BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah Peradaban Islam adalah
sesuatu yang wajib kita ketahui sebagai umat Islam, karena dari Sejarah
Peradaban Islam tersebut kita dapat belajar banyak hal dan banyak nilai-nilai
moral yang kita dapat seperti mempelajari hasil kebudayaan pada suatu peradaban
dan sistem pemerintahannya. Dari sinilah
kita akan memperoleh nilai-nilai sosial, moral, budaya, pendidikan dan politik.
Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan pada periode Islam klasik.. Banyak
orang Eropa mendalami studi di Universitas-Universitas Islam disana. Ketika itu
bisa dikatakan, Islam telah menjadi guru bagi orang Eropa. Selama delapan abad,
Islam pernah berjaya di bumi Eropa (Andalusia) dan membangun peradaban yang
gemilang.
Namun peradaban yang di bangun
dengan susah payah dan kerja keras kaum Muslimin itu, harus ditinggalkan dan
dilepas begitu saja karena kelemahan-kelemahan yang terjadi di kalangan kaum
Muslimin sendiri dan karena keberhasilan Bangsa Barat atau Eropa bangkit dari
keterbelakangan. Kebangkitan yang meliputi
hampir semua element peradaban, terutama di bidang politik yakni dengan
dikalahkannya kerjaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya sampai kemajuan
di bidang sains dan teknologi.Kesemuanya itu dapat menambah pengetahuan dan
wawasan kita, maka hal inilah yang melatar belakangi disusunnya makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat merumuskan beberapa masalah:
1. Bagaimanakah proses awal berdirinya daulah Bani Umayyah ?
2. Bagaimakanakan kebijakan dan Oreintasi Politik ?
2. Bagaimakanakan kebijakan dan Oreintasi Politik ?
3. bagaiaman Hukum dan Ekonomi ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Dinasti
Umayyah
1. Situasi Politik Ummat Islam
Sepeninggal ‘Ali ibn Abi Thalib
Pada saat
‘Ali r.a. menjabat sebagai khalifah, banyak terjadi pemberontakan. Diantaranya
dari Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur di
Damaskus, Siria) dan didukung oleh sejumlah mantan pejabat tinggi yang telah
dipecat ‘Ali r.a. Disini timbul indikasi fitnah atau perang saudara karena
Mu’awiyah menuntut balas bagi Utsman (keponakannya) dan atas kebijaksanaan-kebijaksanaan
‘Ali.Tatkala ‘Ali beserta pasukannya bertolak dari Kuffah menuju Siria, mereka
bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di tepi sungai Eufrat atas, Shiffin (657).
Terjadi lah perang yang disebut perang
Shiffin. Perang ini tidak konklusif sehingga terjadi kebuntuan yang akhirnya
mengarah pada tahkim atau arbitrase. Dalam majlis tahkim ini ada dua mediator
atau penengah. Mediator dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari (gubernur
Kuffah), sedangkan mediator dari pihak Mu’awiyah adalah ‘Amr ibn al-Ash. Namun
tahkim pun tetap tidak menyelesaikan masalah.
Menurut Ibnu
Khaldun, setelah fitnah antara ‘Ali – Mu’awiyah, jalan yang ditempuh adalah
jalan kebenaran dan ijtihad. Mereka berperang bukan untuk menyebar kebatilan
atau menimbulkan kebencian, tapi sebatas perbedaan dalam ijtihad dan
masing-masing menyalahkan hingga timbul perang. Walaupun yang benar adalah
‘Ali, Mu’awiyah tidak melakukan tindakan berlandaskan kebatilan, tetap
orientasinya dalam kebenaran.
Partai ‘Ali
terpecah menjadi dua golongan, yaitu Khawarij (orang-orang yang keluar dari
barisan ‘Ali sekaligus menentang tahkim) dan Syi’ah (para pengikut setia ‘Ali).
Sementara itu, Mu’awiyah melakukan strategi dengan menaklukkan Mesir dan
mengangkat ‘Amr ibn al-Ash sebagai khalifah di sana.
Jadi, di akhir masa pemerintahan ‘Ali, umat Islam
terpecah menjadi tiga kekuatan politik; Mu’aiyah, Syi’ah, dan Khawarij.
Kemunculan Khawarij semakin
memperlemah partai ‘Ali, di sisi lain Mu’awiyah semakin kuat. Mu’awiyah memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Yerusalem (660).
Kemudian ‘Ali wafat karena dibunuh oleh Ibn Muljam, salah seorang anggota
Khawarij (661).
2. Pengangkatan Hasan ibn ‘Ali
sebagai Khalifah
Setelah ‘Ali wafat, kursi jabatan
kekhalifahan dialihkan kepada anaknya, Hasan ibn ‘Ali. Hasan diangkat oleh
pengikutnya (Syi’ah) yang masih setia di Kuffah. Tetapi pengangkatan ini
hanyalah suatu percobaan yang tidak mendapat dukungan yang kuat. Hasan menjabat
sebagai khalifah hanya dalam beberapa bulan saja.
3. Peralihan Kekuasaan dari Hasan
ke Mu’awiyah
Di tengah masa kepemimpinan Hasan
yang makin lemah dan posisi Mu’awiyah lebih kuat, akhirnya Hasan mengadakan
akomodasi atau membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang diajukan Hasan
dalam perjanjian tersebut adalah:
Bani Umayyah atau Kekhalifahan
Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang
memerintah kurang lebih selam 90 tahun dari 661 M sampai 750 M dengan Damaskus
sebagai pusat pemerintahannya. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin ‘Abd
asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah yaitu Muawiyah bin
Abu Sufyan. Jabatan raja menjadi pusaka
yang diwariskan secara turun-temurun dengan sistem monarkhi. Kekuasaan Dinasti
Umayyah dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah
terbunuhnya Ali bin Abi Thalib (Khulafaur Rasyidin yang terakhir). Kemudian
orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali menyerahkan
jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka
mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah
yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang
Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi’ah.
Namun Hasan
bin Ali memberikan jabatan tersebut disertai dengan beberapa syarat atau lebih
dikenal dengan perjanjian Madain yang isinya diantaranya adalah :
1.
Agar
Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap penduduk Irak
2.
Agar pajak
tanah negeri Ahwaz diberikan kepada Hasan setiap tahun
3.
Muawiyah
harus membayar Husain sebesar 2 juta dirham
4.
Pemilihan
atau pengangkatan khalifah selanjutnya harus diserahkan kembali kepada
musyawarah kaum muslimin
Dengan
adanya perjanjian ini maka berakhirlah masa kekuasaan Khulafaur Rasyidin dan
menandai masa berdirinya kekuasaan Dinasti Umayyah. Adapun nama-nama khalifah yang pernah memimpin di daerah pemerintahan pusat
yaitu Damaskus, diantaranya adalah:
1.
Muawiyah I
bin Abu Sufyan (41-61 H / 661-680 M)
2.
Yazid I bin
Muawiyah (61-64 H / 680-683 M)
3.
Muawiyah II
bin Yazid (64-65 H / 683-684 M)
4.
Marwan I bin
al-Hakam (65-66 H / 684-685 M)
5.
Abdul-Malik
bin Marwan (66-86 H / 685-705 M)
6.
Al-Walid I
bin Abdul-Malik (86-97 H / 705-715 M)
7.
Sulaiman bin
Abdul-Malik (97-99 H / 715-717 M)
8.
Umar II bin
Abdul-Aziz (99-102 H / 717-720 M)
9.
Yazid II bin
Abdul-Malik (102-106 H / 720-724 M)
10.
Hisyam bin
Abdul-Malik (106-126 H / 724-743 M)
11.
Al-Walid II
bin Yazid II (126-127 H / 743-744 M)
12.
Yazid III
bin al-Walid (127 H / 744 M)
13.
Ibrahim bin
al-Walid (127 H / 744 M)
14.
Marwan II
bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira) (127-133 H / 744-750 M
B. Kebijakan dan Orientasi Politik
Pemindahan ibukota dari Madinah ke
Damaskus melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya untuk
selama-lamanya dari pusat Arabia, yakni Madinah yang merupakan pusat agama dan
politik kepada sebuah kota yang kosmopolitan. Dari kota
inilah daulat Umayyah melanjutkan ekspansi kekuasaan Islam dan mengembangkan
pemerintahan sentral yang kuat, yaitu sebuah imperium Arab.
Selama berkuasa, Dinasti Umayyah
terus melakukan perluasan wilayah hingga daerah kekuasaannya meliputi Spanyol,
Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia kecil,
Persia, Afganistan, Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah.Pada
masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan
menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah
Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu
kota Bizantium dan Konstantinopel. Ada tiga hal yang menyebabkan Muawiyah terus
berusaha merebut Byzantium, diantaranya adalah :
1.
Byzantium
merupakan basis kekuatan agama Kristen Ortodoks, yang pengaruhnya dapat
membahayakan Islam.
2.
Orang-orang
Byzantium sering mengadakan pemberontakan ke daerah-daerah Islam
3.
Byzantium
termasuk wilayah yang memiliki kekuasaan yang melimpah
Sedangkan ekspansi ke timur
ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin
Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan
berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand.
Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah
Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara
besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan
al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa
hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh
tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah
barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko
dapat ditundukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya
menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (maghrib) dengan benua Eropa,
dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal
Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi
sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat
dikuasai.
Menyusul setelah itu kota-kota
lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang
baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah
karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat
kekejaman penguasa.
Selain wilayah kekuasaan yang sangat
luas, di masa Dinasti Umayyah ini kebudayaan juga mengalami perkembangan,
antara lain seni sastra, seni rupa, seni suara, seni bangunan, seni ukir dan
lain sebagainya. Pada masa ini telah banyak
bangunan hasil rekayasa umat islam dengan mengambil pola Romawi, Persia dan
Arab. Salah satu dari bangunan itu adalah Masjid Damaskus yang dibangun pada
masa pemerintahan Walid bin abdul Malik dengan hiasan dinding dan ukiran yang
sangat indah. Contoh lain adalah bangunan masjid di Cordova yang terbuat dari
batu Pualam.
Dalam bidang ilmu pengetahuan,
perkembangan tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan agama saja, tetapi ilmu
pengetahuan umum, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, filsafat, astronomi,
geografi, sejarah, bahasa dan sebagainya. Kota yang menjadi pusat kajian ilmu
pengetahuan antara lain, Damaskus, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Cordova,
Granada dan lain-lain, dengan masjid sebagai pusat pengajarannya, selain
madrasah atau lembaga pendidikan yang ada.
Dinasti Umayyah juga banyak berjasa
dalam pembangunan berbagai bidang, Muawiyah bin Abi Sufyan mendirikan dinas pos
dan tempat-tempat tentu yang menyediakan kuda lengkap dengan peralatannya di
sepanjang jalan. Menertibkan angkatan
bersenjata dan mencetak mata uang. Spesialisasi jabatan Qadhi atau hakim yang
berkembang menjadi profesi tersendiri. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata
uang Byzantium dan Persia dengan mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M yang
memakai kata-kata dan tulisan Arab, kemudian melakukan pembenahan-pembenahan
administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi
administrasi pemerintahan Islam. Pada masa Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M)
banyak membangun panti-panti untuk orang cacat, jalan raya, pabrik-pabrik,
gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
1.
Diwan
Perkataan diwan, sebagaimana
ditulis Ibn Khaldun, berasal dari bahasa Persia “diwanah” yang berarti
catatan atau daftar. Nama ini kemudian berkembang menjadi untuk digunakan
sebagai tempat di mana diwan disimpan. Agar lebih praktis, nama ini disingkat
menjadi diwan. Diwan ini, di kalangan orang Arab didirikan pertama kali
didirikan oleh Umar bin Khattab, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Pada masa bani Umayah, menurut Hasan Ibrahim Hasan,
diwan yang didirikan terbatas pada empat diwan penting, yaitu Diwan Pajak,
Diwan Persuratan, Diwan Penerimaan dan Diwan Stempel di samping ada juga diwan
lain yang posisinya berada di bawah keempat di atas seperti diwan yang mengatur
keperluan polisi dan tentara.
2. Barid
Karena luasnya wilayah kekuasaan
Islam sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, pada masa bani Umayah sejak
khalifah Mu’awiyah telah dibentuk suatu badan atau lembaga yang pada masa
sekarang dikenal dengan nama Kantor Pos, yang bertugas mengantarkan surat-surat
maupun dokumentasi penting lainnya ke suatu wilayah, terutama dalam
pemerintahan Islam. Lembaga ini disebut dengan
Barid yang telah dijalankan oleh para kaisar Persia dan Romawi pada waktu itu.
Oleh karena itu, mengenai sebutan Barid ini ada yang mengatakan bahwa ia berasal
dari bahasa Persia, baridah yang berarti yang dipotong ekornya, karena
orang-orang Persia biasa memotong ekor kuda yang dipergunakan sebagai barid
agar bisa dibedakan dengan hewan tunggangan lainnya. Dalam bahasa Arab sendiri,
barid mengandung arti jarak yang ditempuh sejauh 12 mil yang kemudian
berkembang dan dipergunakan untuk nama utusan.
Abdul Malik bin Marwan, khalifah
ketiga bani Umayah (685-705 M.), karena pentingnya Barid ini dalam jalannya
roda pemerintahan, berpesan agar tidak menahan petugas Barid yang datang untuk
menemuinya baik siang maupun malam, karena jika hal itu terjadi, berarti
pekerjaan suatu wilayah telah hancur selama satu tahun lamanya.
3.
Kepolisian
Pada masa
Bani umayah kepolisian mengalami perkembangan. Berbeda dari masa-masa
sebelumnya, pada masa ini terutama pada pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik
(102-125H.) ketika dimasukkan seorang kepala yang berwewenang meneliti
tindakan-tindakan militer dan dianggap sebagai penengah antara wewenang kepala
polisi dan komandan militer.
Pada masa ini markas kepolisian
bertambah menjadi dua setelah Shalih bin Ali Al Abbasi mendirikan Darussyurthah
Al ‘Ulya, suatu markas kepolisian yang berlokasi di Al Mu’askar pada 132 H.
setelah sebelumnya telah didirikan pula Darussyurthah As Sufla, yang
berlokasi di Fusthat.
4. Angkatan Perang
Dalam masalah angkatan perang, bani
Umayah melanjutkan apa yang telah dilakukan Umar bin Khattab yang telah
membentuk Diwan Tentara yang bertugas megidentifikasi nama-nama, sifat-sifat,
gaji dan pekerjaan mereka dan mengembangkannya dengan mengadopsi sistem Ta’biah
dari orang-orang Persia, yaitu membagi para tentara menjadi lima kesatuan. Lima
kesatuan ini, sebagaimana diuraikan Hasan Ibrahim Hasan terdiri dari Jantung
Tentara karena berada di bagian tengah kesatuan, Kesatuan Kanan karena di
sebelah kanan, Kesatuan Kiri karena posisinya di sebelah kiri, Kesatuan
Pendahuluan, yaitu para penunggang kuda yang berada di depan dan Kesatuan
Pengiring yang berada di belakang kesatuan.
Salah satu perkembangan dalam bidang
angkatan perang ini adalah dibuatnya pabrik kapal laut pada tahun 54 H. setelah
serangan yang dilancarkan oleh tentara Romawi yang menyebabkan banyak kaum
muslimin yang gugur. Berkenaan dengan angkatan laut
Islam ini, Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa bangsa Arab dalam cara
berperang di laut pada mulanya meniru bangsa Byzantium. Namun, pada
perkembangannya kemudian merekalah yang menjadi guru bangsa Eropa dalam bidang
ini. Kenyataan ini seperti ditunjukkan dalam istilah-istilah kelautan yang
berasal dari bahasa Arab dan masih dipergunakan hingga sekarang.
5. Peradilan
Pada masa
bani Umayah, sebagaimana sebelumnya, para hakim yang diangkat adalah
orang-orang pilihan yang sangat takut kepada Allah Swt dan adil dalam
menetapkan suatu keputusan. Perkembangan yang terjadi adalah bahwa pada masa
ini keputusan-keputusan hakim sudah mulai dicatat. Hasan Ibrahim Hasan
mengatakan bahwa Salim bin Anas adalah hakim pertama pada masa bani Umayah yang
melakukan pencatatan ketetapan hukum.
Selain itu, peradilan pada masa bani
Umayah dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Al Qadla’, yaitu peradilan
yang menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama, Al Hisbah,
yang mengurus masalah-masalah pidana dan Al Mazhalim, yaitu lembaga
tertinggi yang mengadili para pejabat tinggi dan hakim-hakim. Yang terakhir ini juga dipergunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara
yang belum tuntaspada pengadilan Al Qadla’ dan Al Hisbah (pengajuan
banding). Pengadilan pada Al Mazhalim ini memiliki tingkat kepentingan yang
sangat tinggi sehingga, sebagaimana ditulis Hasan Ibrahim Hasan, setiap
persidangan pada Al Mazhalim harus dihadiri oleh lima kelompok persidangan,
mereka adalah para pembela dan pembantunya, para hakim penasehat, para ahli
fikih, para sekretaris dan para saksi.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Daulah Bani Umayyah didirikan
oleh Muawiyyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah tahun 661 M dan berkuasa
selama lebih kurang 90 tahun dengan Damaskus sebagai ibu kotanya. Muawiyyah
mendapatkan kekuasaannya setelah adanya perjanjian Madain dengan Hasan bin Ali.
Selama berkuasa kemajuan yang
dicapai meliputi hamper segala bidng seperti dalam bidang pembangunan masjid
dan tatanan kota yang sangat maju dan modern. Tidak hanya ilmu agama, ilmu
pengetahuan umum juga berkembang pesat. Luasnya wilayah kekuasaan yang meliputi
tiga benua, yakni Asia Tengah, Eropa dan Afrika Utara. Selain itu didirikan
juga pos-pos yang menyediakan kuda lengkap disepanjang jalan, menertibkan
angkatan bersenjata, mengganti mata u`ng Byzantium dan Persia dengan mencetak
mata uang tersendiri yang memakai kata dan tulisan Bahasa Arab pada tahun 659
M. Memberlakukan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan Islam, membangun
panti-panti untuk orang cacat, membangun jalan raya, pabrik-pabrik,
gedung-gedun pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Faktor-faktor penyebab
runtuhnya Daulah Bani Umayyah :
1. Pergantian
khalifah dari sistem musyawarah menjadi sistem kerajaan
2. Konflik-konflik politik dan
pertentangan antar suku yang memuncak
3. Pemerintahn yang korp, boros
dan bermewah-mewahan di kalangan istana
4. Lemahnya
para khalifah dalam memimpin pemerintahan sehingga kurang memperhatikan
kesejahteraan rakyat
5. Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh Al-Abbas
ibn Abdul Mutholib yakni kekuasaan Dinasti Abbasiyyah
Dalam masa lebih dari tujuh
abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya disana.
Banyak prestasi yang mereka peroleh bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan
kemudian dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks. Tapi pada abad 10 M dunia
Islam mulai menampakkan tanda-tanda kemunduran, begitu juga peradabannya.
Kemunduran itu terjadi setapak demi setapak, sehingga pada pertengahan abad ke
12 M , tibalah saatnya masa keruntuhan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Bullet, Ricard W, 1979,
Conversion to Islam In The Medieval Period, Massachusetts : President and
Fellow Of Harvard College.
Harvey, L,P,1990, Islamic
Spain, Chicago : The University Of Chichgo.
Hitti, Philip K, 1970, History
Of Arabs, London : Mac Millan and co LTD,Cet. Ke 10.
Holt,P.M dkk (ed) , 1970, The
Cambridge History Of Islam, New York : Cambridge University Press.
Sunanto, Musyrifah, 2004,
Sejarah Islam Klasik, Jakarta : Prenada Media, Cet Ke 2.
Yatim, Badri, 2006, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. Nke-1.
http://amirulbahri.wordpress.com/2011/08/16/peradaban-islam-masa-bani-umayyah-ii-di-andalusia/ dicopi pada tanggal 9 oktober
2012 pukul 09.32 WIB
Kumaidi, dkk.2009.Sejarah Kebudayaan
Islam.Jakarta:Akik Pusaka
Yatim, Badri.2000.Sejarah Peradaban Islam.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Yatim, Badri.2000.Sejarah Peradaban Islam.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar