BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Fenomena
umum masyarakat modern dengan arus globalisasi yang cenderung pada
materialism-hedonistik sering mendewa-dewakan harta, kedudukan dan
kemewahan tanpa menghiraukan norma-norma agama. Kehidupan semacam ini dipengaruhi
beberapa faktor, baik eksternal maupun internal dalam diri manusia itu sendiri,
sehingga manusia sering kehilangan pedoman hidup (dustur al-hayah). Lebih dari
itu, untuk mencapai keinginannya, manusia sering memakai media apa saja yang
kiranya memberikan harapan menggapai keinginannya. Pada zaman sekarang ini,
lebih dikenal dengan perkembangan science dan teknologi, dimana manusia
banyak berpikir ktitis dan rasional tapi masih ada yang percaya kepada mistik,
berteman dengan jin, jual beli tuyul dan seterusnya. Perilaku ini terjadi
karena masih ada sifat Jahiliyah, pengaruh animism dan dinamisme.
Ironisnya, perbuatan semacam itu dikerjakan oleh orang-orang yang mengaku
dirinya agama Islam.[1]
B.
PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang
masalah diatas disebutkan banyak sekali penyimpangan-penyimpangan dalam
kehidupan manusia seperti mempercayai mistik dan lain-lain yang bisa jatuh
kedalam kesyirikan dan murtad oleh karena itu dalam perumusan masalah ini apa
saja penyimpangan-penyimpangan tersebut sehingga manusia jauh dari agama
fitrah.
C.
TUJUAN MASALAH
Makalah ini ditulis
untuk mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan dalam kehidupan manusia, secara
terperinci tujuan pembahasan dalam makalah ini ialah:
Mengetahui
bentuk-bentuk penyimpangan dalam kehidupan manusia, adapun bentuk
penyimpangan itu ialah: Syirik dan Murtad
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SYIRIK
a.
Definisi Syirik Secara Etimologi
Perilaku-perilaku yang
menyembah berbagai macam sesembahan itu dikenal dalam Islam dengan
“Syirk” (Polytheisme), yang berarti mempersekutukan Tuhan yang Maha Esa
dengan sesembahan lain yang mereka sembah. Sedangkan pelakunya
disebut Musyrik.
Kata “Musyrik”
adalah kata Arab dari asal kata kerja “Syarika” yang artinya berpatner
atau bergabung atau bersekutu.[2]
Adapun “Syirik”
dalam Bahasa Arab merupakan mashdar dari kata-kata: (asyraka-yusriku-syirk),
misalnya: syirk billahi artinya menjadikan sekutu bagi Allah.[3]
b.
Definisi Syirik Secara Terminologi
Adapun dari segi
syara’, syirik adalah segala sesuatu yang membatalkan tauhid atau
mencemarinya, dari apa saja yang dinamakan syirik dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah.[4]
Dengan kata lain syirik adalah mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan
sesuatu selain diri-Nya sebagai sembahan, obyek pemujaan atau tempat
menggantungkan harapan dan dambaan.[5]
Ada pula yang mendefinisikan bahwa syirik adalah mewujudkan sesuatu
sebagai tandingan bagi Allah baik dalam ubudiyyah, uluhiyyah maupun
asma dan sifat-Nya.[6]
Definisi lain tentang
syirik ialah menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal yang
seharusnya ditujukan khusus untuk Allah, seperti berdo’a meminta kepada
selain Allah disamping berdoa’a memohon kepada Allah.[7]
Barang siapa yang
beribadah kepada selain Allah berarti ia telah meletakkan ibadah tidak pada
tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak menerimanya.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشِّرْكَ
لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ.
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman: 13).
Sebagaimana disebutkan
diatas tadi bahwa orang yang melakukan syirik itu disebut dengan
musyrik, adalah keyakinan bahwa disamping Allah swt, itu ada
sembahan lain. Keyakinan semacam ini jelas kontradiksi dengan jiwa tauhid
(Meng Esakan Allah) yang diajarkan Islam, karena Laa Ilaha illallah
(tidak ada Tuhan yang bereksistensi dan berhak disembah selain Allah swt). Oleh
karena itu, perbuatan syirik itu termasuk dosa yang paling besar.[8]
Sebagaimana Allah
berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُّشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُ مَادُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَّشَاءُ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِا اللهِ
فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik
(menyekutukan Allah swt), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang menyekutukan
Allah, maka dia sungguh telah berbuat dosa yang besar.” (Q.S. an-Nisaa’: 48).
Perbuatan syirik
itu jelas kontradiksi dengan keimanan, sebab keimanan yang murni
ialah yang bertauhid (meng Esa-kan Allah swt), sehingga jika ada
yang mengaku beriman tetapi mengaku banyak Tuhan atau masih ada
Tuhan yang disembah selain Allah, maka perbuatan itu akan ditolak Allah
swt.
c.
Macam-Macam Syirik
Syirik ada dua macam:
a)
Syirik Besar
Syirik besar dapat
mengeluarkan pelakunya dari Islam dan menempatkannya kekal di dalam
neraka bila hingga meninggal dunia ia belum bertobat darinya. Definisi
Syirik al-akbar yakni menjadikan sekutu bagi Allah, baik dalam masalah
rububiyah, uluhiyah atau asma dan sifat-Nya.[9]
Definisi lain syirik besar ialah memalingkan suatu ibadah untuk selain Allah.[10]
Syirik besar ada empat
macam:[11]
1. Syirkud Da’wah (syirik
do’a). Berdo’a memohon kepada selain Allah disamping memohon kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُوْا فِى الْفُلْكِ دَعَوُا اللهِ
مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ فَلَمَّا نَجَّهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ
يُشْرِكُوْنَ.
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada
Allah dengan memurnikan kataatan kepada-Nya. Maka tatkala Allah menyelamatkan
mereka sampai kedarat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).”
(Q.S. al-Ankabut: 65).
2.
Syirkun Niyyah wal Iradah wal Qashd (syirik niat),
yaitu memperuntukkan dan meniatkan suatu ibadah kepada selain Allah. Allah
Ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُالْحَيَوةَ الدُّنْيَا وَزَيْنَتُهَا
نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَايُبْخَسُونَ.
أُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ
مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبَطِلٌ مَّا كَنُوْا يَعْمَلُوْنَ.
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di
dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah
apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. Hud: 15-16).
3.
Syirk Tha’ah (syirik ketaatan); yaitu mentaati selain
Allah dalam bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَنَهُمْ أَرْبَابًا
مِّن دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوْا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا إِلَيْهَا وَاحِدًا لَّاإِلَهَ إِلَّا إِلَّاهُوَ سُبْحَنَهُ عَمَّا
يُشْرِكُوْنَ.
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib
sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mempertuhankan) Al-Masih putra
Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang
Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak diibadahi) selain Dia, Mahasuci Allah
dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.S. Taubah: 31).
4.
Syirkul Mahabbah (syirik kecintaan); menyamakan
kecintaan kepada selain Allah dengan kecintaan kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ
أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْا أَشَدُّ
حُبًّا لِلهِ وَلَوْيَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ
أَنَّ الْقُوَّةَ لِلهِ جَمِيْعًا وَأَنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعَذَابَ.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah. Dan
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka
melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah
semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
(Q.S. al-Baqarah: 165).
b)
Syirik Kecil
Syirik kecil tidak
sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam tapi dapat mengurangi (nilai) tauhid
dan dapat menjadi perantara kepada syirik besar.
Syirik kecil terbagai
menjadi dua:[12]
1.
Syirik Dzahir/al-Jaliy (Syirik yang Nampak); berupa
perkataan dan perbuatan.
Contoh perkataan, seperti bersumpah dengan nama selain
Allah. Rasulullah bersabda: “Barang siapa bersumpah dengan nama selain Allah,
sungguh ia telah berbuat kekufuran atau kesyirikan.”
Contoh perbuatan, seperti mengenakan kalung atau
benang untuk mengusir dan bala’, memakai jimat karena khawatir terkena
penyakir dan perbuatan lainnya.
2.
Syirik Khafiy (Tidak Nampak); yaitu kesyirikan yang
terdapat pada keinginan dan niat, seperti riya (ingin dilihat orang).
d.
Bertaubat Dari Syirik
Adapun
bertaubat dari perbuatan kedua jenis syirik tersebut tentunya disesuaikan
dengan jenis syiriknya. Bila bertaubat dari syirik akbar tentunya dengan masuk
Islam kembali, karena pada hakekatnya pelakunya telah murtad (keluar dari
Islam). Sedangkan bretaubat dari syirik ashghor ialah dengan meminta ampun
kepada Allah Ta’ala dan menyempurnakan tauhidnya sehingga terjauh dari kedua
jenis syirik tersebut. Maka kita harus rajin-rajin mempelajari tauhid dan
segala prebuatan syirik yang akan merusakkannya. Dan setiap saat kita harus
bertaubat dari perbuatan syirik yang kita ketahui atau yang kita tidak ketahui.
e.
Dosa Syirik
Syirik
adalah dosa besar, karena:
1. syirik
adalah tindakan penyerupaan makhluk dengan khaliq dalam masalah-masalah
ketuhanan (uluhiyah). Mensejajarkan (menyekutukan) sesuatu bersama Allah adalah
tindak penyerupaan sesuatu itu dengan Allah. Ini adalah kedzaliman yang besar.
Allah SWT berfirman [إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ]
(sesungguhnya syirik itu benar-benar merupakan kedzaliman yang besar). Dzalim
adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya dan mempersembahkannya bukan
kepada yang berhak.
2. Allah
mengabarkan bahwa Dia tidak mengampuni dosa syirik, jika ia tidak bertaubat.
Allah SWT berfirman: [إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا ] (Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar).
3. Allah
mengabarkan bahwa Dia mengharamkan surga bagi orang musyrik dan bahwasanya ia
akan kekal dan dikekalkan di neraka jahannam. Allah berfirman: [إِنَّهُ
مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ
النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ ]” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan
tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang
penolongpun).
4. Allah
memberitakan bahwa syirik itu melenyapkan pahala semua amalan. Allah berfirman:
[وَلَوْ
أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ] ( Seandainya mereka mempersekutukan
Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan), juga
firman-Nya: [وَلَقَدْ
أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ
لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ] (Dan sesungguhnya telah diwahyukan
kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: \\\\\\\\\\\\\\\”Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi) dsb.
Sikap Yang Dianjurkan Dalam Menghadapi Kaum Musyrik
Thema Al-Qur’an tentang syirik adalah thema yang sangat serius, mengandung pesan-pesan yang sangat berharga, nasehat-nasehat bijak demi kebaikan dan kesejahteraan ummat manusia. Masalah syirik adalah masalah yang memamng serius, oleh karenanya haruslah kita hadapi dengan serius dan penuh kesabaran.
Sikap Yang Dianjurkan Dalam Menghadapi Kaum Musyrik
Thema Al-Qur’an tentang syirik adalah thema yang sangat serius, mengandung pesan-pesan yang sangat berharga, nasehat-nasehat bijak demi kebaikan dan kesejahteraan ummat manusia. Masalah syirik adalah masalah yang memamng serius, oleh karenanya haruslah kita hadapi dengan serius dan penuh kesabaran.
Di bawah
ini adalah sikap-sikap yang dianjurkan dalam menghadapi kaum musyrikin sesuai
ajaran Al-Qur’an:
1. Nabi
Ibrahim harus dijadikan contoh, seorang nabi yang hanif tidak musyrik , selalu
berdakwah dengan hikmah , mau’idhah hasanah dan logika sehat .
2. Mencari
titik temu dengan kaum musyrikin dan ahlul kitab untuk bertauhid saja (dialog /
dakwah billisan)
3. Aktif
menyuarakan tauhid dan menginformasikan kesesatan-kesesatan dan kelemahan
syirik dan akibatnya .
4. Ikrar
tauhid di hadapan Allah dan manusia
5. Tidak
menikahkan kaum mu’min dengan kaum musyrikin,baik laki-laki mauun perempuan
B. MURTAD
a.
Pengertian Murtad
Murtad berasal dari
kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda
‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat
Mu’jamul Wasith, 1/338).Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu
disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah :
menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam
keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia
dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di
dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217)
b.
Macam – Macam Riddah
a)
Riddah dengan sebab ucapan
Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau
Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku
mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku
Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah kepada selain Allah dalam
urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta perlindungan kepada selain Allah
dalam urusan semacam itu.
b)
Riddah dengan sebab perbuatan
Seperti contohnya
melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih hewan
untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di tempat-tempat yang
kotor, melakukan prkatek sihir, mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau
memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.
c)
Riddah dengan sebab keyakinan
Seperti contohnya
meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu
yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini bahwa sholat itu tidak
diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas
disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati
keharamannya.
d)
Riddah dengan sebab keraguan
Seperti meragukan
sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan
diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan
kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan
Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini (lihat At-Tauhid li Shaffits
Tsaalits ‘Aliy, hal. 32-33)
c.
Persoalan Murtad
Menurut Qur’an
Qur’an Suci adalah
sumber syari’at Islam yang paling utama; oleh sebab itu akan kami dahulukan.
Soal pertama, dalam Qur’an tak ada satu ayat pun yang membicaraan perihal murtad
secara kesimpulan. Irtidad atau perbuatan murtad yang terjadi
karena menyatakan diri sebagai orang kafir atau terang-terangan mengingkari
Islam, ini tak dapat dijadikan patokan, karena adakalanya orang yang sudah
mengaku Islam, mempunyai pendapat atau melakukan perbuatan yang menurut penilaian
ulama ahli fiqih, bukanlah bersumber kepada Islam. Mencaci-maki seorang Nabi
atau menghina Qur’an, acapkali dijadikan alasan untuk memperlakukan seseorang
sebagai orang murtad, sekalipun ia secara sungguh-sungguh mengaku sebagai orang
beriman kepada Qur’an dan Nabi.
Soal kedua, pengertian
umum bahwa Islam menghukum mati orang murtad, ini tak ada dalilnya dalam Qur’an
Suci. Dalam Encyclopaedia of Islam, tuan Heffeming mengawali tulisannya
tentang masalah murtad dengan kata-kata: “Dalam Qur’an, ancaman hukuman
terhadap orang yang murtad hanya akan dilakukan di Akhirat saja”. Dalam salah
satu wahyu Makkiyah terakhir, terdapat uraian: “Barangsiapa kafir kepada
Allah sesudah beriman -bukannya ia dipaksa, sedang hatinya merasa tentram
dengan iman, melainkan orang yang membuka dadanya untuk kekafiran-, mereka akan
ditimpa kutuk Allah, dan mereka akan mendapat siksaan yang pedih” . Dari
ayat ini terang sekali bahwa orang murtad akan mendapat siksaan di Akhirat, dan
hal ini tak diubah oleh wahyu yang diturunkan belakangan takala pemerintah
Islam telah berdiri, setelah Nabi Suci hijrah ke Madinah.
Adapun dalil yang
paling meyakinkan bahwa orang murtad tidak dihukum mati, ini tercantum dalam
rencana kaum Yahudi yang diangan-angankan selagi mereka hidup di bawah pemerintahan
Islam di Madinah. Qur’an berfirman: “Dan golongan kaum Ahli Kitab berkata:
Berimanlah kepada apa yang diturunkan kepada arang-orang yang beriman pada
bagian permulaan hari itu, dan kafirlah pada bagian terakhir hari itu”.
Bagaimana mungkin orang
yang hidup di bawah pemerintahan Islam dapat meng-angan-angankan rencana
semacam itu yang amat merendahkan martabat Islam, jika perbuatan murtad harus
dihukum mati? Surat al-Maidah adalah Surat yang diturunkan menjelang
akhir hidup Nabi Suci, namun dalam Surat itu perbuatan murtad dibebaskan dari
segala hukuman dunia: “Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara
kamu murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan kaum yang Allah cinta
kepada mereka dan mereka cinta kepada-Nya“.
d.
Persoalan Murtad
Menurut Hadits
Marilah kita sekarang
meninjau uraian Hadits, yang dalil Hadits inilah yang dipakai oleh kitab-kitab
fiqih sebagai dasar adanya hukuman mati bagi kaum murtad. Tak sangsi lagi bahwa
uraian Hadits yang bersangkutan mencerminkan uraian yang timbul belakangan,
namun demikian, jika Hadits itu kita pelajari dengan teliti, sampailah pada
kesimpulan, bahwa perbuatan murtad tidaklah dihukum, terkecuali apabila
perbuatan murtad itu dibarengi dengan peristiwa lain yang menuntut suatu
hukuman bagi pelakunya. Imam Bukhari yang tak sangsi lagi merupakan penulis
Hadits yang paling teliti dan paling hati-hati, amatlah tegas dalam hal ini.
Dalam Kitab Bukhari
terdapat dua bab yang membahas masalah murtad; yang satu berbunyi: Kitabul-muharibin
min ahlil-kufri wariddah, artinya Kitab tentang orang yang berperang (melawan
kaum Muslim) dari golongan kaum kafir dan kaum murtad. Adapun yang satu
lagi berbunyi: Kitab istita-bal-mu’anidin wal-murtadin wa qitalihim, artinya
Kitab tentang seruan bertobat bagi musuh dan kaum murtad dan berperang
melawan mereka.
Dua judul itu sudah
menjelaskan sendiri. Judul yang pertama, menerangkan seterang-terangnya bahwa
yang dibicarakan hanyalah kaum murtad yang berperang melawan kaum Muslimin.
Adapun judul yang kedua, hubungan kaum murtad dengan musuh-musuh Islam. Itulah
yang sebenarnya menjadi pokok dasar seluruh persoalan; hanya karena salah paham
sajalah maka dirumuskan suatu ajaran yang bertentangan dengan ajaran Qur’an
yang terang-benderang.
Banyak sekali orang
yang hanya menekankan satu Hadits yang berbunyi: “Barangsiapa murtad dari
agamanya, Bunuhlah dia”. Tetapi mengingat apa yang diungkapkan dalam Kitab
Bukhari bahwa yang dimaksud murtad ialah orang yang berbalik memerangi kaum
Muslimin, dan menghubungkan nama mereka dengan nama-nama musuh Islam, maka
terang sekali bahwa yang dimaksud oleh Hadits tersebut ialah orang yang
mengubah agamanya dan bergabung dengan musuh-musuh Islam lalu bertempur melawan
kaum Muslimin.
Hanya dengan pembatasan
dalam arti itulah, maka Hadits tersebut dapat disesuaikan dengan Hadits lain,
atau dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Qur’an Suci. Sebenarnya,
kata-kata Hadits tersebut begitu luas sehingga mencakup segala pergantian
agama, agama apa saja. Jika demikian, maka orang non-Muslim yang masuk Islam,
atau orang Yahudi yang masuk Kristen, harus dibunuh. Terang sekali bahwa uraian
semacam itu tak dapat dilakukan kepada Nabi Suci. Maka Hadits tersebut tak
dapat diterima begitu saja tanpa diberi pembatasan dalam artinya.
e.
PERBUATAN MURTAD DALAM
FIQIH
Jika kita membaca kitab
fiqih, di sana diuraikan bahwa mula-mula para ulama fiqih menggariskan satu
prinsip yang bertentangan sekali dengan Qur’an Suci, yakni orang dapat dihukum
mati karena murtad. Dalam Kitab Hidayah diuraikan: “Orang yang murtad,
baik orang merdeka maupun budak, kepadanya disajikan agama Islam; jika ia
menolak, ia harus dibunuh”. Tetapi setelah Kitab Hidayah
menguraikan prinsip tersebut, segera disusul dengan uraian yang bertentangan
dengan menyebut orang murtad sebagai “orang kafir yang melancarkan perang (kafir
harbiy) yang kepadanya telah disampaikan dakwah Islam”. Ini menunjukkan
bahwa dalam Kitab Fiqih pun, orang murtad yang dihukum mati, ini disebabkan
karena ia musuh yang memerangi kaum Muslimin.
Adapun mengenai
perempuan yang murtad, mereka tidak dihukum mati, karena alasan berikut ini:
“Alasan kami mengenai hal ini ialah, bahwa Nabi Suci melarang membunuh kaum
perempuan dan karena pembalasan yang sebenarnya (bagi kaum mukmin dan kafir)
itu ditangguhkan hingga Hari Kiamat, dan mempercepat pembalasan terhadap mereka
di dunia akan menyebabkan kekacauan, dan penyimpangan dari prinsip ini hanya
diperbolehkan apabila terjadi kerusakan di bumi berupa pertempuran, dan hal ini
tak mungkin dilakukan oleh kaum perempuan, karena kondisi mereka tak
mengizinkan”.
Ulama yang menafsiri
kitab itu menambahkan keterangan: “Menghukum mati orang murtad itu wajib,
karena ini akan mencegah terjadinya pertempuran yang merusakkan, dan ini
bukanlah hukuman karena menjadi kafir” (idem). Selanjutnya ditambahkan
keterangan sebagai berikut: “Hanya karena kekafiran saja, tidaklah menyebabkan
orang boleh dibunuh menurut hukum” (idem). Terang sekali bahwa dalam hal
pertempuran dengan kaum kafir, ulama ahli fiqih berbuat kesalah-pahaman, dan
nampak sekali terjadi pertentangan antara prinsip yang digariskan oleh Qur’an
dengan kesalah-pahaman yang masuk dalam pikiran ulama ahli fiqih. Qur’an Suci
menggariskan seterang-terangnya bahwa orang murtad dihukum mati, bukan karena
kekafirannya melainkan karena hirab atau memerangi kaum Muslimin.
Adapun alasannya
dikemukakan seterang-terangnya bahwa menghukum mati orang karena kekafiran, ini
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Tetapi ulama ahli fiqih salah paham,
bahwa kemampuan berperang, mereka anggap sebagai keadaan perang, suatu anggapan
yang tak masuk akal samasekali. Jika itu yang dimaksud, bahwa orang murtad
mempunyai kemampuan berperang, anak kecil dan erempuan pun dapat disebut harbiy
(orang berperang), karena anak kecil dan perempuan itu akan tumbuh menjadi
besar dan mempunyai kemampuan berperang.
f.
Faktor Penyebab
Sebenarnya faktor
penyebab murtad dalam Islam, dapat diklasifikasi sedemikian rupa.
Berbagai hal yang menyebabkan seorang muslim keluar dari Islam atau murtad,
atau gugurnya seorang muslim dari ke Islamannya secara global dapat terjadi
dengan tiga cara, yaitu dengan perbuatan, ucapan dan niat.
Kehormatan seorang
sesungguhnya terletak di dalam satu perkataannya saja, yaitu dalam aqidah atau
kepercayaannya. Aqidah merupakan rantai hubungan antara manusia sesama manusia
dan juga antara manusia dengan Tuhannya. Bahwa orang muslim yang menyekutukan
Allah swt, mengingkari-Nya dan sebagainya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, Qadha
dan Qadar, dan lain sebagainya. Orang yang tidak percaya apa saja dari inti
ajaran Islam, orang yang seperti ini dapat dikatakan murtad.
Murtad dengan aksi atau
perbuatan adalah sengaja melakukan perbuatan haram dengan maksud melecehkan
Islam seperti sujud kepada patung atau matahari, sementara murtad dengan
perkataan adalah seperti mengatakan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, ingkar
atas eksistensi malaikat, menggingkari Muhammad sebagai nabi, menghujat pada
Nabi saw atau nabi¬nabi terdahulu, mengingkari hari akhir, mengatakan al-Quran
bukan firman Allah atau al-Quran itu tidak relevan bagi kehidupan kontemporer.
Imam mazhab (Syafi’i,
Abu Hanifah, Malik ibn Anas dan Ahmad ibn Hanbal) menjadikan faktor aksi atau
perbuatan sebagai parameter untuk mengukur skala murtad atau tidaknya seorang
muslim, jadi tidak dititik beratkan pada faktor intense atau niat. Sehingga
bagi mereka, vonis murtad itu sudah valid meskipun cuma bersandar pada
perkataan dan tindakan melakukan praktik keagamaan terlarang maupun bermaksud
untuk menghina dan merendahkan agama Islam.
Para fuqaha sepakat
bahwa menyekutukan Allah atau mengingkari-Nya atau menafikan-Nya
sifat-sifat-Nya, atau menetapkan bagi Allah sesuatu yang diingkari-Nya seperti
anak, mengingkari hari akhir, mengingkari hari hisab, mengingkari surga neraka,
mengingkari malaikat adalah perbuatan yang menjadikan seorang kafir. Oleh
karena itu apabila tindakan tersebut dilakukan oleh orang-orang beriman, maka
dia dapat dianggap murtad. Demikian juga orang Islam yang mengingkari masalah
yang ditetapkan dengan dalil yang mutawatir seperti wajibnya shalat, juga
dianggap murtad. Selain itu, orang Islam yang menyatakan tentang qadimnya alam,
juga dianggap murtad.
Selain itu, ada
persyaratan yang harus dipenuhi seorang untuk bisa disebut murtad. Seorang
dapat dianggap murtad, apabila memenuhi syarat aqil, baligh, dan mempunyai
kebebasan bertindak. Jadi, apabila seorang mukalaf (orang yang berakal dan baligh)
melakukan tindakan yang mengandung unsur-unsur kemurtadan, dengan cara
terang-terangan baik dengan perkataan maupun perbuatan, orang tersebut
dikatakan telah murtad. Dengan ketentuan tersebut, berarti apabila tindakan
yang mengandung kemurtadan dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh dan
berakal atau dilakukan oleh orang gila, atau dilakukan dalam keadaan terpaksa,
orang tersebut tidak dianggap murtad.
g.
Pembagian Orang Murtad
Menurut Hukumnya
Orang yang murtad tidak
lepas dari tiga keadaan ;
Pertama: Mereka
berada dibawah kekuasaan Islam dan tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan
diri.
Para ulama dari keempat
madzhab telah sepakat bahwa orang-orang murtad yang berada di bawah kekuasaan
Islam dan tidak memiliki kekuatan : diberi tenggang waktu untuk bertaubat. Bila
dalam jangka waktu yang diberikan ia tetap tidak mau masuk Islam, maka ia
dihukum bunuh.
عَنْ عِكْرَمَةَ
قَال:أُتِىَ علَىٌ رَضِىَ اْللهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ,فَأَحْرَقَهُمْ, فَبَلَغَ
ذَلِكَ اِبْنُ عَبَّا سٍ, فَقَالَ: لَوْ كُنْتُ اَناَ لَمْ أُحَرِّقْهُمْ,لَنَهَى
رَسُولُ للهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَالِهِ وَسَلَّمْ, قَالَ:(لَا تُعَذِّبُوْا
بِعَذَاْ بِ اللهِ) وَلَقَتَلْتُهُمْ,لِقَوْلِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ
عَلَيْهِ وَأَلِهِ وَسَلَّمَ,(مَنْ بَدَّل دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ) رواه الجما عة
الا مسلما
Kepada ali dibawa beberapa orang zindiq*. Dan ali
membakar mereka. Kabar itu sampai ketelinga ibnu abbas, dan dia berkata:
sekiranya aku yang harus menghukum, aku tidak akan membakar mereka, karena
rasulullah melarangnya. Dia berkata: janganlah memaksa dengan siksaan Allah.
Aku hanya akan membunuh mereka, menginggat sabda rasulullah saw.: “ mereka yang
menukar agamanya,bunuhlah mereka”. (H.R. AL-Jamaah, selain muslim; Al-muntaqa
II:745).
Para ulama mengatakan,
bahwa zhahir hadist ini menyatakan, bahwa mereka yang keluar dari agama Islam
dibunuh. Dikecualikan jika mereka menukar agamanya tanpa diketahui orang
(menukar agama secara batin). Terhadap mereka diterapkan syariat yang berlaku
terhadap pemeluk islam. Pengecualian juga berlaku terhadap mereka yang harus
menukar agamanya karena di paksa.
h.
Hukuman Bagi Orang Yang Melakukan Ar-Ridah
Hukuman bagi orang yang
murtad disebutkan dalam hadis nabi SAW sebagai berikut :
عن ابن عباس رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, من بدل دينه فاقتلوه
“ diriwayatkan dari ibnu abbas bahwa rasulullah SAW
telah bersabda : “ barang siapa yang menukar agamanya ( dari islam kepada agama
yang lain) msks bunuhlsh dia.” ( Hr. bukhari).
Hukuman mati dalam
kasus pemurtadan telah disepakati tanpa keraguan lagi oleh keempat mazhab hukum
islam. Namun kalau seseorang dipaksa menguc=apkan sesuatu yang bearti murtad
sedangkan hatinya tetap beriman maka dalam keadaan demikian itu dia tidak akan
dihukum murtad. Firman allah dalam al-quran surat al-annahal ayat 106
menyebutkan:
Artinya : Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,
Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Meski demikian
ada pendapat pakar hukum islam tentang hukuman bagi pelaku ar-riddah ini.
Syekh Mahmud syaltut menyatakan bahwa orang murtad itu sanksinya diserahkan
kepada allah, tidak ada sanksi didunia atasnya. Allah swt bersabda:
Artinya: Barangsiapa
yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka
mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya ( qs. Al-baqarah:217)
Alasannya pertama,
dalam qur-an surat al-baqoroh ayat 217 diatas hanya menunjukan kesia-siaan amal
kebaikan orang murtad dan sanksi akhirat yaitu kekal dalam neraka.
Alasan lainnya adalah
kekafiran sendiri tidak menyebabkan bolehnya orang dihukum mati, sebab
membolehkan hukuman mati bagi orang yang kafir, itu adalah karena memerangi dan
memusuhi orang islam. Mohammad hasyim kamali juga mempertanyakan masalah
hukuman hadd
Bagi pelaku murtad ini
dengan menyatakan bahwa karena dalam al-quran hukuman pidana bagi pelakunya
tidak dinyatakan, maka sebenarnya sanksi atas perbuatan ini masuk dalam jenis
ta’zir bukan hudud.
Ada juga yang
berpendapat bahwa konsekuensi hukum setelah terjadinya riddah adalah:
1.
Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum
dijatuhi hukuman. Kalau dia mau bertobat dan kembali kepada Islam dalam rentang
waktu tiga hari maka diterima dan dibebaskan dari hukuman.
2.
Apabila dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengganti
agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
3.
Kemurtadannya menghalangi dia untuk memanfaatkan
hartanya dalam rentang waktu dia diminta tobat. Apabila dia bertobat maka
hartanya dikembalikan. Kalau dia tidak mau maka hartanya menjadi harta fai’
yang diperuntukkan bagi Baitul Maal sejak dia dihukum bunuh atau sejak
kematiannya akibat murtad. Dan ada pula ulama yang berpendapat hartanya
diberikan untuk kepentingan kebaikan kaum muslimin secara umum.
4.
Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari
kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya.
5.
Apabila dia mati atau terbunuh karena dijatuhi hukuman
murtad maka mayatnya tidak dimandikan, tidak disholati dan tidak dikubur di
pekuburan kaum muslimin akan tetapi dikubur di pekuburan orang kafir atau di
kubur di tanah manapun selain pekuburan umat Islam (lihat At-Tauhid li Shaffits
Tsaalits ‘Aliy, hal. 33)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Syirik yaitu
kepercayaan terhadap suatu benda yang mempunyai kekuatan tertentu atau juga
mempercayai hal-hal selain Allah Swt. Orang yang mempercayai hal tersebut
dinamakan Musyrik. Sedangkan orang musyrik itu adalah orang yang
mempersekutukan.
a) Sikap syirik dapat
merusak, bahkan dapat menggugurkan aqidah Islam. Oleh karena itu, kita harus
berhati-hati jangan sampai gerak hati, ucapan, dan perbuatan kita terbawa
kedalam kemusyrikan. Sebab ada syirik kecil dan syirik besar. Syirik kecil
dapat berubah menjadi syirik besar. Ada beberapa cara agar kita
bisa terhindar dari kesyirikan, di antaranya adalah:
1. Dengan mengikhlaskan
segala ibadah dan amal shalih kita hanya untuk mencari ridha Allah semata.
2. Mempelajari ilmu
tauhid yang murni dan benar sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah
SAW.
3. Mempelajari lawan dari
tauhid itu, yaitu syirik, baik itu definisinya, jenis-jenisnya, dan
contoh-contohnya.
4. Memperbanyak doa
kepada Allah agar diberikan keistiqomahan (keteguhan) di atas tauhid dan sunnah
dan agar dijauhkan dari segala bentuk kesyirikan dan kebid'ahan baik yang kita
ketahui ataupun tidak, baik yang kita sadari ataupun tidak.
Murtad berasal dari
kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda
‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat
Mu’jamul Wasith, 1/338).Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu
disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah :
menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam
keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia
dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di
dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217) (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy,
hal. 32)
Penulis Kristen yang
bersemangat sekali untuk menemukan ayat Qur’an yang menghukum mati orang
murtad, tak segan-segan lagi menerjemahkan kata fayamut (yang sebenarnya
berarti: lalu ia mati) mereka terjemahkan: lalu ia dihukum mati, suatu
terjemahan yang amat keliru. Kata fayamut adalah kata kerja aktif, dan
kata yamutu artinya ialah mati. Digunakannya kata itu membuktikan
seterang-terangnya bahwa perbutaan murtad tidaklah dihukum mati. Sebagian
mufassir menarik kesimpulan yang salah terhadap ayat yang berbunyi: “ini
adalah orang yang sia-sia amal perbuatannya”, ini tidaklah berarti bahwa ia
akan diperlakukan sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan kata amal
di sini ialah perbuatan baik yang ia lakukan selama ia menjadi Muslim. Amal
inilah yang akan menjadi sia-sia, baik di dunia maupun di akhirat setelah ia
murtad.
Sebagian Hadits
menerangkan bahwa mereka disiksa sampai mati. Jika ini terjadi sungguh-sungguh,
ini hanyalah sekedar hukum qisas, yang sebelum turun wahyu tentang hukum pidana
secara Islam, hukum qisas menjadi peraturan yang lazim. Sebagian Hadits
menerangkan bahwa segolongan orang dari kabilah ‘Ukul mencukil mata penjaga
unta, lalu digiringnya ke gunung batu yang panas, agar ia mati kesakitan. Oleh
sebab itu lalu mereka juga dihukum mati seperti itu. Tetapi Hadits lain
membantah tentang digunakannya hukum qisas dalam peristiwa tersebut. Menurut
Hadits ini, Nabi Suci berniat menyiksa mereka sampai mati sebagaimana telah
mereka lakukan terhadap si penjaga unta, tetapi sebelum beliau melaksanakan
hukuman itu, beliau menerima wahyu yang mengutarakan hukuman bagi mereka yang
melakukan pelanggaran semacam itu, yang berbunyi: “Adapun hukuman orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berbuat bencana di bumi, ialah mereka harus
dibunuh atau disalib atau dipotong tangan mereka berselang-seling, atau
dipenjara”. Jadi, menurut ayat ini, perbuatan murtad ialah melancarkan perang
terhadap Allah dan Rasul-Nya. Adapun hukumannya bermacam-macam selaras dengan
sifat kejahatan yang mereka lakukan. Adakalanya dihukum mati atau disalib
apabila ia menjalankan teror; tetapi adakalanya hanya dihukum penjara saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Latif Fakih, Deklarasi Tauhid
(Tangerang: Inbook, 2011)
Abdullah al-Wazaf, Ahmad Salamah dkk, Pokok-Pokok
Keimanan (Bandung: Trigenda Karya, 1994)
Fauzi Saleh, Menegakkan Pilar-Pilar Tauhid (Banda
Aceh: Ar-Raniry Press, 2007)
Shalih Bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid
(Jakarta: Ummul Qura, 2014)
[8] Abdullah al-Wazaf, Ahmad Salamah dkk, Pokok-Pokok
Keimanan (Bandung: Trigenda Karya, 1994), 252.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar