BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mengingat Al-Qur’an adalah otoritas utama sebagai
pedoman umat Islam, dapatlah difahami jika terdapat berbagai ragam metode untuk
menafsirkannya. Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang merupakan indikasi kuat
yang memperlihatkan perhatian para ulama selama ini untuk menjelaskan
ungkapan-ungkapan Al-Qur’an dan menerjemahkan misi-misinya.[1] Sebagai hasil karya manusia, muncul keanekaragaman dalam corak penafsiran
merupakan hal yang tak terhindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan
keragaman corak baik perbedaan kecenderungan, interest dan motivasi
mufasir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang
dikuasai, perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari, perbedaan situasi dan
kondisi yang dihadapi, dan sebagainya. Semua itu menimbulkan corak yang
kemudian berkembang menjadi aliran besar dalam penafsiran Al-Qur’an.[2]
Penafsiran Al-Qur’an
selalu diwarnai oleh pemikiran mufassirnya, komentar dan ulasannya mengenai
suatu ayat merupakan manivestasi pikiran dan diwarnai oleh madzhab yang
dianutnya. Seorang mufassir yang bergelut dan menekuni sains eksata atau sangat
tertarik dengan kajian-kajian mengenai ilmu pengetahuan, maka penafsirannya
selalu dikaitkan dengan teori ilmu pengetahuan modern[3] yang pada
perkembangannya disebut dengan corak tafsir ‘Ilmi.
Ahmad Asy-Syirbasyi
dalam bukunya Sejarah Tafsir Qur’an memberikan ilustrasi bahwa sejak
zaman dahulu umat Islam telah berupaya menciptakan hubungan seerat mungkin
antara Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali
beberapa jenis ilmu pengetahuan dari ayat-ayat Al-Qur’an. Kemudian usaha
tersebut ternyata semakin berkembang dan banyak memberikan manfaat. Meskipun
Al-Qur’an tidak menyebut nama suatu ilmu, apalagi menguraikannya secara rinci,
namun isyarat ke arah itu banyak terdapat dalam ayat yang dapat dikemukakan
sebagai landasan filosofinya.
Melihat perkembangan penafsiran dengan corak ‘Ilmi yang berkembang pesat di
dunia keilmuan, tidak luput dari berbagai polemik yang mewarnainya baik pro dan
kontra didalamnya. Dan melihat perkembangan zaman yang pesat khususnya di
bidang keilmuan dan teknologi sains, maka bagaimana umat Islam mampu mengkaji
dan memberikan solusi jawaban tantangan zaman, sehingga tafsir ‘ilmi tersebut
berkembang dengan pesat dan tepat guna. Sehingga bertolak dari berbagai
pandangan di atas, maka makalah ini berusaha mengkaji corak tafsir ‘Ilmi yang meliputi; pengertian tafsir ‘Ilmi, sejarah tafsir ‘Ilmi, kaidah penafsiran dengan
tafsir ‘Ilmi, pandangan ulama mengenai tafsir ‘Ilmi, tokoh tafsir ‘Ilmi beserta
kitab tafsirnya, dan analisis Paradigma Corak Tafsir ‘Ilmi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari Tafsir Ilmi?
2.
Bagaimana pandangan Ulama tentang Tafsir Ilmi?
3.
Bagaimana contoh Ayat dengan Penafsiran Ilmi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Ilmi
Secara sederhana corak
Al-Tafsir al-‘Ilmi dapat didefinisikan sebagai
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah. Ayat-ayat yang
ditafsirkan adalah ayat kauniyah, mendalami tentang teori-teori hukum alam yang
ada dalam Al-Qur’an, teori-teori pengetahuan umum dan sebagainya.[4] Lebih lanjut Husain Adz-Dzahabi memberikan pengertian tafsir ‘Ilmi yaitu:
التّفسير الّذي يحكم الإصطلاحات العلميّة فى عبارات القرأن ويجتهد فى
استخرج مختلف العلوم والأراء الفلسفيّة منها
Artinya : “Tafsir yang menetapkan istilah ilmu-ilmu pengetahuan dalam
penuturan Al-Qur’an. Tafsir ‘Ilmi berusaha menggali dimensi ilmu yang dikandung Al-Quran dan berusaha mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat falsafi”.[5]
Sedangkan ‘Abd Al-Majid ‘Abd As-Salam Al-Mahrasi juga memberikan
batasan sama terhadap tafsir ‘Ilmi, yaitu:
التّفسير الّذي يتوحّى أصحابه إخضاع عبارات القرأن للنّظريات
والإصطلاحات العلميّة وبذلا لآقضى الجهد فى استخراج مختلف مسا ئل العلوم والأراء
الفلْسفيّة منها
Artinya : “Tafsir yang mufassirnya mencoba menyingkap
ibarat-ibarat dalam Al-Quran yaitu mengenai beberapa pandangan ilmiah dan
istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam menggali berbagai problem
ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan yang bersifat falsafi”.
Dijelaskan pula mengenai tafsir ‘Ilmi yaitu penafsiran
corak yang berusaha untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyah dalam
Al-Qur’an dengan bidang ilmu pengetahuan untuk menunjukkan kebenaran mukjizat
Al-Qur’an.[6] Meskipun Al-Qur’an bukan kumpulan ilmu pengetahuan, namun di dalamnya
banyak terdapat isyarat yang berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan, serta
motivasi manusia mendalaminya.
Jadi dapat disimpulkan pengertian tafsir ‘Ilmi yaitu
penafsiran Al-Qur’an melalui pendekatan ilmu pengetahuan sebagai salah satu
dari berbagai dimensi ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an.[7] Atau dapat kita pahami
bahwa mufassir menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur’an
dengan metode atau pendekatan ilmiah atau ilmu pengetahuan.
Tafsir ‘Ilmi berprinsip bahwa Al-Qur’an mendahului ilmu pengetahuan modern,
sehingga mustahil Al-Qur’an bertentangan dengan sains modern. Dari pandangan
tersebut, maka alasan yang mendorong para mufassir menulis tafsirnya dengan
corak ini adalah disamping banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit
maupun implisit memerintah untuk menggali ilmu pengetahuan, juga ingin
mengetahui dimensi kemukjizatan Al-Qur’an dalam bidang ilmu pengetahuan modern.
B. Bagaimana sejarah munculnya Tafsir ‘Ilmi
Lahirnya metode-metode penafsiran
disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang dinamis. Umat Islam yang
semakin majemuk dengan berbondong-bondongnya bangsa non-Arab masuk Islam,
terutama setelah tersebarnya Islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah
Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran
Islam, berbagai peradaban dan kebudayaan non-Islam masuk ke dalam khazanah
intelektual Islam. Akibatnya, kehidupan umat Islam menjadi terpengaruh olehnya.
Untuk menghadapi kondisi yang demikian, para pakar tafsir ikut
mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran-penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan umat yang semakin
beragam.[8] Sehingga dapat disimpulkan bahwa corak tafsir ‘Ilmi muncul akibat kemajuan
ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an
sejalan dengan perkembangan ilmu.[9]
Al-Ghazali mempunyai peranan
penting dalam memperkenalkan tafsir ilmi kepada umat Islam yang dianggap
sebagai perintis tafsir ‘Ilmi. Sedang Fahrur Ar-Razi
merupakan orang pertama yang menerapkan ilmu pengetahuan yang bercorak saintis
dan pemikiran untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Hal tersebut dapat dilihat
dalam kitabnya Mafatih Al-Ghaib atau yang juga populer dengan Tafsir
Al-Kabir. Karya monumental Tanthowi
Jauhari (w. 1940), yaitu Tafsir al-Jawahir, cukup representatif untuk
diajukan sebagai produk tafsir ilmi. Kitab itu seperti dijelaskan Baljon, dapat
dikualifikasikan sebagai pegangan ilmu lainnya, diantaranya adalah Tafsir
Musthafa Zaid, Al-Qur’an Wa I’jazuhu al-Ilmi karya Isma’il Ibrahim, Al-Qur’an
wa ‘Ilm karya Ahmad Sulaiman, dan lain-lain.
Dari berbagai proses
kemunculan perkembangan tafsir ‘Ilmi, terdapat beberapa isyarat ilmiah dalam
Al-Qur’an banyak sekali, diantaranya[10] yaitu; Reproduksi
manusia (surat al-Qiyamah ayat 37-39), kejadian alam semesta (surat al-Anbiya
ayat 30), awan (surat al-Nur ayat 43), kalender syamsiyah dan qomariyah (surat
al-Kahfi ayat 25), cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan
merupakan pantulan (surat Yunus ayat 5 dan Nuh ayat 16), masa penyusunan ideal
dan masa kehamilan minimal (surat al-Baqarah ayat 233 dan al-Ahqaf ayat 15),
adanya apa yang dinamai nurani (superego) dan bawah sadar manusia (surat
al-Qiyamah ayat 14-15), asal kejadian cosmos (surat Fushilat ayat 11),
pembagian atom (surat Yunus ayat 61), perjodohan bagi semua benda atau makhluk
(surat al-Dzariyat ayat 49, surat Yasin ayat 36), selaput rahim (surat Zumar
ayat 6), penyerbukan dengan angin (surat al-Hijr ayat 22), sel-sel (benih
hidup) (surat al-‘Alaq ayat 1-2), penyelidikan dengan sidik jari manusia (surat
al-Qiyamah ayat 3-4).
Dari berbagai kandungan
di atas, maka corak penafsiran semacam ini memberikan kesempatan yang sangat
luas bagi para mufassir untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan yang
telah dan akan dibentuk dalam Al-Qur’an.
C. Kaidah penafsiran
dengan corak Ilmi
1.
Kaidah Kebahasaan
Kaidah kebahasaan
merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin memahami Al-Qur’an. Baik dari
segi bahasa Arabnya, dan ilmu yang terkait dengan bahasa seperti í’rab,
nahwu, tashrif, dan berbagai ilmu pendukung lainnya yang harus diperhatikan
oleh para mufassir.[11]
Kaidah kebahasaan
menjadi penting karena ada sebagian orang yang berusaha memberikan legitimasi
dari ayat-ayat Al-Qur’an terhadap penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah
kebahasaan ini. Oleh karena itu, kaidah kebahasaan ini menjadi prioritas utama
ketika seseorang hendak menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan apapun yang
digunakannya, terlebih dalam paradigma ilmiah.
2.
Memperhatikan Korelasi Ayat
Seorang mufasir yang
menonjolkan nuansa ilmiah disamping harus memperhatikan kaidah kebahasaan seperti
yang telah disebutkan, ia juga dituntut untuk memperhatikan korelasi ayat (munasabah
al-ayat) baik sebelum maupun sesudahnya. Mufasir yang tidak mengindahkan aspek ini tidak menutup kemungkinan akan
tersesat dalam memberikan pemaknaan terhadap Al-Qur’an. Sebab penyusunan
ayat-ayat Al-Qur’an tidak didasarkan pada kronologi masa turunnya, melainkan
didasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat-ayat
terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian. Sehingga dengan
mengabaikan korelasi ayat dapat menyesatkan pemahaman atas suatu teks.
3.
Berdasarkan Fakta Ilmiah yang Telah Mapan
Sebagai kitab suci yang
memiliki otoritas kebenaran mutlak, maka ia tidak dapat disejajarkan dengan
teori-teori ilmu pengetahuan yang bersifat relatif. Oleh karena itu, seorang
mufassir hendaknya tidak memberikan pemaknaan terhadap teks Al-Qur’an kecuali
dengan hakikat-hakikat atau kenyataan-kenyataan ilmiah yang telah mapan dan
sampai pada standar tidak ada penolakan atau perubahan pada pernyataan ilmiah tersebut,
serta berusaha menjauhkan dan tidak memaksakan teori-teori ilmiah dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Fakta-fakta Al-Qur’an harus menjadi dasar dan landasan,
bukan menjadi objek penelitian karena harus menjadi rujukan adalah fakta-fakta
Al Qur’an, bukan ilmu yang bersifat eksperimental.
4.
Pendekatan Tematik
Corak tafsir ‘Ilmi pada awalnya adalah bagian dari metode tafsir tahlili
(analitik). Sehingga kajian tafsir ‘Ilmi pembahasannya lebih bersifat parsial
dan tidak mampu memberikan pemahaman yang utuh tentang suatu tema tertentu.
Akibatnya pemaknaan suatu teks yang semula diharapkan mampu memberikan
pemahaman yang konseptual tentang suatu persoalan, tetapi justru sebaliknya,
membingungkan bagi para pembacanya.[12]
Misalnya ayat-ayat
Al-Qur’an yang berbicara tentang konsep penciptaan manusia, yang dalam
terminologi Al-Qur’an diilustrasikan sebagai suatu proses evolusi dengan
menggunakan beberapa term yang berbeda-beda. Satu sisi manusia diciptakan dari tanah, namun di sisi lain ia diciptakan
dari dari air, atau air mani yang hina. Jika ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki
term yang sama ini tetap dikaji secara parsial dan berdiri sendiri, tentu
konsep yang dihasilkan pun juga bersifat parsial dan tidak utuh. Akibatnya, pemaknaan
atas persoalan tersebut akan menjadi pertentangan dalam Al-Qur’an.
Oleh karena itu pada
perkembangannya, paradigma tafsir ilmiah menggunakan metode tafsir tematik
yaitu penafsiran ayat-ayat dengan menentukan terlebih dahulu suatu topik, lalu
ayat-ayat tersebut dihimpun dalam satu kesatuan yang kemudian melahirkan sebuah
teori.[13] Dengan demikian, bagi
seorang mufassir ‘Ilmi sebaiknya menghimpun seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang
mempunyai kesamaan tema pembahasan, sehingga dapat sampai kepada makna hakiki.
D. Pandangan Ulama Tentang Tafsir Corak ‘Ilmi
Kemunculan tafsir ini disambut
dengan perdebatan para mufassir, yaitu antara mendukung dan menolak. Dalam
tataran diskursus modern, tafsir ilmi menjadi ajang polemik yang besar. Bagi
para pendukungnya, kemunculan tafsir ilmi merupakan fenomena wajar dan mesti
terjadi. Ini mengingat, Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu
tidak dilupakan didalamnya. Seperti dalam firmanNya, “Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan ”
(Q.S Al-An’am [6]: 38)[14]
Demikian halnya mengenai
peranan perkembangan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi penafsiran. Penafsiran
bukan menyatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an mendukung suatu teori ilmiah,
melainkan teori Al-Qur’an menyatakan adanya titik persamaan dengan teori ilmiah.
Hanya saja, perkembangan ilmu pengetahuan seorang mufassir tidak mendukung
isyarat Al-Qur’an sehingga terjadi kekeliruan, yakni al-basth yang
diartikan dengan terhampar bukan berbentuk bola sebagaimana kenyataan yang
ditemukan dalam teori ilmu pengetahuan. Jika Al-Qur’an diharuskan mendukung
teori ilmiah tidak ada keharusan bagi seorang mufasir untuk mengomentari suatu
teori, apalagi yang belum mapan, baik komentar yang bersifat mendukung maupun
yang bersifat menolaknya. Karena teori tersebut mungkin benar, mungkin
keliru secara keseluruhan atau sebagian. Hal tersebut akan dibuktikan oleh
generasi pencetusnya maupun generasi sesudahnya, sebagaimana juga pandangan
mufasir itu sendiri ketika ia menafsirkan Al-Qur’an.[15] Oleh karena itu, para ulama berbeda pandangan baik pro maupun kontra dalam
menyikapi tafsir ini.
1.
Ulama yang Setuju dengan Tafsir Ilmi
Al-Ghazali seperti
dikutip oleh Badri Khaeruman, menyatakan bahwa seluruh bidang ilmu itu tercakup
dalam af’al Allah serta sifatnya. Al-Quran merupakan syarah Dzat-Nya, af’al-Nya,
dan sifat-Nya. Perkembangan ilmu tiada akhirnya. Lagi pula, di dalam Al-Quran terdapat isyarat keglobalan ilmu pengetahuan,
seperti kedokteran, astronomi, ilmu pasti, hewani, dan
sebagainya.
Ahmad Syirbashi
mengutip pernyataan Ar-Rifa’i mengenai tafsir al-‘Ilmi bahwa sekalipun
Al-Quran hanya berupa isyarat ilmiah yang sepintas, namun kebenarannya selalu
dapat dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern. Ayat-ayat Al-Quran senantiasa membuka diri bagi akal pikiran dan
memberikan pengertian yang benar mengenai apa saja. Kenyataan membuktikan bahwa
semakin maju akal pikiran manusia maka semakin banyak bidang ilmu pengetahuan
yang dikuasai serta tambahan pula dengan mendesaknya kebutuhan untuk menemukan
berbagai hal yang baru serta semakin sempurnanya peralatan yang diperlukan
untuk mengadakan penelitian; semua isyarat Al-Quran semakin muncul
kebenarannya.
Masih banyak rujukan naqilah lainnya yang diklaim mereka sebagai isyarat
pendukung jenis tafsir ini. Pokok pemikiran itu dapat dilacak pada tokoh
seperti Muhammad Abduh, Al-Maraghi, Thantawi Jauhari, Sa’id Hawa, dan lain-lain.[16]
2.
Ulama yang Menolak Tafsir ‘Ilmi
Kemunculan corak tafsir ‘ilmi belum dapat diterima oleh sebagian ulama. Diantara
ulama yang menolak tafsir ilmi adalah Asy-Syatibi. Ia berpendapat bahwa
penafsiran yang telah dilakukan oleh ulama salaf lebih dapat diakui
kredibilitas dan kebenarannya.[17] Dengan demikian, ulama yang menolak tafsir ilmi ini menyandarkan alasan
bahwa ulama terdahulu lebih mengetahui hakikat dan majaz Al-Qur’an. Sementara
itu, pada zaman sekarang, menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan apa pun yang
dasarnya dapat diterima, selama alasannya dapat dibenarkan dan tidak menyimpang
dari nilai utama Al-Qur’an sebagai hidayah dan rahmat bagi umat manusia dan
alam semesta.[18]
Bantahan terhadap tafsir ‘Ilmi juga pernah ditulis oleh Rasyid Ridha
dalam pengantar Tafsir Al-Manar.[19] Lebih lanjut dikemukakan oleh Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam
karyanya Al-Ittijihat al-munharifah fi at-Tafsir Al-Qur’an al-Karim dengan
mencoba melakukan penelitian terhadap berbagai penyimpangan dalam
kitab-kitab tafsir. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa dari sejumlah tafsir
yang ada, sebagiannya telah melakukan penyimpangan. Kitab tafsir yang dimaksudkannya
adalah sebagian kitab menggunakan orientasi historis, teologis, sufistik,
linguistik, ilmiah, dan modern.[20]
Dijelaskan lebih lanjut
mengenai berbagai hal yang dianggap sebagai penyimpangan tafsir ‘Ilmi yaitu
para mufasir terlalu jauh dalam memberikan makna-makna yang tidak dikandung dan
dimungkinkan oleh ayat dan menghadapkan Al-Qur’an kepada teori-teori ilmiah
yang jelas-jelas terbukti tidak benar setelah berpuluh-puluh tahun, oleh karena
itu, teori-teori tersebut bersifat relatif. Mereka berpendapat, tidak perlu masuk terlalu jauh dalam memahami dan
menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an, oleh karena ia tidak tunduk kepada
teori-teori itu, tidak perlu pula mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
kebenaran-kebenaran ilmiah dan teori-teori ilmu alam. Bahkan mereka keliru
ketika memperlakukan Al-Qur’an pada buku ilmu pengetahuan, sehingga setiap
penemuan ilmu pengetahuan mereka cocok-cocokkan dengan istilah-istilah
Al-Qur’an, kendatipun harus melakukan penyimpangan-penyimpangan makna.[21]
3.
Ulama yang Bersikap Moderat
Selain dua sikap yaitu pro dan kontra mengenai penafsiran dengan corak
‘Ilmi, ada diantaranya yang bersikap moderat. Mereka mengatakan, “kita sangat
perlu mengetahui cahaya-cahaya ilmu yang mengungkapkan kepada kita
hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kauniyah dan
yang demikian itu tidak ada salahnya, mengingat ayat-ayat itu tidak hanya dapat
dipahami seperti pemahaman bahasa Arab, oleh karena Al-Qur’an diturunkan untuk
seluruh manusia. Masing-masing orang dapat menggali sesuatu dari Al-Qur’an
sebatas kemampuan dan kebutuhannya sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan
tujuan pokok Al-Qur’an yaitu sebagai petunjuk. Banyak hikmah didalamnya yang
jika digali oleh orang ahli akan jelaslah rahasia-rahasianya, tampaklah cahaya
dan mampu menjelaskan rahasia kemukjizatannya”.
Jadi dalam hal ini
menurut penulis, pandangan yang menyatakan moderat yaitu menitik beratkan pada
pentingnya Al-Qur’an yang berisi ilmu pengetahuan di segala bidang, yang memang
harus banyak dikaji dan diambil hikmahnya bagi para pembacanya. Tetapi perlu diingat juga bagaimana penafsiran ilmiah sesuai dengan
kaidah-kaidah yang telah ditatapkan.
E. Tokoh Tafsir ‘Ilmi dan
Kitab Tafsirnya
Adapun tokoh-tokoh
penafsir ‘Ilmi beserta kitabnya yang berusaha mencoba menafsirkan ayat-ayat
kauniyah dalam Al-Qur’an antara lain yaitu:
1.
Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-Ghaib (Fakhruddin Al-Razi)
Pengarangnya adalah Abu
Abdullah Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali at tamimi, Al Bakry, At
Tabarastani, Ar Razi, dia punya nama panggilan Fahruddin, dan dikenal juga
dengan nama Ibn Khatib as Syafi’i. Lahir tahun 544 H. Dia merupakan orang yang
cerdas pada masanya dan banyak mengumpulkan ilmu-ilmu, dan menjadi imam dalam
ilmu tafsir dan kalam (tauhid), ilmu aqliyah, ilmu bahasa. Dia sangat terkenal
dan banyak ulama’ yang menimba ilmu darinya. Dia belajar pertama kali dengan
ayahnya Dziyauddin, yang terkenal dengan nama Khatib Al Rayyi. Dia juga belajar
dari Kamal Al Sam’ani, Majd Al Jili, dan ulama’ lainnya. Dia pintar banyak bahasa baik Arab maupun bahasa selain Arab.
Dia banyak memberikan nasihat dan sering menangis ketika memberikan
nasihat-nasihatnya. Kitab-kitab karangannya adalah Tafsir Kabir yang terkenal
dengan Mafatihul Ghaib, Tafsir Surat Fatihah.[22]
Ciri-ciri utama tafsir Mafatih al-Ghaib yaitu antara lain:
a)
Sangat memperhatikan pengungkapan tentang munasabah
ayat-ayat dan surat-surat dalam Al-Qur’an, analisa susunan ayat.
b)
Sering memperdalam pembahasannya tentang ilmu-ilmu
matematika, filsafat, ilmu alam, serta ilmu-ilmu lainnya yang dianggapnya baru
dikalangan agamawan di masanya (ayat-ayat kauniyah).
c)
Melakukan penolakan dan bantahan terhadap pandangan filosof yang
bertentangan dengan paham ahli sunah, juga menolak mu’tazilah.
d)
Tekanan pembahasan ar-Razi adalah masalah aqidah, risalah.
2.
Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim (Thanthawi Al-Jauhari)
Thanthawi Jauhari adalah seorang seorang ulama modern yang sangat fanatik
terhadap corak tafsir Ilmi. Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa
sejak dulu ia sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan
keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, revolusi
matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat
yang menyambar dan listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya.
Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat
mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
Karya monumental Tanthowi Jauhari (w. 1940), yaitu Tafsir al-Jawahir, cukup
representatif untuk diajukan sebagai produk
tafsir ilmi. Kitab itu seperti dijelaskan Baljon, dapat dikualifikasikan
sebagai pegangan ilmu lainnya. Di dalamnya terdapat pula kaedah-kaedah yang
menyeluruh dan prinsip-prinsip umum tentang hukum alam yang boleh kita
saksikan, fenomena-fenomena alam yang boleh kita lihat dari waktu ke waktu dan
hal-hal lain yang boleh diungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan kita menduga
itu semua sebagai suatu yang baru. Itu semua sebenarnya bukan suatu yang baru
menurut Al-Qur’an, sebab kesemuanya telah diungkap dan diisyaratkan oleh
ayat-ayat muhkamat dalam Al Quran.
3.
Zaghlul al-Najjar
Pendukung tafsir ilmi
zaman modern, Zaghlul al-Najjar yang seorang pakar geologi asal Mesir, dan
sejak tahun 2001 menjadi Ketua Komisi Kemukjizatan Sains Al-Qur'an dan
Al-Sunnah di "Supreme Council of Islamic Affairs" Mesir. Zaghlul
berkeyakinan penuh bahwa Al-Qur'an adalah kitab mukjizat dari aspek bahasa dan
sastranya, akidah-ibadah-akhlaq (tasyri'), informasi kesejarahannya, dan tak
kalah pentingnya adalah dari sudut aspek isyarat ilmiahnya. Dimensi
kemukjizatan yang disebut terakhir ini maksudnya adalah keunggulan kitab ini
yang memberikan informasi yang menakjubkan dan akurat tentang hakikat alam
semesta dan fenomenanya yang mana ilmu terapan belum sampai ke hakikat itu
kecuali setelah berabad-abad turunnya Al-Qur'an.
Al-Qur'an menyuruh umat
manusia untuk merenungi proses penciptaan yang tak pernah disaksikan oleh
manusia, Zaghlul menilai dalam rangka mengkompromikan konteks dan tujuan
ayat-ayat Al-Qur’an, penciptaan langit dan bumi, kehidupan, juga manusia yang
memang terjadi di luar kesadaran manusia yang mutlak. Namun Allah swt menyisakan
beberapa bukti di lempengan bumi dan lapisan langit yang dapat membantu manusia
untuk menyatakan asumsi proses penciptaan. Akan tetapi asumsi yang bisa diraih
ilmuan di bidang ini baru sebatas hipotesa dan teori belaka, dan belum sampai
pada tingkatan hakikat/fakta keilmuan. Zaghlul menilai bahwa ilmu terapan di
bidang hakikat penciptaan tak dapat melampaui teorisasi belaka. Varian teori
penciptaan ini pun tergantung asumsi dan keyakinan para pencetusnya. Kesimpulan
ilmuan yang beriman akan berbeda dengan ilmuan atheis atau yang netral agama.
Pada posisi inilah,
bagi ilmuan muslim tersedia cahaya Allah swt yang terdapat dalam ayat Al-Qur'an
atau hadis Nabi. Cahaya yang diberikan "gratis" oleh Allah dan
Rasul-Nya itu dapat membantu ilmuan muslim untuk mengangkat salah satu teori
dan asumsi sains ke tingkat hakikat ilmiah, bukan karena ilmu terapan itu yang
menetapkannya, akan tetapi lebih karena terdapat isyarat hakikat ilmiah itu
dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Artinya kita telah memenangkan ilmu
dengan informasi Al-Qur'an atau Sunnah dan bukan sebaliknya, memenangkan
Al-Qur'an dengan bantuan ilmu. Di sinilah letak keunikan dan keistimewaan teori
i'jaz yang diajukan Zaghlul.
Masih banyak tokoh dan
karya tafsir ‘Ilmi, antara lain : Al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat
al-Kauniyah fi al-Qur’an (Hanafi Ahmad), Tafsir al-Ayat al-Kauniyah (Abdullah
Syahatah), Al-Isyarat Al-‘Ilmiyah fi al-Quran al-Karim (Muhammad Syawqi
Al-Fajri), dan Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ahmad
Bayquni).
F.
Contoh Ayat-Ayat dengan Penafsiran Al-Ilmi
Contoh ayat dengan
penafsiran al-‘Ilmi yaitu salah satunya penafsiran pada, yaitu : QS. Al
Baqarah 29, At Thalaq 12, Nuh 15-16, An Naba’ 12, Al A’raf 54
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
Artinya : Dia-lah Allah, yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS.
Al Baqarah : 29)
ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ yìö6y ;Nºuq»oÿx z`ÏBur ÇÚöF{$# £`ßgn=÷WÏB ãA¨t\tGt âöDF{$# £`åks]÷t/ (#þqçHs>÷ètFÏ9 ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ¨br&ur ©!$# ôs% xÞ%tnr& Èe@ä3Î/ >äóÓx« $RHø>Ïã ÇÊËÈ
Artinya : Allah-lah yang menciptakan tujuh langit
dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar kamu mengetahui
bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah
ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (At Thalaq : 12)
óOs9r& (#÷rts? y#øx. t,n=y{ ª!$# yìö7y ;Nºuq»yJy $]%$t7ÏÛ ÇÊÎÈ @yèy_ur tyJs)ø9$# £`ÍkÏù #YqçR @yèy_ur }§ôJ¤±9$# %[`#uÅ ÇÊÏÈ
Artinya : Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan
menjadikan matahari sebagai pelita? (Nuh 15-16)
$uZøt^t/ur öNä3s%öqsù $Yèö7y #Y#yÏ© ÇÊËÈ
Artinya : dan Kami bina di atas kamu tujuh buah
(langit) yang kokoh, (An Naba’ 12)
cÎ) ãNä3/u ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû ÏpGÅ 5Q$r& §NèO 3uqtGó$# n?tã ĸóyêø9$# ÓÅ´øóã @ø©9$# u$pk¨]9$# ¼çmç7è=ôÜt $ZWÏWym }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur tPqàfZ9$#ur ¤Nºt¤|¡ãB ÿ¾ÍnÍöDr'Î/ 3 wr& ã&s! ß,ù=sø:$# âöDF{$#ur 3 x8u$t6s? ª!$# >u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÎÍÈ
Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
'Arsy[548]. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan
bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta
alam. (Al A’raf 54)
Penafsiran dari ayat-ayat di atas tersebut yaitu memang ada beberapa
skala benda langit, misalnya tata surya ada matahari, ada planet beserta
satelitnya. Milyaran tata surya membentuk galaksi. Milyaran galaksi membentuk
alam semesta. Dan seluruh alam ini berisi sejumlah alam semesta. Dengan
demikian alam punya 7 dimensi dan ini yang dimaksud dengan 7 langit yaitu
berupa dimensi lapisan-lapisan seperti kue lapis yang berurutan.
Di sisi lain, 7 langit kemungkinan adalah 7 lapisan
atmosfer yang dekat dengan bumi, yaitu trophosfer, tropopause, stratosfer,
stratopause, mesofer, mesopause,dan termosfer. Pembagian ini berdasarkan
temperatur suhu tiap-tiap lapis. Lapisan-lapisan tersebut bersifat kokoh dalam
pengertian menyelimuti dan melindungi bola bumi secara kokoh karena da
gravitasi bumi.[23] Tujuh langit juga bisa
ditafsirkan 7 dimensi ruang dan waktu. Dalam ilmu fisika terdapat empat gaya
fundamental di jagad raya ini, yaitu gaya elektromagnetik, gaya nuklir lemah,
gaya nuklir kuat, dan gaya gravitasi. Empat gaya tersebut terbentuk dari
ledakan dahsyat dari satu gaya tunggal yaiu Grand Unified Force. Ketersatuan
gaya-gaya tersebut disatukan dengan geometri ruang dan waktu yang sekarang ini
kita berada di dalamnya.[24]
Ayat ini menerangkan bahwa Allah Swt menyempurnakan kejadian langit dengan
menjadikan tujuh lapis dalam dua masa. Masa yang dimaksud, sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah dua periode yang rentang waktunya sangat panjang. Pada awalnya, Allah Swt menciptakan langit pertama, dan kemudian
disempurnakan menjadi tujuh langit yang berlapis-lapis.
Selanjutnya dijelaskan bahwa setiap langit memiliki fungsi dan keadaan yang
berbeda. Masing-masing langit mempunyai kegunaan yang berbeda untuk kepentingan
makhluk yang ada dibawahnya, misalnya: langit yang memperkuat gaya tarik
planet-planet, sehingga benda-benda tetap bergerak pada orbitnya, tidak oleng,
atau menyimpang yang mungkin bisa menyebabkan tabrakan satu dengan lainnya.
Semua ini merupakan ciptaan Allah Yang Mahakuasa, dan tunduk pada
ketetapanNya. Tidak ada satu pun yang menyimpang dari ketentuan yang telah
digariskan.[25]
G. Analisis Paradigma
Corak Tafsir ‘Ilmi
Melihat perkembangan
keilmuan khususnya sains di zaman modern yang begitu pesat dengan berbagai
sebab dan akibat yang melatarbelakanginya, keberadaan tafsir ‘Ilmi semakin
menjadi salah satu tumpuan bagi ulama tafsir untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an
dengan berbagai fenomena kealaman yang terjadi. Akan tetapi, sangat perlu diperhatikan juga baik dalam menafsirkan maupun
bagi para pengguna tafsir dalam mempelajari tafsir ‘Ilmi tersebut. Telah banyak
disinggung di bagian depan, bahwa tujuan dari tafsir ilmi adalah sebagai pisau
menghubungkan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan, khususnya sains modern di
zaman sekarang. Diperlukan kehati-hatian dalam memberi penafsiran agar tidak
terjadi kesalahan pemahaman terhadap teori-teori modern yang memang telah
disinggung atau hanya dikait-kaitkan dengan Al-Qur’an.
Adapun yang harus
diperhatikan ketika mempergunakan corak penafsiran ini adalah berpegang kepada
hakikat ilmiah yang dapat dijadikan rujukan dan sandaran, tidak memaksakan diri
dalam memahami nash, tidak membuat rekayasa, dan tidak serampangan dalam
menakwili nash dengan suatu makna yang diinginkan kesimpulannya. Tapi hanya mengambil makna menurut pertolongan bahasa dan yang terkandung
dalam ungkapan tanpa pemaksaan dan sesuai dengan hubungan kalimatnya.[26]
Ichwan dalam kesimpulannya
mengenai tafsir ‘Ilmi yaitu ketika hendak mencari hubungan antara Al-Qur’an
dengan sains modern, maka yang perlu dipertegas adalah membedakan antara fakta
ilmiah dan teori ilmiah. Justifikasi Al-Qur’an dengan teori ilmiah akan berdampak
sangat serius terhadap kelangsungan Al-Qur’an sebagai kitab suci. Jadi
alternatif yang diambil bukanlah menyesuaikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ilmu
pengetahuan atau mencari teori ilmiah dari Al-Qur’an, tetapi menemukan
bagaimana perspektif Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan.[27]
Mereka ingin membuktikan bahwa
Al-Qur’an benar-benar bersifat universal dan dapat menjawab tantangan zaman.
Melalui corong tafsir ‘Ilmi, mereka mengklaim bahwa Al-Qur’an tidak
bertentangan dengan penemuan-penemuan ilmiah.[28] Sehingga berkembangnya tafsir
‘Ilmi perlu didukung dalam hal memajukan ilmu pengetahuan keislaman. Maka sangat
perlu memperbaiki diri bagi kita umat Islam dengan sungguh-sungguh mempelajari
ilmu-ilmu yang berkembang di zaman modern untuk menjawab tantangan dan demi
kemaslahatan umat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Uraian singkat di atas,
sedikit menyimpulkan bahwa persoalan para mufassir diwarnai oleh usaha-usaha
membumikan Al-Qur’an di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Tafsir ‘Ilmi
merupakan suatu metode tafsir yang berusaha menjalaskan makna yang terkandung
dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan dengan
istilah-istilah ilmiah sehingga menghasilkan berbagai macam teori ilmu dan
dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan masa kini. Kemunculan metode ini
sempat menimbulkan pro dan kontra dari kalangan para ulama, sebagian mereka ada
yang menolak dan menerimanya dengan argumen mereka masing-masing. Mereka ingin membuktikan bahwa Al-Qur’an benar-benar bersifat universal
dan dapat menjawab tantangan zaman. Melalui corong tafsir ‘Ilmi, mereka
mengklaim bahwa Al-Qur’an tidak bertentangan dengan penemuan-penemuan ilmiah.
Pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan berbagai penemuan ilmiahnya telah
diisyaratkan oleh Al-Qur’an dengan ayat kauniyahNya, walaupun masih belum
diketahui pada saat wahyu turun. Ini menunjukkan keajaiban
kitab yang diwahyukan Allah Swt yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan
berkembangnya keilmuan tersebut, sebagai generasi muslim tidak ada salahnya
jika selalu update dan selalu mencari isyarat-isyarat ilmiah yang sesuai
dengan perkembangan zaman, sehingga akan menambah keimanan dan memanfaatkan
akal yang diberikan untuk ikut serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dunia Islam. Yang perlu diingat adalah bagaimana menggunakan dan
menafsirkan ayat dengan kondisi (aturan) dan pedoman sehingga interpretasi dilakukan
dengan benar dan tidak bertentangan dengan makna sebenarnya dari yang
dibutuhkan oleh ayat-ayat Al-Qur'an.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi, Muh. Husein. At-Tafsir
wa al-Mufassirin. Kairo. 1976
Al-‘Aridl, Hasan. Sejarah
dan Metodologi Tafsir. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1994
Amir, Selamat Bin; Mohd Murshidi Mohd Noor and Ahmad Bazli Ahmad Hilmi. Scientific Assimilation In The Interpretation Of The Qur’ān: An
Approach To Zaghlūl El-Najjār’s Work Entit Led “Tafsīr Al-Ayah Al-Kawnīyyah Fī
Al-Qur’ān Al-Karīm”. Al-Bayan: Journal of Qur’an and
Hadith Studies, Volume 10, Issue 2. 2012
Anwar, Rosihon. Pengantar
Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2009
Arya Wardhana, Wisnu. Al
Qur’an dan Energi Nuklir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2004
Baidan, Nashiruddin. Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005
Gufron, Mohamad &
Rahmawati. Ulumul Qur’an : Praktis dan Mudah. Yogyakarta : Teras. 2013
Hanafi, Ahmad. Tafsir
al-Ilmi lil Ayaati al Kauniyah fi Al-Qur’an. Mesir : Darul Ma’arif. 1119
Hasan Al-‘Aridl, Ali. Sejarah
dan Metodologi Tafsir. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1994
Khaeruman, Badri. Sejarah
Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Pustaka Setia : Bandung. 2004
Mahmud, Mani’ Abd Halim. Metodolohi
Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta : Raja Grafindo
Persada. 2006
Ma’qif, Louis. 2007. Al-Munjid fi al-Lughah
al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq
Mustaqim, Abdul. Epistemologi
Tafsir Kontemporer. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta. 2010
Nor Ichwan, Mohammad. Tafsir
Ilmy. Yogyakarta : Menara Kudus Jogja. 2004
Pasya, Ahmad Fuad. Dimensi
Sains Al-Qur’an Menggali Ilmu Pengetahuan dari Al-Qur’an. Solo : Tiga
Serangkai. 2004
Purwanto, Agus. Ayat-Ayat
Semesta Sisi-Sisi Al-Qur’an Yang Terlupakan. Bandung : Media Mizan Utama.
2008
Saefuddin Buchori, Didin. Pedoman
Memahami Al-Qur’an, Bogor : Granada Sarana Pustaka, 2005
Salim, Abd Mu’in. Metodologi
Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Teras. 2005
Syamimi Mohd, Nor,
Haziyah Hussin & Wan Nasyrudin Wan Abdullah. Article of Scientific Exegesis in Malay
Qur’anic Commentary.
Malaysia : Canadian Center. 2014
U. Syafrudin. Paradigma
Tafsir Tekstual & Kontekstual Usaha Memaknai Pesan Al-Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
2009
Wardhana, Wisnu Arya. Al Qur’an dan Energi Nuklir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
2004
________, Al Qur’an
dan Tafsirnya. Kementerian Agama RI : Sinergi
Pustaka Indonesia. 2012
________, Tafsir Ilmi Penciptaan Jagad Raya Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012
[2] Badri Khaeruman, Sejarah
Perkembangan Tafsir Al-Qur’an, Pustaka Setia : Bandung 2004, hlm. 107-108
[4] Mohamad Gufron &
Rahmawati, Ulumul Qur’an : Praktis dan Mudah, Yogyakarta : Teras, 2013,
hlm. 195
[13] Didin Saefuddin Buchori, Pedoman
Memahami Al-Qur’an, Bogor : Granada Sarana Pustaka, 2005, hlm. 216
[21] Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 65
[23] Lihat Ar Ra’d : 2 dan An Naba’ : 12. Hanafi, Ahmad. Tafsir al-Ilmi lil Ayaati al Kauniyah fi Al-Qur’an. Mesir
: Darul Ma’arif. 1119, hlm 131.
[25] Tafsir Ilmi Penciptaan Jagad
Raya Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Kementerian Agama RI,
Jakarta, 2012, hlm. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar