BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Disamping
bahasa, Tulisan merupakan sebuah alat komunikasi manusia dari zaman dahulu
sampai sekarang ini.Setiap kelompok manusia pada umumnya memeliki aksara
sendiri. Tulisan yang ada pada zaman sekarang ini berasal dari rumpun tulisan Keberadaan tulisan dalam masyarakat sangat
berperan penting.
Dengan
tulisan ini, manusia mampu berkomunikasi meski memakan jarak yang cukup jauh.
Di nusantara tulisan yang berkembang ialah tulisan arab melayu. Tulisan arab melayu adalah
tulisan Arab yang diadaptasikan oleh bahasa Melayu untuk pengejaannya seperti
yang kita pahami sekarang ini. Artinya huruf yang dipakai adalah huruf-huruf
Arab dengan bahasa Melayu, atau dengan ejaan Melayu. Di tempat lain tulisan Melayu ini disebut
dengan Arab Jawi atau sejenisnya.
Indonesia
memiliki beraneka ragam bahasa daerah, masing-masing memiliki aturan penulisan
sendiri menggunakan aksara tradisionalnya yang khas.Apresiasi terhadap berbagai
aksara tradisional ini masih tampak misalnya dari mata pelajaran bahasa daerah
di tiap daerah. Penggunaan aksara-aksara tradisional ini di berbagai sudut kota
juga merupakan bukti bahwa, walaupun aksara ini telah hampir sepenuhnya
tergantikan oleh aksara latin, sebenarnya bangsa kita masih cinta dan bangga
atas kekayaan negeri kita yang satu ini.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
keberadaan tulisan arab melayu?
2. Bagaimana
Tulisan arab melayu pada abad pertengahan ?
3. Bagaimana
keberadaan Tulisan arab melayu pada abad modern ?
4. Bagaimana
peranan aksara melayu?
5. Apa yang
dimaksud dengan Manuskrip Melayu?
6. Bagaimana
Latar Belakang Manuskrip?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Awal
Keberadaan Tulisan Arab Melayu
Tulisan Jawi telah lama ada dalam khasanah kebudayaan
melayu yang diperkirakan sekitar abad ke 10 Masehi atau 3 Hijrah hingga kemasa
kini dan ia berasal daripada tulisan Arab. Tulisan inilah yang membangun
kebudayaan melayu dan tulisan ini jugalah yang kemudian mengantarkan menuju
bahasa Melayu yang kemudian berkembang menjadi Bahasa Indonesia setelah
dikokohkan oleh para pemuda Indonesia dalam sumpah pemuda. Keberadaan tulisan arab melayu di Nusantara
identik dengan penyebaran islam ke daerah melayu.
Masa sejak awal abad ke-13 M sampai penghujung
abad ke-15 M dalam khazanah kesusastraan melayu disebut masa peralihan,yaitu
masa peralihan dari peradaban Hindu ke peradaban Islam. Dengan masuknya
peradaban Islam,orang melayu mulai mengenal tradisi tulis. Sebelumnya, mereka
hanya memiliki tradisi lisan.Aksara Jawi sudah wujud dan digunakan di wilayah
Sumatra dan Semenanjung Malaya jauh sebelum orang/pulau Jawa memeluk agama
Islam (883 H/1468 M).[1]
Bukti historis bahwa adanya tulisan jawi dalam kebudayaan
Melayu lama dapat dilihat pada bahan-bahan bertulis seperti : batu bersurat,
manuskrip lama, kertas lama, majalah, batu nisan, bahan-bahan yang dibuat
daripada logam, kulit, alat senjata , batu lontar, tembikar dan sejenisnya,
ukiran-ukiran pada masjid, rumah, dan istana, azimat, rajah atau penangkal.
Penemuan pertama batu nisan yang tertulis dalam bahasa
Arab di Sumatera bertarikh 55 Hijrah atau setara dengan 674 M. Selain itu juga
ditemukan di Kedah bertarikh 290 Hijrah. Kedua hal ini jelas telah menunjukkan
bahwa tulisan Jawi berasal dari orang Arab yang kemudian telah disesuaikan
dengan menambahkan beberapa huruf tambahan kepada huruf Arab untuk
menyesuaikannya dengan gaya bahasa orang Melayu. Penambahan ini lebih kepada
melengkapi ejaan yang tidak ada dalam bahasa Arab tetapi ditemui dalam bahasa
Melayu.
Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara
ditemukan di Terengganu, Malaysia.Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang
dibuat tahun 1303 (abad 14).Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para
pemeluk Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli
Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya,
semua menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.
Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310,
ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf
Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan
karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada
massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung
Malaka.
B. Keberadaan Tulisan Arab Melayu Pada Abad Pertengahan
Tulisan arab melayu pada abad pertengahan
merupakan tulisan pemerintahan atau tulisan resmi bagi raja-raja keturunan
melayu yang berada di daerah nusantara. Contohnya Sultan pertama Sulu (Paduka
Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim) yang memerintah tahun 1450 – 1480
adalah berasal dari Sumatra.Sultan ini menikah dengan putri Rajah Baguinda yang
berasal dari Minangkabau ('Menangkabaw' dalam istilah di Mindanao). Dalam acara
pelamarannya Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim membuat lamaran
dengan tulisan arab melayu untuk di sampaikan kepada Rajah Baguinda.[2]
Aksara yang digunakan di Mindanao dan Sulu
sebelum datangnya pengaruh kolonial Spanyol adalah dalam huruf Yawi
(Arab Melayu). Buku-buku agama ketika itu adalah dalam huruf Yawi, sama halnya
dengan tradisi penulisan di Thailand Selatan (Patani) dan juga di
kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia masa silam. Pada usai yang lebih muda
pada abad 16–17, di daerah lain juga ditemukan mansukrip seperti, Hikayat
Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin, Babat Tana
Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka Caruban Nagari. Di Nusa
Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima, Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan
Bima.Dari Maluku ada Hikayat Hitu.Di Sulawesi ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan
lainnya.
Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak
penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi
ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh
Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri
al-Quraisyi.Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik
al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar
Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.”
Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi
Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak
menulis naskah-naskah keislaman.
Pada tahun 1812 (sekitar 100 tahun sebelum
kajian Shellabear), Marsden telah memperkatakan keberadaan aksara Arab Melayu
dalam bukunya A Grammar of the Malayan Language.R.O. Winstedt (1913) juga
mengulas tentang system ejaan Arab Melayu dalam bukunya Malay Grammar.
Sedangkan di kalangan orang Melayu, Raja Ali Haji diakui sebagai tokoh yang
mula-mula sekali memperkatakan system ejaan Arab Melayu seperti yang tercatat
dalam bukunya Bustan al-Katibin, diteruskan oleh Muhammad Ibrahim (anak
Abdullah Munsyi).[3]
Kontinuitas kultural Jawa tertanam sebagai
dasar legitimasi Keraton Palembang.Budayawan Palembang Djohan Hanafiah
mencatat, keterkaitan politik ini berakhir setelah Sultan Abdurrahman
(1659-1706) memproklamasikan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1675. Jeroen
Peeters dalam Kaum Tuo Kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang 1821 -1942
(1997) memaparkan, di kalangan keraton, bahasa Jawa kromo (bahasa Jawa halus)
menjadi bahasa resmi.Akan tetapi, pemakaian bahasa ini tidak tersebar luas di
luar lingkungan Keraton Palembang.
Merujuk pada sejumlah naskah berbahasa Jawa
yang tersimpan di Royal Asiatic Society, London, Peeters meyakini,
naskah-naskah tersebut juga hanya beredar di lingkungan keraton. Beberapa
koleksi naskah berbahasa Jawa ini antara lain teks Panji (1801) yang ditulis
atas perintah Sultan Ahmad Najamuddin. Selain didampingi ulama, sultan juga
memiliki juru tulis khusus untuk penulisan bahasa Arab.Bahasa dan tulisan Arab
digunakan dalam kitab-kitab utama pengajaran Islam di Palembang, termasuk
naskah yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir. Sebagian naskah-naskah
keagamaan yang ditemukan, merupakan kitab yang langsung dibawa dari
Arab.Sebagian lainnya disalin ulang dengan ketelitian yang tinggi di Palembang.
Akan tetapi, seperti bahasa Jawa kromo yang
hanya dikuasai oleh kalangan bangsawan, bahasa Arab juga lebih dikuasai para
guru atau kalangan ulama.Sejumlah naskah keagamaan menggunakan bahasa Arab
dilengkapi terjemahan bahasa Melayu, walaupun tetap ditulis dengan huruf Arab. Naskah-naskah
sastra, antara lain hikayat yang berbentuk prosa maupun syair, serta berbagai
kisah dalam naskah-naskah pada masa kesultanan lebih banyak ditulis dengan
tulisan Arab dalam bahasa Melayu (Arab Melayu). Kegiatan surat- menyurat, antara
lain dari sultan kepada Gubernur Batavia juga ditemukan dalam basa Arab Melayu.
C. Keberadaan
Tulisan Arab Melayu Pada Zaman Modern
Penggunaan tulisan Arab Melayu (Armel) atau
Tulisan Jawi (Tulwi)di Indonesia sekarang bisa dikatakan sudah hampir punah.
Kalau pun dipelajari pada Pondok Pesantren, lebih mengutamakan tulisan Arab
gundul/Kitab Kuning. Demikian kondisinya juga pada sekolah-sekolah umum, tidak
pernah lagi diajarkan kepada murid. Seiring dengan perkembangan zaman,
lambat-laun tulisan ini ditinggalkan masyarakat. Bukan berarti model tulisan
ini tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, tidak sama sekali, namun yang
menyebabkan Ia ditinggalkan karena kebijakan dari pemerintah kita sendiri.
Salah satu contohnya, pada tahun 70-an hingga
80-an pemerintah menggalakkan program penuntasan buta aksara. Seluruh
masyarakat diajarkan membaca latin. Jika saja ada yang tidak bisa membaca
tulisan latin, maka mereka dicap sebagai buta aksara, sekalipun Ia mampu dan
lancar menulis dan membaca Arab Melayu. Artinya pada masa itu pemerintah tidak
mengakui Arab Melayu yang telah melekat di tengah masyarakat kita. Sementara
itu, penulisan armel di negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam
telah mengakar kuat di masyarakatnya. Penulisan Armel dan cara membacanya,
menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa di bangku sekolah di kedua negara
tersebut.[4]
Berdasarkan catatan Prof. Dr Kang Kyoung Seok,
Peneliti tulisan Armel/Tulwi asal Busan, Korea, universitas-universitas di luar
masyarakat Melayu juga mengajarkan tulisan Armel kepada mahasiswanya. Seperti
yang diajarkan di Hankook University of Foreign Studies Korea, mereka bahkan
mendatangkan tenaga pengajar khusus dari Malaysia untuk memberikan mata kuliah
tulisan armel. Amerika Serikat (Cornell Unversity), Jepang (Tokyo University of
Foreign Studies), Inggris (University of London), Belanda (University of
Leiden), Jerman (University of Hamburg), hingga Rusia (University of
Leningrad), merupakan negara-negara lainnya di luar masyarakat Melayu, yang
pernah dan masih mengajarkan tulisan armel kepada mahasiswanya. Bahkan,
manuskrip-manuskrip Armel/Tulwi banyak disimpan di negara Inggris, antara lain
di perpustakaan Bodleian Oxford, British Museum, British Library, dan
perpustakaan University of London.
Menurut Rusdi, Ketua Yayasan Ikatan Guru
Pengajian Al-Qur’an (IGPA) Kalbar, tulisan armel mulai menghilang sejak
masuknya pengaruh Partai Komunis Indonesia ( tahun 1964/1965 ). Sejak itu pula,
pelajaran armel di sekolah-sekolah ditiadakan. Kecuali di Sumatra.
D. Peranan
Aksara Arab Melayu
Aksara Arab Melayu memainkan peranan penting
dalam penggalian pelestarian karya ilmiah nusantara.Oleh karena itu pengajaran
Aksara Arab Melayu sebagai media penting untuk diajarkan disekolah-sekolah yang
merupakan sebagai bahasa khazanah Melayu yang berfungsi salah satunya adalah
alat untuk menyatakan kehendak, cipta dan rasa dalam meciptakan
kebudayaan.Salah satu bentuk huruf (aksara) itu ialah huruf (aksara) Arab
Melayu (Jawi). Dengan berkembangnya agama Islam di Indonesia maka sudah tentu
pula ajaran-ajaranya semakin berkembang pula dengan melalui tulisan aksara arab
melayu (Jawi), baik didunia pendidikan seperti di sekolah-sekolah umum dan
khususnya di sekolah-sekolah agama terutama di pondok-pondok pesantren
diseluruh Indonesia.[5]
Dengan masuknya bangsa Eropa ke Indonesia
dengan membawa nilai-nilai Barat dan tententu nilai-nilai tersebut mau tidak
mau mengalami perubahan dan pergeseran.Diantaranya kedudukan tulisan aksara
Arab (Jawi) mulailah sedikit demi sedikit tergusur, yang mana tulisan aksara
Arab (Jawi) ini pernah mendominasi korespondensi diplomasi dan perdagangan para
raja dan sultan di seantero Nusantara (Khairuddin, 1993).Walaupun sedikit bukan
berarti bukan berarti tulisan huruf aksara Arab (Jawi) ini punah, akan tetapi
masih tetap dipelajari dan digunakan oleh rakyat Indonesia. Maka sudah dapat
diduga bahwa rakyat Indonesia pada zaman itu umumnya melek huruf tulisan aksara
Arab (Jawi) ini.
Setelah Indonesia merdeka, tulisan ini masih
dipelajari di Sekolah Rakyat (SR) sampai tahun 1969, Di tahun itu pulalah
pelajaran tulisan huruf Aksara Arab Melayu (Jawi) dihapuskan dari Sekolah
Rakyat di zaman Orde Lama. Dengan dihapuskannya pelajaran tulis baca huruf
aksara Arab Melayu ini (Jawi) ini dari kurikulum SD semakin terasa keberadaan
tulisan huruf Jawi semakin dillupakan.
Namun terdapat beberapa sekolah Dasar di Medan
yang mempelajari tulisan aksara Arab Melayu sebagai bahagian dari kurikulum muatan
lokal seperti Sekolah Dasar Harapan Medan dan beberapa sekolah swasta Islam
lainya karena menganggap hal ini penting untuk dilestarikan. Melalui pengetahun
tulis baca aksara Arab Melayu (Jawi) para murid kan mampu membaca khazanah
intelektual naskah Melayu Nusantara pada zaman masuknya dan berekmbangnya Islam
di Indonesia.Program pengajaran aksara arab Melayu yang telah diajarkan di
beberapa sekolah Islam dianggap penting untuk melestarikan khazanah Melayu
melalui dunia pendidikan dengan mengetahui dan memahami aksara huruf Arab
Melayu yang merupakan pintu gerbang dunia ilmu untuk menggali karya-karya yang
terdapat pada naskah Melayu Nusantara.[6]
E. Pengertian
Manuskrip Melayu
Perkataan Manuskrip adalah berasal dari bahasa
Latin yang terdiri dari dua perkataan yiaitu manus yang bermaksud tangan dan scriptus artinya tulisan.
Ia bererti tulisan tangan. Manuskrip Melayu
dalah hasil karya masyarakat Melayu serumpun yang kaya dengan berbagai
cabang ilmu. Ia merupakan bahan rujukan utama dalam mengetahui peradaban dan
pensejarahan masyarakat Melayu sama ada yang termasuk dalam system
pemerintahan, ekonomi, sosiobudaya dan sebagainya. Manuskrip juga merupakan
salah satu sumber yang paling penting dalam menilai sesuatu karya ilmiah. Ia
seharusnya mendapat perhatian para pengkaji untuk meneliti dan menganalisa
kandungan manuskrip yang telah dihasilkan oleh tokoh-tokoh ulama’ silam demi
memperkuat kembali jati diri bangsa Melayu.
Selain dari berbagai artifak peninggalan
Tamadun Melayu silam, manuskrip juga merupakan warisan sastera negara yang unik
dan amat menarik. Ia dianggap khazanah bangsa yang sangat berharga dan perlu
dilindungi. Jika tiada usaha diambil untuk memelihara dan mengekalkannya, kita
akan kehilangan suatu tamadun ilmu yang mungkin tidak akan didapati lagi pada
zaman moderen ini. Ramai para penyelidik yang telah mengkaji dan menganalisa
manuskrip dari berbagai-bagai aspek seperti bahasa, penulisan, dan juga
termasuklah kajian dari sudut ilmiah bagi memperkayakan lagi warisan tamadun
Melayu.
Pada abad ke-15 M, proses penulisan manuskrip
Melayu sudah berkembang dengan pesatnya dan sampai ke kemuncaknya pada abad
ke-17 M. Ini disebabkan pada abad ke-17 M, pencapaian ilmu Islam di Nusantara
pada ketika itu yang berpusat di Aceh telah sampai ke kepuncak kegemilangannya.
Hal ini telah dipersetujui oleh hampir kesemua pengkaji manuskrip Melayu sama
ada dari barat mahupun dari timur.
Menurut Prof. Datuk Ismail Hussain terdapat dua kategori sastera
pracetak Melayu,yiaitu tulisan dan tertulis. Sastera Melayu tertulis dalam
zaman pracetak adalah manuskrip yang kebanyakannya dikumpulkan pada abad ke 18
dan 19.[7]
Pengkajian terhadap manuskrip Melayu ini telah
dimulakan sejak abad ke-16 lagi oleh sarjana-sarjana Barat. Ia bertujuan untuk
mengetahui cara hidup orang Melayu untuk memudahkan penjajahan mereka.
Usaha-usaha pengumpulan manuskrip di Malaysia ini bermula di kalangan
institusi-institusi sejak akhir tahun 1950-an lagi tetapi usaha positif tidak
diambil dengan serta merta. Sekitar tahun1960-an barulah ia bermula agak serius
apabila institusi-institusi seperti Dewan Bahasa dan Pustaka dan Universiti
Malaya mengesan dan mengumpul manuskrip-manuskrip Melayu untuk simpanan
perpustakaan masing-masing. Sebelum ini, pengkajian terhadap transliterasi
manuskrip hanya tertumpu kepada tokoh-tokoh ulama’ yang terkenal saja seperti
manuskrip tulisan Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumaterani,Nuruddin al-Raniri,
Syeikh Daud Abdullah al-Fatani, dan Bukhari al-Jauhari.
Jika dilihat kepada faktor utama yang
menjadikan penghasilan manuskrip Melayu itu bermutu, maka jawapannya ialah
pengaruh Islam. Kedatangan Islam telah merubah bahan dan fokus penulisan
manuskrip Melayu. Isi penulisannya lebih bercorak keagamaan menerangkan
keindahan agama Islam seperti kepercayaan kepada Allah. Contohnya penghapusan
kepercayaan kepada dewa dewi yang menjadi pegangan utama masyarakat sebelum
itu, juga cara-cara beribadah di mana masyarakat pada waktu itu belajar
cara-cara untuk solat, berpuasa, menunaikan zakat dan lain-lain. Selain dari
pada itu, pengaruhnya juga dapat dilihat di dalam aspek ilmu-ilmu lain
termasuklah perobatan tradisional. Contoh yang dapat dilihat pada kebanyakan
kitab obatan umpamanya seperti ditulis dengan tulisan Jawi, penerangan
cara-cara perubatannya pula lebih menekankan unsur-unsur Islami yaitu
menggunakan kalimah-kalimah al-Qur’an sebagai salah satu medium perobatan, dan
terdapat banyak istilah untuk perobatan dan bahan- bahan yang digunakan untuk
berobat disebut dalam bahasa Arab.[8]
Jika ditinjau dari sejarah pengkajian manuskrip
Melayu, terdapat beberapa penyelidikan yang telah dilakukan oleh pengkaji
terdahulu mengenai pengumpulan, pemeliharaan dan kajian teks manuskrip
Melayu-Islam. Antara tokoh tempatan yang banyak mengumpul karya dan manuskrip
Melayu silam ialah Prof. Dr. Mahayudin Hj Yahaya. Buku pertama beliau mengenai
manuskrip Melayu-Islam yang bertajuk “Naskhah Jawi Sejarah dan Teks Jilid 1” 7
telah menyentuh mengenai uraian awal terhadap lima naskah manuskrip yaitu (1)
Bahr al-Lahut, (2) al-Kitab fi Bayan al-Alif, (3) Hujjah al-Sidiq li Daf’i
al-Zindiq, (4) Hikayat Habib Husain al-Qadri, (5) al-Mukhtasar fi ‘Alamah
al-Mahdi al-Muntazar. Buku ini merupakan satu penjelasan awal dengan
mengemukakan transliterasi ke dalam tulisan Rumi selain dari beberapa lampiran
ringkas mengenai keadaan fisikal 74 naskhah manuskrip Melayu yang mana 43 dari
padanya ialah teks yang yang ditulis oleh pengkaji dan selebihnya telah
diteliti menerusi katalog Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDLA) dan
keempat-empat naskhah yang telah ditransliterasi oleh pengkaji adalah naskhah
yang diambil dari 74 buah naskhah tersebut. Keempat-empat naskhah tersebut
lebih menyentuh mengenai ilmu tasawuf, akidah dan juga sejarah.
Selain itu, pada tahun 1996, manuskrip yang
dikaji kebanyakannya dalam konteks aqidah dan juga tasawuf. Sebagai contoh,
manuskrip Sirajun
al-Huda Ila Bayan Aqa‘id Ahl
al Taqwa, Kitab al-Yawaqit wa al-Jawahir18, dan
juga Kifayah al-- Awwam .
Seterusnya, terdapat juga pengkajian teks manuskrip Bidayat al Hidayah20
pada tahun 1997 dan pada tahun 1998, Zaharah Abdul Hamid telah melakukan
transliterasi terhadap manuskrip Makrifat al-Islam.[9]
Pada tahun 2000, terdapat satu artikel di dalam
Jurnal Filologi yang telah ditulis oleh Dr. Ab. Razak Ab. Karim. Penulis telah
membincangkan secara ringkas jenis-jenis
penyakit dan juga bahan-bahan yang digunakan dalam Kitab Tib Pontianak. Dalam
pembahagian penyakit, ia telah dibagikan mengikut jantina iaitu penyakit yang
khusus untuk wanita, lelaki dan juga khusus untuk kedua-dua golongan jantina ini.
Bahan-bahan perubatan pula adalah bersumberkan tumbuh-tumbuhan, hewan dan
organnya dan juga rempah-ratus. Penulis juga turut menyatakan keistimewaan
Kitab Tib Pontianak ini iaitu amat kurang pantang larang yang dikenakan kepada
orang yang saki sekiranya berobat mengikut cara yang disarankan oleh penulis
Kitab Tib ini.
Sebagai kesinambungannya, Dr. Ab. Razak Ab.
Karim23 telah menghasilkan satu penulisan berkenaan dengan analisis bahasa
dalam Kitab Tib Pontianak. Penulis telah memfokuskan kepada beberapa jenis
penyakit dan cara merawatnya sama ada dengan menggunakan flora maupun fauna.
Selain daripada itu, penulis juga memberikan perhatian terhadap aspek bahasa
yang telah digunakan dalam Kitab Tib Pontianak termasuklah dari sudut kosa kata
dan ayat yang terkandung di dalamnya. Penulis juga turut sama menyatakan proses
penyediaan sesuatu bahan untuk tujuan rawatan sesuatu penyakit.
Hasil daripada sorotan mengenai kajian yang
lalu, dapatlah disimpulkan bahawa usaha mengenai menghasilkan semula karya lama
dalam bentuk baru telah dilakukan oleh beberapa pengkaji. Sebagai kelangsungan
dari pada usaha-usaha yang telah dirintis oleh para pengkaji maka kajian
mengenai manuskrip Kitab Tayyib
al- Ihsan fi Tibb al-Insan ini
dilihat sebagai pelengkap kepada kajian manuskrip perubatan Melayu. Sedikit
sebanyak dengan adanya transliterasi teks manuskrip ini, ia boleh dijadikan
rujukan orang ramai yang ingin mengetahui dan mendalami tentang ilmu perobatan
tradisional orang Melayu.
F. Latar
Belakang Manuskrip
Perubatan tradisional merupakan sebahagian
daripada kebudayaan Melayu yang terpenting kerana terkandung di dalamnya
unsur-unsur perubatan yang mempunyai khasiatnya tersendiri dalam mengubati
penyakit. Ia merupakan warisan sejak zaman-berzaman. Walaupun dunia telah
dipenuhi dengan sistem perubatan yang canggih dan moden, namun perubatan
tradisional masih diperlukandalam merawat sesuatu penyakit. Setiap sistem
perubatan mempunyai cara tersendiri dalam menangani persoalan sihat dan uzur
dalam sesebuah masyarakat.[10]
Masyarakat India misalnya mempunyai sistem
perubatan Ayurvedic, masyarakat
Cina dengan Sinseh, masyarakat
Melayu dengan system pawang
dan perbomohan, dan masyarakat moden yang berasaskan teknologi canggih. Keberbagai sistem perubahan
tersebut jelas sekali dilihat melalui amalan, teknik rawatan penyembuhan dan
pemulihan serta sistem kepercayaan yang didukunginya. Ini bukan berarti
wujudnya kepelbagaian matlamat, sebaliknya apa juga system perobatan, sama ada
modern maupun tradisional, masing-masing mengutamakan tujuan memelihara
kesehatan dan merawat penyakit yang dialami oleh anggota masyarakat.
Penelitian menunjukkan bahwa beberapa sepsis
tumbuhan obatan yang digunakan oleh masyarakat Melayu sememangnya mengandung
sebagian organik yang mempunyai kesan sampingan. Kekurangan pemahaman
masyarakat Melayu terhadap penyakit yang perlu menggunakan kaedah modern dan
saintifik seperti canser, darah tinggi dan kencing manis telah menimbulkan
pengetahuan tersendiri mengenai tumbuhan baru yang boleh dijadikan ubat. Ia
dilihat mempunyai kaitan yang agak rapat antara satu sama lain, yang merangkumi
aspek kesihatan yang telah menjadi amalan manusia turun-temurun yang diwarisi
secara lisan, penulisan, amalan dan kepercayaan oleh sesuatu kaum itu. Ilmu ini
boleh dibagikan kepada dua aspek yaitu aspek rohaniahdan aspek empirik. Contoh
dari penggalan akhir dari kitab yang ditulis Syeikh Ahmad al-Fatani ada
memperkatakan tentang puncak terjadinya sesuatu penyakit. Antara petikan
daripada kitab tersebut ialah:
Dan
mengkali (berkali) minum air sejuk pada
malam
mempusakakan buta. Demikian mengkali
(berkali)
menjirus air sejuk atas kepala dan jika
pada
musim panas sekalipun. Dan mengkali
(berkali)
makan telur mempusakai penyakit kura.
Dan
mengkali (berkali) makan telur rebus
mempusakakan
lelah dan picik (payah) bernafas.
Dan
makan segala yang masin [,] atau ikan
kemudian
daripada buang darah berbekam [,]
atau
berpetik mempusakai akan penyakit sopak
dan
gatal ...36
Dan
menahankan sedawa mempusakakan batuk
dan
gementar dan sakit jantung. Dan menahankan
menguap
mempusakakan gementar dan parau
suara
dan mengkerucut (berkedut) kulit. Dan
menahankan
bersin mempusakakan penyakit lequh
dan
sakit kepala dan kelam mata dan berat telinga.
Dan
menahankan menangis mempusakakan zukam.
Dan
banyak lapar mempusakakan tuli dan kelam
mata dan
pening kepala dan jahat perangai
Secara keseluruhannya, Kitab Tayyib al-Ihsan fi Tibb al- Insan ini
merupakan antara karya berkenaan perubatan Melayu tradisional yang agak sempurna terdapat di Alam
Melayu ini. Apa yang
telah diunjurkan dalam karya Syeikh Ahmad al-Fatani ini boleh dijadikan sebagai panduan kepada mereka yang
masih lagi mengamalkan sistem perubatan tradisional.[11]
1. Ciri-
ciri manuskrip melayu
a. Penggunaan
Tarikh oleh Pengarang atau Penyalin Manuskrip Melayu.
b. Penyataan
Judul Manuskrip Melayu oleh Penulis atau Penyalin.
c. Susunan
dan Gaya Penulisan Manuskrip Melayu.
2. Fungsi manuskrip islam :
a. Naskah-naskah ini mengandung informasi yang sangat lengkap
tentang peradaban islam dalam ari lengkap,sehingga bermanfaat untuk menjaga
kesinambungan peradaban islam.
b. Berisikan kajian keagaaman yang bersumber dari
karya para sahabat dimasa rosul sehingga bermanfaat untuk manjaga dan
mengembangkak ajaran islam dimasa yang
akan datang.
c. Berisikan tentang selukbeluk pemerintahan pada
saat itu,sehingga bermamfaat untuk mengkaji model pemerinthan yang tepat
menurut islam.
d. Berisikan sruktur social masyarakat model
perkonomian yang berlaku saat itu sehinggaa bermafaat untuk mengkaji
perkonomian saat ini.
e. Berisikan adat kebiasaan hokum dan teknologi.
3. Contoh Manuskrip Melayu
a. Batu besurat
b. Brustanul salatin
c. Hikayat raja-raja pasa
d. Hikayat melyu
e. Hikayat aceh
f. Hikayat Hasanuddin
g. Arca pradnya paramita
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tulisan arab melayu yang kita dengar pada zaman
sekarang ini merupakan sebuah pengembangan dari tulisan arab yang disesuaikan
dengan bahasa melayu. Bahasa arab yang datang ke daerah nusantara beserta
tulisannya yang dibawa oleh para pedagang islam dari arab sangat mempengaruhi
adanya tulisan di daerah nusantara khusunya bagi orang-orang melayu. Tulisan
ini semakin berkembang dari tahun ke tahun. Tulisan arab melayu masih belum
diketahui siapa tokoh pertama yang memakai tulisan ini. Tetapi tanda
keberadaannya sudah diketahui melalui hasil penelitian yang ditemukannya sebuah
prasasti pada zaman kerajaan
Manuskrip Melayu adalah hasil karya masyarakat Melayu serumpun
yang kaya dengan berbagai cabang ilmu. Ia merupakan bahan rujukan utama dalam
mengetahui peradaban dan pensejarahan masyarakat Melayu sama ada yang termasuk
dalam system pemerintahan, ekonomi, social budaya dan sebagainya.
B. Saran
Bagi para pembaca yang telah membaca makalah
ini, pasti menemukan kesalahan-kesalahan dalam penulisan ini.Untuk itu, kami
pemakalah menerima sarannya dari semua pembaca.Dan apabila ada informasi yang
bermanfaat yang terdapat dalam makalah ini maka ambilah sebagai tambahan ilmu
bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawi,
Ahmad. 2008. ARAB MELAYU, Pemunculan Tulisan, Sistem dan Istilah Jawi.
rakyatriau.com
Fathullah,
M Luthfi. 2008 Manuskrip Ulama Nusantara Dijarah Penjajah. Jordan:
university Jordan press.
Jelprison.
2008. Arab Melayu Sebuah Pengenalan. kampungrison.wordpress.com
Medri.
2008. JejakBahasa Melayu Aceh. Acehlong.com
Muhandri. 2003. Bahasa
Jawa, Arab, dan Melayu di Palembang.www2.kompas.com.
Muhd
Yusuf Hashim, “Manuskrip Melayu: Warisan Keilmuan yang bernilai” dalam Warisan
Dunia Melayu-Teras Perpaduan Malaysia. Kuala Lumpur: Biro Penerbitan
GAPENA, 1985
Nuswanto,
Heru Susetyo . 2008. Bangsa
Moro di Mindanao : Roh Islam Melayu di Jasad Pinay. www.heru.blogspot.com.
Van
wijk, D. gerth. 1985. Tata Bahasa Melayui. Jakarta : Djambatan.
[1] Darmawi, Ahmad. 2008. ARAB MELAYU,
Pemunculan Tulisan, Sistem dan Istilah Jawi. rakyatriau.com hal 3
[2] Jelprison. 2008. Arab Melayu Sebuah Pengenalan.
Hal 32
[3] Muhd Yusuf Hashim, “Manuskrip Melayu: Warisan
Keilmuan yang bernilai” dalam Warisan Dunia Melayuhal -Teras Perpaduan
Malaysia. Kuala Lumpur: Biro Penerbitan GAPENA, 1985 hal 23
[4]
Van wijk, D. gerth. 1985. Tata Bahasa
Melayui. Jakarta : Djambatan hal 25
[5] Muhd Yusuf Hashim, “Manuskrip Melayu: Warisan
Keilmuan yang bernilai” dalam Warisan Dunia Melayuhal -Teras Perpaduan
Malaysia. Kuala Lumpur: Biro Penerbitan GAPENA, 1985 hal 21
[6] Darmawi, Ahmad. 2008. ARAB MELAYU,
Pemunculan Tulisan, Sistem dan Istilah Jawi. rakyatriau.com hal 6
[7] Jelprison. 2008. Arab Melayu Sebuah
Pengenalan. Hal 31
[8]
Van wijk, D. gerth. 1985. Tata Bahasa
Melayui. Jakarta : Djambatan hal 32
[9] Muhd Yusuf Hashim, “Manuskrip Melayu: Warisan
Keilmuan yang bernilai” dalam Warisan Dunia Melayuhal -Teras Perpaduan
Malaysia. Kuala Lumpur: Biro Penerbitan GAPENA, 1985 hal 43
[10] Jelprison. 2008. Arab Melayu Sebuah
Pengenalan. Hal 54
[11] Darmawi, Ahmad. 2008. ARAB MELAYU,
Pemunculan Tulisan, Sistem dan Istilah Jawi. rakyatriau.com hal 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar