Selasa, 06 Juni 2017

MAKALAH KAJIAN KEILMUAN HADITS



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Urgensi hadis nabi baik dalam studi Islam maupun implementasi ajarannya—bukanlahhal yang asing bagi kaum muslimin umumny­a, apalagi bagi kalangan ulama. Hal ini mengingat hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri>’ al-Islami>) setelah al-Qur’an.
Sebagai referensi tertinggi kedua setelah al-Qur’an, Hadis membentuk hubungan simbiosis mutualism dengan al-Qur’an sebagai teks sentral dalam peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-teoritis namun juga terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan praktek keberagaman umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya. Bersama al-Qur’an, hadis merupakan “sumber mata air” yang menghidupkan peradaban Islam, menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.
Mengingat strategisnya posisi hadis dan urgensi mempelajarinya, maka ulama hadis memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya, meletakkan kaidah-kaidah dan metodologi khusus untuk menjaga hadis dari kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan serta melakukan riset-riset untuk meneliti validitas hadis dan melakukan dokumentasi dan kodifikasi dengan berbagai macam metode untuk memudahkan akses terhadap hadis. Demikian pula, mereka menjelaskan posisi dan urgensi hadis kepada umat dan memotivasi umat untuk mempelajarinya dan berpegang teguh kepada sunah dalam semua aspek kehidupannya.
Dalam konteks konsep keilmuan dewasa ini, ilmu hadis perlu diuraikan secara sistematis dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologinya. Demikian pula, verifikasi berbagai istilah (term) dan definisinyamasing-masing serta yang tidak kalah pentingnya adalah argumentasi-argumentasi tentang otoritas hadis serta eksistensinya sebagai landasan agama. Hal ini mengingat, tema-tema tersebut tidak jarang menjadi kontroversi dalam wacana studi Islam.
Dalam makalah sederhana ini dibahas tentang konsep hadis, terminologi, eksistensi serta otoritas (hujjiyah)-nya dalam syari’at Islam sebagai pengantar mengkaji berbagai aspek dan cabang ilmu hadis yang cukup luas.
B.     Ontologi dan eksistesi hadis dalam perspektif kajian keilmuan
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Dengan demikian, secara sederhana ontologi dapat dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada). Setiap disiplin ilmu mempunyai objek penelaahan yang jelas dan landasan ontologis yang berbeda-beda.
Adapun epistemologi merupakan gabungan dari dua kata yaitu episteme dan logos yang keduanya berarti teori ilmu pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi dapat didefiniskan sebagai ilmu yang membahas pengetahuan dan cara atau teknik dan prosedur untuk memperolehnya. Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan secara ilmiah yang disebut ilmu atau pengetahuan ilmiah.
Sementara itu, aksiologi atau juga disebut teori nilai, adalah ilmu yang menyoroti masalah nilai dan kegunaan ilmu.
 Landasan penelaahan suatu ilmu terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiganya perlu diuraikan dalam upaya menggambarkan hakikat keberadaan ilmu.
Dalam konteks ini, ilmu hadis sebagai suatu pengetahuan ilmiah, tentunya harus memenuhi syarat ontologis, epitemologi dan aksiologi tersebut.
Secara ontologis, eksistensi ilmu hadis berkaitan erat dengan keberadaan Nabi Muhammad SAW baik kehidupan maupun ajaran-ajarannya selain al-Qur’an yang dinilai penting sebagai landasan untuk memahami dan mengimplementasikan ajaran Islam secara holistik dan komprehensif.
Ilmu hadis adalah ilmu yang membahas tentang hadis Nabi Muhammad SAW yang berupa segala informasi yang dikaitkan dengan beliau baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat fisik dan kepribadiannya. Informasi tersebut diriwayatkan dalam bentuk teks yang sebut matan disertai rangkaian periwayatnya yang disebut sanad. Jadi, objek yang diteliti adalah sanad dan matan hadis.
Ilmu hadis umumnya dibagi dua macam yaitu ilmu al-h}adi>th dira>yah atau ilmu dira>yah al-h}adi>th dan ilmu al-h}adi>th riwa>yah atau ilmu riwa>yah al-h}adi>th.
 Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang mencakup informasi tentang perkataan Nabi SAW, perbuatan, taqri>r maupun s}ifat beliau, tentang cara periwayatan dengan penukilan redaksi secara teliti. Termasuk di dalamnya juga informasi tentang sahabat dan tabi’in menurut mayoritas ahli hadis.
 Topik pembahasan ilmu riwayat hadis adalah perkataan, perbuatan dan sifat-sifat dari segi penukilan. Ilmu ini mencakup pembahasan tentang segala yang berpautan dengan lafal dan periwayatan. Adapun, Ilmu hadis dirayah adalah ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat yang mencakup syarat, macam dan hukumnya serta keadaan perawi yang mencakup syarat, jenis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya. Obyek pembahasan ilmu ini adalah sanad dan matan hadis. Ilmu ini dirancang untuk mengetahui informasi terkait Nabi SAW dan tata cara periwayatan informasi tersebut dan tingkat orisinalitas dan validitasnya.
Adapun dari aspek epistemologi, metode untuk memperoleh ilmu hadis ini secara substansial juga dibagi menjadi dua menurut pembagian ilmu hadis di atas. Ilmu hadis riwayah diperoleh dengan menggunakan metode hafalan dan pencatatan karena sifatnya adalah menjaga agar nukilan dari Nabi tidak berubah. Sedangkan ilmu dirayah hadits cara memperolehnya adalah dengan melakukan penelitian sanad hadits dan matan hadits. Menurut Ibnu Sholah, dari dua cabang ilmu tersebut, ilmu hadis dikembangkan dalam pembahasan sekitar 75 cabang ilmu, diantaranya ma’rifah al-sahih min al-h}adi>th, ma’rifah al-h}asan, ma’rifah al-d}a’i>f, ma’rifah al-marfu>’, ma’rifah mukhtalaf al-h}adi>th, ma’rifah t}abaqa>t al-ruwah wa al-‘ulama>’.
 Hamzah al-Malibary meringkas bahwa ilmu hadis mencakup empat bagian utama yaitu ‘ilm al-riwayah, qawa>’id al-tash}i>h wa al-ta’li>l, ‘ilm jarh wa al-ta’di>l dan fiqh al-hadi>th.
 Termasuk yang perlu ditambahkan juga adalah cabang ilmu hadis yang penting dewasa ini yaitu sejarah perkembangan kodifikasi hadis dan ilmu hadis.
Dari aspek aksiologi, nilai guna ilmu hadis merujuk kepada kedudukan hadis sebagai marja’iyah al-‘ulya> fi al-Isla>m ba’da al-Qura>n (referensi/acuan nilai yang tertinggi dalam Islam setelah Al-Quran). Kandungan pesan yang termuat dalam hadis menjadi landasan dan pedoman keyakinan (akidah), hukum (syari’ah), dan etika dan moralitas (akhlak dan adab) bagi kaum muslimin.
 Nilai guna ilmu hadis, antara lain; (1) untuk mengetahui hadis yang dapat diterima atau ditolak untuk istidla>l dan istinba>t} dalam ijtihad dalam berbagai persoalan agama, (2) menguatkan ke-thiqah-an (kepastian keyakinan) akan hadis-hadis yang telah diverifikasi validitasnya sebagai sesuatu yang benar-benar berasal dari Nabi SAW, (3) sebagai keahlian metodologis bagi para pengkaji dan peneliti dalam menyeleksi riwayat-riwayat hadis dan informasi sejarah, menjaga orisinalitas ajaran Islam dari upaya penyelewengan (tah}ri>f) dan perubahan (tabdi>l) melalui pemalsuan riwayat dan penyisipan ajaran khurafat dan isra>iliyya>t, (5) mewaspadai dari ancaman sanksi berdusta atas nama Nabi SAW dalam periwayatan hadis.

C.    Terminologi yang berkembang seputar Hadis
Dalam referensi ilmu hadis, term yang berkembang dan dipakai luas seputar hadis tidak hanya satu yaitu hadis, namun juga al-sunnah, al-khabar dan al-athar. Keempat term tersebut ada yang mengartikan sama dan ada pula yang mengartikan berbeda. Tentunya, beragam terminologi ini perlu diklarifikasi maknanya sesuai dengan definisi dan konteks penggunaan masing-masing agar tidak menimbulkan kerancuan dan kesalahan persepsi (misunderstanding).
  1. Hadis
Arti kata hadis secara bahasa (etimologis), setidaknya memiliki tiga macam arti, yaitu:
a.       Hadis berarti khabar dan berita (al-Khabar wa al-naba>’), seperti tersebut dalam QS. An-Nazi’at: 15 dan al-Ghasyiyah: 52.
  1. Hadis bersinonim dengan al-kala>m, hal ini dapat dirujuk dari firman Allah SWT (QS. Az-Zumar: 23) ah}sanal–h}adi>th dalam ayat ini artinya ah}san al-kala>m (sebaik-baik perkataan). Lihat pula QS. Al-Mursalat: 50
  2. Hadis bermakna al-jadi>d (baru) sebagai lawan dari al-qadi>m (lama). Makna ini merupakan arti dasar dari kata al-hadis, yang kemudian digunakan untuk al-khabar (berita). Hal ini karena munculnya berita bersifat up to date dan berlangsung secara kontinu sebagian demi sebagian sehingga terasa sebagai sesuatu yang baru.
Konteks penggunaan kata hadis dalam ilmu hadis, tidak terpaut jauh dari makna etimologis di atas. Hadis merupakan sesuatu yang berisi informasi (al-khabar wa al-naba>’) dari kala>m Nabi SAW yang bersifat jadi>d bila dibandingkan dengan kala>m Allah SWT.
Adapun secara terminologis, di kalangan ahli hadis, setidaknya ada tiga versi pendapat tentang pengertian hadis secara istilah, yaitu:
1.      Perkataan Nabi SAW selain Al-Quran dan perbuatan, taqri>r, dan sifat-sifat khususnya, termasuk gerak dan diamnya, bangun dan tidurnya. Dengan demikian hadis hanya terbatas pada hadis marfu>’ saja. Hadis sinonim dengan sunah Nabi.
2.      Khusus untuk perkataan Nabi SAW. Dalam hal ini hadis adalah antonim dari sunah dimana sunah adalah amalan dan perbuatan Nabi SAW yang diteladani (t}ari>qah ‘amaliyah) dan merupakan penjelasan praktis Nabi SAW tentang ajaran Al-Quran dan bersifat mutawa>tir. Definisi ini merujuk kepada pengertian bahasa (etimologis) hadis yang berarti al-kala>m (perkataan). Dalam atha>r salaf di kalangan ulama hadis terdapat indikasi pembedaan ini. Abdurrahman bin Mahdi ketika ditanya tentang Malik bin Anas, al-Auza’y dan Sufyan bin ‘Uyainah menjawab:
سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ إِمَامٌ فِي الحَدِيثِ، وَالأَوْزَاعِيَّ إِمَامٌ فِي السُنَّةِ وَلَيْسَ بإِمَامٍ فِي الحَدِيثِ، وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ إِمَامٌ فِيهِمَا جَمِيعاً
“Al-Auza’y adalah imam dalam masalah sunah tapi bukan imam dalam masalah hadis. Sufyan adalah Imam dalam masalah hadis dan bukan imam dalam masalah sunah. Adapun Malik adalah imam dalam kedua hal tersebut”.
3.      Perkataan Nabi SAW—selain Al-Quran—, perbuatan, persetujuan Nabi atas sesuatu hal (taqrir), sifat fisik (khalqiyah) dan akhlak (khuluqiyah) serta seluruh informasi yang terkait dengan Nabi SAW baik sebelum diutus sebagai Nabi (qabla al-bi’tsah) atau sesudahnya (ba’da al-bi’tsah), termasuk pula biografi (sirah) dan peperangan (ghazawa>t) yang terkait kehidupan dan dakwahnya. Demikian pula, hadis mencakup perkataan dan perbuatan sahabat Nabi SAW dan tabi’in. Dengan demikian hadis meliputi riwayat yang marfu>’, mawqu>f dan maqt}u>’.
Menurut Nur al-din ‘Itr, definisi yang ketiga adalah definisi yang paling tepat. Hal ini dapat dibuktikan dengan realita dalam kitab-kitab hadis yang ada yang bukan hanya mencantumkan hadis-hadis yang marfu>’ kepada Nabi, namun juga hadis yang mawqu>f (perkataan shahabat) dan maqt}u>’ (perkataan tabi’in). Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ragam jenis kitab-kitab hadis seperti al-muwatha’, al-ja>mi’ al-s}ahi>h, al-sunan, terkandung di dalamnya hadis nabawi, perkataan (aqwa>l) shahabat dan tabi’in.

  1. Sunnah
Secara etimologis, Sunnah berarti al-t}ariqah dan al-sirah. yang berarti jalan, cara atau metode. Makna asal dari kata al-sunnah bermakna jalan yang dirintis dan ditempuh oleh orang terdahulu sehingga menjadi jalan yang selalu diikuti dan dilalui oleh orang-orang yang datang kemudian. Sunnah mencakup juga jalan yang dilalui hal itu baik ataupun buruk, atau jalan yang ditempuh kemudian diikuti orang lain, ataupun cara, arah, mode, peraturan, dan gaya hidup, kebiasaan (tradition) dalam hal yang positif ataupun negatif. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang mencontohkan suatu sunnah yang baik dalam Islam maka baginya pahala dari perbuatannya dan dari orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang mencontohkan suatu sunnah yang jelek dalam Islam maka baginya dosa dari perbuatannya dan dari orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”
Dalam istilah sebagian ahli hadis, sunnah adalah apa saya yang dikaitkan dengan Nabi SAW saja, namun mayoritas mereka menetapkan bahwa sunnah mencakup pula apa yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.
 Dengan demikian, sunnah menurut ulama hadis sinonim dengan hadis.
Adapun para ulama disiplin ilmu lain mendefinisikan hadis dalam perspektif keperluan bidang keilmuannya. Ahli Us}u>l fiqh mendefiniskan sunnah sebagai segala hal yang datang dari Nabi (selain al-Qur’an), baik perkataan, perbuatan maupun taqri>r yang pantas menjadi dalil hukum shara`’. Sementara menurut ahli Fiqih, sunnah adalah segala perintah yang datang dari Nabi yang hukumnya bukan fard}u atau wajib. Sunnah juga kadang diposisikan sebagai lawan dari bid’ah.
Sementara dalam tataran praktis-aplikatif—sebagaimana pendapat‘Itr—term sunnah lebih banyak dipakai oleh para ulama ushul fiqh, sementara term hadis, lebih banyak dipakai oleh ulama hadis. Menurut ulama ushul fiqh, sunnah lebih banyak disebut dalam konteksnya sebagai sumber penetapan syari’at (masdar tashri>’).
Sementara ulama hadis menggunakan secara luas sebagai “kata ganti” yang sinomin dengan hadis. Dalam hal ini ahli hadis mengkategorikan “sifat” sebagai bentuk sunnah.
Seubhi Sealeh yang menolak adanya klaim sinonim antara sunnah dan hadis, menurut tinjauan etimologis maupun terminologis. Sunnah lebih berkaitan dengan perbuatan (af’a>l) Nabi SAW dan lebih berorientasi aplikatif-fiqhy (living tradition) dari cara hidup (tariqah) Nabi SAW yang menjadi kebiasaannya (al-‘adah). Hal ini didukung keumuman konteks penggunaan term ini dalam hadis-hadis Nabi SAW.



2.      Khabar
Khabar adalah suatu informasi yang berimplikasi pembenaran atau pendustaan. Menurut S{ubhi S{a>lih, khabar lebih dekat untuk dianggap sinonim dengan hadis karena tahdi>th adalah bentuk ikhba>r dan hadis Rasulullah SAW adalah jenis khabar yang marfu>’ kepada Rasulullah SAW. Sejalan dengan pendapat tersebut, ‘Itr menilai bahwa hadis, khabar dan athar, ketiganya memiliki arti yang sama yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat jasmani (fisik), maupun sifat kepribadian (akhlak), termasuk pula apa yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.
Jika dilacak lebih jauh, terdapat sisi perbedaan ruang lingkup dari ketiga term tersebut bila disebutkan secara mutlak.
Khabar adalah yang paling luas ruang lingkupnya. Hal ini merujuk kepada makna bahasa, domain content khabar mencakup informasi apa saja, bukan hanya terkait Nabi SAW sampai generasi tabi’in, namun juga khabar tentang peristiwa, tokoh, dan tempat tertentu selain Nabi, Sahabat dan tabi’in. Dalam praktek para perawi pun, mereka tidak membatasi periwayatan hanya informasi Nabi SAW tetapi juga selain Nabi SAW dan dua generasi pertama Islam.

3.      Athar
Dalam Nukhbat al-Fikar, Ibnu Hajar mensinyalir adanya pendapat sebagian muhadithin yang mengkhususkan istilah atha>r untuk khabar yang mawqu>f dan maqthu’. Menurut An-Nawawi, khabar yang marfu’ ataupun mawqu>f semuanya disebut athar. Beliau menolak bahwa pendapat para ulama fiqh negeri Khurasan yang membedakan bahwa athar untuk khabar yang mawqu>f. ‘Itr sepakat pendapat al-Nawawi dengan alasan bahwa istilah athar sinonim dengan hadis yang bukan hanya marfu’, tapi juga mawqu>f dan maqthu’.
 Walaupun dalam pemakaianya istilah atha>r bersifat global yang mencakup hadis Nabi. Namun, jika pemakaiannya bersamaan dengan penyebutan istilah hadis, maka atha>r lebih menunjukkan makna perkataan sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in (al-qurun al-thalathah al-mufad}alah).
Sebagai kesimpulan dari sub bahasan ini, berikut urutan ruang lingkup dari yang paling luas cakupan maknanya ke paling sempit dari keempat istilah tersebut;

1.      Khabar
2.      Athar
3.      Hadis
4.      Sunnah
Sebagai catatan pula sejalan dengan pendapat S{ubhi Shalihdiskursus tentang perbedaan antara istilah hadis, khabar, sunnah dan athar tidak terlalu urgen dan substansial untuk diperdebatkan. Dalam tataran aplikasi, perbedaan arti masing-masing dapat dipahami dalam konteks kalimat dan pembahasannya.

D.    Macam-macam Kategori hadis :
            Kategorisasi hadis cukup beragam. Hal ini merujuk kepada perspektif tinjauannya yang berbeda-beda. Berikut ringkasan kategori tersebut:
1.      Kehujjahan/otoritas hadis (Hujjiyah al-Hadith)
Kata hujjjah menurut bahasa adalah alasan atau bukti, yaitu sesuatu yang menunjukkan kepada kebenaran atas tuduhan atau dakwaan, dikatakan juga hujjah dengan dalil. Adapun, landasan normatif dan logis bagi kehujahan (otoritas) hadis sebagai mas}dar (sumber) dan marja’ (rujukan) bagi ajaran Islam adalah sebagai berikut;
  • Al-Quran
  • Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk menjelaskan (tabyi>n) al-Quran. Allah SWT mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan pengajaran Allah SWT (al-h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang menyertai pewahyuan al-Quran yang setara dengan wahyu itu sendiri. Kalau al-Qur’an adalah wahyu matlu, maka sunnah merupakan wahyu ghair al-matluw
  • Pemberian otoritas penetapan hukum (tashri’) kepada Rasulullah disertai ancaman bagi yang sengaja menyelisinya. Perintah untuk berhukum kepada keputusannya ketika terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan. Tidak ada alternatif pilihan lain bagi orang yang beriman untuk menyelisihi keputusan (qad}a>’) itu. Menurut al-Shafi’i, keputusan (qad}a>’) Rasulullah tersebut dalam bentuk sunnah yang tidak disebutkan secara tekstual dalam al-Quran. Penegasan otoritas hukum ini disertai ancaman penegasian iman, penetapan sifat hipokrit dalam keimanan (nifa>q) bagi mereka tidak mengakuinya, serta ancaman keras berupa pembiaran dalam kesesatan dan vonis neraka bagi yang membenci ajaran Rasulullah SAW.
  • Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban taat tersebut sebagaimana kewajiban ta’at kepada Allah SWT. Tentunya, menaati Rasulullah berarti menaati ajarannya yang terdokumentasikan dalam hadis.
  • Penetapan Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang dicontoh dan diikuti peri kehidupannya, disertai penegasan bahwa Beliau adalah pribadi agung yang layak diteladani. Mengikutinya merupakan manifestasi cinta kepada Allah .
  • Hadis
    • Al-Quran dan Sunnah sebagai warisan pusaka Nabi yang wajib dipegang teguh.
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Aku telah tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya.

  • Penegasan Rasulullah SAW tentang otoritas pribadinya sebagai utusan (Rasul) Allah dalam persoalan hukum (tashri>’). Hal ini untuk membantah pendapat mungkir al-h}adi>th yang telah disinyalir oleh Rasulullah SAW akan muncul.
أَلَا هَلْ عَسَى رَجُلٌ يَبْلُغُهُ الْحَدِيثُ عَنِّي وَهُوَ مُتَّكِئٌ عَلَى أَرِيكَتِهِ فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ فَمَا وَجَدْنَا فِيهِ حَلَالًا اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ حَرَامًا حَرَّمْنَاهُ وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا حَرَّمَ اللَّهُ.
Ketahuilah, boleh jadi ada seseorang yang sampai kepadanya suatu hadis dariku dalam keadaan dia duduk di atas sofanya kemudian berkata “Cukuplah antara kami dan kalian Al-Quran (sebagai otoritas hukum), apa yang kita dapatkan ketetapan halalnya (itu saja) yang kita halalkan dan apa saja ketetapan haramnya, maka itulah yang diharamkan”. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah SAW adalah sama kedudukannya sebagaimana yang diharamkan Allah.

  • Penegasan kedudukan sunnah yang setara dengan al-Quran sebagai wahyu Allah.
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan sesuutu yang setara dengannya (yaitu al-hikmah berupa al-sunnah)

  • Penjelasan tentang konsekwensi ta’at dan maksiat terhadap ajaran (sunnah) Rasulullah SAW.
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
Semua pengikutku akan masuk surga kecuali yang enggan. Mereka (para Sahabat) bertanya; ‘Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?’. Rasulullah bersabda: Siapa yang taat kepadaku masuk surga dan siapa yang mendurhakaiku maka berarti dia enggan”.

  • Penegasan Rasulullah kepada umatnya untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah para al-khulafa’ al-Rashidin.
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun kepada seorang hamba habsyi (yang berkulit hitam). Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku maka akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah khulafa’ ar-rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dengan erat dan gigitlah dengan gigi geraham kalian (jangan sampai terlepas). jauhilah inovasi dalam cara beribadah, karena setiap inovasi semacam itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.

  • Kondisi umat yang jelek jika pemimpin tidak mengimplementasikan petunjuk dan sunnah Rasulullah.
قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ كَيْفَ قَالَ يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“……….Akan ada sesudahku para pemimpin yang tidak berpedoman kepada petunjukku dan tidak bejalankan sunnahku dan akan hadir di tengah-tengah mereka tokoh-tokoh yang hatinya seperti hati syetan dalam tampilan fisik manusia….

  • Al-Ijma’
Ijma’ (konsensus) ulama bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi umat Islam. Mereka sepakat bahwa al-sunnah al-mut}ahharah memiliki independensi dalam penetapan hukum syari’at dan produk hukumnya berkedudukan sama dengan al-Qur’an dalam penetapan hal dan haram.
Dalam tataran realitas, terdapat ijma’ kaum muslimin sepanjang masa untuk meneladani Nabi SAW dan menjadikan sunnahnya sebagai landasan berfatwa dan memutuskan hukum sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi berikutnya sampai dewasa ini.


  • Logika (al-Ma’qu>l)
Dalil al-Ma’qu>l yang bisa diajukan untuk menetapkan potensi hujji>yah dari sunnah Rasulullah SAW, antara lain; (1) Tidak mungkin beramal dengn hanya mengandalkan ketentuan hukum yang bersifat global dalam al-Qur’an tanpa penjelasan sunnah. Proses penyampaian risalah wahyu oleh Nabi SAW melibatkan pembacaan al-Qur’an dan penjelasan dengan sunnah. Sehingga, tidak cukup mengambil salah satu dan meninggalkan yang lain. Bahkan, menurut al-Auza’y (w. 157 H), al-Qur’an lebih membutuhkan (penjelasan) sunnah daripada sebaliknya (al-Kitab ah{waju ila> al-sunnah min al-sunnah ila> al-Kita>b). Yahya bin Abi Kathi>r (w. 129 H) menegaskan bahwa sunnah adalah penentu hukum bagi al-Quran (al-Sunnah qa>d}iyatun ‘ala> al-Kita>b). (2) Jika perbuatan Nabi mengandung probabilitas hukum; wajib untuk diikuti atau sebaliknya tidak wajib. Maka mengambil kemungkinan wajib lebih utama dan lebih hati-hati (ikhtiya>t}) dari perbuatan meninggalkan kewajiban, (3) Martabat nubuwwah adalah level yang tinggi dan mulia. Manusia yang terpilih adalah pemilik sifat-sifat yang agung. Mengikuti perbuatannya adalah bentuk kemuliaan. (4) Perbuatan Nabi SAW di atas kebenaran adalah suatu keniscayaan, maka meninggalkan kebenaran adalah kesalahan dan kebatilan.
Perlu ditegaskan bahwa, kewajiban ta’at kepada Rasul bukan hanya ketika beliau hidup, namun juga setelah wafatnya. Sebab, perintah ta’at bersifat universal dan mutlaq tanpa dibatasi waktu dan tempat tertentu. Di dalam hadis-hadis di atas, secara eksplisit Rasulullah memerintahkan untuk berpegang teguh kepada sunnahnya setelah wafat beliau. Untuk itu pula, Rasulullah SAW memotivasi umatnya untuk memperhatikan periwayatan hadis-hadis yang disampaikannya baik perhatian berbentuk riwa>yah maupun dira>yah. Rasulullah SAW bersabda:
« نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ »
“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengarkan sesuatu dari kami kemudian menyampaikannya seperti apa yang didengarnya. Boleh jadi orang yang disampaikan kepadanya sesuatu lebih paham dari orang yang mendengarnya (langsung dari sumber).”

Motivasi juga berbentuk informasi tentang kedudukan yang mulia bagi para ahli hadis yang mengemban misi sebagai penjaga eksistensi sumber syariat dalam “matan-matan riwayat”. Rasulullah SAW bersabda:
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ ، يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْغَالِينَ ، وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ ، وَتَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ
“Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil di setiap generasi. Mereka menolak penyimpangan yang dilakukakan orang-orang yang ekstrim, pemalsuan yang disisipkan (intih{a>l) dari para pendusta (al-mubt{ilu>n)dari sekte-sekte yang bid’ah dan interpretasi (ta’wi>l) dari orang-orang bodoh”.

2.      Diskursus tentang Eksistensi Hadis sebagai Landasan Agama
Kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-shar’yyah menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}’iy al-thubut, sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubut, sehingga yang qat}’iy diutamakan daripada yang z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai penjelas (bayan) bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-bayan) adalah adjektif (ta>bi’) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqriry menetapkan hal tersebut dalam hadis Mu’adz tatkala diutus ke Yaman.
Dari aspek kedudukannya dalam wacana agama, hadis memiliki beberapa fungsi yaitu:
1.      Hadis sebagai penguat dan penegas keterangan Al-Quran. Contohnya hadis Rasulullah SAW yang melarang perbuatan syirik, bunuh diri, saksi palsu, durhaka kepada orang tua menegaskan dan memperkuat larangan tersebut dalam Al-Quran.
2.      Hadis sebagai mubayyin bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga bentuk, yaitu (a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang bersifat global (mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan sholat yang diperintahkan dalam Al-Quran, (b) mengkhususkan (lex specialis) petunjuk yang bersifat umum (‘a>m) dari Al-Quran. Seperti hadis larangan menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa sebagai pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa’ ayat 24.
Dan yang ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan persyaratan) sesuatu yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti hadis yang menerangkan tentang bagian tangan yang dipotong dalam hukuman bagi pencuri adalah telapak sampai pergelangan tangan sebagai taqyid kata ‘yad’ dalam Al-Quran 5:38.
3.      Hadis sebagai na>sikh (meng-abrogasi) hukum al-Qur’an, seperti hadis “La was{iyyah li wa>rith” sebagai na>sikh terhadap QS. 2: 180.
4.      Hadis sebagai penetap hukum baru yang tidak disinggung oleh al-Qur’an. Seperti; hukuman rajam bagi pezina muhsan, keharaman perhiasan emas dan sutra bagi laki-laki, kewajiban zakat fitrah, keharaman daging keledai jinak, dll.
Selaras dengan keluasan wacana al-Quran, komprehensitas ruang lingkup pembahasan hadis juga mencakup semua aspek dan dimensi kehidupan manusia. Tema-tema hadis mencakup persoalan aqidah (teologi), hukum (yuridis), akhlak (moralitas dan etika), sejarah (historis), dll. Demikian pula mencakup persoalan-persoalan manusia dalam kehidupan individu (privat), keluarga, masyarakat dan bernegara. Dengan demikian, hadis berperan penting dan luas sebagai landasan wacana agama dalam segala dimensi dan aspeknya.
Mengingat strategisnya posisi hadis tersebut, Imam Al-Nawawi rah}imahullah menegaskan:“Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan hadis dari aspek sahi>h, hasan dan d}a’i>f-nya, muttas{il, mursal, munqathi’, mu’d}al, maqlu>b, mashhu>r, ghari>b, ‘azi>z, mutawa>tir, dstnya.” Hal ini didasari kenyataan bahwa syari’at Islam dilandaskan atas al-Qur’a>n dan sunah-sunah yang diriwayatkan.
Di atas sunahlah dibangun mayoritas hukum-hukum fikih, karena sebagian besar ayat-ayat yang mengatur masalah furu>‘ (fikih-pen) masih bersifat mujma>l (global) sementara penjelasannya terdapat dalam sunah yang menetapkan perincian hukumnya secara tegas (muh{kama>t). Di samping itu, dari aspek implementasi, para ulama sepakat bahwa syarat bagi seorang mujtahid yang bertugas sebagai qa>d{i (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama pemberi fatwa) haruslah memiliki kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis hukum. Kenyataan ini—menurut an-Nawawi—menegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu yang paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan bentuk qurbah (bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut menghimpun segala aspek penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT yang paling mulia—yaitu Nabi Muhammad SAW.

























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

  1. Ilmu hadis adalah ilmu yang memenuhi konsep filsafat ilmu, baik dari aspek ontologi, epistomologi dan aksiologi.
  2. Istilah hadis, sunnah, athar dan khabar adalah istilah yang sering dianggap sinonim. Pada aspek tertentu bermakna berbeda, terutama jika disebutkan bersamaan dalam satu kalimat (idha ijtama’a iftaraqa). Perbedaan definisi juga bergantung perspektif dan tinjuan keilmuan masing-masing bidang.
  3. Kategorisasi hadis cukup beragam, bergantung aspek tinjauannya. Ada tinjauan dari aspek kuantitas periwayatan, kualitas validitas, narasumber yang menjadi sandaran informasi, dll.
  4. Kedudukan hadis sebagai sumber tashri’ sangat kuat secara normatif, konsensus maupun secara rasional.
  5. Dalam wacana hadis sebagai landasan agama, hadis memiliki otoritas hukum yang independen, selain sebagai penegas, penjelas, pengikat dan pembatas cakupan hukum al-Quran.












DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Hasan al-Hadisi. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005)

Abu Zakariya, Yahya bin Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh alNawawi ‘ala> Shahi>h Muslim, Juz 1 (Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M)

Al-Amidy, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-‘Afify (Riya>d} : Dar Al-S{ami’y, cet. 1, 1424 H/2003 M) Juz 1

Al-Bukhari. Al-Jami’ As-Shohih. Tahqiq Muhibuddin al-Khatib. (Kairo: Al-Maktabah as-Salafiyah, cet. 1, 1400 H) Juz 1

Al-Jurjany. Mu’jam Al-Ta’rifa>t, ed. Muhammad S{iddiq al-Minshawy (Kairo: Dar al-Fad{ilah, ttp)

Al-Sakhawy, Tawd}ih al-Abhar li Tadhkirah Ibn al-Mulqin Fi ‘Ilm alAthar, ed. Abdullah bin Muhammad Abdurrahim al-Bukhary(Saudi: Maktabah Us}ul al-Salaf, cet. 1, 1418 H) Juz 1

Al-Sakhawy. Fath al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadis, ed. ‘Abdul Karim al-Khudhair dan Muhammad bin Abdullah Alu Fuhaid (Saudi: Maktabah Ushul as-Salafh, Cet.1, 1418 H) Juz 1
Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta :Pustaka Al-Kautsar;2011,cet ke-6, h.16
Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta : Faza Media, 2006, cet .ke-2, h.44
Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Op. Cit., h.12 & 14
[1][4] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : RajaGrafindo Persada : 1993, h.1-2
[2][5] Achmad Gholib, Op. Cit., h.102-104
[3][6] Munzier Suparta, Op. Cit., h.18-22
[4][7] Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta: Faza Media: 2006, cet ke-6, h.98-99
[5][8] Achmad Gholib, Ibid., h.100
[6][9] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT  RajaGrafindo Persada, 2006, h. 267-269
[7][10] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000, cet ke-7, h.142
[8][11] Ibid, h.295
[9][12] Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta : Faza Media, 2005, cet-2, h.71.
[10][13] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, h. 283
[11][14] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000, cet ke-7, h.144-145
[12][15]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, h.251
[13][16] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, h.254-257

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...