BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun
1974, bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih legas lagi
Kompilasi Hukum Islam (Inpers No.1 Tahun 1991), menyatakan bahwa Perkawinan
menurut Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang kuat (mistaqan
ghalidan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan warahmah.
Fikih islam tidak
mengenal adanya pencegahan dalam perkawinan. Akibatnya tidak di temukan kosa
kata pencegahan dalam fikih islam. Berbeda dengan pembatalan, istilah ini telah
dikenal dalam fikih islam dan kata batal itu sendiri berasal dari bahasa arab,
b-t-l.
Didalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang
berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil.
Al-jaziry ada menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi
salah satu syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah apabila tidak
terpenuhinya rukun. Hokum nikah fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah.
Dalam terminologi undang-undang perkawinan nikah fasid
dan batil dapat digunakan untuk pembatalan dan bukan pada pencegahan. Bedanya
pencegahan itu lebih tepat di gunakan sebelum perkawinan berlangsung sedangkan
pembatalan mengesankan perkawinan telah berlangsung dan ditemukan adanya
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan baik syarat ataupun rukun serta
perundang-undangan. Baik pencegahan dan pembatalan tetap saja berakibat tidak
sahnya sebuah perkawinan.
Secara sederhana pencegahan dapat diartikan dengan
perbuatan menghalang-halangi, merintangi, menahan, tidak menurutkan sehingga
perkawinan tidak dilangsungkan. Pencegahan perkawinan dilakukan semata-mata
karena tidak terpenuhinya syarat-syarat perkawinan tersebut. Akibatnya bisa
saja perkawinan tersebut akan tertunda pelaksanaannya atau tidak terjadi sama
sekali.
Seiring dengan perkembangan global seperti yang kita
saksikan saat ini,maka terjadinya pelanggaran terhadap larangan perkawinan
sangat mungkin terjadi. Untuk itulah pasal-pasal pencegahan perkawinan
merupakan strategi jitu untuk menghindarkan perkawinan yang terlarang.
Terlepas dari persoalan pengaruh memengaruhi, baik
pencegahan, pembatalan, dan penolakan semuanya bermuara untuk menghindarkan
perkawinan yang terlarang. Muara yang dituju adalah dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan bagi semua pihak.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
Pencegahan Perkawinan?
2.
Sebutkan
Undang-Undang yang mengatur tentang Pencegahan Perkawinan?
3.
Apa pengertian
Pembatalan Perkawinan?
4.
Bagaimana Nikahul Fasid
dalam Hukum Positif dan Hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu
perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang diundangkan. Pencegahan
perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat
materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah,
dan larangan perkawinan. Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan
yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai
laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya.
a.
Perspektif UU No.
1/1974
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam
pasal 13 yang berbunyi:
“Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud
didalam ayat diatas mengacu kepada dua hal yaitu syarat administrative dan
syarat materiil. Syarat administratif berhubungan dengan administratif
perkawinan pada bagian tata cara perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut
hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan.
Perkawinan dapat dicegah bila salah seorang ataupun
kedua calon pengantin masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain
(pencegahan ini tidak termasuk bagi suami yang telah mendapatkan dispensasi
dari pengadilan untuk berpoligami) dan seorang bekas istri yang masih dalam
keadaan berlaku waktu tunggu (iddah) baginya, begitu juga dengan mereka yang
belum mencapai umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita dapat dicegah
untuk melangsungkan perkawinan kecuali telah mendapat dispensasi dari pengadilan.
Adapun mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak yang
akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan
ke pengadilan agama dalam daerah hokum dimana perkawinan itu dilangsungkan dan
memberitahukannya kepada pegawai pencatat nikah. Pencegahan perkawinan dapat
dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan yang telah dimasukkan ke
pengadilan agama oleh yang mencegah atau dengan putusan pengadilan agama,
selama pencegahan belum dicabut maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan,
kecuali ada putusan pengadilan agama yang memberikan dispensasi kepada para
pihak yang akan melangsungkan perkawinan.
Disamping itu undang-undang perkawinan juga mengenal
pencegahan perkawinan secara otomatis yang dilakukan oleh pegawai pencatat
perkawinan meskipun tidak ada pihak yang melakukan pencegahan perkawinan (pasal
20). Pencegahan otomatis ini dapat dilakukan apabila pegawai pencatat
perkawinan dalam menjalankan tugasnya mengetahui adanya pelanggaran dari
ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 8, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12
undang-undang perkawinan.[1]
Berkenaan dengan
orang-orang yang dapat melakukan pencegahan dimuat dalam pasal 14 UUP yang
berbunyi:
1.
Yang dapat mencegah
perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah,
saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan
pihak-pihak yang berkepentingan.
2.
Mereka yang tersebut
pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila
salah seorang calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan
perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai
lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat
(1) pasal ini.
Selanjutnya pasal 15
menyatakan:
“Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih
terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya
perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan pasal 3ayat 2 dan pasal 4 undang-undang ini.”
Undang-undang perkawinan seperti yang terdapat dalam
pasal 16 ayat 1 dan 2, juga memberi wewenang kepada pejabat untuk melakukan
pencegahan perkawinan. Mengenai pejabat yang berwenang diatur dalam paraturan
perundang-undangan . Sebaliknya pejabat yang berwenang dilarang membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui terjadinya pelanggaran terhadap UU
tersebut. Dalam pasal 20 UU No. 1/1974 dinyatakan dengan tegas:
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya
pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 9, pasal 10, dan pasal
12 undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
B.
Pengertian pembatalan
perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak
dilanjutkannya hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi.
Dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu
memperhatikan ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu
sah maka pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan[2]
Dalam pasal 22 UU perkawinan disebutkan bahwa
perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Namun bila rukunnya yang tidak terpenuhi berarti
pernikahannya yang tidak sah. Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan UU No. 1
tahun 1974 pasal 22, 24, 26 dan 27 serta berdasarkan KHI pasal 70 dan 71.
Dalam hukum islam suatu
pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad nikah tersebut sudah terpenuhi
syarat serta rukunnya. Jika suatu perkawinan kurang salah satu syarat maupun
rukunnya maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi
hanya salah satu rukunnya, akad tersebut adalah batal. Adapun jika yang tidak
terpenuhi adalah salah satu dri syaratnya maka akad nikah tersebut dianggap
fasid[3]
C.
Dasar Hukum Pembatalan
Perkawinan
Untuk menguraikan tentang dasar hukum pembatalan
nikah, disini dikemukakan ayat al-Qur'an dan Hadits-hadits yang berkenaan
dengan nikah yang dibatalkan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah. Jika fasid
nikah terjadi disebabkan karena melanggar ketentuanketentuan hukum agama dalam
perkawinan, misalnya larangan kawin sebagaimana yang dimaksud dalam Al-Qur’an
Surat An-Nisa: 22-23.
Surat An-Nisa: 22.
wur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä ÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ
22. dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Surat An-Nisa: 23.
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzy ÆÎgÎ/ xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? ú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 3 cÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇËÌÈ
23.
diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281];
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[281] Maksud ibu di
sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak
perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah,
demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang
tidak dalam pemeliharaannya.
“Diharamkan atas kamu (mengawini): ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara yang perempuan. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu
yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu
isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan
diharamkan bagimu), isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dan perempuan yang
bersaudara, kecuali
yang terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang[4]
D.
Faktor yang membatalkan
perkawinan
Pada dasarnya terdapat dua unsur yang mempengaruhi
terjadinya fasid atau batalnya perkawinan, kedua unsur tersebut adalah syarat
dan rukun.
Syarat perkawinan adalah sesuatu yang ada dalam
perkawinan, hanya saja jika salah satu dari syarat-syarat perkawinan tidak
terpenuhi maka perkawinan itu menjadi tidak sah (batal) demi hukum.
Syarat sah nikah adalah hakikat dari perkawinan itu
sendiri[5][5]. Sah atau tidak sah yang dimaksud di sini adalah,
terpenuhinya segala rukun dan syarat dalam suatu ibadah.
Menurut istilah ushul fiqh, kata sah digunakan kepada
suatu ibadah atau akad yang dilaksanakan dengan melengkapi syarat dan rukunnya.
Sebagaimana makna asal dari kata sah, yaitu sesuatu dalam kondisi baik dan
tidak cacat. Ibadah shalat misalnya, dikatakan sah bilamana dilaksanakan secara
lengkap syarat dan rukunnya. Demikian pula akad perkawinan, dapat
dikatakan sah apabila melengkapi syarat dan rukun
perkawinan itu sendiri. Sedangkan tidak sah (fasid) atau batal, merupakan lawan
dari sah, yang berarti tidak memenuhi/melengkapi syarat dan rukun suatu ibadah
atau akad[6]
Jadi, tanpa adanya salah satu rukunnya maka perkawinan
itu tidak mungkin dapat dilaksanakan, hal ini berarti jika suatu perkawinan
dilakukan tanpa unsur pokoknya yaitu syarat dan rukun perkawinan maka akan
batal menurut hukum, karena rukun merupakan pokok, sedangkan syarat merupakan
pelengkap dalam suatu perbuatan hukum.
Rukun dan syarat perkawinan telah ditentukan menurut
hukum syara’ di mana seorang mukallaf tidak boleh menggantungkan suatu akad
perkawinan kepada rukun dan syarat yang dia kehendaki. Adapun rukun dan syarat
perkawinan menurut kebanyakan para ulama’ diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Bahwa pernikahan baru
dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara
wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang
menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya
semata-mata berdasarkan duka sama suka tanpa adanya akad[7]
b.
Syarat bagi kedua belah
pihak yang melakukan nikah adalah baligh dan berakal, kecuali jika dilakukan
oleh wali mempelai, terlepas dari keadaankeadaan yang membuat mereka dilarang
kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan yang lainnya, harus pasti
dan tentu orangnya[8]
c.
Saksi minimal terdiri
dari dua orang laki-laki.[9]
Ada beberapa hal yang membuat akad nikah menjadi
batal, bilamana salah satu dari beberapa hal di bawah ini terdapat pada suatu
pernikahan, akad nikah itu dianggap batal.
a.
Nikah syigar.
b.
Nikah mut'ah. Yaitu
nikah kontrak sementara waktu sampai waktu yang ditentukan menurut kesepakatan.
c.
Nikah mukhrim. Yaitu
pernikahan yang dilaksanakan dimana dua calon suami isteri atau salah satunya
sedang dalam keadaan ihram baik untuk melaksanakan haji maupun untuk
melaksanakan umrah.
d.
Nikah dua orang
laki-laki dengan seorang perempuan yang dinikahkan dengan dua orang wali yang
berjauhan tempat.
e.
Nikah wanita yang
sedang beriddah.
f.
Nikah laki-laki muslim
dengan wanita non Islam.
g.
Nikah wanita muslimah
dengan laki-laki non muslim.
Selain itu dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam
menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.
Seorang suami melakukan
poligami tanpa seijin Pengadilan Agama.
b.
Perempuan yang dikawini
ternyata kemudian diketahui masih menjadiisteri orang lain yang mafqud.
c.
Perempuan yang dikawini
ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d.
Perkawinan yang
melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU. No. 2
tahun 1974.
e.
Perkawinan
dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
f.
Perkawinan yang
dilaksanakan dengan paksaan.[10]
E.
Yang Berhak Membatalkan
Perkawinan.
Mengenai orang-orang atau pihak-pihak yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam,
yaitu:
a.
Para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.
b.
Suami atau isteri.
c.
Pejabat yang berwenang
mengawasi jalannya perkawinan menurut undang-undang.
d.
Para pihak yang
berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut
hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal
67.[11]
Pada Pasal 74 ayat 1 kompilasi hukum Islam menentukan
bahwa pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan dan
permohonan pembatalan perkawinan itu diajukan oleh para pihak yang mengajukan
pada Pengadilan daerah yang hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan
atau di tempat tinggal kedua suami isteri[12]
Permohonan pembatalan perkawinan dibuat dalam bentuk
permohonan yang bersifat kontensius (sengketa Sehingga dapat lebih jelas
dalam melangsungkan pembatalan perkawinan yaitu sama halnya dengan cara
gugatan perceraian yang diatur secara terperinci dari Pasal 20 sampai dengan
Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sepanjang hal ini dapat diterapkan
dalam hubungannya dengan pembatalan perkawinan itu.
Seperti halnya perceraian, fasakh juga putusnya
hubungan perkawinan. Secara harfiyah fasakh berarti batalnya sebuah
perjanjian atau menarik kembali suatu penawaran. Ini berarti bahwa perkawinan
itu diputuskan atau dirusakkan atas salah satu pihak oleh hakim Pengadilan
agama.
Tuntutan pemutusan perkawinan disebabkan karena salah
satu pihak memenuhi cela pada pihak lain yang belum diketahui sebelum
berlangsung perkawinan.
Perkawinan yang sudah berlangsung dianggap sah dengan
segala akibat hukumnya bubarnya hubungan perkawinan dimulai sejak difasakhkan
perkawinan itu. Dasar dari putusnya perkawinan dalam bentuk fasakh berdasar
firman Allah SWT Surat An-Nisa’: 35 dan Surat Al-Baqarah: 231.
Surah an-Nisa : 35:
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz ÇÌÎÈ
35. dan jika
kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang
hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.
jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.
[293] Hakam ialah juru pendamai.
Al-Baqarah 231:
#sÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Æèdqä3Å¡øBr'sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& £`èdqãmÎh| 7$rã÷èoÿÏ3 4 wur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 4 `tBur ö@yèøÿt y7Ï9ºs ôs)sù zOn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 wur (#ÿräÏFs? ÏM»t#uä «!$# #Yrâèd 4 (#rãä.ø$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ !$tBur tAtRr& Nä3øn=tæ z`ÏiB É=»tGÅ3ø9$# ÏpyJõ3Åsø9$#ur /ä3ÝàÏèt ¾ÏmÎ/ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqãKn=ôã$#ur ¨br& ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÌÊÈ
231. apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka
rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara
yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan,
karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat
demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah
padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al
Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
[145] Umpamanya:
memaksa mereka minta cerai dengan cara khulu' atau membiarkan mereka hidup
terkatung-katung.
demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat
demikian, maka sungguh ia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri.
Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai
permainan. Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa
yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan Al Hikmah
(As Sunah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya
itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta
ketahuilah bahwasanya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 231)[13]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu
perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang diundangkan. Pencegahan
perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat
materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah,
dan larangan perkawinan. Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan
yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai
laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya.
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam
pasal 13 yang berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami
istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai
langkah-langkah pembatalan setelah perkawinan selesai di langsungkan, dan di
ketahui adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi menurut pasal 22
Undang-Undang perkawinan.
Para ahli hokum islam dikalangan Mazhab Maliki
berpendapat bahwa nikahul fasid ada dua bentuk yaitu (1) yang disepakati oleh
ahli hokum dan (2) yang tidak disepakati oleh para ahli hokum islam. Dan
Menurut ahli hokum Islam dikalangan Mazhab Syafi’I, nikahul fasid dapat terjadi
dalam bentuk:
Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki
dengan seorang perempuan tetapi wanita tersebut dalam masa iddah laki-laki yang
lain.
Pernikahan yang dilaksanakan dalam masa istibro’
karena wathi syubhat
Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki
dengan seorang perempuan tetapi perempuan tersebut diragukan iddahnya karena
ada tanda-tanda kehamilan.
Menikahi perempuan watsani dan perempuan yang murtad,
yang dua terakhir ini batil karena adanya syarat keislaman.
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tidak secara tegas
dinyatakan adanya lembaga nikahul fasid dalam hukum perkawinan di
Indonesia. Hanya ada pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan,
yaitu pasal 27 samapai dengan 38 peraturan perundang-undangan tersebut
memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk membatalkan suatu
perkawinan apabila perkawinan itu dianggap tidak sah (no legal force), atau
apabila suatu perkawinan dianggap tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang
telah ditentukan, atau apabila perkawinan yang sudah dilaksanakan itu diketahui
ada cacat hokum sebagai akibat dari suatu kebohongan dan kekeliruan atau karena
ada paksaan.
DAFTAR PUSTAKA
Rafiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers
Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum
Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar Interpratama.
makalah_prodi_perbandingan
mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
Ahmad rafiq, hukum islam di Indonesia , 9jakarta;
rajawali pers, 1998),
Aminur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, ( jakarta: Fajar interpratama),
[2] Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum
Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar Interpratama. Hal 1
[3] makalah_prodi_perbandingan
mazhab dan hukum_angkatan 2012 2016_ syariah dan hukum_ UIN_ Raden _ fatah_ palembang
hal 14
[6]Nurudin, Aminur dan
Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Fajar Interpratama. Hal 78
[8] makalah_prodi_perbandingan
mazhab dan hukum_angkatan 2012 2016_ syariah dan hukum_ UIN_ Raden _ fatah_ palembang
hal 14
[9] Aminur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, ( jakarta: Fajar interpratama), Hal. 33-34
[11] Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum
Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar Interpratama. Hal 5
terima kasih. Barokalloh
BalasHapus