BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Urgensi hadis nabi baik
dalam studi Islam maupun implementasi ajarannya—bukanlahhal yang asing bagi
kaum muslimin umumnya, apalagi bagi kalangan ulama. Hal ini mengingat hadis
menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri>’
al-Islami>) setelah al-Qur’an.
Sebagai referensi
tertinggi kedua setelah al-Qur’an, Hadis membentuk hubungan simbiosis
mutualism dengan al-Qur’an sebagai teks sentral dalam peradaban Islam bukan
hanya dalam tataran normatif-teoritis namun juga terimplementasikan dalam
konsensus, dialektika keilmuan dan praktek keberagaman umat Islam seluruh dunia
sepanjang sejarahnya. Bersama al-Qur’an, hadis merupakan “sumber mata air” yang
menghidupkan peradaban Islam, menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum
muslimin dalam kehidupannya.
Mengingat strategisnya
posisi hadis dan urgensi mempelajarinya, maka ulama hadis memberikan perhatian
serius dalam bentuk menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan
mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya, meletakkan
kaidah-kaidah dan metodologi khusus untuk menjaga hadis dari kekeliruan dan
kesalahan dalam periwayatan serta melakukan riset-riset untuk meneliti
validitas hadis dan melakukan dokumentasi dan kodifikasi dengan berbagai macam
metode untuk memudahkan akses terhadap hadis. Demikian pula, mereka menjelaskan
posisi dan urgensi hadis kepada umat dan memotivasi umat untuk mempelajarinya
dan berpegang teguh kepada sunah dalam semua aspek
kehidupannya.
Dalam konteks konsep
keilmuan dewasa ini, ilmu hadis perlu diuraikan secara sistematis dari aspek
ontologi, epistemologi dan aksiologinya. Demikian pula, verifikasi berbagai
istilah (term) dan definisinyamasing-masing serta yang tidak kalah
pentingnya adalah argumentasi-argumentasi tentang otoritas hadis serta
eksistensinya sebagai landasan agama. Hal ini mengingat, tema-tema tersebut
tidak jarang menjadi kontroversi dalam wacana studi Islam.
Dalam makalah sederhana
ini dibahas tentang konsep hadis, terminologi, eksistensi serta otoritas (hujjiyah)-nya
dalam syari’at Islam sebagai pengantar mengkaji berbagai aspek dan cabang ilmu
hadis yang cukup luas.
B. Ontologi dan eksistesi
hadis dalam perspektif kajian keilmuan
Ontologi terdiri dari
dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud dan logos berarti ilmu. Dengan demikian, secara sederhana
ontologi dapat dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu
yang berwujud (yang ada). Setiap disiplin ilmu mempunyai objek penelaahan yang
jelas dan landasan ontologis yang berbeda-beda.
Adapun epistemologi
merupakan gabungan dari dua kata yaitu episteme dan logos yang
keduanya berarti teori ilmu pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi dapat
didefiniskan sebagai ilmu yang membahas pengetahuan dan cara atau teknik dan
prosedur untuk memperolehnya. Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan secara ilmiah
yang disebut ilmu atau pengetahuan ilmiah.
Sementara itu, aksiologi
atau juga disebut teori nilai, adalah ilmu yang menyoroti masalah nilai dan
kegunaan ilmu.
Landasan penelaahan suatu ilmu terdiri dari
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiganya perlu diuraikan dalam upaya
menggambarkan hakikat keberadaan ilmu.
Dalam konteks ini, ilmu
hadis sebagai suatu pengetahuan ilmiah, tentunya harus memenuhi syarat
ontologis, epitemologi dan aksiologi tersebut.
Secara ontologis,
eksistensi ilmu hadis berkaitan erat dengan keberadaan Nabi Muhammad SAW baik
kehidupan maupun ajaran-ajarannya selain al-Qur’an yang dinilai penting sebagai
landasan untuk memahami dan mengimplementasikan ajaran Islam secara holistik
dan komprehensif.
Ilmu hadis adalah ilmu
yang membahas tentang hadis Nabi Muhammad SAW yang berupa segala informasi yang
dikaitkan dengan beliau baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat
fisik dan kepribadiannya. Informasi tersebut diriwayatkan dalam bentuk
teks yang sebut matan disertai rangkaian periwayatnya yang disebut sanad.
Jadi, objek yang diteliti adalah sanad dan matan hadis.
Ilmu hadis umumnya
dibagi dua macam yaitu ilmu al-h}adi>th dira>yah atau ilmu dira>yah
al-h}adi>th dan ilmu al-h}adi>th riwa>yah atau ilmu riwa>yah
al-h}adi>th.
Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang mencakup
informasi tentang perkataan Nabi SAW, perbuatan, taqri>r maupun s}ifat
beliau, tentang cara periwayatan dengan penukilan redaksi secara teliti.
Termasuk di dalamnya juga informasi tentang sahabat dan tabi’in menurut
mayoritas ahli hadis.
Topik pembahasan ilmu riwayat hadis adalah
perkataan, perbuatan dan sifat-sifat dari segi penukilan. Ilmu ini mencakup
pembahasan tentang segala yang berpautan dengan lafal dan periwayatan. Adapun,
Ilmu hadis dirayah adalah ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat yang
mencakup syarat, macam dan hukumnya serta keadaan perawi yang mencakup syarat,
jenis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya. Obyek pembahasan
ilmu ini adalah sanad dan matan hadis. Ilmu ini dirancang untuk mengetahui
informasi terkait Nabi SAW dan tata cara periwayatan informasi tersebut dan
tingkat orisinalitas dan validitasnya.
Adapun dari aspek
epistemologi, metode untuk memperoleh ilmu hadis ini secara substansial juga
dibagi menjadi dua menurut pembagian ilmu hadis di atas. Ilmu hadis riwayah
diperoleh dengan menggunakan metode hafalan dan pencatatan karena sifatnya
adalah menjaga agar nukilan dari Nabi tidak berubah. Sedangkan ilmu dirayah
hadits cara memperolehnya adalah dengan melakukan penelitian sanad hadits dan
matan hadits. Menurut Ibnu Sholah, dari dua cabang ilmu tersebut, ilmu hadis
dikembangkan dalam pembahasan sekitar 75 cabang ilmu, diantaranya ma’rifah
al-sahih min al-h}adi>th, ma’rifah al-h}asan, ma’rifah al-d}a’i>f,
ma’rifah al-marfu>’, ma’rifah mukhtalaf al-h}adi>th, ma’rifah
t}abaqa>t al-ruwah wa al-‘ulama>’.
Hamzah al-Malibary meringkas bahwa ilmu hadis
mencakup empat bagian utama yaitu ‘ilm al-riwayah, qawa>’id
al-tash}i>h wa al-ta’li>l, ‘ilm jarh wa al-ta’di>l dan fiqh
al-hadi>th.
Termasuk yang perlu ditambahkan juga adalah
cabang ilmu hadis yang penting dewasa ini yaitu sejarah perkembangan kodifikasi
hadis dan ilmu hadis.
Dari aspek aksiologi,
nilai guna ilmu hadis merujuk kepada kedudukan hadis sebagai marja’iyah
al-‘ulya> fi al-Isla>m ba’da al-Qura>n (referensi/acuan nilai yang
tertinggi dalam Islam setelah Al-Quran). Kandungan pesan yang termuat dalam
hadis menjadi landasan dan pedoman keyakinan (akidah), hukum (syari’ah), dan
etika dan moralitas (akhlak dan adab) bagi kaum muslimin.
Nilai guna ilmu hadis, antara lain; (1) untuk
mengetahui hadis yang dapat diterima atau ditolak untuk istidla>l dan
istinba>t} dalam ijtihad dalam berbagai persoalan agama, (2)
menguatkan ke-thiqah-an (kepastian keyakinan) akan hadis-hadis yang
telah diverifikasi validitasnya sebagai sesuatu yang benar-benar berasal dari
Nabi SAW, (3) sebagai keahlian metodologis bagi para pengkaji dan peneliti
dalam menyeleksi riwayat-riwayat hadis dan informasi sejarah, menjaga
orisinalitas ajaran Islam dari upaya penyelewengan (tah}ri>f) dan
perubahan (tabdi>l) melalui pemalsuan riwayat dan penyisipan ajaran khurafat
dan isra>iliyya>t, (5) mewaspadai dari ancaman sanksi berdusta
atas nama Nabi SAW dalam periwayatan hadis.
C. Terminologi yang
berkembang seputar Hadis
Dalam referensi ilmu
hadis, term yang berkembang dan dipakai luas seputar hadis tidak hanya
satu yaitu hadis, namun juga al-sunnah, al-khabar dan al-athar.
Keempat term tersebut ada yang mengartikan sama dan ada pula yang
mengartikan berbeda. Tentunya, beragam terminologi ini perlu diklarifikasi
maknanya sesuai dengan definisi dan konteks penggunaan masing-masing agar tidak
menimbulkan kerancuan dan kesalahan persepsi (misunderstanding).
- Hadis
Arti kata hadis secara
bahasa (etimologis), setidaknya memiliki tiga macam arti, yaitu:
a.
Hadis berarti khabar dan berita (al-Khabar wa
al-naba>’), seperti tersebut dalam QS. An-Nazi’at: 15 dan al-Ghasyiyah:
52.
- Hadis bersinonim dengan al-kala>m, hal ini dapat dirujuk dari firman Allah SWT (QS. Az-Zumar: 23) ah}sanal–h}adi>th dalam ayat ini artinya ah}san al-kala>m (sebaik-baik perkataan). Lihat pula QS. Al-Mursalat: 50
- Hadis bermakna al-jadi>d (baru) sebagai lawan dari al-qadi>m (lama). Makna ini merupakan arti dasar dari kata al-hadis, yang kemudian digunakan untuk al-khabar (berita). Hal ini karena munculnya berita bersifat up to date dan berlangsung secara kontinu sebagian demi sebagian sehingga terasa sebagai sesuatu yang baru.
Konteks penggunaan kata
hadis dalam ilmu hadis, tidak terpaut jauh dari makna etimologis di atas. Hadis
merupakan sesuatu yang berisi informasi (al-khabar wa al-naba>’) dari
kala>m Nabi SAW yang bersifat jadi>d bila dibandingkan
dengan kala>m Allah SWT.
Adapun secara
terminologis, di kalangan ahli hadis, setidaknya ada tiga versi pendapat
tentang pengertian hadis secara istilah, yaitu:
1. Perkataan Nabi SAW
selain Al-Quran dan perbuatan, taqri>r, dan sifat-sifat khususnya,
termasuk gerak dan diamnya, bangun dan tidurnya. Dengan demikian hadis hanya
terbatas pada hadis marfu>’ saja. Hadis sinonim dengan sunah Nabi.
2. Khusus untuk perkataan
Nabi SAW. Dalam hal ini hadis adalah antonim dari sunah dimana sunah adalah
amalan dan perbuatan Nabi SAW yang diteladani (t}ari>qah ‘amaliyah)
dan merupakan penjelasan praktis Nabi SAW tentang ajaran Al-Quran dan bersifat mutawa>tir.
Definisi ini merujuk kepada pengertian bahasa (etimologis) hadis yang berarti al-kala>m
(perkataan). Dalam atha>r salaf di kalangan ulama hadis terdapat
indikasi pembedaan ini. Abdurrahman bin Mahdi ketika ditanya tentang Malik bin
Anas, al-Auza’y dan Sufyan bin ‘Uyainah menjawab:
سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ
إِمَامٌ فِي الحَدِيثِ، وَالأَوْزَاعِيَّ إِمَامٌ فِي السُنَّةِ وَلَيْسَ بإِمَامٍ
فِي الحَدِيثِ، وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ إِمَامٌ فِيهِمَا جَمِيعاً
“Al-Auza’y adalah imam
dalam masalah sunah tapi bukan imam dalam masalah hadis. Sufyan adalah Imam
dalam masalah hadis dan bukan imam dalam masalah sunah. Adapun Malik adalah
imam dalam kedua hal tersebut”.
3. Perkataan Nabi
SAW—selain Al-Quran—, perbuatan, persetujuan Nabi atas sesuatu hal (taqrir),
sifat fisik (khalqiyah) dan akhlak (khuluqiyah) serta seluruh
informasi yang terkait dengan Nabi SAW baik sebelum diutus sebagai Nabi (qabla
al-bi’tsah) atau sesudahnya (ba’da al-bi’tsah), termasuk pula
biografi (sirah) dan peperangan (ghazawa>t) yang terkait
kehidupan dan dakwahnya. Demikian pula, hadis mencakup perkataan dan perbuatan
sahabat Nabi SAW dan tabi’in. Dengan demikian hadis meliputi riwayat yang
marfu>’, mawqu>f dan maqt}u>’.
Menurut Nur al-din ‘Itr,
definisi yang ketiga adalah definisi yang paling tepat. Hal ini dapat
dibuktikan dengan realita dalam kitab-kitab hadis yang ada yang bukan hanya
mencantumkan hadis-hadis yang marfu>’ kepada Nabi, namun juga hadis
yang mawqu>f (perkataan shahabat) dan maqt}u>’ (perkataan
tabi’in). Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ragam jenis kitab-kitab
hadis seperti al-muwatha’, al-ja>mi’ al-s}ahi>h, al-sunan,
terkandung di dalamnya hadis nabawi, perkataan (aqwa>l) shahabat dan
tabi’in.
- Sunnah
Secara etimologis,
Sunnah berarti al-t}ariqah dan al-sirah. yang berarti jalan, cara
atau metode. Makna asal dari kata al-sunnah bermakna jalan yang dirintis
dan ditempuh oleh orang terdahulu sehingga menjadi jalan yang selalu diikuti
dan dilalui oleh orang-orang yang datang kemudian. Sunnah mencakup juga jalan
yang dilalui hal itu baik ataupun buruk, atau jalan yang ditempuh kemudian
diikuti orang lain, ataupun cara, arah, mode, peraturan, dan gaya hidup,
kebiasaan (tradition) dalam hal yang positif ataupun negatif. Rasulullah
SAW bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي
الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي
الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang
mencontohkan suatu sunnah yang baik dalam Islam maka baginya pahala dari
perbuatannya dan dari orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala
mereka sedikitpun. Barangsiapa yang mencontohkan suatu sunnah yang jelek dalam
Islam maka baginya dosa dari perbuatannya dan dari orang-orang yang
mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”
Dalam istilah sebagian
ahli hadis, sunnah adalah apa saya yang dikaitkan dengan Nabi SAW saja, namun
mayoritas mereka menetapkan bahwa sunnah mencakup pula apa yang disandarkan
kepada para sahabat dan tabi’in.
Dengan demikian, sunnah menurut ulama hadis
sinonim dengan hadis.
Adapun para ulama
disiplin ilmu lain mendefinisikan hadis dalam perspektif keperluan bidang
keilmuannya. Ahli Us}u>l fiqh mendefiniskan sunnah sebagai segala hal yang
datang dari Nabi (selain al-Qur’an), baik perkataan, perbuatan maupun taqri>r
yang pantas menjadi dalil hukum shara`’. Sementara menurut ahli Fiqih,
sunnah adalah segala perintah yang datang dari Nabi yang hukumnya bukan fard}u
atau wajib. Sunnah juga kadang diposisikan sebagai lawan dari bid’ah.
Sementara dalam tataran
praktis-aplikatif—sebagaimana pendapat‘Itr—term sunnah lebih banyak
dipakai oleh para ulama ushul fiqh, sementara term hadis, lebih banyak
dipakai oleh ulama hadis. Menurut ulama ushul fiqh, sunnah lebih banyak disebut
dalam konteksnya sebagai sumber penetapan syari’at (masdar tashri>’).
Sementara ulama hadis
menggunakan secara luas sebagai “kata ganti” yang sinomin dengan hadis. Dalam
hal ini ahli hadis mengkategorikan “sifat” sebagai bentuk sunnah.
Seubhi Sealeh yang
menolak adanya klaim sinonim antara sunnah dan hadis, menurut tinjauan
etimologis maupun terminologis. Sunnah lebih berkaitan dengan perbuatan (af’a>l)
Nabi SAW dan lebih berorientasi aplikatif-fiqhy (living tradition) dari cara
hidup (tariqah) Nabi SAW yang menjadi kebiasaannya (al-‘adah). Hal ini
didukung keumuman konteks penggunaan term ini dalam hadis-hadis Nabi
SAW.
2.
Khabar
Khabar adalah suatu
informasi yang berimplikasi pembenaran atau pendustaan. Menurut S{ubhi
S{a>lih, khabar lebih dekat untuk dianggap sinonim dengan hadis karena tahdi>th
adalah bentuk ikhba>r dan hadis Rasulullah SAW adalah jenis
khabar yang marfu>’ kepada Rasulullah SAW. Sejalan dengan pendapat
tersebut, ‘Itr menilai bahwa hadis, khabar dan athar, ketiganya memiliki
arti yang sama yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan,
perbuatan, ketetapan atau sifat jasmani (fisik), maupun sifat kepribadian
(akhlak), termasuk pula apa yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.
Jika dilacak lebih
jauh, terdapat sisi perbedaan ruang lingkup dari ketiga term tersebut
bila disebutkan secara mutlak.
Khabar adalah yang
paling luas ruang lingkupnya. Hal ini merujuk kepada makna bahasa, domain content
khabar mencakup informasi apa saja, bukan hanya terkait Nabi SAW sampai
generasi tabi’in, namun juga khabar tentang peristiwa, tokoh, dan tempat
tertentu selain Nabi, Sahabat dan tabi’in. Dalam praktek para perawi pun,
mereka tidak membatasi periwayatan hanya informasi Nabi SAW tetapi juga selain
Nabi SAW dan dua generasi pertama Islam.
3.
Athar
Dalam Nukhbat al-Fikar,
Ibnu Hajar mensinyalir adanya pendapat sebagian muhadithin yang
mengkhususkan istilah atha>r untuk khabar yang mawqu>f dan maqthu’.
Menurut An-Nawawi, khabar yang marfu’ ataupun mawqu>f semuanya
disebut athar. Beliau menolak bahwa pendapat para ulama fiqh negeri
Khurasan yang membedakan bahwa athar untuk khabar yang mawqu>f. ‘Itr
sepakat pendapat al-Nawawi dengan alasan bahwa istilah athar sinonim dengan
hadis yang bukan hanya marfu’, tapi juga mawqu>f dan maqthu’.
Walaupun dalam pemakaianya istilah atha>r
bersifat global yang mencakup hadis Nabi. Namun, jika pemakaiannya bersamaan
dengan penyebutan istilah hadis, maka atha>r lebih menunjukkan makna
perkataan sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in (al-qurun
al-thalathah al-mufad}alah).
Sebagai kesimpulan dari
sub bahasan ini, berikut urutan ruang lingkup dari yang paling luas cakupan
maknanya ke paling sempit dari keempat istilah tersebut;
1. Khabar
2.
Athar
3.
Hadis
4. Sunnah
Sebagai catatan pula sejalan
dengan pendapat S{ubhi Shalihdiskursus tentang perbedaan antara istilah hadis,
khabar, sunnah dan athar tidak terlalu urgen dan substansial untuk
diperdebatkan. Dalam tataran aplikasi, perbedaan arti masing-masing dapat
dipahami dalam konteks kalimat dan pembahasannya.
D. Macam-macam Kategori
hadis :
Kategorisasi hadis
cukup beragam. Hal ini merujuk kepada perspektif tinjauannya yang berbeda-beda.
Berikut ringkasan kategori tersebut:
1. Kehujjahan/otoritas
hadis (Hujjiyah al-Hadith)
Kata hujjjah
menurut bahasa adalah alasan atau bukti, yaitu sesuatu yang menunjukkan kepada
kebenaran atas tuduhan atau dakwaan, dikatakan juga hujjah dengan dalil.
Adapun, landasan normatif dan logis bagi kehujahan (otoritas) hadis sebagai mas}dar
(sumber) dan marja’ (rujukan) bagi ajaran Islam adalah sebagai berikut;
- Al-Quran
- Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk menjelaskan (tabyi>n) al-Quran. Allah SWT mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan pengajaran Allah SWT (al-h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang menyertai pewahyuan al-Quran yang setara dengan wahyu itu sendiri. Kalau al-Qur’an adalah wahyu matlu, maka sunnah merupakan wahyu ghair al-matluw
- Pemberian otoritas penetapan hukum (tashri’) kepada Rasulullah disertai ancaman bagi yang sengaja menyelisinya. Perintah untuk berhukum kepada keputusannya ketika terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan. Tidak ada alternatif pilihan lain bagi orang yang beriman untuk menyelisihi keputusan (qad}a>’) itu. Menurut al-Shafi’i, keputusan (qad}a>’) Rasulullah tersebut dalam bentuk sunnah yang tidak disebutkan secara tekstual dalam al-Quran. Penegasan otoritas hukum ini disertai ancaman penegasian iman, penetapan sifat hipokrit dalam keimanan (nifa>q) bagi mereka tidak mengakuinya, serta ancaman keras berupa pembiaran dalam kesesatan dan vonis neraka bagi yang membenci ajaran Rasulullah SAW.
- Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban taat tersebut sebagaimana kewajiban ta’at kepada Allah SWT. Tentunya, menaati Rasulullah berarti menaati ajarannya yang terdokumentasikan dalam hadis.
- Penetapan Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang dicontoh dan diikuti peri kehidupannya, disertai penegasan bahwa Beliau adalah pribadi agung yang layak diteladani. Mengikutinya merupakan manifestasi cinta kepada Allah .
- Hadis
- Al-Quran dan Sunnah sebagai warisan pusaka Nabi yang wajib dipegang teguh.
تَرَكْتُ فِيكُمْ
أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ
نَبِيِّهِ
Aku telah tinggalkan di
tengah-tengah kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang
teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya.
- Penegasan Rasulullah SAW tentang otoritas pribadinya sebagai utusan (Rasul) Allah dalam persoalan hukum (tashri>’). Hal ini untuk membantah pendapat mungkir al-h}adi>th yang telah disinyalir oleh Rasulullah SAW akan muncul.
أَلَا هَلْ عَسَى رَجُلٌ
يَبْلُغُهُ الْحَدِيثُ عَنِّي وَهُوَ مُتَّكِئٌ عَلَى أَرِيكَتِهِ فَيَقُولُ
بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ فَمَا وَجَدْنَا فِيهِ حَلَالًا
اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ حَرَامًا حَرَّمْنَاهُ وَإِنَّ مَا
حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا حَرَّمَ اللَّهُ.
Ketahuilah, boleh jadi
ada seseorang yang sampai kepadanya suatu hadis dariku dalam keadaan dia duduk
di atas sofanya kemudian berkata “Cukuplah antara kami dan kalian Al-Quran
(sebagai otoritas hukum), apa yang kita dapatkan ketetapan halalnya (itu saja)
yang kita halalkan dan apa saja ketetapan haramnya, maka itulah yang
diharamkan”. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah SAW adalah sama
kedudukannya sebagaimana yang diharamkan Allah.
- Penegasan kedudukan sunnah yang setara dengan al-Quran sebagai wahyu Allah.
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Ketahuilah,
sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan sesuutu yang setara dengannya (yaitu
al-hikmah berupa al-sunnah)
- Penjelasan tentang konsekwensi ta’at dan maksiat terhadap ajaran (sunnah) Rasulullah SAW.
كُلُّ أُمَّتِي
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ
يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
Semua pengikutku akan
masuk surga kecuali yang enggan. Mereka (para Sahabat) bertanya; ‘Siapa yang
enggan, wahai Rasulullah?’. Rasulullah bersabda: Siapa yang taat kepadaku masuk
surga dan siapa yang mendurhakaiku maka berarti dia enggan”.
- Penegasan Rasulullah kepada umatnya untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah para al-khulafa’ al-Rashidin.
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
Saya wasiatkan kalian
untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun kepada seorang hamba
habsyi (yang berkulit hitam). Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang
masih hidup sesudahku maka akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka hendaklah
kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah khulafa’ ar-rasyidin yang mendapat
petunjuk. Peganglah sunnah itu dengan erat dan gigitlah dengan gigi geraham
kalian (jangan sampai terlepas). jauhilah inovasi dalam cara beribadah, karena
setiap inovasi semacam itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.
- Kondisi umat yang jelek jika pemimpin tidak mengimplementasikan petunjuk dan sunnah Rasulullah.
قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ
الْيَمَانِقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ
بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ
قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ
ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ كَيْفَ قَالَ يَكُونُ بَعْدِي
أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ
فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ
قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ
فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“……….Akan ada sesudahku
para pemimpin yang tidak berpedoman kepada petunjukku dan tidak bejalankan
sunnahku dan akan hadir di tengah-tengah mereka tokoh-tokoh yang hatinya
seperti hati syetan dalam tampilan fisik manusia….
- Al-Ijma’
Ijma’ (konsensus) ulama
bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi umat Islam.
Mereka sepakat bahwa al-sunnah al-mut}ahharah memiliki independensi
dalam penetapan hukum syari’at dan produk hukumnya berkedudukan sama dengan
al-Qur’an dalam penetapan hal dan haram.
Dalam tataran realitas,
terdapat ijma’ kaum muslimin sepanjang masa untuk meneladani Nabi SAW dan
menjadikan sunnahnya sebagai landasan berfatwa dan memutuskan hukum sejak masa
sahabat, tabi’in dan generasi berikutnya sampai dewasa ini.
- Logika (al-Ma’qu>l)
Dalil al-Ma’qu>l yang
bisa diajukan untuk menetapkan potensi hujji>yah dari sunnah
Rasulullah SAW, antara lain; (1) Tidak mungkin beramal dengn hanya mengandalkan
ketentuan hukum yang bersifat global dalam al-Qur’an tanpa penjelasan sunnah.
Proses penyampaian risalah wahyu oleh Nabi SAW melibatkan pembacaan al-Qur’an
dan penjelasan dengan sunnah. Sehingga, tidak cukup mengambil salah satu dan
meninggalkan yang lain. Bahkan, menurut al-Auza’y (w. 157 H), al-Qur’an lebih
membutuhkan (penjelasan) sunnah daripada sebaliknya (al-Kitab ah{waju
ila> al-sunnah min al-sunnah ila> al-Kita>b). Yahya bin Abi
Kathi>r (w. 129 H) menegaskan bahwa sunnah adalah penentu hukum bagi
al-Quran (al-Sunnah qa>d}iyatun ‘ala> al-Kita>b). (2) Jika
perbuatan Nabi mengandung probabilitas hukum; wajib untuk diikuti atau
sebaliknya tidak wajib. Maka mengambil kemungkinan wajib lebih utama dan lebih
hati-hati (ikhtiya>t}) dari perbuatan meninggalkan kewajiban, (3)
Martabat nubuwwah adalah level yang tinggi dan mulia. Manusia yang
terpilih adalah pemilik sifat-sifat yang agung. Mengikuti perbuatannya adalah
bentuk kemuliaan. (4) Perbuatan Nabi SAW di atas kebenaran adalah suatu
keniscayaan, maka meninggalkan kebenaran adalah kesalahan dan kebatilan.
Perlu ditegaskan bahwa,
kewajiban ta’at kepada Rasul bukan hanya ketika beliau hidup, namun juga
setelah wafatnya. Sebab, perintah ta’at bersifat universal dan mutlaq tanpa
dibatasi waktu dan tempat tertentu. Di dalam hadis-hadis di atas, secara
eksplisit Rasulullah memerintahkan untuk berpegang teguh kepada sunnahnya
setelah wafat beliau. Untuk itu pula, Rasulullah SAW memotivasi umatnya untuk
memperhatikan periwayatan hadis-hadis yang disampaikannya baik perhatian
berbentuk riwa>yah maupun dira>yah. Rasulullah SAW
bersabda:
« نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا
فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ »
“Semoga Allah
mencerahkan wajah orang yang mendengarkan sesuatu dari kami kemudian
menyampaikannya seperti apa yang didengarnya. Boleh jadi orang yang disampaikan
kepadanya sesuatu lebih paham dari orang yang mendengarnya (langsung dari
sumber).”
Motivasi juga berbentuk
informasi tentang kedudukan yang mulia bagi para ahli hadis yang mengemban misi
sebagai penjaga eksistensi sumber syariat dalam “matan-matan riwayat”.
Rasulullah SAW bersabda:
يَحْمِلُ هَذَا
الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ ، يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْغَالِينَ
، وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ ، وَتَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ
“Ilmu ini akan diemban
oleh orang-orang yang adil di setiap generasi. Mereka menolak penyimpangan yang
dilakukakan orang-orang yang ekstrim, pemalsuan yang disisipkan (intih{a>l)
dari para pendusta (al-mubt{ilu>n)dari sekte-sekte yang bid’ah dan
interpretasi (ta’wi>l) dari orang-orang bodoh”.
2. Diskursus tentang
Eksistensi Hadis sebagai Landasan Agama
Kedudukan (manzilah)
sunnah dalam adillah ash-shar’yyah menempati posisi kedua setelah
Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}’iy al-thubut, sementara
sunnah bersifat z}anniyah al-thubut, sehingga yang qat}’iy
diutamakan daripada yang z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai
penjelas (bayan) bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-bayan)
adalah adjektif (ta>bi’) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3)
secara normatif, Rasulullah SAW secara taqriry menetapkan hal tersebut
dalam hadis Mu’adz tatkala diutus ke Yaman.
Dari aspek kedudukannya
dalam wacana agama, hadis memiliki beberapa fungsi yaitu:
1. Hadis sebagai penguat
dan penegas keterangan Al-Quran. Contohnya hadis Rasulullah SAW yang melarang
perbuatan syirik, bunuh diri, saksi palsu, durhaka kepada orang tua menegaskan
dan memperkuat larangan tersebut dalam Al-Quran.
2.
Hadis sebagai mubayyin bagi al-Quran. Dalam hal
ada tiga bentuk, yaitu (a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang
bersifat global (mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis
pelaksaan sholat yang diperintahkan dalam Al-Quran, (b) mengkhususkan (lex
specialis) petunjuk yang bersifat umum (‘a>m) dari Al-Quran.
Seperti hadis larangan menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa sebagai
pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa’ ayat 24.
Dan yang ketiga (c) hadis sebagai muqayyid
(membatasi dengan persyaratan) sesuatu yang bersifat mutlak dalam Al-Quran,
seperti hadis yang menerangkan tentang bagian tangan yang dipotong dalam
hukuman bagi pencuri adalah telapak sampai pergelangan tangan sebagai taqyid
kata ‘yad’ dalam Al-Quran 5:38.
3.
Hadis sebagai na>sikh (meng-abrogasi) hukum
al-Qur’an, seperti hadis “La was{iyyah li wa>rith” sebagai na>sikh
terhadap QS. 2: 180.
4. Hadis sebagai penetap
hukum baru yang tidak disinggung oleh al-Qur’an. Seperti; hukuman rajam bagi pezina
muhsan, keharaman perhiasan emas dan sutra bagi laki-laki, kewajiban
zakat fitrah, keharaman daging keledai jinak, dll.
Selaras dengan keluasan
wacana al-Quran, komprehensitas ruang lingkup pembahasan hadis juga mencakup
semua aspek dan dimensi kehidupan manusia. Tema-tema hadis mencakup persoalan
aqidah (teologi), hukum (yuridis), akhlak (moralitas dan etika), sejarah
(historis), dll. Demikian pula mencakup persoalan-persoalan manusia dalam
kehidupan individu (privat), keluarga, masyarakat dan bernegara. Dengan
demikian, hadis berperan penting dan luas sebagai landasan wacana agama dalam
segala dimensi dan aspeknya.
Mengingat strategisnya
posisi hadis tersebut, Imam Al-Nawawi rah}imahullah menegaskan:“Di
antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang berkenaan dengan
ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan hadis dari aspek sahi>h,
hasan dan d}a’i>f-nya, muttas{il, mursal, munqathi’, mu’d}al,
maqlu>b, mashhu>r, ghari>b, ‘azi>z, mutawa>tir,
dstnya.” Hal ini didasari kenyataan bahwa syari’at Islam dilandaskan atas
al-Qur’a>n dan sunah-sunah yang diriwayatkan.
Di atas sunahlah
dibangun mayoritas hukum-hukum fikih, karena sebagian besar ayat-ayat yang
mengatur masalah furu>‘ (fikih-pen) masih bersifat mujma>l
(global) sementara penjelasannya terdapat dalam sunah yang menetapkan perincian
hukumnya secara tegas (muh{kama>t). Di samping itu, dari aspek
implementasi, para ulama sepakat bahwa syarat bagi seorang mujtahid yang bertugas
sebagai qa>d{i (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama pemberi fatwa)
haruslah memiliki kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis hukum. Kenyataan
ini—menurut an-Nawawi—menegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu yang paling
mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan bentuk qurbah
(bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut menghimpun segala
aspek penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT yang paling mulia—yaitu Nabi
Muhammad SAW.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Ilmu hadis adalah ilmu yang memenuhi konsep filsafat ilmu, baik dari aspek ontologi, epistomologi dan aksiologi.
- Istilah hadis, sunnah, athar dan khabar adalah istilah yang sering dianggap sinonim. Pada aspek tertentu bermakna berbeda, terutama jika disebutkan bersamaan dalam satu kalimat (idha ijtama’a iftaraqa). Perbedaan definisi juga bergantung perspektif dan tinjuan keilmuan masing-masing bidang.
- Kategorisasi hadis cukup beragam, bergantung aspek tinjauannya. Ada tinjauan dari aspek kuantitas periwayatan, kualitas validitas, narasumber yang menjadi sandaran informasi, dll.
- Kedudukan hadis sebagai sumber tashri’ sangat kuat secara normatif, konsensus maupun secara rasional.
- Dalam wacana hadis sebagai landasan agama, hadis memiliki otoritas hukum yang independen, selain sebagai penegas, penjelas, pengikat dan pembatas cakupan hukum al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Hasan
al-Hadisi. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f
al-Fuqaha>. (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005)
Abu Zakariya, Yahya bin
Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh alNawawi ‘ala> Shahi>h Muslim,
Juz 1 (Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M)
Al-Amidy, Al-Ihkam
fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-‘Afify (Riya>d} : Dar Al-S{ami’y,
cet. 1, 1424 H/2003 M) Juz 1
Al-Bukhari. Al-Jami’
As-Shohih. Tahqiq Muhibuddin al-Khatib. (Kairo: Al-Maktabah as-Salafiyah, cet.
1, 1400 H) Juz 1
Al-Jurjany. Mu’jam
Al-Ta’rifa>t, ed. Muhammad S{iddiq al-Minshawy (Kairo: Dar al-Fad{ilah,
ttp)
Al-Sakhawy, Tawd}ih
al-Abhar li Tadhkirah Ibn al-Mulqin Fi ‘Ilm alAthar, ed. Abdullah bin
Muhammad Abdurrahim al-Bukhary(Saudi: Maktabah Us}ul al-Salaf, cet. 1, 1418 H)
Juz 1
Al-Sakhawy. Fath
al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadis, ed. ‘Abdul Karim al-Khudhair dan
Muhammad bin Abdullah Alu Fuhaid (Saudi: Maktabah Ushul as-Salafh, Cet.1, 1418
H) Juz 1
Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta :Pustaka Al-Kautsar;2011,cet ke-6, h.16
Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta
: Faza Media, 2006, cet .ke-2, h.44
Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Op.
Cit., h.12 & 14
[11][14] Abuddin Nata, Al-Qur’an
dan Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000, cet ke-7, h.144-145
Tidak ada komentar:
Posting Komentar