Rabu, 07 Juni 2017

MAKALAH PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih legas lagi Kompilasi Hukum Islam (Inpers No.1 Tahun 1991), menyatakan bahwa Perkawinan menurut Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang kuat (mistaqan ghalidan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Fikih islam tidak mengenal adanya pencegahan dalam perkawinan. Akibatnya tidak di temukan kosa kata pencegahan dalam fikih islam. Berbeda dengan pembatalan, istilah ini telah dikenal dalam fikih islam dan kata batal itu sendiri berasal dari bahasa arab, b-t-l.
Didalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-jaziry ada menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hokum nikah fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah.
Dalam terminologi undang-undang perkawinan nikah fasid dan batil dapat digunakan untuk pembatalan dan bukan pada pencegahan. Bedanya pencegahan itu lebih tepat di gunakan sebelum perkawinan berlangsung sedangkan pembatalan mengesankan perkawinan telah berlangsung dan ditemukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan baik syarat ataupun rukun serta perundang-undangan. Baik pencegahan dan pembatalan tetap saja berakibat tidak sahnya sebuah perkawinan.
Secara sederhana pencegahan dapat diartikan dengan perbuatan menghalang-halangi, merintangi, menahan, tidak menurutkan sehingga perkawinan tidak dilangsungkan. Pencegahan perkawinan dilakukan semata-mata karena tidak terpenuhinya syarat-syarat perkawinan tersebut. Akibatnya bisa saja perkawinan tersebut akan tertunda pelaksanaannya atau tidak terjadi sama sekali.
Seiring dengan perkembangan global seperti yang kita saksikan saat ini,maka terjadinya pelanggaran terhadap larangan perkawinan sangat mungkin terjadi. Untuk itulah pasal-pasal pencegahan perkawinan merupakan strategi jitu untuk menghindarkan perkawinan yang terlarang.
Terlepas dari persoalan pengaruh memengaruhi, baik pencegahan, pembatalan, dan penolakan semuanya bermuara untuk menghindarkan perkawinan yang terlarang. Muara  yang dituju adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi semua pihak.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Pencegahan Perkawinan?
2.      Sebutkan Undang-Undang  yang mengatur tentang Pencegahan Perkawinan?
3.      Apa pengertian Pembatalan Perkawinan?
4.      Bagaimana Nikahul Fasid dalam Hukum Positif dan Hukum Islam?








BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang diundangkan. Pencegahan  perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan. Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya.
a.       Perspektif UU No. 1/1974
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi:
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud didalam ayat diatas mengacu kepada dua hal yaitu syarat administrative dan syarat materiil. Syarat administratif berhubungan dengan administratif perkawinan pada bagian tata cara perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan.
Perkawinan dapat dicegah bila salah seorang ataupun kedua calon pengantin masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain (pencegahan ini tidak termasuk bagi suami yang telah mendapatkan dispensasi dari pengadilan untuk berpoligami) dan seorang bekas istri yang masih dalam keadaan berlaku waktu tunggu (iddah) baginya, begitu juga dengan mereka yang belum mencapai umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita dapat dicegah untuk melangsungkan perkawinan kecuali telah mendapat dispensasi dari pengadilan.
Adapun mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak yang akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan ke pengadilan agama dalam daerah hokum dimana perkawinan itu dilangsungkan dan memberitahukannya kepada pegawai pencatat nikah. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan yang telah dimasukkan ke pengadilan agama oleh yang mencegah atau dengan putusan pengadilan agama, selama pencegahan belum dicabut maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali ada putusan pengadilan agama yang memberikan dispensasi kepada para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.
Disamping itu undang-undang perkawinan juga mengenal pencegahan perkawinan secara otomatis yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan meskipun tidak ada pihak yang melakukan pencegahan perkawinan (pasal 20). Pencegahan otomatis ini dapat dilakukan apabila pegawai pencatat perkawinan dalam menjalankan tugasnya mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 8, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undang-undang perkawinan.[1]
Berkenaan dengan orang-orang yang dapat melakukan pencegahan dimuat dalam pasal 14 UUP yang berbunyi:
1.      Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
2.      Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Selanjutnya pasal 15 menyatakan:
Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3ayat 2 dan pasal 4 undang-undang ini.”
Undang-undang perkawinan seperti yang terdapat dalam pasal 16 ayat 1 dan 2, juga memberi wewenang kepada pejabat untuk melakukan pencegahan perkawinan. Mengenai pejabat yang berwenang diatur dalam paraturan perundang-undangan . Sebaliknya pejabat yang berwenang dilarang membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui terjadinya pelanggaran terhadap UU tersebut. Dalam pasal 20 UU No. 1/1974 dinyatakan dengan tegas:
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
B.       Pengertian pembatalan perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan[2]
Dalam pasal 22 UU perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun bila rukunnya yang tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah. Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 pasal 22, 24, 26 dan 27 serta berdasarkan KHI pasal 70 dan 71.
Dalam hukum islam suatu pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad nikah tersebut sudah terpenuhi syarat serta rukunnya. Jika suatu perkawinan kurang salah satu syarat maupun rukunnya maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi hanya salah satu rukunnya, akad tersebut adalah batal. Adapun jika yang tidak terpenuhi adalah salah satu dri syaratnya maka akad nikah tersebut dianggap fasid[3]
C.      Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan
Untuk menguraikan tentang dasar hukum pembatalan nikah, disini dikemukakan ayat al-Qur'an dan Hadits-hadits yang berkenaan dengan nikah yang dibatalkan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah. Jika fasid nikah terjadi disebabkan karena melanggar ketentuanketentuan hukum agama dalam perkawinan, misalnya larangan kawin sebagaimana yang dimaksud dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa: 22-23.
Surat An-Nisa: 22.
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä šÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$Ÿ2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ  
22. dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

Surat An-Nisa: 23.
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ  
23. diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[281] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
“Diharamkan atas kamu (mengawini): ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara yang perempuan. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu
isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu), isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dan perempuan yang
bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang[4]
D.      Faktor yang membatalkan perkawinan
Pada dasarnya terdapat dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau batalnya perkawinan, kedua unsur tersebut adalah syarat dan rukun.
Syarat perkawinan adalah sesuatu yang ada dalam perkawinan, hanya saja jika salah satu dari syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi maka perkawinan itu menjadi tidak sah (batal) demi hukum.
Syarat sah nikah adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri[5][5]. Sah atau tidak sah yang dimaksud di sini adalah, terpenuhinya segala rukun dan syarat dalam suatu ibadah.
Menurut istilah ushul fiqh, kata sah digunakan kepada suatu ibadah atau akad yang dilaksanakan dengan melengkapi syarat dan rukunnya. Sebagaimana makna asal dari kata sah, yaitu sesuatu dalam kondisi baik dan tidak cacat. Ibadah shalat misalnya, dikatakan sah bilamana dilaksanakan secara lengkap syarat dan rukunnya. Demikian pula akad perkawinan, dapat
dikatakan sah apabila melengkapi syarat dan rukun perkawinan itu sendiri. Sedangkan tidak sah (fasid) atau batal, merupakan lawan dari sah, yang berarti tidak memenuhi/melengkapi syarat dan rukun suatu ibadah atau akad[6]
Jadi, tanpa adanya salah satu rukunnya maka perkawinan itu tidak mungkin dapat dilaksanakan, hal ini berarti jika suatu perkawinan dilakukan tanpa unsur pokoknya yaitu syarat dan rukun perkawinan maka akan batal menurut hukum, karena rukun merupakan pokok, sedangkan syarat merupakan pelengkap dalam suatu perbuatan hukum.
Rukun dan syarat perkawinan telah ditentukan menurut hukum syara’ di mana seorang mukallaf tidak boleh menggantungkan suatu akad perkawinan kepada rukun dan syarat yang dia kehendaki. Adapun rukun dan syarat perkawinan menurut kebanyakan para ulama’ diantaranya adalah sebagai berikut:
a.      Bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan duka sama suka tanpa adanya akad[7]
b.      Syarat bagi kedua belah pihak yang melakukan nikah adalah baligh dan berakal, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai, terlepas dari keadaankeadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan yang lainnya, harus pasti dan tentu orangnya[8]
c.       Saksi minimal terdiri dari dua orang laki-laki.[9]
Ada beberapa hal yang membuat akad nikah menjadi batal, bilamana salah satu dari beberapa hal di bawah ini terdapat pada suatu pernikahan, akad nikah itu dianggap batal.
a.       Nikah syigar.
b.      Nikah mut'ah. Yaitu nikah kontrak sementara waktu sampai waktu yang ditentukan menurut kesepakatan.
c.       Nikah mukhrim. Yaitu pernikahan yang dilaksanakan dimana dua calon suami isteri atau salah satunya sedang dalam keadaan ihram baik untuk melaksanakan haji maupun untuk melaksanakan umrah.
d.      Nikah dua orang laki-laki dengan seorang perempuan yang dinikahkan dengan dua orang wali yang berjauhan tempat.
e.       Nikah wanita yang sedang beriddah.
f.       Nikah laki-laki muslim dengan wanita non Islam.
g.      Nikah wanita muslimah dengan laki-laki non muslim.
Selain itu dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.      Seorang suami melakukan poligami tanpa seijin Pengadilan Agama.
b.      Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadiisteri orang lain yang mafqud.
c.       Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d.      Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU. No. 2 tahun 1974.
e.       Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
f.       Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.[10]
E.       Yang Berhak Membatalkan Perkawinan.
Mengenai orang-orang atau pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
a.      Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.
b.      Suami atau isteri.
c.       Pejabat yang berwenang mengawasi jalannya perkawinan menurut undang-undang.
d.      Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.[11]
Pada Pasal 74 ayat 1 kompilasi hukum Islam menentukan bahwa pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan dan permohonan pembatalan perkawinan itu diajukan oleh para pihak yang mengajukan pada Pengadilan daerah yang hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami isteri[12]
Permohonan pembatalan perkawinan dibuat dalam bentuk permohonan yang bersifat kontensius (sengketa Sehingga dapat lebih jelas dalam melangsungkan pembatalan perkawinan yaitu sama halnya dengan cara gugatan perceraian yang diatur secara terperinci dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sepanjang hal ini dapat diterapkan dalam hubungannya dengan pembatalan perkawinan itu.
Seperti halnya perceraian, fasakh juga putusnya hubungan perkawinan. Secara harfiyah fasakh berarti batalnya sebuah perjanjian atau menarik kembali suatu penawaran. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusakkan atas salah satu pihak oleh hakim Pengadilan agama.
Tuntutan pemutusan perkawinan disebabkan karena salah satu pihak memenuhi cela pada pihak lain yang belum diketahui sebelum berlangsung perkawinan.
Perkawinan yang sudah berlangsung dianggap sah dengan segala akibat hukumnya bubarnya hubungan perkawinan dimulai sejak difasakhkan perkawinan itu. Dasar dari putusnya perkawinan dalam bentuk fasakh berdasar firman Allah SWT Surat An-Nisa’: 35 dan Surat Al-Baqarah: 231.
Surah an-Nisa : 35:
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ  
35. dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
[293] Hakam ialah juru pendamai.
Al-Baqarah 231:
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r&  Æèdqä3Å¡øBr'sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& £`èdqãmÎhŽ|  7$rã÷èoÿÏ3 4 Ÿwur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uŽÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 4 `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ ôs)sù zOn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 Ÿwur (#ÿräÏ­Fs? ÏM»tƒ#uä «!$# #Yrâèd 4 (#rãä.øŒ$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ !$tBur tAtRr& Nä3øn=tæ z`ÏiB É=»tGÅ3ø9$# ÏpyJõ3Åsø9$#ur /ä3ÝàÏètƒ ¾ÏmÎ/ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqãKn=ôã$#ur ¨br& ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÌÊÈ  
231. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

[145] Umpamanya: memaksa mereka minta cerai dengan cara khulu' atau membiarkan mereka hidup terkatung-katung.
demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai
permainan. Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan Al Hikmah (As Sunah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta
ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 231)[13]











BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang diundangkan. Pencegahan  perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan. Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya.
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah perkawinan selesai di langsungkan, dan di ketahui adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi menurut pasal 22 Undang-Undang perkawinan.
Para ahli hokum islam dikalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa nikahul fasid ada dua bentuk yaitu (1) yang disepakati oleh ahli hokum dan (2) yang tidak disepakati oleh para ahli hokum islam. Dan Menurut ahli hokum Islam dikalangan Mazhab Syafi’I, nikahul fasid dapat terjadi dalam bentuk:
Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi wanita tersebut dalam masa iddah laki-laki yang lain.
Pernikahan yang dilaksanakan dalam masa istibro’ karena wathi syubhat
Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi perempuan tersebut diragukan iddahnya karena ada tanda-tanda kehamilan.
Menikahi perempuan watsani dan perempuan yang murtad, yang dua terakhir ini batil karena adanya syarat keislaman.
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tidak secara tegas dinyatakan adanya lembaga nikahul fasid dalam hukum perkawinan di Indonesia. Hanya ada pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan, yaitu pasal 27 samapai dengan 38 peraturan perundang-undangan tersebut memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk membatalkan suatu perkawinan apabila perkawinan itu dianggap tidak sah (no legal force), atau apabila suatu perkawinan dianggap tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan, atau apabila perkawinan yang sudah dilaksanakan itu diketahui ada cacat hokum sebagai akibat dari suatu kebohongan dan kekeliruan atau karena ada paksaan.












DAFTAR PUSTAKA
Rafiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta:  Rajawali Pers
Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar Interpratama.
makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
Ahmad rafiq, hukum islam di Indonesia , 9jakarta; rajawali pers, 1998),
Aminur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( jakarta: Fajar interpratama),



[1] Rafiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta:  Rajawali Pers hal 21
[2] Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar Interpratama. Hal 1
[3] makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan 2012 2016_ syariah dan hukum_ UIN_ Raden _ fatah_ palembang hal 14
[4] Rafiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta:  Rajawali Pers hal 21

[6]Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar Interpratama. Hal 78
[7] Ahmad rafiq, hukum islam di Indonesia , 9jakarta; rajawali pers, 1998), hal. 139
[8] makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan 2012 2016_ syariah dan hukum_ UIN_ Raden _ fatah_ palembang hal 14
[9] Aminur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( jakarta: Fajar interpratama), Hal. 33-34
[10] Rafiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta:  Rajawali Pers hal 21
[11] Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar Interpratama. Hal 5
[12] Ahmad rafiq, hukum islam di Indonesia , 9jakarta; rajawali pers, 1998), hal. 139
[13] Rafiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta:  Rajawali Pers hal 21

1 komentar:

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...