BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya hukum islam sudah mengatur tentang
pernikahan sesuai dengan ketentuan syari’at islam. secara garis besar hukum
islam terbagi menjadi dua yitu fiqih ibadah dan fiqih muamalat. dalam fiqih
ibadah meliputi aturan tentang shalat,puasa,zakat,haji,nazar dan sebagainya
yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya.
sedangkan fiqih muamalah ini mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya
seperti perikatan,sanksi hukum dan aturan lain agar terwujud ketertiban dan
keadilan baik secara perorangan maupun kemasyarakatan.
Dalam ilmu fiqih membahas tentang pernikahan. yang
dimaksud dengan nikah menurut bahasa berasal dari bahasa arab yaitu nakaha
yankihu nikahan yang berarti kawin. dalam istilah nikah adalah ikatan suami
istri yang sah menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami
istri. dalam hukum kekeluargaan harus disertai dengan kuat agama yang
disyariatkan islam. beberapa hukum tersebut dapat dipelajari dalam al-qur’an dan
as-sunnah.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang
seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami
istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. faedah terbesar
pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu
dari kebinasaan sebab seorang perempuan apabila ia sudah menikah maka biaya
hidupnya wajib ditanggung oleh suaminya. demikianlah maksud pernikahan sejati
dalam islam. selanjutnya akan dibahas dibab pembahasan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
dari latar belakang diatas sebagai berikut :
1. Apa penegertian dari
nikah?
2. Apa Dasar Hukum pernikahan?
3. Apa syarat dan rukun
Nikah?
4. Apa Hikmah pernikahan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pernikahan
Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu
nikahan yang berarti kawin. dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri yang
sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami isteri.[1]
Dalam buku fiqih wanita
yang dimaksud Nikah atau perkawinan adalah Sunnatullah pada hamba-hamba-Nya.
Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan.
Sunnatullah yang berupa
perkawinan ini tidak hanya berlaku dikalangan manusia saja, tapi juga didunia
binatang. Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Dan segala sesuatu Kami
ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebersamaan Allah.”
Namun demikian, Allah SWT
tidak menghendaki perkembangan dunia berjalan sekehendaknya.Oleh sebab itu
diatur-Nya lah naluri apapun yang ada pada manusia dan dibuatkan untuknya
prinsip-prinsip dan undang-undang, sehingga kemanusiaan manusia tetap utuh,
bahkan semakin baik, suci dan bersih.Demikianlah, bahwa segala sesuatu yang ada
pada jiwa manusia sebenarnya tak pernah terlepasdari didikan Allah.
Menurut pengertian
sebagian fukaha, perkawinan ialah aqad yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau ziwaj atau semakna
keduanya. Pengertian ini dibuat hanya melihat dari satu segi saja ialah
kebolehan hukum, dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita
yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Perkawinan mengandung aspek akibat
hukum melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta
bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena
perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya
tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT. Perkawinan ialah suatu aqad
atau perikatan untuk menghasilkan hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang meliputi
rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.[2]
B. Dasar Hukum Pernikahan
Sebagaimana ibadah lainnya,
pernikahan memiliki dasar hukum yang menjadikannya disarankan untuk dilakukan
oleh umat islam. Adapun dasar hukum pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits
adalah sebagai berikut :
Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).
”Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S.
An-Nuur : 32)
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
(Q.S. Ar-Ruum : 21).
”Wahai para
pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah,
hendaklah dia menikah; karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih
menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia
berpuasa; karena berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.
C. Rukun dan Syarat Nikah
1. Rukun
perkawinan
a.
Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yaitu
mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.
b.
Adanya wali.
c.
Adanya 2 orang saksi
d.
Dilakukan dengan shighat(akad) tertentu. sighat (akad)
yaitu perkataan dari pihak perempuan seperti kata wali. tidak sah nikah kecuali
dengan lafadz nikah.
2. Syarat dua mempelai
Adapun syarat dua
mempunyai ialah :
a.
Syarat pengantin pria
Syari'at islam menentukan
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para
ulama, ialah:
1) Calon suami beragama
islam.
2)
Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3)
Orangnya diketahui dan tertentu.
4)
Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan
calon istri.
5)
Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri
serta tahu betul calon istrinya halal baginya.
6)
Calon suami ridha (tidak dipaksa) untuk melakukan
perkawinan itu.
7)
Tidak sedang melakukan ihram.
8)
Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon
istri.
9)
Tidak sedang mempunyai istri empat.
b.
Syarat calon pengantin
perempuan
Syari'at islam menentukan
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para
ulama, ialah:
1) Calon suami beragama
islam.
2)
Terang bahwa ia wanita, bukan Khuntsa.
3)
Wanita itu tertentu orangnya.
4)
Halal bagi calon suami.
5)
Wanita tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih
dalam 'iddah.
6)
Tidak dipaksa/ikhtiyar.
7)
Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
c.
Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai
perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaklah seorang lelaki, muslim, baligh, berakal
dan adil, artinya tidak fasik. Karena itu perkawinan tanpa wali dianggap tidak
sah. Hal ini dilandaskan pada hadits Nabi SAW.:
لا
نكاح إلا بولى.(رواه الخمسة إلا أنسائى)
"Tidak
ada perkawinan tanpa wali." (HR. Al Khomsah kecuali
An Nasaiy)
Hanafi
Tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan
yang telah baligh dan berakal, boleh mengawinkan dirinya sendiri, tanpa wajib dihadiri
oleh dua orang saksi, sedang Malik berpendapat, wali adalah syarat untuk
mengawinkan perempuan bangsawan, bukan untuk mengawinkan perempuan awam.[3]
Wali
dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad nikah oleh karena itu, tidak
semua orang dapat diterima menjadi saksi atau wali.tetapi hendaklah orang-orang
yang memiliki beberapa sifat sebagai berikut :
1.
Islam.
orang yang tidak beragama islam tidak sah menjdi wali atau saksi.
2. Balig. (sudah berumur 15 tahun)
3. Berakal
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Adil
Yangdianggap sah menjadi wali mempelai perempuan ialah
menurut susunan yang akan diuraikan dibawah ini :
a.
Bapaknya
b. Kakeknya
(bapak dari bapak mempelai perempuan)
c. Saudara
laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
d. Saudara
laki-laki yang sebapak saja dengannya.
e. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
f. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
g. Saudara
bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
h. Anak
laki-laki pamanya dari pihak bapaknya
i.
Hakim[4]
d.
Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua
orang, lelaki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti
(faham) akan maksud akad nikah. Tetapi menurut Hanafi dan Hambali, boleh juga
saksi itu lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut Hanafi, boleh dua orang
buta atau dua orang fasik (tidak adil).
Selanjutnya orang tuli, orang
tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.Sebagian besar ulama
berpendapat saksi merupakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu perkawinan
(akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat Syafi'i, Hanafi
dan Hambali.
Bersifat adil
Menurut imam Hanafi untuk menjadi
saksi dalam perkawinan tidak di syaratkan harus orang yang adil, jadi
perkawinan yang di saksikan oleh dua orang fasik hukumnya sah.
Golongan Syafi’I berpendapat saksi itu harus orang
yang adil, sebagaimana tersebut dalam hadis :’’ Tidak sah nikah tanpa wali dan
dua orang saksi yang adil’’. Menurut mereka ini bila perkawinan di saksikan
oleh dua orang yang belum di kenal adil tidaknya, maka ada dua pendapat tetapi
menurut Syafi’I kawin dengan saksi-saksi
yang belum di kenal adil tidaknya, hukumnya sah.
Perempuan Menjadi Saksi
Golongan Syafi’I dan Hambali mensyaratkan saksi
haruslah laki-laki.Akad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan,
tidak sah, tetapi golongan Hanafi tidak mengharuskan syarat ini.Mereka
berpendapat bahwa kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua
perempuan sudah sah.
Harus Orang Merdeka
Abu Hanifah dan Syafi’I mensyaratkan orang yang
menjadi saksi harus orang-orang yang merdeka, tetapi Ahmad juga mengharuskan
syarat ini.Dia berpendapat akad nikah yang di saksikan dua orang budak,
hukumnya sah sebagaimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain,
dan karena dalam al Qur’an maupun hadist tidak ada keterangan yang menolak
seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur serta amanah,
kesaksiannya tidak boleh di tolak.
Harus Orang Islam
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat
menjadi saksi dalam perkawinan bilamana pasangannya terdiri dari laki-laki dan
perempuan muslim,apakah saksinya harus beragama islam? juga mereka berbeda
pendapat jika yang laki-lakinya beragama islam, apakah yang menjadi saksi boleh
orang yang bukan islam? Menurut Ahmad, Syafi’I dan Muhammad bin Al-Hasan perkawinannya
tidak sah, jika saksi-saksinya bukan islam, karena yang kawin adalah orang
islam, sedang kesaksian bukan orang islam terhadap orang islam tidak dapat di
terima.
Tetapi Abu Hanifah dan Abi Yusuf berpendapat bila
perkawinan itu antara laki-laki muslim dan perempuan ahli Kitab maka kesaksian
dua orang Ahli Kitab boleh di terima. Dan pendapat ini di ikuti oleh
undang-undang perkawinan mesir.
D.
Hikmah Nikah
Islam menganjurkan
menikah.itu merupakan kabar gembira, sebagaimana dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
karena nikah berpengaruh besar (secara positif) baik bagi pelakunya, masyarakat
maupun seluruh umat manusia. jadi,
banyak sekali hikmah yang terkandung dalam nikah, baik ditinjau aspek
sosial,psikologi, maupun kesehatan. adapun hikmah pernikhan sebagai berikut :
1.
Menyalurkan Naluri seks
Naluri seks merupakan naluri
terkuat yang selamanya menuntut jlan keluar. orang yang tidak bisa mencarikan
jalan keluar untuk memuaskannya, serin mengalami goncangan dan kekacauuan
bahkan tidak jarang seseorang melakukan kejahatan karenanya menikah merupakan
jalan keluar yang paling aman untuk menyalurkan naluri seks.
2.
Jalan mendapatkan keturunan yang
sah
Nikah merupakan jalan terbaik
untuk mendapatkan keturunan mulia (terhormat). melalui pernikahan, keturunan
menjadi banyak, kehidupan menjadi lestari, dan keturunan terpelihara sehingga
kelangsungan hidup suatu negara atau bangsa dapat terwujud.
3.
Penyaluran naluri kebapakan dan
keibuan
Mereka yang telah menikah dan
memperoleh anak, naluri kebapakan dan naluri keibuan akan tumbuh saling
melengkapi dalam suasana hidup kekeluargaan. ini akan menimbulkan perasaan
ramh, saling mencintai, dan saling menyayangi antara satu dengan anggota
keluarga lainnya.
4.
Dorongan untuk bekerja keras
Orang telah menikah dan
memperoleh anak akan terdorong menunaikan tanggung jawab dan kewajibannya
dengan baik sehingga dia akan bekerja keras untuk melaksanakan kewajibannya.
5.
Pengaturan hak dan kewajiban
dalam rumah tangga
Melalui perkawinan akan timbul
hak dan kewajiban suami isteri secara seimbang, juga adanya pembagian tugas
antara suami istri dalam hubungannya dengan pengembangan generasi yang baik
dimasa mendatang.[5]
6.
Membuahkan tali kekeluargaan,
memperteguh kelanggengan rasa cintaantar keluarga dan memperkuat hubungan
kemasyarakatan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam islam dianjurkan untuk Menikah. sebelum melaksanakan
pernikahan harus memulai dengan pinangan. yang dimaksud meminang atau khitbah
adalah permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk
menikahinya,baik dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun oleh pihak
yang dipercayainya sesuai dengan aturan agama.yang dimaksud dengan nikah adalah
akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta
tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan
mahram.
Adapun Rukun nikah sebagai
berikut:
1. Sighat (akad)
2. wali (wali si perempuan)
3. Dua orang saksi
4. Calon pengantin
Adapun syarat wali dan dua orang saksi yaitu :
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Adil
Adapun Hikmah nikah yaitu
1. Menyalurkan naluri seks
2. Jalan mendapatkan
keturunan yang sah
3. Penyaluran naluri
kebapakan dan keibuan
4. Dorongan untuk bekerja
keras
5. Pengaturan hak dan
kewajiban dalam rumah tangga
DAFTAR
PUSTAKA
Darajdat,Zakiah. Ilmu Fiqih.Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Na’im,Abdul Haris. Fiqih Munakahat. Kudus:Stain Kudus.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung:Sinar Baru Algesindo.
Supiana-Karman Muhammad. Materi Pendidikan Agama Islam.Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Sabiq,sayyid,fiqih
sunnah 6.Bandung:PT Alma’arif,1980
Tidak ada komentar:
Posting Komentar