk shahih dan hasan, dan bagi hasan serta yang
mendekatinya, al-musyabbah terhadap haidt hasan bagaikan a-ljayyid terhadap
hadits shahih.
b. Perkataan
mereka muhadditsin هذا
حديث حسن الإسنا د = ini hadits hasan sanadnya. Maknanya hadits ini hanya hasan
sanad-nya saja sedang matan-nya perlu penelitian lebih lanjut. Mukharrij hadits
tersebut tidak menanggung kehasanan matan mungkin ada syadzdz atau
illat.berararti ada kesempatan luas bagi para peneliti belakangna untuk
mengadakan penelitian lebih lanjut tentang atan hadits tersebut apakah matannya
juga hasan atau tidak.
c.
Ungkapan at-Tirmidzi dan yang
lain : حديث
حسن صحيح = ini hadits hasan
shahih. Makna ungkapan ini ada beberapa pendapat, diantaranya :
1.
Haddits tersebut memiliki dua
sanad, yang shahih dan hasan.
2.
Terjadi perbedaab dalam
penilaian hadits sebagian berpendapat shahih dan golongan lain berpendapat
hasan.
3. Atau
dinilai hasan li dzatih dan hasan li ghairih.
D. KEHUJJAHAN HADITS HASAN
Hadits
hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah haidts shahih. Semua
fuqaha, sebagian muhadditsin dan ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari
kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits
(musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan
shahih (mutasahilin) memasukannya ke dalam hadits shahih, sepert al-Hakim, Ibnu
Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.[16]
Disamping
itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadits hasan dapat digunakan sebagi hujjah,
bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini
memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat diterima itu
ada yang tinggi, menngah, dan rendah. Hadits yang sifat dapat diterima tinggi
dan menengah adalah hadits shahih, sedangkan hadits yang sifat dapat
diterimanya rendah adalah hadits hasan.
Hadits-hadits
yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut hadits maqbul,
dan hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadits
mardud.
Yang
termasuk hadits maqbul adalah :
1. Hadits
shahih, baik shahih li dzatihi maupun shahih li ghairih
2. Hadits
hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih.
Yang
termasuk hadits mardud adalah segala macam hadits dha’if. Hadits mardud tidak
dapat diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada
rawi-rawinya atau pada sanadnya.[17]
E. KITAB-KITAB YANG MENGANDUNG
HADITS HASAN
1. Jami’
At-Tirmidzi
2.
Sunan Abu Dawud
3. Sunan
ad-Daruquthni
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Hadits hasan adalah hadits
yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit
ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada illat.
Hadits
hasan dibagi menjadi :
1. Hadits
Hasan Li Dzatihi
Hadits hasan li dzatih adalah
hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan
persyaratan yang ditentukan.
2. Hadits
Hasan Li Ghairih
Hadits hasan li ghairih adalah
hadits-hadits dhaif yang tidak terlalu parah (kedhaifannya) dan diriwayatkan
dengan melalui beberapa jalur. Beberapa periwayatan hadits yang dhaif ini
kemudian saling menguatkan, dan akhirnya naik menjadi hasan. Sementara
bila beberapa riwayat hadits itu termasuk kategori dha’if yang berat, seperti
hadits matruk, munkar, maudhu. Dan sebagainya, maka hadits itu tidak bisa naik
menjadi hasan li ghairih.
Hadits hasan dapat dijadikan
hujjah walaupun kualitasnya dibawah haidts shahih. Semua fuqaha, sebagian
muhadditsin dan ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang
yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan
sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin)
memasukannya ke dalam hadits shahih, sepert al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu
Khuzaimah.
Disamping itu, ada ulama yang
mensyaratkan bahwa hadits hasan dapat digunakan sebagi hujjah, bilamana
memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i,Zuhdi.2008. Mengenal
Imlu Hadits.Jakarta: al-Ghuraba.
Majid Khon,Abdul.2009. Ulumul
Hadits.Jakarta: Amzah.
Sahrani,Sohari.2002. Ulumul
Hadits.Bogor: Ghalia Indonesia.
Idri. 2010.Studi
Hadits.Jakarta: Kencana.
Solahudin,Agus dan Agus
Suyadi.2009. Ulumul Hadits.Bandung: Pustaka Setia.
Mudasir, 1999, Ilmu
Hadits, Bandung: Pustaka Setia.
Ismail, Syuhudi. 1987, Ilmu
Hadits, Bandung: Penerbit Angkasa.
Al-Qaththan, Manna’.
2004, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
[1] Zuhdi Rifa’i, Mengenal Imlu Hadits, cet-1, (Jakarta: al-Ghuraba,2008)hlm
161
[2]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, cet-3(Jakarta: Amzah,2009) hlm
159
[3] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, cet-1 (Bogor: Ghalia
Indonesia,2002) hlm 114
[4] Abdul Majid Khon, Loc. Cit
[5]Idri, Studi Hadits, cet-1, (Jakarta: Kencana,2010) hlm159
[6] Sohari Sahrani, Loc. Cit
[7] Sohari Sahrani, Ibid hlm 115
[11][11] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadits, cet-1 (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hlm 146
[15] Zuhdi Rifa’i, Ibid hlm
167-170
Tidak ada komentar:
Posting Komentar