Rabu, 07 Juni 2017

MAKALAH THAHARAH HADATS DAN NAJIS



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Lantar Belakang
Dalam pembahasan fiqih, secara umum selalu diawali dengan uraian tentang thaharah. Secara khusus, dalam semua kitab atau buku fiqih ibadah selalu diawali dengan thaharah. Hal ini tidak lain karena thaharah ( bersuci ) mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dengan ibadah.
Sebaliknya, ibadah juga berkaitan erat dengan thaharah. Artinya, dalam melaksanakan suatu amalan ibadah, seseorang harus terlebih dahulu berada dalam keadaan bersih lagi suci, baik dari hadas besar maupun hadas kecil, termasuk sarana dan prasarana yang digunakan dalam beribadah, mulai dari pakaian, tempat ibadah dan lain sebagainya. Dengan kata lain, thaharah dengan ibadah ibarat dua sisi mata uang, dimana dimana antara satu sisi dengan sisi lainnya tidak dapat dipisahkan.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian thaharah, hadast dan najis?
2.      Bagaimana cara bersuci dari najis dan hadast?
3.      Apa pPengertian wudlu, tayamum dan mandi?
4.      Apa saja alat-alat untuk bersuci?
5.      Apa hikmah dari bersuci?










BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Thaharah, Najis, dan Hadast
1.      Pengertian Thaharah
Secara bahasa, thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud maupun kotoran yang tidak berwujud.
Adapun secara istilah, thaharah artinya menghilangkan hadats, najis, dan kotoran dengan air atau tanah yang bersih. Dengan demikian, thaharah adalah menghilangkan kotoran yang masih melekat di badan yang membuat tidak sahnya shalat dan ibadah lain.
2.      Pengertian hadast
Hadats secara etimologi (bahasa), artinya tidak suci atau keadaan badan tidak suci – jadi tidak boleh shalat. Adapun menurut terminologi (istilah) Islam, hadats adalah keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengan cara berwudhu, mandi wajib, dan tayamum. Dengan demikian, dalam kondisi seperti ini dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut keadaan badan bersih dari hadats dan najis, seperti shalat, thawaf, ’itikaf.
3.      Pengertian najis
Najis adalah suatu benda kotor menurut syara’ (hukum agama). Benda-benda najis itu meliputi :[1]
a.         Darah, dan nanah
b.         Bangkai, kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang
c.         Anjing dan babi
d.        Segala sesuatu yang dari dubur dan qubul
e.         Minuman keras, seperti arak
f.          Bagian atau anggota tubuh binatang yang terpotong dan sebagainya sewaktu masih hidup.
Selain itu, najis dibagi menjadi 3 yaitu:
a.         Najis ringan (Mukhofafah)
b.         Najis sedang (Mutawasithoh)
c.         Najis berat (Mugholadhoh)
d.        Najis ma’fu
B.       Bagaimana cara bersuci dari hadast dan najis
1.      Cara bersuci dari hadast
a.       Hadas kecil penyebabnya keluar sesuatu dari dubur dan kubul, menyentuh lawan jenis yang bukan muhrimnya, dan tidur nyenyak dalam keadaan tidak tetap. Cara mensucikan hadas kecil ini adalah dengan wudhu atau tayamum.
b.      Hadas Besar penyebabnya keluar air mani, bersetubuh ( baik keluar mani atau tidak ), menstruasi atau nifas ( keluar darah karena melahirkan ), dan lain sebagainya. Cara mensucikan hadast besar adalah dengan mandi wajib.
2.      Cara bersuci dari najis
a.       Najis Ringan (mukhofafah), yaitu air kencing bayi lelaki yang berumur dua tahun, dan belum makan sesutu kecuali air susu ibunya. Menghilangkannya cukup diperceki air pada tempat yang terkena najis tersebut. Jika air kencing itu dari bayi perempuan maka wajib dicuci bersih. Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya pakaian dicuci jika terkena air kencing anak perempuan, dan cukup diperciki air jika terkena kencing anak laki - laki “. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Hakim).
b.      Najis Sedang (mutawasitoh), yaitu segala sesuatu yang keluar dari dubur dan qubul manusia atau binatang, barang cair yang memabukkan, dan bangkai (kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang) serta susu, tulang, dan bulu hewan yang haram dimakan. Dalam hal ini tikus termasuk golongan najis, karena tikus hidup di tempat - tempat kotor  seperti comberan dan tempat sampah sekaligus mencari makanan disana. Sedangkan kucing tidak najis. Rasulullah SAW telah bersabda, “Sungguh kucing itu tidak najis, karena ia termasuk binatang yang jinak kepada kalian“. (HR Ash-habus Sunan dari Abu Qotadah ra.)
Najis mutawasitoh dibagi dua :
1.        Najis Ainiyah, yaitu yang berwujud (tampak dan tidak dilihat). Misalnya, kotoran manusia atau binatang.
2.        Najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak berwujud ( tidak tampak dan tidak terlihat ), seperti bekas air kencing, dan arak yang sudah mengering.
Cara membersihkan najis mutawashitho ini, cukupalah dibasuh tiga kali agar sifat - sifat najisnya (yakni warna, rasa, dan baunya) hilang.
c.       Najis berat (mugholladhoh) adalah najis anjing dan babi. Cara menghilangkannya harus dibasuh sebanyak tujuh kali dan salah satu air yang bercampur tanah. Rasulullah SAW bersabda : “Jika bejana salah seorang diantara kalian dijilat anjing, cucilah tujuh kali dan salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah”. (HR.Muslim)
Selain tiga jenis kotoran diatas, ada satu lagi, yaitu najis ma’fu ( najis yang dimaafkan ) Antara lain nanah dan darah yang cuma sedikit, debu, air dari lorong - lorong yang memercik sedikit yang sulit dihindarkan.
C.      Pengertian wudlu,tayamum dan mandi
1.         Wudlu
Wudlu yaitu mempergunakan air untuk anggota-anggota badan tertentu yang dimulai dengan niat.
Adapun Syarat-syarat wudlu ada lima dan ini juga menjadi syaratnya mandi, adalah:
a.         Air mutlaq
Selain air mutlaq tidak dapat menghilangkan hadast, mencuci najis, dan tidak dapat digunakan thaharah.
b.        Mengalirkan air pada anggota yang dibasuh.
c.         Pada anggota wudlu tidak terdapat sesuatu yang membahayakan bagi berubahnya air.
d.        Tiada pembatas antara anggota basuhan dengan air.
e.         Masuknya waktu bagi orang-orang yang berkeadaan hadast.
Adapun rukun wudlu adalah sebagai berikut :
a.         Niat
Hendaknya berniat menghilangkan hadast kecil, dan cara melakukannya tepat pada waktu membasuh muka, sesuai dengan pengertian niat itu sendiri : “Qhasdus Syai’in, muqtarinan bi fi’lihi” yang artinya meniatkan sesuatu secara beriringan dengan  perbuatan.
b.      Membasuh seluruh muka (mulai dari tumbuhnya rambut kepala hingga bawah dagu, dan dari telinga kanan hingga telinga kiri).
c.       Membasuh kedua tangan sampai siku-siku.
d.      Mengusap sebagian rambut kepala.
e.       Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki.
f.       Tertib ( berturut-turut ).[2]
2.         Tayamum
Menurut pengertian bahasa, tayammum berarti maksud atau tujuan. Sedang menurut pengertian syariat, tayamum berarti menuju ke pasir untuk mengusap wajah dan sepasang tangan dengan niat agar diperbolehkan melakukan shalat.[3]
Adapun rukun dan tata cara tayamum adalah sebagai berikut :
a.       Niat
Para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana niat tayamum seharusnya. Ulama Malikiyah dan Syafi’iah berpendapat hampir sama, niat tayamum yang dianggap sah adalah niat tayamum untuk diperbolehkan melaksanakan sholat atau niat melaksanakan kewajiban tayamum, sedangkan untuk menghilangkan hadats tidak sah.[4]
Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa niat hanya merupakan syarat sah tayamum, bukan rukun. Menurut kelompok ini,  yang penting niat disertai tujuan tayamum.
b.      Mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu.
Menurut  Malikiyah dan Hanabillah orang yang akan bertayamum harus menepukkan tanganya ke tanah yang suci satu kali kemudian mengusapkanya ke tangan dan wajah, sedangkan menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah harus menepukkan tangan dua kali, yang pertama untuk diusapkan ke tangan dan yang kedua ke wajah.
Batasan dalam mengusap wajah tidak diharuskan debu merata sampai kulit dasar jenggot meskipun tidak lebat. Sedangkan bagian tangan sebagian ulama berpendapat hanya mengusap sampai pergelangan tangan saja dan menganggap sampai ke siku sebagai sunnah, namun sebagian mengqiyaskan dengan wudhu yaitu membasuh sampai siku-siku.
c.       Tartib
Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tartib menjadi rukun tayamum untuk menghilangkan hadats kecil, sedangkan untuk menghilangkan hadats besar tidak menjadi rukun. Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa tartib hanya sunah, bukan wajib.
3.      Mandi
Mandi adalah meratakan atau mengalirkan air keseluruh tubuh. Sedangkan mandi besar atau junub atau wajib adalah mandi dengan menggunakan air suci dan bersih ( air mutlak ) yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut keseluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tujuan mandi wajib adalah untuk menghilangkan hadast besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah sholat. Mandi itu disyariatkan berdasarkan Firman Allah SWT :
bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù  
 Dan jika kamu junub hendaklah bersuci!” (Q.S Al-Maidah : 6). [5]
Hal-hal yang mewajibkan mandi wajib. Mandi itu diwajibkan atas lima perkara :
a.         Keluar air mani disertai syahwat, baik diwaktu tidur maupun bangun, dari laki-laki atau wanita.
b.        Hubungan intim, walau tidak sampai keluar mani.
Firman Allah Ta’ala : “ jika kamu junub, hendaklah kamu bersuci ”.
c.         Terhentinya haid dan nifas.
d.        Mati, bila seorang menemui ajal wajiblah memandikannya berdasarkan ijma’.
e.         Orang kafir bila masuk islam.[6]
Rukun ( Fardhu ) dan Tata Cara Mandi Besar.
1.        Niat (bersamaan dengan membasuh permulaan anggota tubuh).
2.        Membasuh air dengan tata keseluruhan tubuh, yakni dari ujung rambut sampai ujung kaki.[7]
Tata Cara Mandi Wajib. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama mandi ialah sebagai berikut :
a.         Membaca Niat. Yaitu “ Nawaitul ghusla lirof’il hadatsil fardlol ilaahita’ala ”.
b.        Membilas atau membasuh seluruh badan dengan air ( air mutlak yang menyucikan ) dari ujung kaki ke ujung rambut secara merata.
c.         Hilangkan najis yang lain bila ada.[8]
D.      Alat-alat untuk bersuci
1.      Air
Ditinjau dari hukumnya air dibagi menjadi empat :
a.       Air mutlak yaitu air suci yang dapat dipakai mensucikan. Sebab belum berubah sifat ( bau, rasa, dan warnanya ).
b.      Air musyammas yaitu air suci yang dapat dipakai untuk mensucikan, namun makruh digunakan. Mislanya, air bertempat dilogam yang bukan emas, dan terkana panas matahari.
c.       Air musta’mal yaitu air suci tetapi tidak dapat dipakai untuk mensucikan karena sudah dipakai untuk bersuci, meskipun air itu tidak berubah warna, rasa, dan baunya.
d.      Air mutanajis yaitu air yang terkena najis, dan jumlahnya kurang dari dua kullah. Karenanya air tersebut tidak suci dan tidak dapat dipakai mensucikan.
2.      Debu.
3.      Alat-alat yang kasar seperti batu.

E.       Hikmah bersuci
Islam adalah agama yang cinta keindahan. Keindahan selalu identik dengan kebersihan dan kesucian. Demikianlah sebuah hadits berbunyi “Kebersihan itu sebagian dari iman”. Artinya keimanan belum tanpa adanya kebersihan. Baik jasmani maupun rohani.Anjuran bersuci dalam Islam terjembatani dalam pelaksanaan wudlu’ sebelum shalat. Demikian pula anjuran mandi sebelum pertemuan jum’atan atau berkumpul tahunan dalam rangka shalat idul adha maupun idul fitri. Begitu juga dengan anjuran memotong kuku, membersihkan gigi, membersihkan pakaian dengan mencuci.
Kitab Fiqih Manhaji Madzhab Imam Syafi’I menerangkan adanya hikmah dibalik anjuran tersebut diantaranya. 
1.         Menunjukkan fitrah Islam sebagai agama yang suci.
2.         Menjaga kehormatan dan kewibawaan seorang Islam. Karena manusia pada dasarnya condong pada sesuatu yang bersih, suka berkumpul dengan orang-orang yang bersih dan menjauhi sesuatu yang kotor. Maka perintah bersuci adalah jalan menuju kehormatan dan kewibawaan Islam itu sendiri. Lebih-lebih ketika bersinggungan dengan msyarakat lainnya.
3.         Menjaga kesehatan. Karena penyakit itu datang disebabkan kuman-kuman serta bakteri-bakteri yang dibawa oleh kotoran, maka Islam menganjurkan umatnya untuk menjaga kebersihan agar terhindar dari penyakit. Seperti mebersihkan badan, mencuci muka, mencuci tangan, mencuci kaki, karena anggota yang disebutkan merupakan tempat dimana kotoran yang menbawa penyakit itu bersarang.
4.         Mempermudah diri mendekati Ilahi. Allah Tuhan Yang Mahas Suci senang akan hal-hal yang suci. Karena itu keitka shalat untuk menghadapi-Nya haruslah dalam keadaan suci secara lahir maupun batin.



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Bersuci dari hadas maupun najis termasuk dalam perihal thaharah atau bersuci. Dalam hukum Islam juga disebutkan, bahwa segala seluk beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting. Macam - macam Thaharah ada empat yaitu pertama, tentang wudhu yaitu menghilangkan najis dari badan. Kedua, tentang bertanyamum yaitu pengganti air wudhu disaat kekeringan. Ketiga, mandi besar yaitu menyiram air keseluruh tubuh disertai niat. Keempat, Istinja’ yaitu membersihkan kotoran yang keluar dari salah satu dua pintu keluarnya kotoran itu.
Bersuci bisa juga menggunakan alat - alat bantu yang dianjurkan oleh Rasullullah SAW yaitu Air, tanah, dan masih banyak lagi yang bisa digunakan. Macam - macam hadas juga terbagi menjadi dua ialah hadas kecil yaitu yang disebabkan oleh keluar sesuatu dari dubur dan kubul, sedangkan hadas besar yaitu yang disebabkan oleh keluarnya air mani dan bersetubuh. Dan macam - macam Najis terbagi menjadi tiga yaitu Najis Mukhofafah, Najis Mutawashitho, dan Najis Mogholladhoh.
B.       Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.








DAFTAR PUSTAKA

Aliy As’ar. 1980. Terjemah Fathul Mu’in, Kudus: Menara Kudus.
Abdul Rosyad Shiddiq. 2006. Fikih Ibadah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Isnatin Ulfah. 2009. Fiqih Ibadah. Ponorogo: STAIN Press.
Muhamad Dainuri. 1996. Kajian Kitab Kuning Terhadap Ajaran Islam. Magelang: Sinar Jaya.
Sayyid Sabiq. 1984. Fikih Sunnah jilid 1. Jakarta: Mulyaco.
Moh. Rifa’i. 1978. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra.


[1] Aliy As’ar, Fathul mu’in. (Kudus: Menara kudus,1980). hlm 71.
[2] Drs. H. Moh.Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap. (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1978). hlm. 63
[3] Abdul Rosyad Shiddiq, Fikih Ibadah.  (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006), hlm: 80.
[4] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah . (Ponorogo: STAIN Press Ponorogo,2009), hlm: 56.
[5] Sayyid, Sabiq, dkk, Fikih Sunah jilid 1,(Jakarta:Mulyaco,1984), hlm. 128-130.
[6] Sayyid, Sabiq, dkk, Fikih Sunah jilid 1,(Jakarta:Mulyaco,1984),  hlm. 144.
[7] Dainuri Muhamad. Kajian kitab kuning terhadap ajaran islam (Magelang :Sinar Jaya Offset,1996) hlm. 27.
[8] Dainuri Muhamad. Kajian kitab kuning terhadap ajaran islam (Magelang :Sinar Jaya Offset,1996) hlm. 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...