BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Teori merupakan bentuk
tertinggi dari pengetahuan. Karena tidak semua para ahli para ahli pandai
membuat dan menghasilkan teori – teori baru. Di sinilah mengapa orang yang
berhasil membuat teori sangat dihargai, karena teori merupakan tujuan utama
dari ilmu pengetahuan pada umumnya.
Hal yang paling penting
yang sama – sama dimiliki oleh para teoritikus adalah bahwa mereka tidak semata
– mata melukkiskann kehidupan sosial atau menceritakan sejarahh perkembangan
sosial demi kehidupan sosial, atau menceritakan sejarah perkembangan sosial itu
sendriri. Mereka lebih berusaha membantu kita untuk melihat masyarakat manusia
dengan cara tertentu sehingga apa yang kita peroleh dengan membaca karya –
karya mereka tidak hanya lebih banyak informasi mengenai kehidupan sosial,
melainkan sesuatu yang jauh lebih penting lagi, yaitu sebuah pemahaman yang
lebih baik mengenai hakekat hubungan – hubungan sosial manusia.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan Pengertian Dan Peranan Teori.?
2. Jelaskan Tentang Teori Fungsionalisme.?
3. Jelaskan Tentang Teori Struktural.?
4. Jelaskan Tentang Teori Konflik.?
5. Jelaskan Tentang Teori Pertukaran.?
6.
Jelaskan Tentang Teori Interaksionisme
Simbolik.
C.
TUJUAN
1. Untuk Menjelaskan Pengertian Dan Peranan Teori.
2. Untuk Menjelaskan Tentang Teori Fungsionalisme.
3. Untuk Menjelaskan Tentang Teori Struktural.
4. Untuk Menjelaskan Tentang Teori Konflik.
5. Untuk Menjelaskan Tentang Teori Pertukaran.
6.
Untuk Menjelaskan Tentang
Teori Interaksionisme Simbolik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN
PERANAN TEORI.
Teori merupakan bentuk
tertinggi dari pengetahuan. Karena tidak semua para ahli para ahli pandai
membuat dan menghasilkan teori – teori baru. Di sinilah mengapa orang yang
berhasil membuat teori sangat dihargai, karena teori merupakan tujuan utama
dari ilmu pengetahuan pada umumnya. Hal yang paling penting yang sama – sama
dimiliki oleh para teoritikus adalah bahwa mereka tidak semata – mata
melukkiskann kehidupan sosial atau menceritakan sejarahh perkembangan sosial
demi kehidupan sosial, atau menceritakan sejarah perkembangan sosial itu
sendriri. Mereka lebih berusaha membantu kita untuk melihat masyarakat manusia
dengan cara tertentu sehingga apa yang kita peroleh dengan membaca karya –
karya mereka tidak hanya lebih banyak informasi mengenai kehidupan sosial,
melainkan sesuatu yang jauh lebih penting lagi, yaitu sebuah pemahaman yang
lebih baik mengenai hakekat hubungan – hubungan sosial manusia.
Unsur – unsur utama sebuah
teori menurut Campbell (1994 : 15) adalah definisi, deskripsi, dan penjelasan.
Unsur – unsur utama sebuah
teori menurut Campbell (1994 : 15) adalah definisi, deskripsi, dan penjelasan.
1. Definisi,
memberitahu kita bagaimana penulis akan memakai istilah – istilah kuncinya,
setiap teoritikus tentang masyarakat misalnya, harus menjelaskan apa yang ia
maksud dengan kata masyarakat, dan menawarkan pandangan tertentu mengenai
peristilahan pokok, seperti interaksi, kontrak,maupun solidaritas.
2. Deskripsi,
merupakan sebuah kegiatan yang tanpa akhir dan selalu belum selesai serta tanpa
batas. Jadi, tidak terhingga banyaknya fakta yang harus ditemukan, diselidiki,
dibuktikan, atau diperdebatkan. Bahkan untuk teoritikus seleksi bahan tertentu
selalu diperlukan. Hal itu menunjukkan kepada kita bahwa apa yang terjadi ciri
khas dari sebuah pendekatan teoritis yang berbeda dari sebuah pendekatan
empiris dalam arti sempit yang berdasarkan pada fakta – fakta khusus yang
berkaitan.
3. Penjelasan,
harus melampaui makna deskripsi dengan mengatakan hal – hal apakah yang dapat
memberikan pada kita suatu tertentu mengenai mengapa suatu kenyataan seperti
itu? misal, mengapa suatu jenis masyarakat tertentu akan berubah, entah secara
lamban (evolusi) atau secara cepat (revolusi) menjadi masyarakat jenis lain?
dengan demikian, pada setiap teori yang memadai harus disertai dengan deskripsi
yang saling berkaitan serta memuncak dalam suatu bentuk penjelasan yang lebih
rinci.
Dan dapat disimpulkan bahwa
teori di satu pihak adalah rangkaian fakta – fakta dan konsep – konsep serta
generalisasi – generalisasi, dipihak lain merupakan perkiraan tentang implikasi
(akibat) dari rangakaian fakta – fakta, konsep – konsep, dan generalisasi –
generalisasi tersebut, yang satu sama lainnya sangat berhubungan.
1. Teori Sebagai Kerangka Kerja Untuk Melakukan Penelitian
Mengenai pentingnya teori
sebagai kerangka kerja untuk penelitian, dimaksudkan untuk mencegah praktek –
praktek pengumpulan data yang tidak memberikan sumbangan bagi pemahaman
peristiwa. Oleh karena itu sebuah teori yang berperan sebagai kerangka kerja
tersebut, implikasinya bahwa teori harus memiliki kegunaan sebagai berikut:
a. Teori harus mampu membantu
mensistematisasikan, menyusun data, maupun pemikiran tentang data sehingga
tercapai penelitian yang logis diantara aneka ragam data itu, yang semula kacau
balau. Di sinilah teori berfungsi sebagai kerangka kerja atau pedoman, bagan
yang sistematisasi maupun menjadi sistem acuan.
b. Mampu memberikan suatu skema atau
rencana sementara mengenai medan yang semula belum dipetakan sehingga terdapat suatu orientasi.
c. Mampu menunjukkan atau menyarankan arah
untuk penyelidikan lebih lanjut.
2. Teori Memberikan Suatu
Kerangka Kerja Bagi Pengorganisasian Butir – Butir Informasi Tertentu
Dalam hal ini fakta –
fakta, proposisi, dan kaidah – kaidah itu dapat diturunkan dari teori tersebut
dan disusun secara sistematik, yang dilengkapi dengan ciri – ciri pokok
selanjutnya, yaitu keumuman (generality), rasionalis, objektivitas, kemampuan
diperiksa kebenarannya dan kemampuan menjadi milik umum. Hal ini dapat dipahami
karena semua teori pada hakekatnya berusaha untuk memenuhi fungsi itu. Dalam
analogi ini dapat dimisalkan tentang teori belajar Robert Gagne. Menurut
pandangannya, belajar itu merupakan faktor yang luas yang dibentuk oleh
pertumbuhan. Pandangan teoritik yang dirumuskan Robert Gagne memberikan
sintesis dari penemuan – penemuan yang sangat kompleks dan beragam, menurutnya terdapat
lima jenis belajar, yaitu belajar informasi verbal, kemahiran intelektual,
pengaturan kegiatan kognitif, keterampilan motorik , dan belajar sikap.
3. Teori Berguna Untuk Mengungkapkan Kompleksitas Peristiwa Yang Kelihatannya
Sederhana
Secara umum, fungsi ketiga
dari suatu teori adalah bahwa teori sering mengungkapkan seluk beluk dan
kompleksitas peristiwa – peristiwa yang tampaknya sederhana. Suatu contoh
khusus adalah hakekat dan jenis – jenis belajar faktor – faktor yang
berpengaruh terhadap belajar dari model Bandura (1971). Untuk sebagian besar
kejadian, penjelasan yang dahulu diberikan terbatas pada segi peniruannya saja.
Artinya, pelajaran menirukan model dan mendapat reward atau hadiah. Karena
melakukan aktivitas yang diharapkan. Namun, teori belajar sosial dari Bandura
ternyata menunjukkan hal yang kompleks sebab mengenai situasi waktu, pengamatan
penunjukan tingkah laku hasil model berhari – hari dan berminggu – minggu,
mengenali kondisi belajar untuk gejala yang rumit penerapannya. Dengan demikian,
kejadian yang relatif sederhana yaitu tentang proses imitasi modeling (peniruan model) ternyata
kompleks karena memiliki implikasi yang luas bagi teori belajar dan
pembelajarannya.
4. Teori Berfungsi Untuk Mengorganisasikembali Pengalaman – Pengalaman
Sebelumnya
Di dalam ilmu pengetahuan,
keberadaan teori – teori lama mutlak diadakan peninjauan kembali untuk dikaji
dan diuji validitasnya dan relevansinya secara mendalam. Dalam hal ini dapat
diambil contoh dalam fisika yang mengorganisasikan kepercayaan intuitif ialah
hukum kelembaman (inersia) yang menyatakan bahwa suatu benda akan terus ke
dalam arah geraknya sampai ada kekuatan luar yang bekerja pada benda itu. Akan
tetapi, kepercayaan yang sudah diterima secara umum yang berasal dari Aristoteles
justru sebaliknya. Analisisnya menjelaskan suatu benda dalam keadaan gerak
hanya jika benda itu dikenal oleh suatu kekuatan. Demikianlah, ditemukannya
hukum kelembaman menghendaki pelu disusunnya kembali kepercayaan akal sehat
(Suppes, 1974 : 5).
5. Teori Berfungsi Untuk Prediksi Dan Kontrol
Hal ini dikemukakan oleh
Kerlinger (2000 : 16) bahwa di samping ilmuwan mempersoalkan penjelasan dan
pemahaman tentang ilmu, juga tidak kalah pentingnya adalah melakukan prediksi
dahn kontrol . Para pendukung pandangan ini dapat mengatakan bahwa edukasi
tentang suatu teori terletak pada kekuatan prediksinya. Jika dengan menggunakan
suatu teori kita mampu membuat suatu prediksi yang akurat maka teori itu akan
terkukuhkan. Tidak perlu lagi mencari lebih lanjut penjelasan – penjelasan yang
melandasinya. Mengapa demikian? Karena hal ini dapat membuat prediksi yang
andal, berarti dapat melakukan kontrol; mengingat kontrol itu dapat dijabarkan
dan prediksi. [1][1]
B. TEORI FUNGSIONALISME
1.
Pengertian Toeri Fungsionalisme
Fungsionalisme
struktural adalah sebuah
sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat
sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling
berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal
fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan
Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat
ini sebagai "organ" yang bekerja demi berfungsinya seluruh
"badan" secara wajar.[2][2]
Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk
menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik,
dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif."
Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural"
mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.
2.
Tokoh-Tokoh Pencetus Dan Konsep Dasar
Teori fungsionalisme
struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu
sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional
yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural
fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap
masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang
saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi
agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan
pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk
mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat
dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh
Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi
organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan
dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya
berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism,
dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak
analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam
kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat
adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang
dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing
yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi
satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan
merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim
dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu,
antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk
berbagai perspektif fungsional modern.
Selain dari Durkheim, teori
struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara
umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah :
Visi substantif mengenai tindakan sosial dan
Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai
tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam
menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.
C. TEORI STRUKTURAL.
1.
Pengertian Teori Struktural
Teori
struktural sastra tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai
objeknya kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu
seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai
unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain
dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu
bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra
struktural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan
dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari
pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh
terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan
menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.
Pendekatan struktural
berangkat dari pandangan kaum strukturalisme yang menganggap karya sastra
sebagai struktur yang unsurnya terjalin secara erat dan berhubungan antara satu
dan lainnya.Karya sastra merupakan sebuah kesatuan yang utuh.Sebagai kesatuan
yang utuh, maka karya sastra dapat dipahami maknanya jika dipahami
bagian-bagiannya atau unsur-unsur pembentuknya, relasi timbal balik antara
bagian dan keseluruhannya. Struktural genetik lahir sebagai wujud ketidak puasan
terhadap teori struktural yang melihat karya sastra sebagai sesuatu yang
otonom.[3][3]
2.
Tokoh-Tokoh Dan Konsep Dasar
Teori Struktural
a.
Aristoteles
Ada empat konsep dasar yang di temukan oleh
Aristoteles yaitu :
1)
Order
berarti urutan dan aturan. Urutan aksi harus teratur dan logis.
2)
Unity
berarti bahwa semua unsur dalam plot harus ada, dan tidak bisa
bertukar tempat tanpa mengacaukan keseluruhannya.
bertukar tempat tanpa mengacaukan keseluruhannya.
3)
Complexity berarti bahwa
luasnya ruang lingkup dan kekomplekan karya
harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang logis
untuk menghasilkan peredaran dari nasib baik ke nasib buruk ataupun sebaliknya.
harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang logis
untuk menghasilkan peredaran dari nasib baik ke nasib buruk ataupun sebaliknya.
4)
Coherence
berarti bahwa sastrawan tidak bertugas untuk menyebutkan hal-hal
yang benar terjadi, tetapi hal-hal yang mungkin atau harus terjadi dalam
rangka keseluruhan plot.
yang benar terjadi, tetapi hal-hal yang mungkin atau harus terjadi dalam
rangka keseluruhan plot.
b.
Ferdinand De Saussure
Secara garis besar, konsep
Saussure menganggap linguistik merupakan ilmu yang otonom.Jika ditarik dalam
ilmu sastra, maka karya sastra juga memiliki sifat keotonomian sehingga
pembicaraan mengenai karya sastra tidak perlu dikaitkan dengan ilmu-ilmu yang
lainnya.
D.
TEORI KONFLIK.
1.
Pengertian Teori Konflik
Konflik secara etimologis
adalah pertengkaran, perkelahian, perselisihan tentang pendapat atau keinginan;
atau perbedaan; pertentangan berlawanan dengan; atau berselisih dengan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik mempunyai arti percekcokan;
perselisiah; dan pertentangan.[4][4] Sedangkan menurut kamus sosiologi konflik bermakna the
overt struggle between inthviduals or groups within a society, or between
nation states, [5][5]yakni
pertentangan secara terbuka antara individu-individu atau kelompok-kelompok di
dalam masyarakat atau antara bangsa-bangsa.
Dengan demikian yang
dimaksud dengan teori konflik adalah any theory or collection of theories
that emphasizes the role of conflict, especially between groups and classes, in
human societies (beberapa teori atau sekumpulan teori yang menjelaskan
tentang peranan konflik, terutama antara kelompok-kelompok dan kelas-kelas
dalam kehidupan sosial masyarakat.[6][6]
2.
Tokoh-Tokoh Dan Asumsi
Dasar
Ada beberapa asumsi dasar
dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional
sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik
melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam
masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam
masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik
juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang
berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara
superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan
kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu
perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa
perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium,
teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik
kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah
kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik,
masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di
masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori
konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.
Tokoh-tokoh teori konflik terbagi ke dalam dua
fase yakni tokoh sosiologi klasik dan tokoh sosiologi modern. Adapun
tokoh-tokoh teori konflik sosiologi klasik adalah sebagai berikut:[7][7]
a.
Polybus
Teori konflik yang
dikemukakan oleh Polybus bertolak dari keinginan manusian membentuk suatu
komunitas sehingga teori konflik yang dikemukakan polybus diformulasikan
sebagai berikut:
Monarki atau sistem
pemerintahan dengan penguasa tunggal adalah kekuasaan terkuat yang merupakan
bentuk pertama komunitas manusia.
Transisi dari sistem
pemerintahan penguasa tunggal yang didasarkan pada kekuasaan atau kekuatan, kingship
(negara dalam sebuah kerajaan) kepada kekuasaan yang didasarkan pada keadilan
dan wewenang yang sah.
b.
Ibnu
Khaldun
Nama lengkapnya adalah Abu
Zaid ‘Abdul Rahman Ibn Khaldun dilahirkan di Tunisia pada tahun 1332 Masehi.
Ibnu Khaldun adalah Sosiolog sejati. Hal ini didasarkan pada pernyataannya
tentang beberapa prinsip pokok untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sosial dan
peristiwa-peristiwa sejarah. Prinsip yang sama juga dijumpai dalam analisis
Ibnu Khaldun terhadap timbul dan tenggelamnya Negara-negara.[8][8]
c.
Nicolo
Machiavelli
Nicolo Machiavelli adalah
seorang berkebangsaan Italia (1469-1527). Menurut Machiavelli pada awalnya
manusia hidup liar bagaikan binatang buas, ketika ras manusia semakin meningkat
jumlahnya mulai dirasakan kebutuhan akan adanya hubungan dan kebutuhan
pertahananan untuk menentang satu dengan yang lainnya dan memilih seseorang
yang sangat kuat dan berani untuk dijadikan sebagai pemimpin mereka yang harus
dipatuhinya. Kemudian mereka mengenal baik dan buruk dan dapat membedakan mana
yang baik dan yang jahat.[9][9]
d.
Jean
Bodin
Inti pemikiran Jean Bodin
pada konsepsi titah kedaulatan sebagai esensi dari masyarakat sipil. Namun
demikian, kedaulatan tidak pernah bisa dipisahkan dari prerogative formal.
Hukum diperlakukan sebagai titah kedaulatan. Hukum adat dipandang sah apabila
didukung oleh kedaulatan, karena kedaulatan memiliki wewenang tak terhingga
untuk membuat hukum.[10][10]
e.
Thomas
Hobbes
Teori konflik yang
dikemukakan oleh Thomas Hobbes adalah bahwa pada dasarnya dorongan utama dari
tindakan manusia diformulasikan sebagai berikut: pada tingkatan pertama manusia
dengan keinginannya terus-menerus dan kegelisahannya akan kekuasaan setelah
berkuasa, artinya rasa ingin berkuasa akan berhenti bilamana sudah masuk liang
kubur. Hal ini terwujud dalam dua hal, seorang raja dan problematikanya karena
keinginan untuk berkuasa adalah sesuatu hal yang tak pernah mengalami kepuasan.[11][11]
E. TEORI PERTUKARAN
1. Pengertian Teori Pertukaran
Teori
pertukaran sosial adalah teori dalam ilmu sosial yang menyatakan bahwa dalam
hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan yang
saling memengaruhi. Teori ini menjelaskan bagaimana manusia memandang tentang
hubungan kita dengan orang lain sesuai dengan anggapan diri manusia tersebut
terhadap:
Ø Keseimbangan
antara apa yang di berikan ke dalam hubungan dan apa yang dikeluarkan dari
hubungan itu.
Ø Jenis
hubungan yang dilakukan.
Ø Kesempatan
memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Teori Pertukaran Sosial
dikembangkan oleh Thibault dan Kelley (1952) ini menganggap bahwa bentuk dasar
dari hubungan sosial adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang
berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi
kebutuhannya.
2.
Tokoh-Tokoh Dan Asumsi Dasar
Teori ini memandang
hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan
orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan
Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut:
“Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu
secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama
hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”. Berdasarkan
teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena
dari padanya kita memperoleh imbalan.
Dengan kata lain hubungan
pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori
pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat
hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya
terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut
dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut
terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit).
Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan,
pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan
dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling
sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya,
pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan –
hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa
teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan
perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika
merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Teori pertukaran sosial melihat
antara perilaku dengan lngkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (
reciprocal), karena lingkungan kita umumnya erdiri atas orang-orang lain, maka
kita dan orang –orang lain tersebut dipandang mempnyai perilaku yang saling
mempengaruhi. Hubungan pertukara dengan orag lain akan menghasilkan suatu
imbalan kepada kita.
a.
Thibault
dan Kelly
Teori Pertukaran Sosial
dari Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar dari hubungan sosial
adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan orang
lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Pada perkembangan
selanjutnya, berbagai pendekatan dalam teori pertukaran sosial semakin fokus
pada bagaimana kekuatan hubungan antar pribadi mampu membentuk suatu hubungan
interaksi dan menghasilkan suatu usaha, untuk mencapai keseimbangan dalam
hubungan tersebut.
Teori pertukaran sosial ini
juga digunakan untuk menjelaskan berbagai penelitian mengenai sikap dan
perilaku dalam ekonomi (Theory of Economic Behavior). Selain itu, teori ini
juga digunakan dalam penelitian komunikasi, misalnya dalam konteks komunikasi
interpersonal, kelompok dan organisasi. Oleh karena itu, teori pertukaran
sosial ini, selain menjelaskan mengenai sikap dalam ekonomi, juga menjelaskan
mengenai hubungan dalam komunikasi.
Thibault dan Kelley
menyimpulkan model pertukaran sosial sebagai berikut, “asumsi dasar yang
mendasari seluruh analisis kami adalah setiap individu secara sukarela memasuki
dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup
memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”. Ganjaran, biaya, laba dan
tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini (Rahmat,
2002)
b.
George
C. Homans (1974 )
George C. Homan terkenal
dengan teori pertukaran sosial pada peringkat mikro iaitu dalam konteks
psikologi. Beliau percaya bahawa struktur manusia tidak berlaku secara
semulajadi atau di luar jangkaan pemikiran manusia seperti mesin. Sesuatu yang
berlaku itu merupakan perilaku ataupun tindakan manusia itu sendiri dimana ia
dipengaruhi tindakan serta pemikiran seseorang. Didalam struktur sosial yang
sedia ada, seseorang itu tidak dapat mengambarkan sesuatu kejadian itu dapat
mempengaruhi perilaku atau tindakan orang lain dari segi tindak balas dan
sebagainya. Jika pernyataan tersebut dikatakan oleh Homan terlalu bersifat
struktur, maka ia dapat mengambarkan ciri-ciri atau sifat bagi seluruh kaum
fungsionalisme. Misalnya Malinowski mengambarkan bahawa sesuatu benda yang
berlaku itu bukan hanya menghubungkan antara satu dengan yang lain, tetapi juga
memerlukan hubungan individu dengan anggota masyarakat tersebut. Selain itu,
Homan juga menyatakan bahawa sesuatu ganjaran itu datangnya daripada linkungan
masyarakat yang bersifat fungsionalisme iaitu masyarakat yang bersikap positif
dalam memberi sumbangan samada dalam bentuk kelestarian, integrasi dan juga
teladan yang boleh dijadikan panduan umum masyarakat. Disamping itu, Homan juga
menyatakan bahawa ada suatu hubungan yang positif di antara ganjaran atau
sumbangan yang diperolehi dengan pengekalan struktur masyarakat. Ini kerana
sumbangan dan juga ganjaran merupakan sebahagian daripada keperluan dalam
mengekalkan kesejahteraan masyarakat sejagat dimana ia penting untuk menilai
perubahan masyarakat.
Menuru Homans, “semua
tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu betuk tindakan
tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan
tindakan tertentu tadi”, Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi
seseorang maka makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut di ulangnya
kembali. Perinsif dasar dalam Social Exchange adalah “ Distributive Justice”
yaitu aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan
investasi. Seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan
mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan
pengorbanan yang telah dikeluarkannya, makin tinggi pengorbanan , makin tinggi
imbalannya, dan keuntungan yang diterim oleh setip pihak harus sebanding dengan
investasinya, makin tinggi investasi makin tinggi keuntungan.
c.
Peter M. Blau
Blau mengatakan tidak semua
perilaku manusia dibimbing oleh pertukaran sosial, tetapi dia berpendapat
kebanyakan memang demikian. Social Exchange yang dimaksudkan dalam teori Blau
ialah terbatas pada tindakan-tindakan yang tergantung pada reaksi-reaksi
penghargaan dari orang lain dan berhenti apabila reaksi-reaksi yang diharapkan
itu tidak kunjung munncul.
Dengan menggunakan
paradigma Menurut ahli sosiologi dari Amerika iaitu Peter Blau.Beliau
menempatkan dirinya pada permasalahan yang bersumberkan proses sosial yang
mengatur struktur komuniti dan struktur sosial yang sangat kompleks, dari
proses yang lebih meluas pada aktiviti seharian hubungan antara individu dan
hubungan peribadi antara mereka.Berbeza dengan Homans,Blau lebih melihat pada
peringkat dimensi kekuasaan di dalam pertukaran sosial.Transaksi dan kekuasaan
adalah akibat daripada pertukaran yang membentuk tekanan sosial sehingga harus
dipelajari daripada dimensi pertukaran itu sendiri dan bukan hanya daripada
sudut pandangan nilai dan konteks normatif sehingga dapat membatasi atau
menguat studi tersebut.Ketika seseorang menggunakan kekuasaannya terhadap orang
lain,maka segala bentuk kepuasannya bererti ia telah menekan dan meminta wang
daripada individu lain,iaitu orang yang dibebani oleh kekuasaan tersebut.Hal
ini tidak bererti bahawa hubungan sosial tidak semestinya dalam permainan yang
sama.Tetapi mungkin kekuasaaan itu bermaksud setiap individu-individu dapat memperolehi
keuntungan daripada kumpulan mereka
Perhatian utama Blau
ditujukan pada perubahan dalam proses-proses sosial yang terjadi sementara
orang bergerak dari struktur sosial yang terjadi sementara orang bergerak dari
struktur sosial yang sederhana menuju strutuktur sosial yang kompleks, dan pada
kekuatan-kekuatan sosial baru yang tumbuh dari yang terakhir. Tidak semua
transisi sosial bersifat simetris dan berdasarkan pertukaran sosial seimbang.
F. INTERAKSIONISME SIMBOLIK
1. Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik.
a. Pengertian interaksi
simbolik secara etimologi
Pengertian interaksi dalam
kamus bahasa Indonesia adalah saling mempengaruhi , saling menarik, saling
meminta dan memberi.[12][12]Dalam
bahasa inggris disebut interaction[13][13] yang dalam
kamus ilmiah berarti pengaruh timbal balik, saling mempengaruhi satu sama lain[14][14].
Sedangkan simbolik dalam kamus bahasa indonesia berarti perlambangan, dan dalam
bahasa inggris disebut symbolic yang dalam kamus ilmiah berarti perlambangan,
gaya bahasa yang melukiskan suatu benda dengan mempergunakan benda-benda lain
sebagai simbol atau pelambang.
b.
Pengertian interaksi dan simbolik secara terminologi
Interaksionisme simbolik
adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas
perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi.
Interaksionisme simbolik
(IS) adalah nama yang diberikan kepada salah satu teori tindakan yang paling
terkenal. Melalui interaksionisme simboliklah pernyataan-pernyataan seperti
“definisi situasi”, “realitas dimata pemiliknya”, dan “jika orang
mendefinisikan situasi itu nyata, maka nyatalah situasi itu dalam
konsekuensinya”, menjadi paling relevan. Meski agak berlebihan, nama IS itu
jelas menunjukkan jenis-jenis aktifitas manusia yang unsur-unsurnya memandang
penting untuk memusatkan perhatian dalam rangka memahami kehidupan sosial.[15][15]
2.
Tokoh-Tokoh Dan Asumsi Dasar
Tidak mudah menggolongkan
pemikiran ke dalam teori dalam artian umum karena seperti dikatakan Paul Rock,
pemikiran ini “sengaja dibangun secara samar” dan merupakan “resistensi
terhadap sistemasisasi”. Ada beberapa perbedaan signifikan dalam
interaksionalisme simbolik. Menurut Dauglas Goodman yang mengutip dari beberapa
tokoh interaksionalisme simbolik Blumer, Meltzer, Rose, dan Snow telah mencoba
menghitung jumlah prinsip dasar teori ini, yang meliputi:[16][16]
a.
Tak
seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir.
b.
Kemampuan
berpikir dibentuk oleh interaksi sosial.
c.
Dalam interaksi
sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan
kemampuan berpikir mereka yang khusus itu.
d.
Makna dan
simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi.
e.
Manusia
mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi
berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi.
f.
Manusia mampu membuat
kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampuan mereka
berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji
serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relative mereka,
dan kemudian memilih satu di antara serangkaian peluang tindakan itu.
g.
Pola
tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan
masyarakat.
G.
Tokoh-tokoh Teori Interaksionisme Simbolik
1.
Chales Horton Cooley
Dalam pandangan Cooley,
individu ada berkat proses berlanjut hidup secara biologis dan sosial.
Sebaliknya, masyarakat sangat terkantung dari individu, karena individu itulah
yang menyumbangkan sesuatu pada kehidupan bersama. Kehidupan manusia merupakan
satu kesatuan. Individu dan masyarakat bukanlah relitas-realitas yang terpisah,
melainkan merupakan aspek-aspek distributif dan kolektif dari gejala yang sama.
Dengan demikian, antara individu dan masyarakat merupakan dua sisi dari
realitas yang sama. Keduannya ibarat dua sisi dari satu mata uang.
2.
George Herbert Mead
Bagi Mead, tertib
masyarakat akanterjadi manakala ada komunikasi yang dipraktikkan melalui
simbol-simbol. Untuk menjelaskan sifat spesifik komunikasi ini, maka komunikasi
antar manusia harus di bandingkan dengan komunikasi antar hewan.
Gambaran mead yang terkenal
dalam hal ini adalah mengenai anjing yang berkelahi. Setiap isyarat seekor
anjing merupakan stimulasi bagi munculnya respon anjing lainnya. Demikian pula
sebaliknya, sehingga akan terjadi saling memberi dan menerima.
Anjing-anjing itu menyatu dalam “perbincangan isyarat”. Meski isyarat-isyarat
itu sendiri bukan merupakan suatu yang berarti , sebab isyarat itu tak membawa
makna. Anjing-anjing tiu bersiap dan mengantisipasi posisi yang lain secara
spontan.
3.
John Dewey
Teori pengenalan ini menghasilkan suatu citra manusia
yang dinamis, anti deterministik dan dengan optimisme. Manusia tidak secara
pasif menerima begitu saja pengetahuannya dari luar, tapi sebaliknya secara
aktif dan dinamis membentuk sendiri pengetahuan dan tindakannya. Lingkungan
soial dan situasi tertentu di mana seseorang hidup tidak sampai pada tingkat
yang mendeterminasi dirinya, tapi merupakan kondisi-kondisi terhadap bagaimana
dia menentukan sikapnya. Gambaran manusia yang demikian ini mengendalikan
kepercayaan akan kemampuan manusia, yang mendasari optimisme
4.
Herbert Blumer
Dalam konteks itu, menurut
Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan
mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi dimana dan kemana arah
tindakannya. Sebenarnya, interpretasi harus tidak di anggap hanya sebagai
penerapan makna-makna yang dipakai dan disempurnakan sebagai instrumen bagi
pengarahan dan pembentukan tindakan. Blumer mengatakan bahwa individu bukan di
kelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang mempermainkannya dan
memebentuk perilakunya. Gambaran yang benar ialah ia membentuk obyek-obyek itu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sesuai
paparan diatas dapat disimpulkan bawaha Fungsionalisme
struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya
menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian
yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara
keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi
Pendekatan
strukturalis terhadap sastra dan karya sastra harus di tempatkan dalam seluruh
model semiotic : penulis,membaca ,kenyataan,tetapi pula system sastra dan
sejarah sastra semuanya harus dimainkan peranya dalam interprestasi karya
sastra yang mnyeluruh. Tapi sekaligus harus dikatakan bahwa dalam rangka
semiotic analisis struktur tetap penting dan prlu
Teori
Konflik telah dikemukakan oleh para sosiolog baik oleh sosiolog klasik maupun
sosiolog modern. Teori konflik klasik cenderung memandang konflik ditinjau dari
segi sifat alami manusia yang cederung saling memusuhi dan saling menguasai
terutama dalam hal kekuasaan. Adapun teori konflik modern lebih bersifat
kompleks dan muncul sebagai kritikan atas teori fungsionalisme structural.
Tokoh yang sangat terkenal dengan teori konflik modern adalah Ralf Dahrendorf.
Interaksionisme
Simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap
realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah
fenomenologi.
Teori pertukaran sosial adalah teori dalam ilmu sosial yang menyatakan bahwa
dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan yang
saling memengaruhi. Teori ini menjelaskan
bagaimana manusia memandang tentang hubungan kita dengan orang lain sesuai
dengan anggapan diri manusia tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar Wardi, 2006 Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Pusat Bahasa, 2008 Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa,
Jary David dan Julia jary, 1991. Sosiology
Dictionary, New York: Harper Collins,
Supardan Dadang,. 2008 Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian
Pendekatan Srtuktural, Jakarta
Urry, John (2000). Sociology
beyond societies: mobilities for the twenty-first century. Routledge.
Teeuw, A. (1987).
Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Soeprapto, Riyadi. 2001. Interaksionisme
Simbolik perspektif sosiologi modern. Malang: Averroes Press
Jones, Pip. 1979 pengantar teori-teori sosial,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Goodman, Douglas. J. 2007. Teori Sosiologi
Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Daryanto, 1997. kamus bahasa indonesia
lengkap, Surabaya: Apollo
Agustin, Risa. kamus ilmiah populer. Surabaya:
Serba Jaya
[1][1] Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian
Pendekatan Srtuktural, Jakarta, 2008, halaman 59 - 68
[2][2] Urry, John (2000). "Metaphors". Sociology beyond societies:
mobilities for the twenty-first century. Routledge. hlm. 23
[7][7] Wardi
Bachtiar, Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. 2006. Hlm 108
[13][13] John M. Echols & Hassan Shadily, kamus inggris indonesia,
Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005 hlm:327
[16][16]
Goodman, Douglas. J.Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group,2007) hlm.289
Tidak ada komentar:
Posting Komentar