BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan dihadapkan kepada tantangan peningkatan
layanan dan mutu pendidikan, tantangan ini memunculkan masalah isu-isu aktual
dalam masyarakat, antara lain pro dan kontra masalah penyelenggaraan sekolah
unggul, rendahnya mutu dilihat dari perolehan nilai hasil ujian nasional yang
dulu kerap dikenal dengan istilah NEM, angka partisipasi pendidikan, tingginya
angka putus sekolah, terbatasnya dana pendidikan di daerah terpencil dan
masalah lainnya.
Tuntutan akan peningkatan layanan dan mutu pendidikan
adalah merupakan salah satu dampak keberhasilan pembangunan dalam perubahan
sosial, antara lain meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan.
Cepatnya tuntutan ini tidak seimbang dengan daya dukung berbagai fasilitas dan
upaya kerap melahirkan isu-isu aktual seperti tersebut di atas. Diantisipasi
bahwa tuntutan ini cenderung semakin menguat selaras dengan pencapaian dari
keberhasilan pembangunan itu sendiri. Isu-isu aktual pendidikan memerlukan
perhatian dari berbagai pihak, sesuai dengan lingkup tanggung jawab pendidikan.
B. Rumusan Masalah
B. Rumusan Masalah
Jelaskan mengenai:
1.
Masalah Keutuhan Pencapaian
Sasaran
2. Masalah
Peranan Guru
3. Ujian
Nasional
4. Kekerasan
di Sekola
5. Dana
Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Masalah Keutuhan Pencapaian
Sasaran
Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 4 telah dinyatakan bahwa tujuan
pendidikan nasional ialah mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Kemudian
dipertegas lagi secara rinci di dalam GBHN butir 2a dan b, tentang arah dan
tujuan pendidikan bahwa yang dimaksud dengan manusia utuh itu adalah manusia
yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang memiliki hubungan secara vertical
(dengan Tuhan) dan Horizontal (dengan lingkungan dan masyarakat), dan
konsentris (dengan diri sendiri), yang berimbang antara duniawi dan ukhrawi.
Konsepnya sudah cukup baik. Tetapi di dalam
pelaksanaannya pendidikan afektif belum ditangani semestinya. Kecenderungan
mengarah kepada pengutamaan pengembangan aspek kognitif. Pendidikan agama dan
Pendidikan Moral Pancasila misalnya yang semestinya mengutamakan penanaman
nilai-nilai bergeser kepada pengetahuan agama dan Pancasila. Keberhasilan
pendidikan dinilai dari kemampuan kognitif atau penguasaan pengetahuan.
Pengembangan daya pikir dinomorsatukan, sedangkan pengembangan perasaan dan
pengamalan terabaikan. Padahal untuk pengembangan perasaan dan hati agar
memahami nilai-nilai tidak cukup hanya berkenalan dengan nilai-nilai melainkan
harus mengalaminya. Dengan mengalami peserta didik dibuka kemungkinannya untuk
menghayati hal-hal seperti kepercayaan diri, kemandirian, keyakinan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghargaan terhadap waktu dan kerja,
kegairahan belajar, kedisiplinan, kesetiakawanan sosial, dan semangat
kebangsaan.
B. Masalah Peranan Guru
Dahulu pada sekolah sudah dapat beroperasi jika ada
murid, guru, dan ruangan tempat belajar dengan beberapa sarana seperlunya, guru
merupakan satu-satunya sumber belajar, ia menjadi pusat tempat bertanya. Tugas
guru memberikan ilmu pengetahuan kepadamurid. Cara demikian dipandang sudah
memadai karena ilmu pengetahuan guru belum berkembang, cakupannya masih terbatas.
Dengan singkat dikatakan tugas guru adalah
“membelajarkan pelajar”. Guru mendudukkan dirinya hanya sebagai bagian dari
sumber belajar. Beraneka ragam sumber belajar yang hanya justru dapat ditemukan
di luar diri guru seperti perpustakaan, taman bacaan, museum, orang-orang
pintar, kebun binatang, toko buku dll. Sebagaimana Comenius pernah mengingatkan
bahwa alam ini adalah buku besar yang sangat lengkap isinya.
Dari sisi kebutuhan murid, guru tidak mungkin seorang
diri melayaninya. Untuk memandu proses pembelajaran murid ia dibantu oleh
sejumlah petugas lainnya seperti konselor (guru BP), pustakawan, laboran, dan teknik
sumber belajar. Dengan hadirnya petugas lain tersebut guru kini memiliki cukup
waktu untuk mengajarkan hal-hal yang semestinya ia lakukan, tetapi selama itu
tertelantarkan lantaran ketiadaan waktu karena terpaksa menanggulangi
kegiatan-kegiatan yang semestinya dilakukan oleh tenaga-tenaga lainnya.
Melakukan kontak dan pendekatan manusiawi yang lebih
intensif dengan murid-muridnya. Pelayanan kelompok dan individual dalam bentuk
memperhatikan kebutuhan, mendorong semangat untuk maju berkreativitas, dan
bekerja sama, menumbuhkan rasa percaya diri, harga diri, dan tanggung jawab,
menghargai waktu, dan kedisiplinan, menghargai orang lain, dan menemukan jati
diri. Inilah sisi pendidikan dari tugas seorang guru yang telah lama
terabaikan. Dari sini pembelajaran ia diharapkan mampu mengelola proses
pembelajaran (sebagai manajer), menunjukkan tujuan pembelajaran (director),
mengorganisasikan kegiatan pembelajaran (coordinator), mengkomunikasikan murid
dengan berbagai sumber belajar (komunikator), menyediakan dan memberikan
kemudahan belajar (fasilitator), dan memberikan dorongan belajar (stimulator).
C.
Ujian Nasional
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian
yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam
beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di
masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan
mutu pendidikan. Dengan adanya ujian nasional, sekolah dan guru akan dipacu
untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti
ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa
didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil
yang sebaik-baiknya.Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa
tidak setuju karena menganggap bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang sangat
kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang
sedang kita kembangkan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan
untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih
berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih
berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotor, melalui strategi
dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual,
dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme.
Kita maklumi pula bahwa Ujian Nasional yang
dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis. Soal-soal yang
dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Hal ini akan
berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat
mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama
yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui
gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.
Selain itu, Ujian Nasional sering dimanfaatkan untuk
kepentingan diluar pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang
kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena
itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan,
seperti kasus kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa
hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.
Terlepas dari kontroversi yang ada bahwa sampai saat
ini belum ada pola baku sistem ujian akhir untuk siswa. Perubahan sering
terjadi seiring dengan pergantian pejabat. Hampir setiap pejabat ganti,
kebijakan sistem juga ikut berganti rupa.
Pelaksanaan UN mendapat berbagai kecaman dari berbagai
pihak, terutama dari komunitas pendidikan di Tanah Air. Apa UN relevan menjadi
senjata peningkat mutu dan membentuk standarisasi pendidikan nasional? Kalangan
pendidikan pun malah menganggap bahwa UN justru tidak sesuai dengan UU No
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan berbagai program
pemerintah lainnya. Kalangan aktivis pendidikan dari Koalisi Pendidikan pun
berpendapat serupa. "Penambahan mata pelajaran yang di-UN-kan semakin
mencerminkan betapa pemerintah semakin besar kuasanya dalam menentukan
kelulusan," ujarnya. Dia berpandangan, terjadi kekeliruan berpikir.
Pemerintah berkeinginan keras untuk menerapkan UN dengan harapan dapat
mengangkat kualitas pendidikan di Tanah Air. Peningkatan kualitas dianggap
cukup lewat tes. Padahal, kualitas hanya dapat diperoleh lewat proses.
Pemerintah justru harus melihat faktor-faktor penentu berjalannya proses dan
sejauh mana itu sudah terpenuhi di sekolah.
Penerapan standard tunggal evaluasi hasil belajar
dalam bentuk ujian nasional saat ini tampaknya masih sulit diterapkan di
Indonesia. Sulitnya penerapan standar tunggal hasil belajar itu berkaitan erat
dengan masih tingginya tingkat disparitas kualitas antarsekolah di Indonesia.
”Mengacu pada PP No 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, penilaian pendidikan
tidak hanya dilakukan dengan mengevaluasi hasil belajar, tetapi juga mencakup
proses belajar-mengajar dan upaya pencapaian tujuan yang dilakukan. Kalau
sekarang proses belajar-mengajarnya saja masih sangat berbeda satu sama lain
kualitasnya, hasilnya tentu juga akan sangat berbeda. Arena pendidikan dari
wilayah yang berbeda (desa-kota, misalnya) pun menyebabkan perbedaan kualitas
pendidikan.
D.
Kekerasan di Sekolah
Kekerasan di dunia pendidikan kembali terjadi.
Beberapa kali kasus selalu terjadi, baik sekolah kota maupun disekolah yang ada
di desa. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka
Sirait mengatakan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah kembali terjadi
karena belum ada tindakan tegas dari pemerintah terhadap pelaku kekerasan di
sekolah. "Guru yang melakukan kekerasan, setahu saya belum ada yang sampai
dipecat karena Menteri menganggap ini hal biasa untuk mendisiplinkan anak.
Padahal itu salah," katanya saat berbincang dengan okezone, Rabu (28/9/2011).
Dampaknya, psikologis anak akan menjadi tertekan. "Itu salah satu proses
radikalisme terjadi. Kalau sekolah sudah mengajarkan kekerasan itu bagian dari
menumbuhkan sikap radikal," ujarnya.
Padahal Undang-Udang perlindungan anak tahun 2002
pasal 59 jelas menyebutkan sekolah wajib menjadi zona anti kekerasan. Guru yang
melakukan kekerasan terhadap anak tidak memenuhi syarat psikologis untuk
menjadi tenaga pengajar.
E. Dana Pendidikan
E. Dana Pendidikan
Muhammad Nuh sebagai menteri pendidikan nasional
mengajukan tambahan dana untuk anggaran pendidikan sebesar Rp 11,762 triliun
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2011.
Rencananya tambahan dana ini diajukan untuk menambah anggaran beasiswa dan juga
pendidikan di daerah timur Indonesia. Di satu sisi, hal ini patut diapresiasi
mengingat dana pendidikan di Indonesia akan ditambah. Tentu saja, jika
penyamapaiannya tepat, dana ini akan sangat membantu mereka yang tidak memiliki
akses terhadap pendidikan. Namun di sisi lain, hal ini akan menimbulkan
pertanyaan lebih jauh: akankah dana pendidikan ini tepat sasaran seperti yang
diharapkan?. Bahwa dengan anggaran pendidikan sekarang yang dipatok sebesar 20%
dari APBN, masih saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal,
pemerintah mematok adanya program wajib belajar sembilan tahun. Dan
kejadian-kejadian di atas terjadi pada daerah pendidikan dasar tersebut. Oleh
karena itu, wajar jika masyarakat akan menilai tambahan dana yang sekalipun
akan dikucurkan tersebut tidak akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat kecil terkait
akses pendidikan. Realitas yang ada sekarang ini menyatakan hal sebaliknya.
Malahan, yang akan timbul adalah ketakutan akan penyelewengan dana tersebut.
Menambahkan dana pendidikan itu memang perlu namun,
untuk apa penambahan tersebut dilakukan jika harus mengalami kebocoran
dimana-mana? Analoginya seperti menambahkan debit air bersih. Jika debit
ditambahkan namun kebocoran pada pipa tetap terjadi, akhirnya penambahan itu
akan sia-sia juga sebab yang membuat debit itu berkurang sampai di pelanggan bukan
hanya masalah besar atau kecilnya debit awal melainkan kebocorannya. Oleh
karena itu, yang seharusnya dilakukan sebelum penambahan dana adalah dengan
menanggulangi kebocoran itu terlebih dahulu. Dana bantuan operasional sekolah
(BOS) yang dialirkan ke daerah-daerah sudah sepatutnya diawasi pemakaiannya
oleh pemerintah daerah. Jangan sampai dana tersebut sampai pada tangan-tangan
yang tidak berhak mendapatkannya. Jika dana BOS ini sudah terealisasi dengan
baik, maka seharusnya masalah uang kursi dan seragam sekolah tidak lagi harus
dipermasalahkan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 4 telah dinyatakan bahwa tujuan
pendidikan nasional ialah mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Kemudian
dipertegas lagi secara rinci di dalam GBHN butir 2a dan b. Konsepnya sudah
cukup baik. Tetapi di dalam pelaksanaannya pendidikan afektif belum ditangani
semestinya. Kecenderungan mengarah kepada pengutamaan pengembangan aspek
kognitif.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kemendiknas tahun
2009 mengenai kondisi sekolah di Indonesia, masih banyak keprihatinan yang
harus diperhatikan oleh segenap bangsa dan tanah air.
Masalah kekerasan yang melanda dunia pendidikan juga menjadi
isu hangat yang sering diperbincangkan. Padahal Undang-Udang perlindungan anak
tahun 2002 pasal 59 jelas menyebutkan sekolah wajib menjadi zona anti
kekerasan.
B.
Saran
Demikianlah yang dapat kami uraikan tentang isu-isu
aktual yang terjadi di dunia pendidikan, kami menyarankan kepada teman-teman
yang ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang hal tersebut di atas untuk
mencari referensi melalui berbagai media yang tersedia.
Daftar Pustaka
Anonim. 2011. Problem Aktual Pendidikan. dari http://sancanation.blogspot.com
pada tanggal 25 September 2014 pukul 12:16 Wib.
Deswantoro. 2010. Masalah Layanan Dan Mutu Pendidikan.
dari http://deslih101010.blogspot.com pada tanggal 25 September 2014 pukul
12:18 Wib.
Lutfi, Ahmad. 2012. Isu-Isu Pendidikan, dari
http://lutfiyolutfi.blogspot.com pada tanggal 25 September 2014 pukul 12:21
Wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar