Selasa, 06 Juni 2017

MAKALAH TULISAN ARAB MELAYU



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Disamping bahasa, Tulisan merupakan sebuah alat komunikasi manusia dari zaman dahulu sampai sekarang ini.Setiap kelompok manusia pada umumnya memeliki aksara sendiri. Tulisan yang ada pada zaman sekarang ini berasal dari rumpun tulisan  Keberadaan tulisan dalam masyarakat sangat berperan penting.
Dengan tulisan ini, manusia mampu berkomunikasi meski memakan jarak yang cukup jauh. Di nusantara tulisan yang berkembang ialah tulisan arab melayu. Tulisan arab melayu adalah tulisan Arab yang diadaptasikan oleh bahasa Melayu untuk pengejaannya seperti yang kita pahami sekarang ini. Artinya huruf yang dipakai adalah huruf-huruf Arab dengan bahasa Melayu, atau dengan ejaan Melayu. Di tempat lain tulisan Melayu ini disebut dengan Arab Jawi atau sejenisnya.
Indonesia memiliki beraneka ragam bahasa daerah, masing-masing memiliki aturan penulisan sendiri menggunakan aksara tradisionalnya yang khas.Apresiasi terhadap berbagai aksara tradisional ini masih tampak misalnya dari mata pelajaran bahasa daerah di tiap daerah. Penggunaan aksara-aksara tradisional ini di berbagai sudut kota juga merupakan bukti bahwa, walaupun aksara ini telah hampir sepenuhnya tergantikan oleh aksara latin, sebenarnya bangsa kita masih cinta dan bangga atas kekayaan negeri kita yang satu ini.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana keberadaan tulisan arab melayu?
2.      Bagaimana Tulisan arab melayu pada abad pertengahan ?
3.      Bagaimana keberadaan Tulisan arab melayu pada abad modern ?
4.      Bagaimana peranan aksara melayu?
5.      Apa yang dimaksud dengan Manuskrip Melayu?
6.      Bagaimana Latar Belakang Manuskrip?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Awal Keberadaan Tulisan Arab Melayu
Tulisan Jawi telah lama ada dalam khasanah kebudayaan melayu yang diperkirakan sekitar abad ke 10 Masehi atau 3 Hijrah hingga kemasa kini dan ia berasal daripada tulisan Arab. Tulisan inilah yang membangun kebudayaan melayu dan tulisan ini jugalah yang kemudian mengantarkan menuju bahasa Melayu yang kemudian berkembang menjadi Bahasa Indonesia setelah dikokohkan oleh para pemuda Indonesia dalam sumpah pemuda. Keberadaan tulisan arab melayu di Nusantara identik dengan penyebaran islam ke daerah melayu.
Masa sejak awal abad ke-13 M sampai penghujung abad ke-15 M dalam khazanah kesusastraan melayu disebut masa peralihan,yaitu masa peralihan dari peradaban Hindu ke peradaban Islam. Dengan masuknya peradaban Islam,orang melayu mulai mengenal tradisi tulis. Sebelumnya, mereka hanya memiliki tradisi lisan.Aksara Jawi sudah wujud dan digunakan di wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaya jauh sebelum orang/pulau Jawa memeluk agama Islam (883 H/1468 M).[1]
Bukti historis bahwa adanya tulisan jawi dalam kebudayaan Melayu lama dapat dilihat pada bahan-bahan bertulis seperti : batu bersurat, manuskrip lama, kertas lama, majalah, batu nisan, bahan-bahan yang dibuat daripada logam, kulit, alat senjata , batu lontar, tembikar dan sejenisnya, ukiran-ukiran pada masjid, rumah, dan istana, azimat, rajah atau penangkal.
Penemuan pertama batu nisan yang tertulis dalam bahasa Arab di Sumatera bertarikh 55 Hijrah atau setara dengan 674 M. Selain itu juga ditemukan di Kedah bertarikh 290 Hijrah. Kedua hal ini jelas telah menunjukkan bahwa tulisan Jawi berasal dari orang Arab yang kemudian telah disesuaikan dengan menambahkan beberapa huruf tambahan kepada huruf Arab untuk menyesuaikannya dengan gaya bahasa orang Melayu. Penambahan ini lebih kepada melengkapi ejaan yang tidak ada dalam bahasa Arab tetapi ditemui dalam bahasa Melayu.
Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia.Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14).Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.
Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka.
B.       Keberadaan Tulisan Arab Melayu Pada Abad Pertengahan
Tulisan arab melayu pada abad pertengahan merupakan tulisan pemerintahan atau tulisan resmi bagi raja-raja keturunan melayu yang berada di daerah nusantara. Contohnya Sultan pertama Sulu (Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim) yang memerintah tahun 1450 – 1480 adalah berasal dari Sumatra.Sultan ini menikah dengan putri Rajah Baguinda yang berasal dari Minangkabau ('Menangkabaw' dalam istilah di Mindanao). Dalam acara pelamarannya Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim membuat lamaran dengan tulisan arab melayu untuk di sampaikan kepada Rajah Baguinda.[2]
Aksara yang digunakan di Mindanao dan Sulu sebelum datangnya pengaruh kolonial Spanyol adalah dalam huruf Yawi (Arab Melayu). Buku-buku agama ketika itu adalah dalam huruf Yawi, sama halnya dengan tradisi penulisan di Thailand Selatan (Patani) dan juga di kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia masa silam. Pada usai yang lebih muda pada abad 16–17, di daerah lain juga ditemukan mansukrip seperti, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka Caruban Nagari. Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima, Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima.Dari Maluku ada Hikayat Hitu.Di Sulawesi ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya.
Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi.Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman.
Pada tahun 1812 (sekitar 100 tahun sebelum kajian Shellabear), Marsden telah memperkatakan keberadaan aksara Arab Melayu dalam bukunya A Grammar of the Malayan Language.R.O. Winstedt (1913) juga mengulas tentang system ejaan Arab Melayu dalam bukunya Malay Grammar. Sedangkan di kalangan orang Melayu, Raja Ali Haji diakui sebagai tokoh yang mula-mula sekali memperkatakan system ejaan Arab Melayu seperti yang tercatat dalam bukunya Bustan al-Katibin, diteruskan oleh Muhammad Ibrahim (anak Abdullah Munsyi).[3]
Kontinuitas kultural Jawa tertanam sebagai dasar legitimasi Keraton Palembang.Budayawan Palembang Djohan Hanafiah mencatat, keterkaitan politik ini berakhir setelah Sultan Abdurrahman (1659-1706) memproklamasikan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1675. Jeroen Peeters dalam Kaum Tuo Kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang 1821 -1942 (1997) memaparkan, di kalangan keraton, bahasa Jawa kromo (bahasa Jawa halus) menjadi bahasa resmi.Akan tetapi, pemakaian bahasa ini tidak tersebar luas di luar lingkungan Keraton Palembang.
Merujuk pada sejumlah naskah berbahasa Jawa yang tersimpan di Royal Asiatic Society, London, Peeters meyakini, naskah-naskah tersebut juga hanya beredar di lingkungan keraton. Beberapa koleksi naskah berbahasa Jawa ini antara lain teks Panji (1801) yang ditulis atas perintah Sultan Ahmad Najamuddin. Selain didampingi ulama, sultan juga memiliki juru tulis khusus untuk penulisan bahasa Arab.Bahasa dan tulisan Arab digunakan dalam kitab-kitab utama pengajaran Islam di Palembang, termasuk naskah yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir. Sebagian naskah-naskah keagamaan yang ditemukan, merupakan kitab yang langsung dibawa dari Arab.Sebagian lainnya disalin ulang dengan ketelitian yang tinggi di Palembang.
Akan tetapi, seperti bahasa Jawa kromo yang hanya dikuasai oleh kalangan bangsawan, bahasa Arab juga lebih dikuasai para guru atau kalangan ulama.Sejumlah naskah keagamaan menggunakan bahasa Arab dilengkapi terjemahan bahasa Melayu, walaupun tetap ditulis dengan huruf Arab. Naskah-naskah sastra, antara lain hikayat yang berbentuk prosa maupun syair, serta berbagai kisah dalam naskah-naskah pada masa kesultanan lebih banyak ditulis dengan tulisan Arab dalam bahasa Melayu (Arab Melayu). Kegiatan surat- menyurat, antara lain dari sultan kepada Gubernur Batavia juga ditemukan dalam basa Arab Melayu.
C.      Keberadaan Tulisan Arab Melayu Pada Zaman Modern
Penggunaan tulisan Arab Melayu (Armel) atau Tulisan Jawi (Tulwi)di Indonesia sekarang bisa dikatakan sudah hampir punah. Kalau pun dipelajari pada Pondok Pesantren, lebih mengutamakan tulisan Arab gundul/Kitab Kuning. Demikian kondisinya juga pada sekolah-sekolah umum, tidak pernah lagi diajarkan kepada murid. Seiring dengan perkembangan zaman, lambat-laun tulisan ini ditinggalkan masyarakat. Bukan berarti model tulisan ini tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, tidak sama sekali, namun yang menyebabkan Ia ditinggalkan karena kebijakan dari pemerintah kita sendiri.
Salah satu contohnya, pada tahun 70-an hingga 80-an pemerintah menggalakkan program penuntasan buta aksara. Seluruh masyarakat diajarkan membaca latin. Jika saja ada yang tidak bisa membaca tulisan latin, maka mereka dicap sebagai buta aksara, sekalipun Ia mampu dan lancar menulis dan membaca Arab Melayu. Artinya pada masa itu pemerintah tidak mengakui Arab Melayu yang telah melekat di tengah masyarakat kita. Sementara itu, penulisan armel di negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam telah mengakar kuat di masyarakatnya. Penulisan Armel dan cara membacanya, menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa di bangku sekolah di kedua negara tersebut.[4]
Berdasarkan catatan Prof. Dr Kang Kyoung Seok, Peneliti tulisan Armel/Tulwi asal Busan, Korea, universitas-universitas di luar masyarakat Melayu juga mengajarkan tulisan Armel kepada mahasiswanya. Seperti yang diajarkan di Hankook University of Foreign Studies Korea, mereka bahkan mendatangkan tenaga pengajar khusus dari Malaysia untuk memberikan mata kuliah tulisan armel. Amerika Serikat (Cornell Unversity), Jepang (Tokyo University of Foreign Studies), Inggris (University of London), Belanda (University of Leiden), Jerman (University of Hamburg), hingga Rusia (University of Leningrad), merupakan negara-negara lainnya di luar masyarakat Melayu, yang pernah dan masih mengajarkan tulisan armel kepada mahasiswanya. Bahkan, manuskrip-manuskrip Armel/Tulwi banyak disimpan di negara Inggris, antara lain di perpustakaan Bodleian Oxford, British Museum, British Library, dan perpustakaan University of London.
Menurut Rusdi, Ketua Yayasan Ikatan Guru Pengajian Al-Qur’an (IGPA) Kalbar, tulisan armel mulai menghilang sejak masuknya pengaruh Partai Komunis Indonesia ( tahun 1964/1965 ). Sejak itu pula, pelajaran armel di sekolah-sekolah ditiadakan. Kecuali di Sumatra.
D.      Peranan Aksara Arab Melayu
Aksara Arab Melayu memainkan peranan penting dalam penggalian pelestarian karya ilmiah nusantara.Oleh karena itu pengajaran Aksara Arab Melayu sebagai media penting untuk diajarkan disekolah-sekolah yang merupakan sebagai bahasa khazanah Melayu yang berfungsi salah satunya adalah alat untuk menyatakan kehendak, cipta dan rasa dalam meciptakan kebudayaan.Salah satu bentuk huruf (aksara) itu ialah huruf (aksara) Arab Melayu (Jawi). Dengan berkembangnya agama Islam di Indonesia maka sudah tentu pula ajaran-ajaranya semakin berkembang pula dengan melalui tulisan aksara arab melayu (Jawi), baik didunia pendidikan seperti di sekolah-sekolah umum dan khususnya di sekolah-sekolah agama terutama di pondok-pondok pesantren diseluruh Indonesia.[5]
Dengan masuknya bangsa Eropa ke Indonesia dengan membawa nilai-nilai Barat dan tententu nilai-nilai tersebut mau tidak mau mengalami perubahan dan pergeseran.Diantaranya kedudukan tulisan aksara Arab (Jawi) mulailah sedikit demi sedikit tergusur, yang mana tulisan aksara Arab (Jawi) ini pernah mendominasi korespondensi diplomasi dan perdagangan para raja dan sultan di seantero Nusantara (Khairuddin, 1993).Walaupun sedikit bukan berarti bukan berarti tulisan huruf aksara Arab (Jawi) ini punah, akan tetapi masih tetap dipelajari dan digunakan oleh rakyat Indonesia. Maka sudah dapat diduga bahwa rakyat Indonesia pada zaman itu umumnya melek huruf tulisan aksara Arab (Jawi) ini.
Setelah Indonesia merdeka, tulisan ini masih dipelajari di Sekolah Rakyat (SR) sampai tahun 1969, Di tahun itu pulalah pelajaran tulisan huruf Aksara Arab Melayu (Jawi) dihapuskan dari Sekolah Rakyat di zaman Orde Lama. Dengan dihapuskannya pelajaran tulis baca huruf aksara Arab Melayu ini (Jawi) ini dari kurikulum SD semakin terasa keberadaan tulisan huruf Jawi semakin dillupakan.
Namun terdapat beberapa sekolah Dasar di Medan yang mempelajari tulisan aksara Arab Melayu sebagai bahagian dari kurikulum muatan lokal seperti Sekolah Dasar Harapan Medan dan beberapa sekolah swasta Islam lainya karena menganggap hal ini penting untuk dilestarikan. Melalui pengetahun tulis baca aksara Arab Melayu (Jawi) para murid kan mampu membaca khazanah intelektual naskah Melayu Nusantara pada zaman masuknya dan berekmbangnya Islam di Indonesia.Program pengajaran aksara arab Melayu yang telah diajarkan di beberapa sekolah Islam dianggap penting untuk melestarikan khazanah Melayu melalui dunia pendidikan dengan mengetahui dan memahami aksara huruf Arab Melayu yang merupakan pintu gerbang dunia ilmu untuk menggali karya-karya yang terdapat pada naskah Melayu Nusantara.[6]
E.       Pengertian Manuskrip Melayu
Perkataan Manuskrip adalah berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari dua perkataan yiaitu manus yang bermaksud  tangan dan scriptus artinya tulisan. Ia bererti tulisan tangan. Manuskrip Melayu  dalah hasil karya masyarakat Melayu serumpun yang kaya dengan berbagai cabang ilmu. Ia merupakan bahan rujukan utama dalam mengetahui peradaban dan pensejarahan masyarakat Melayu sama ada yang termasuk dalam system pemerintahan, ekonomi, sosiobudaya dan sebagainya. Manuskrip juga merupakan salah satu sumber yang paling penting dalam menilai sesuatu karya ilmiah. Ia seharusnya mendapat perhatian para pengkaji untuk meneliti dan menganalisa kandungan manuskrip yang telah dihasilkan oleh tokoh-tokoh ulama’ silam demi memperkuat kembali jati diri bangsa Melayu.
Selain dari berbagai artifak peninggalan Tamadun Melayu silam, manuskrip juga merupakan warisan sastera negara yang unik dan amat menarik. Ia dianggap khazanah bangsa yang sangat berharga dan perlu dilindungi. Jika tiada usaha diambil untuk memelihara dan mengekalkannya, kita akan kehilangan suatu tamadun ilmu yang mungkin tidak akan didapati lagi pada zaman moderen ini. Ramai para penyelidik yang telah mengkaji dan menganalisa manuskrip dari berbagai-bagai aspek seperti bahasa, penulisan, dan juga termasuklah kajian dari sudut ilmiah bagi memperkayakan lagi warisan tamadun Melayu.
Pada abad ke-15 M, proses penulisan manuskrip Melayu sudah berkembang dengan pesatnya dan sampai ke kemuncaknya pada abad ke-17 M. Ini disebabkan pada abad ke-17 M, pencapaian ilmu Islam di Nusantara pada ketika itu yang berpusat di Aceh telah sampai ke kepuncak kegemilangannya. Hal ini telah dipersetujui oleh hampir kesemua pengkaji manuskrip Melayu sama ada dari barat mahupun dari timur.  Menurut Prof. Datuk Ismail Hussain terdapat dua kategori sastera pracetak Melayu,yiaitu tulisan dan tertulis. Sastera Melayu tertulis dalam zaman pracetak adalah manuskrip yang kebanyakannya dikumpulkan pada abad ke 18 dan 19.[7]
Pengkajian terhadap manuskrip Melayu ini telah dimulakan sejak abad ke-16 lagi oleh sarjana-sarjana Barat. Ia bertujuan untuk mengetahui cara hidup orang Melayu untuk memudahkan penjajahan mereka. Usaha-usaha pengumpulan manuskrip di Malaysia ini bermula di kalangan institusi-institusi sejak akhir tahun 1950-an lagi tetapi usaha positif tidak diambil dengan serta merta. Sekitar tahun1960-an barulah ia bermula agak serius apabila institusi-institusi seperti Dewan Bahasa dan Pustaka dan Universiti Malaya mengesan dan mengumpul manuskrip-manuskrip Melayu untuk simpanan perpustakaan masing-masing. Sebelum ini, pengkajian terhadap transliterasi manuskrip hanya tertumpu kepada tokoh-tokoh ulama’ yang terkenal saja seperti manuskrip tulisan Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumaterani,Nuruddin al-Raniri, Syeikh Daud Abdullah al-Fatani, dan Bukhari al-Jauhari.
Jika dilihat kepada faktor utama yang menjadikan penghasilan manuskrip Melayu itu bermutu, maka jawapannya ialah pengaruh Islam. Kedatangan Islam telah merubah bahan dan fokus penulisan manuskrip Melayu. Isi penulisannya lebih bercorak keagamaan menerangkan keindahan agama Islam seperti kepercayaan kepada Allah. Contohnya penghapusan kepercayaan kepada dewa dewi yang menjadi pegangan utama masyarakat sebelum itu, juga cara-cara beribadah di mana masyarakat pada waktu itu belajar cara-cara untuk solat, berpuasa, menunaikan zakat dan lain-lain. Selain dari pada itu, pengaruhnya juga dapat dilihat di dalam aspek ilmu-ilmu lain termasuklah perobatan tradisional. Contoh yang dapat dilihat pada kebanyakan kitab obatan umpamanya seperti ditulis dengan tulisan Jawi, penerangan cara-cara perubatannya pula lebih menekankan unsur-unsur Islami yaitu menggunakan kalimah-kalimah al-Qur’an sebagai salah satu medium perobatan, dan terdapat banyak istilah untuk perobatan dan bahan- bahan yang digunakan untuk berobat disebut dalam bahasa Arab.[8]
Jika ditinjau dari sejarah pengkajian manuskrip Melayu, terdapat beberapa penyelidikan yang telah dilakukan oleh pengkaji terdahulu mengenai pengumpulan, pemeliharaan dan kajian teks manuskrip Melayu-Islam. Antara tokoh tempatan yang banyak mengumpul karya dan manuskrip Melayu silam ialah Prof. Dr. Mahayudin Hj Yahaya. Buku pertama beliau mengenai manuskrip Melayu-Islam yang bertajuk “Naskhah Jawi Sejarah dan Teks Jilid 1” 7 telah menyentuh mengenai uraian awal terhadap lima naskah manuskrip yaitu (1) Bahr al-Lahut, (2) al-Kitab fi Bayan al-Alif, (3) Hujjah al-Sidiq li Daf’i al-Zindiq, (4) Hikayat Habib Husain al-Qadri, (5) al-Mukhtasar fi ‘Alamah al-Mahdi al-Muntazar. Buku ini merupakan satu penjelasan awal dengan mengemukakan transliterasi ke dalam tulisan Rumi selain dari beberapa lampiran ringkas mengenai keadaan fisikal 74 naskhah manuskrip Melayu yang mana 43 dari padanya ialah teks yang yang ditulis oleh pengkaji dan selebihnya telah diteliti menerusi katalog Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDLA) dan keempat-empat naskhah yang telah ditransliterasi oleh pengkaji adalah naskhah yang diambil dari 74 buah naskhah tersebut. Keempat-empat naskhah tersebut lebih menyentuh mengenai ilmu tasawuf, akidah dan juga sejarah.
Selain itu, pada tahun 1996, manuskrip yang dikaji kebanyakannya dalam konteks aqidah dan juga tasawuf. Sebagai contoh, manuskrip Sirajun al-Huda Ila Bayan Aqa‘id Ahl al Taqwa, Kitab al-Yawaqit wa al-Jawahir18, dan juga Kifayah al-- Awwam  . Seterusnya, terdapat juga pengkajian teks manuskrip Bidayat al Hidayah20 pada tahun 1997 dan pada tahun 1998, Zaharah Abdul Hamid telah melakukan transliterasi terhadap manuskrip Makrifat al-Islam.[9]
Pada tahun 2000, terdapat satu artikel di dalam Jurnal Filologi yang telah ditulis oleh Dr. Ab. Razak Ab. Karim. Penulis telah membincangkan secara  ringkas jenis-jenis penyakit dan juga bahan-bahan yang digunakan dalam Kitab Tib Pontianak. Dalam pembahagian penyakit, ia telah dibagikan mengikut jantina iaitu penyakit yang khusus untuk wanita, lelaki dan juga khusus untuk kedua-dua golongan jantina ini. Bahan-bahan perubatan pula adalah bersumberkan tumbuh-tumbuhan, hewan dan organnya dan juga rempah-ratus. Penulis juga turut menyatakan keistimewaan Kitab Tib Pontianak ini iaitu amat kurang pantang larang yang dikenakan kepada orang yang saki sekiranya berobat mengikut cara yang disarankan oleh penulis Kitab Tib ini.
Sebagai kesinambungannya, Dr. Ab. Razak Ab. Karim23 telah menghasilkan satu penulisan berkenaan dengan analisis bahasa dalam Kitab Tib Pontianak. Penulis telah memfokuskan kepada beberapa jenis penyakit dan cara merawatnya sama ada dengan menggunakan flora maupun fauna. Selain daripada itu, penulis juga memberikan perhatian terhadap aspek bahasa yang telah digunakan dalam Kitab Tib Pontianak termasuklah dari sudut kosa kata dan ayat yang terkandung di dalamnya. Penulis juga turut sama menyatakan proses penyediaan sesuatu bahan untuk tujuan rawatan sesuatu penyakit.
Hasil daripada sorotan mengenai kajian yang lalu, dapatlah disimpulkan bahawa usaha mengenai menghasilkan semula karya lama dalam bentuk baru telah dilakukan oleh beberapa pengkaji. Sebagai kelangsungan dari pada usaha-usaha yang telah dirintis oleh para pengkaji maka kajian mengenai manuskrip Kitab Tayyib al- Ihsan fi Tibb al-Insan ini dilihat sebagai pelengkap kepada kajian manuskrip perubatan Melayu. Sedikit sebanyak dengan adanya transliterasi teks manuskrip ini, ia boleh dijadikan rujukan orang ramai yang ingin mengetahui dan mendalami tentang ilmu perobatan tradisional orang Melayu.
F.       Latar Belakang Manuskrip
Perubatan tradisional merupakan sebahagian daripada kebudayaan Melayu yang terpenting kerana terkandung di dalamnya unsur-unsur perubatan yang mempunyai khasiatnya tersendiri dalam mengubati penyakit. Ia merupakan warisan sejak zaman-berzaman. Walaupun dunia telah dipenuhi dengan sistem perubatan yang canggih dan moden, namun perubatan tradisional masih diperlukandalam merawat sesuatu penyakit. Setiap sistem perubatan mempunyai cara tersendiri dalam menangani persoalan sihat dan uzur dalam sesebuah masyarakat.[10]
Masyarakat India misalnya mempunyai sistem perubatan Ayurvedic, masyarakat Cina dengan Sinseh, masyarakat Melayu dengan system pawang dan perbomohan, dan masyarakat moden yang berasaskan teknologi canggih. Keberbagai sistem perubahan tersebut jelas sekali dilihat melalui amalan, teknik rawatan penyembuhan dan pemulihan serta sistem kepercayaan yang didukunginya. Ini bukan berarti wujudnya kepelbagaian matlamat, sebaliknya apa juga system perobatan, sama ada modern maupun tradisional, masing-masing mengutamakan tujuan memelihara kesehatan dan merawat penyakit yang dialami oleh anggota masyarakat.
Penelitian menunjukkan bahwa beberapa sepsis tumbuhan obatan yang digunakan oleh masyarakat Melayu sememangnya mengandung sebagian organik yang mempunyai kesan sampingan. Kekurangan pemahaman masyarakat Melayu terhadap penyakit yang perlu menggunakan kaedah modern dan saintifik seperti canser, darah tinggi dan kencing manis telah menimbulkan pengetahuan tersendiri mengenai tumbuhan baru yang boleh dijadikan ubat. Ia dilihat mempunyai kaitan yang agak rapat antara satu sama lain, yang merangkumi aspek kesihatan yang telah menjadi amalan manusia turun-temurun yang diwarisi secara lisan, penulisan, amalan dan kepercayaan oleh sesuatu kaum itu. Ilmu ini boleh dibagikan kepada dua aspek yaitu aspek rohaniahdan aspek empirik. Contoh dari penggalan akhir dari kitab yang ditulis Syeikh Ahmad al-Fatani ada memperkatakan tentang puncak terjadinya sesuatu penyakit. Antara petikan daripada kitab tersebut ialah:
Dan mengkali (berkali) minum air sejuk pada
malam mempusakakan buta. Demikian mengkali
(berkali) menjirus air sejuk atas kepala dan jika
pada musim panas sekalipun. Dan mengkali
(berkali) makan telur mempusakai penyakit kura.
Dan mengkali (berkali) makan telur rebus
mempusakakan lelah dan picik (payah) bernafas.
Dan makan segala yang masin [,] atau ikan
kemudian daripada buang darah berbekam [,]
atau berpetik mempusakai akan penyakit sopak
dan gatal ...36
Dan menahankan sedawa mempusakakan batuk
dan gementar dan sakit jantung. Dan menahankan
menguap mempusakakan gementar dan parau
suara dan mengkerucut (berkedut) kulit. Dan
menahankan bersin mempusakakan penyakit lequh
dan sakit kepala dan kelam mata dan berat telinga.
Dan menahankan menangis mempusakakan zukam.
Dan banyak lapar mempusakakan tuli dan kelam
mata dan pening kepala dan jahat perangai
Secara keseluruhannya, Kitab Tayyib al-Ihsan fi Tibb al- Insan ini merupakan antara karya berkenaan perubatan Melayu tradisional yang agak sempurna terdapat di Alam Melayu ini. Apa yang telah diunjurkan dalam karya Syeikh Ahmad al-Fatani ini boleh dijadikan sebagai panduan kepada mereka yang masih lagi mengamalkan sistem perubatan tradisional.[11]
1.      Ciri- ciri manuskrip melayu
a.       Penggunaan Tarikh oleh Pengarang atau Penyalin Manuskrip Melayu.
b.      Penyataan Judul Manuskrip Melayu oleh Penulis atau Penyalin.
c.       Susunan dan Gaya Penulisan Manuskrip Melayu.
2.      Fungsi manuskrip islam :
a.       Naskah-naskah ini  mengandung informasi yang sangat lengkap tentang peradaban islam dalam ari lengkap,sehingga bermanfaat untuk menjaga kesinambungan peradaban islam.
b.      Berisikan kajian keagaaman yang bersumber dari karya para sahabat dimasa rosul sehingga bermanfaat untuk manjaga dan mengembangkak ajaran  islam dimasa yang akan datang.
c.       Berisikan tentang selukbeluk pemerintahan pada saat itu,sehingga bermamfaat untuk mengkaji model pemerinthan yang tepat menurut islam.
d.      Berisikan sruktur social masyarakat model perkonomian yang berlaku saat itu sehinggaa bermafaat untuk mengkaji perkonomian saat ini.
e.       Berisikan adat kebiasaan hokum dan teknologi.
3.      Contoh Manuskrip Melayu
a.       Batu besurat
b.      Brustanul salatin
c.       Hikayat raja-raja pasa
d.      Hikayat melyu
e.       Hikayat aceh
f.       Hikayat Hasanuddin
g.      Arca pradnya paramita













BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Tulisan arab melayu yang kita dengar pada zaman sekarang ini merupakan sebuah pengembangan dari tulisan arab yang disesuaikan dengan bahasa melayu. Bahasa arab yang datang ke daerah nusantara beserta tulisannya yang dibawa oleh para pedagang islam dari arab sangat mempengaruhi adanya tulisan di daerah nusantara khusunya bagi orang-orang melayu. Tulisan ini semakin berkembang dari tahun ke tahun. Tulisan arab melayu masih belum diketahui siapa tokoh pertama yang memakai tulisan ini. Tetapi tanda keberadaannya sudah diketahui melalui hasil penelitian yang ditemukannya sebuah prasasti pada zaman kerajaan
Manuskrip Melayu  adalah hasil karya masyarakat Melayu serumpun yang kaya dengan berbagai cabang ilmu. Ia merupakan bahan rujukan utama dalam mengetahui peradaban dan pensejarahan masyarakat Melayu sama ada yang termasuk dalam system pemerintahan, ekonomi, social budaya dan sebagainya.
B.       Saran
Bagi para pembaca yang telah membaca makalah ini, pasti menemukan kesalahan-kesalahan dalam penulisan ini.Untuk itu, kami pemakalah menerima sarannya dari semua pembaca.Dan apabila ada informasi yang bermanfaat yang terdapat dalam makalah ini maka ambilah sebagai tambahan ilmu bagi para pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Darmawi, Ahmad. 2008. ARAB MELAYU, Pemunculan Tulisan, Sistem dan Istilah Jawi. rakyatriau.com
Fathullah, M Luthfi. 2008 Manuskrip Ulama Nusantara Dijarah Penjajah. Jordan: university Jordan press.
Jelprison. 2008. Arab Melayu Sebuah Pengenalan. kampungrison.wordpress.com
Medri. 2008. JejakBahasa Melayu Aceh. Acehlong.com
Muhandri. 2003. Bahasa Jawa, Arab, dan Melayu di Palembang.www2.kompas.com.
Muhd Yusuf Hashim, “Manuskrip Melayu: Warisan Keilmuan yang bernilai” dalam Warisan Dunia Melayu-Teras Perpaduan Malaysia. Kuala Lumpur: Biro Penerbitan GAPENA, 1985
Nuswanto, Heru Susetyo . 2008. Bangsa Moro di Mindanao : Roh Islam Melayu di Jasad Pinay. www.heru.blogspot.com.
Van wijk, D. gerth. 1985. Tata Bahasa Melayui. Jakarta : Djambatan.



[1] Darmawi, Ahmad. 2008. ARAB MELAYU, Pemunculan Tulisan, Sistem dan Istilah Jawi. rakyatriau.com hal 3

[2] Jelprison. 2008. Arab Melayu Sebuah Pengenalan. Hal 32

[3] Muhd Yusuf Hashim, “Manuskrip Melayu: Warisan Keilmuan yang bernilai” dalam Warisan Dunia Melayuhal -Teras Perpaduan Malaysia. Kuala Lumpur: Biro Penerbitan GAPENA, 1985 hal 23

[4] Van wijk, D. gerth. 1985. Tata Bahasa Melayui. Jakarta : Djambatan hal 25

[5] Muhd Yusuf Hashim, “Manuskrip Melayu: Warisan Keilmuan yang bernilai” dalam Warisan Dunia Melayuhal -Teras Perpaduan Malaysia. Kuala Lumpur: Biro Penerbitan GAPENA, 1985 hal 21

[6] Darmawi, Ahmad. 2008. ARAB MELAYU, Pemunculan Tulisan, Sistem dan Istilah Jawi. rakyatriau.com hal 6

[7] Jelprison. 2008. Arab Melayu Sebuah Pengenalan. Hal 31

[8] Van wijk, D. gerth. 1985. Tata Bahasa Melayui. Jakarta : Djambatan hal 32

[9] Muhd Yusuf Hashim, “Manuskrip Melayu: Warisan Keilmuan yang bernilai” dalam Warisan Dunia Melayuhal -Teras Perpaduan Malaysia. Kuala Lumpur: Biro Penerbitan GAPENA, 1985 hal 43

[10] Jelprison. 2008. Arab Melayu Sebuah Pengenalan. Hal 54

[11] Darmawi, Ahmad. 2008. ARAB MELAYU, Pemunculan Tulisan, Sistem dan Istilah Jawi. rakyatriau.com hal 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...