Selasa, 06 Juni 2017

MAKALAH TENTANG PERAWI



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam penyampaian sebuah hadits tidak hanya asal diucapkan saja, tetapi harus benar-benar diperhatikan dari isi sampai yang meriwayatkannya. Seorang perawi tidak menjamin sebuah hadits itu berkualitas shahih atau tidaknya. Maka dibutuhkan pengamatan tentang bagaimana kondisi perawi tersebut.
Dalam hadits ada yang menerima dan mendengarkan sebuah periwayatan haadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode. Lebih lanjutnya kita akan bahas dalam makalah ini.
B.       Rumusan Masalah
Rumusan maslah makalah ini dibuat agar pembahasan dimakalah ini tidak terlalu luas. Ada pun rumusan masalah nya, yaitu:
1.      Apa saja Syarat-Syarat Seorang Perawi ?
2.      Apa Pengertian Tahanmul Wa al-Ada dan Sighat-Shighatnya ?









BAB II
PEMBAHASAN
A.      Syarat-Syarat Seorang Perawi
Raawi menurut bahasa berasal dari kata riwaayah yang merupakan   bentuk mashdar dari kata kerja rawaa-yarwii,yang berarti”memindahkan atau meriwayatkan”. Bentuk plural dari kata raawii adalah ruwaat. Jadi raawii adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.
Seorang perawi mempunyai peran yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadist juga tergantung padanya. Mengenai hal-halyang seperti itu, jumhur ahli Hadits, ahli ushul dan fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, yaitu sebagai berikut:
1.      Islam
Pada waktu periwayatan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut Ijma, periwayat seseorang yang kafir tidak dapat diterima. Seandainya seorang fasik pun kita disuruh tawaquf, maka lebih-lebih orang kafir. Allah berfirman:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ  
 “ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. AL-Hujarat (49) :6)
2.      Baligh
Yang dimaksud Baligh adalah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, walau pun menerimanya sebelum baligh. Rasulullah bersabda:
رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق النإم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو داود)[1]
“Hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
3.      Adil
Yang dimaksud adil adalah suatu sifat yang meletak pada jiwa seseorang yang menyebabakan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap bertaqwa, menjaga kepribadian dan percaya kepada diri sendiri.
4.      Dhabit
يتقظ الراوى حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذالك من وقت
التحمل الى وقت الاداء
Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang iya dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.
Jalannya mengetahuin kedhabitan perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada juga yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat yang disebutkan di atas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat ayat-ayat Al-Quran.

B.       Pengertian Tahammul wa al-Ada dan Shighatnya
1.      Pengertian Tahammul Wa al-Ada
Tahammul (تَحَمُّل) dalam bahasa artinya “menerima” dan ada’ (اَدَأْ) artinya “menyampaikan”. Jika digabungkan dengan kata alhadits, maka tahammul hadits (تَحَمُّلُ الْحَدِيْثِ) “merupakan kegiatan menerima riwayat hadits”, sedang ada’ul hadits (أَدَءُ الْحَدِيْثِ)“merupakan kegiatan menyampaikan riwayat hadits”.
Dengan demikian, tahammul wa Ada’ alhadits adalah suatu kegiatan menerima dan menyampaikan riwayat hadits secara lengkap, baik berkenaan dengan matarantai sanad maupun matan, sebab matarantai sanad selain memuat nama-nama para perawi, memuat juga kode-kode atau lafal-lafal yang memberikan petunjuk tentang metode periwayatan hadits yang digunakan oleh masing-masing perawi yang bersangkutan, sehingga dari koe-kode atau lafal-lafal tersebut dapat diteliti sejauh mana tingkat akurasi metode periwayatan hadits yang digunakan oleh para perawi yang nama-namanya termuat di dalam matarantai sanad.
2.      Shiyagh atau Lafal Tahammul dan Ada’ Hadits
Dengan pengertian tahammul dan ada’ di atas, para ahli hadits membagi metode penerimaan riwayat hadits (tahammul hadits) kepada delapan macam dan masing-masing metode memiliki kode-kode penyampaian sebagai lambang penyampaian hadits mereka dalam wujud lafal-lafal, yang lazimnya dikenalkan dengan sebutan “shiyagh al-ada’ (صِيَغُ الأداء)”[6], yaitu sebagai berikut:
a.      Al-Sima’ (السِّمَاع)
Maksudnya adalah seorang perawi yang dalam penerimaan hadits dengan cara mendengar langsung terhadap lafal hadits dari seorang guru (al-syaikh),hadits tersebutdidektekan (dalam pengajian) oleh guru hadits berdasarkan hafalannya atau dokumennya
Sedang kode-kode yang dipakai untuk cara al-sima’ beragam, diantaranya:
سَمِعْت  (aku telah mendengar)
حَدَّثَنِيْ     (telah menyampaikan hdits kepadaku atau kami)
أَخْبَرَنِيْ    (telah menyampaikan khabar kepadaku atau kami)
أَنْبَأَنِيْ      (telah menceritakan kepadaku atau kami)
قَالَ لِيْ     (telah berkata kepadaku atau kami)
ذَكَرَ لِيْ    (telah menuturkan berita kepadaku atau kami).
b.      Al-Qira’ah (القِرَاءَةُ), disebut juga dengan istilah ‘ardl
Maksudnya adalah seorang perawi mengajukan riwayat haditsnya kepada guru hadits dengan cara perawi sendiri yang membacanya atau orang lain, sedang ia mendengarkan.
Sedang kode-kode yang dipakai untuk periwayatan hadits dengan metode ini adalah:
قَرَئْتُ عَلَى فُلاَنٍ (Aku membacakan hadits di hadapan si fulan)
قَرَئَ عَلَيْهِ وَأَنَا أسْمَعُ فَأَقْرَ بِهِ  (dibacakan (sebuah hadits) di hadapannya dan dia mendengarkannya dengan cermat).
c.       Al-Ijazah (الاِجَازَةُ)
Maksudnya adalah: seorang guru memberikan rekomendasi (izin) kepada seseorang untuk meriwayatkan hadits yang ada padanya, baik melalui lisan maupun tulisan.
Adapun bentuknya, dapat dikelompokan menjadi:
Guru memberikan rekomendasi hadits tertentu kepada orang tertentu, misalnya menggunakan kode: اَجَزْتُكَ الْبُخَارِيَّ  aku memberikan rekomendasi hadits ini kepada bukhari.
Guru memberikan rekomendasi hadits tertentu kepada orang lain, seperti: أَجَزْتُكَ مَسْمُوْعَاتِى aku memberikan rekomendasi hadits ini kepada mereka yang mendengarkannya.
Guru memberikan rekomendasi hadits kepada orang umum, misalnya:
أَجَزْتُ الْمُسْلِمُوْنَ :(aku memberikan rekomendasi hadits ini kepada kaum muslimin)
أَجَازَلِي فُلاَنٌ  :(seseorang telah memberikan izin kepadaku untuk meriwayatkan hadits)
حَدَّثَنَا اِجَازَةً  :(telah menyampaikan riwayat kepadaku dengan disertai izin untuk meriwayatkan kembali).
أَخْبَرَنَا اِجَازَةً  :(telah menceritakan kepadaku. Kode ini sering dipakai oleh ulama hadits generasi akhir atau mutaakhirin)
d.      Al-Munawalah (المُنَاوَلَةُ)
Maksudnya adalah seseorang guru memberikan manuskripnya kepada seseorang disertai ijazah atau memberikan manuskrip terbatas pada hadits-hadits yang pernah didengarnya sekalipun tanpa ijazah.
Makanya, hadits yang diperoleh dengan metode munawalah yang disertai ijazah boleh diriwayatkan. Sedang yang tanpa ijazah tidak diperolehkan (menurut pendapat yang shahih).
Sedang kode-kode yang dipakai adalah:
نَاوَلَنِي      :(seseorang guru hadits telah memberikan manuskrip kepadaku).
نَاوَلَنِي وَأَجَازَنِي       :(seorang guru hadits telah memberikan manuskrip kepadaku disertai ijazah).
Dua kode ini dipandang lebih baik dari pada kode-kode berikut ini, meskipun diperbolehkan, yaitu:
حَدَّثَنَا مُنَاولَةً       :(telah menyampaikan riwayat kepadaku secara munawalah)
أَخْبَرَنَا مُنَاولَةً اِجَازَةً       :(telah menyampaikan berita kepadaku secara munawalah    disertai ijazah).

e.       Al-Kitabah atau al-Mukatabah (الْمُكَاتَبَةُ / الْكِتَابَةُ)
Maksudnya adalah: seorang muhaddits menuliskan hadits yang diriwayatkan untuk diberitakan kepada orang tertentu, baik ia menulis sendiri atau dituliskan oleh orang lain atas permintaannya.
Sedang kode-kode yang digunakan adalah:
كَتَبَ اِلَيَّ فُلاَن       (seorang guru hadits telah menulis sebuah hadits kepadaku).
حَدَّثَنِيْ فُلاَنٌ كِتَابَةً       (telah menyampaikan riwayat kepadaku melalui koresponden).
 أَخْبَرَنِي فُلاَنٌ كِتَابَةً     (telah menyampaikan khabar berita kepadaku melalui koresponden).
f.       Al-I’lam (الاِعْلاَمُ)
Maksudnya adalah: seorang guru memberitahukan kepada muridnya hadits atau kitab hadits yang telah diterima dari perawinya.
Dalam hal ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa metode ini diangga sah, sekalipun sebagian kecil menganggapnya tidak sah.
Sedang kode-kode yang dipakai adalah:
أَعْلَمَنِي شَيْخِيْ بِكَذَا               :(guru hadits telah memberitahukan riwayat hadits).
g.      Al-Washiyah (الوَصِيَّةُ)
Maksudnya adalah: seorang guru ketika akan meninggal dunia atau bepergian, memberi washiyat sebuah manuskrip hadits yang diriwayatkannya kepada seseorang.
Sedang kode-kode yang dipakai adalah:
      اوصى الي فلان بكذا (seseorang guru hadits telah memberi wasiat kepadaku sebuah manuskrip haditsnya).
h.      Al-Wijadah (الوِجَادَةُ)
Maksudnya adalah: seseorang yang tidak melalui cara alSima’ atau ijaza, menemukan manuskrip hadits yang telah ditulis perawinya.
Dalam hal ini, ulama mengkategorikan hadits-hadits yang diperoleh dengan cara demikian sebagai hadits munaqhati’ (terputus) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada indikasi bersambung. Sedang kode-kode yang dipakai adalah:
وَجَدْتُ بِخَطِّ فُلاَنٍ        (aku telah menemukan tulisan seorang guru hadits)
قَرَأْتُ بِخَطِّ فُلاَنٍ كَذَا        (aku telah membaca hadits tulisan seorang guru).
Disamping kode-kode periwayatan dalam metode tahammul wa al’ada diatas, ada kata-kata (harf) yang sering didapati dalam sanad, yaituعَنْ danأَنَّ yang berfungsi selain sebagai petunjuk tentang tentang cara periwayatan yang telah ditempuh oleh perawi, juga sebagai bentuk persambungan matarantai sanad yang bersangkutan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits yang kode-kode periwayatannya menggunakan عنatau أنّ itu sanadnya terputus, tetapi mayoritas ulama menilainya melalui al-Sima’, selama dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Dalam matarantai sanadnya tidak terdapat penyembunyian informasi (tadlis) yang dilakukan perawi.
Antara perawi dengan perawi terdekat yang menggunakan harf  عن atauأنّ  itu dimungkinkan terjadi pertemuan.
Malik bin Anas, Ibn ‘Abd al-Barr dan al-Iraqi menambahkan satu syarat lagi, yakni para perawi harus orang-orang terpercaya.



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.Seorang perawi hadits mempunyai syarat-syarat tertentu diantaranya Islam, Baligh, Adil, dan dhabit. Tidak boleh seorang perawi hadits seorang yang kafir.
Tahamul dalam bahasa artinya “menerima” dan ada’ artinya ”menyampaikan”. Jika digabungkan dengan kata al-hadits, maka “tahammul hadits” merupakan kegiatan menerima riwayat hadits”. sedangkan “ada’ul hadits” merupakan kegiatan menyampaikan riwayat hadits. menurut istilah Tahamul wa ada’ al-hadits adalah suatu kegiatan menerima dan menyampaikan riwayat hadits secara lengkap, baikberkenaan dengan matarantai sanad maupun matan.
para ulama hadits membagi metode penerimaan riwayat hadits menjadi delapan macam, dan masing-masing mmetode mempunyai kode-kode yang lazim dikenal “shiyagh al-a’da” antara lain, Al-Isma’, Al-Qira’ah, Al-Ijazah, Al-Munawalah, Al-Kitabah atau al-Mukatabah, Al-I’lam, Al-Washiyah, Al-Wijadah.








DAFTAR PUSTAKA
 Zein, Muhamad, Ma’shum. 2008. Mustholah Hadits. Jawa Timur: Darul Hikmah
Suparta, Munzeir. 2001. Ilmu Hadits. Jakarta:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...