Rabu, 07 Juni 2017

MAKALAH MURTAD DAN SYIRIK



BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Fenomena umum masyarakat modern dengan arus globalisasi yang cenderung pada materialism-hedonistik sering mendewa-dewakan  harta, kedudukan dan kemewahan tanpa menghiraukan norma-norma agama. Kehidupan semacam ini dipengaruhi beberapa faktor, baik eksternal maupun internal dalam diri manusia itu sendiri, sehingga manusia sering kehilangan pedoman hidup (dustur al-hayah). Lebih dari itu, untuk mencapai keinginannya, manusia sering memakai media apa saja yang kiranya memberikan harapan menggapai keinginannya. Pada zaman sekarang ini, lebih dikenal dengan  perkembangan science dan teknologi, dimana manusia banyak berpikir ktitis dan rasional tapi masih ada yang percaya kepada mistik, berteman dengan jin, jual beli tuyul dan seterusnya. Perilaku ini terjadi karena  masih ada sifat Jahiliyah,  pengaruh animism dan dinamisme. Ironisnya, perbuatan semacam itu dikerjakan oleh orang-orang yang  mengaku dirinya agama Islam.[1]
B.       PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah diatas disebutkan banyak sekali penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan manusia seperti mempercayai mistik dan lain-lain yang bisa jatuh kedalam kesyirikan dan murtad oleh karena itu dalam perumusan masalah ini apa saja penyimpangan-penyimpangan tersebut sehingga manusia jauh dari agama fitrah.
C.      TUJUAN MASALAH
Makalah ini ditulis untuk mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan dalam kehidupan manusia, secara terperinci tujuan pembahasan dalam makalah ini ialah:
Mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan dalam  kehidupan manusia, adapun bentuk penyimpangan itu ialah: Syirik dan Murtad

BAB II
PEMBAHASAN

A.      SYIRIK
a.         Definisi Syirik Secara Etimologi
Perilaku-perilaku yang menyembah berbagai macam sesembahan itu dikenal dalam   Islam dengan “Syirk” (Polytheisme), yang berarti mempersekutukan  Tuhan yang Maha Esa dengan sesembahan  lain  yang mereka sembah. Sedangkan pelakunya disebut Musyrik.
Kata “Musyrik” adalah kata Arab dari asal kata kerja “Syarika” yang artinya berpatner atau bergabung atau bersekutu.[2]
Adapun “Syirik” dalam Bahasa Arab merupakan mashdar dari kata-kata: (asyraka-yusriku-syirk), misalnya: syirk billahi artinya menjadikan  sekutu bagi Allah.[3]
b.        Definisi Syirik Secara Terminologi
Adapun dari segi syara’, syirik adalah segala sesuatu  yang membatalkan  tauhid atau mencemarinya, dari apa saja yang dinamakan syirik dalam al-Qur’an dan  as-Sunnah.[4] Dengan kata lain syirik adalah mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan  sesuatu selain diri-Nya sebagai sembahan, obyek pemujaan atau tempat menggantungkan harapan dan  dambaan.[5] Ada pula yang mendefinisikan bahwa syirik adalah mewujudkan sesuatu  sebagai tandingan  bagi Allah baik dalam  ubudiyyah, uluhiyyah maupun asma dan sifat-Nya.[6]
Definisi lain tentang syirik ialah menyamakan  selain Allah dengan Allah dalam hal yang seharusnya ditujukan khusus untuk  Allah, seperti berdo’a meminta kepada selain Allah disamping berdoa’a memohon kepada Allah.[7]
Barang siapa yang beribadah kepada selain Allah berarti ia telah meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak menerimanya.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ.
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman: 13).
Sebagaimana disebutkan diatas tadi bahwa orang yang  melakukan syirik  itu disebut dengan musyrik, adalah keyakinan  bahwa disamping Allah swt, itu ada sembahan  lain. Keyakinan semacam ini jelas kontradiksi dengan jiwa tauhid (Meng Esakan Allah) yang  diajarkan Islam, karena Laa Ilaha illallah (tidak ada Tuhan yang bereksistensi dan berhak disembah selain Allah swt). Oleh karena itu, perbuatan syirik itu termasuk dosa yang paling besar.[8]
Sebagaimana  Allah berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُّشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَّشَاءُ  وَمَنْ يُّشْرِكْ بِا اللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (menyekutukan Allah swt), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang menyekutukan Allah, maka dia sungguh telah berbuat dosa yang besar.” (Q.S. an-Nisaa’: 48).
Perbuatan  syirik itu jelas kontradiksi  dengan keimanan, sebab keimanan yang murni  ialah yang  bertauhid (meng Esa-kan  Allah swt), sehingga jika ada yang  mengaku beriman tetapi mengaku banyak Tuhan  atau masih ada Tuhan yang disembah selain Allah, maka perbuatan  itu akan ditolak Allah swt.


c.         Macam-Macam Syirik
Syirik ada dua macam:
a)        Syirik Besar
Syirik besar dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam dan  menempatkannya kekal di dalam neraka bila hingga meninggal dunia ia belum  bertobat darinya. Definisi Syirik al-akbar yakni menjadikan sekutu bagi Allah, baik dalam masalah rububiyah, uluhiyah atau asma dan sifat-Nya.[9] Definisi lain syirik besar ialah memalingkan suatu ibadah untuk selain Allah.[10]
Syirik besar ada empat macam:[11]
1.      Syirkud Da’wah (syirik do’a). Berdo’a memohon kepada selain Allah disamping memohon kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُوْا فِى الْفُلْكِ دَعَوُا اللهِ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ فَلَمَّا نَجَّهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُوْنَ.
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan kataatan kepada-Nya. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai kedarat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (Q.S. al-Ankabut: 65).
2.      Syirkun Niyyah wal Iradah wal Qashd (syirik niat), yaitu memperuntukkan dan meniatkan suatu ibadah kepada selain Allah. Allah Ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُالْحَيَوةَ الدُّنْيَا وَزَيْنَتُهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَايُبْخَسُونَ. أُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبَطِلٌ مَّا كَنُوْا يَعْمَلُوْنَ. 
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia  dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. Hud: 15-16).
3.      Syirk Tha’ah (syirik ketaatan); yaitu mentaati selain Allah dalam bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَنَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوْا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَيْهَا وَاحِدًا لَّاإِلَهَ إِلَّا إِلَّاهُوَ سُبْحَنَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ.
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam,  padahal mereka hanya  disuruh menyembah Tuhan  Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak diibadahi) selain Dia, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.S. Taubah: 31).
4.      Syirkul Mahabbah (syirik kecintaan); menyamakan kecintaan kepada selain Allah dengan kecintaan  kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ  وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْا أَشَدُّ حُبًّا لِلهِ  وَلَوْيَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلهِ جَمِيْعًا وَأَنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعَذَابَ.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan  selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah. Dan seandainya orang-orang  yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan  Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Q.S. al-Baqarah: 165).
b)       Syirik Kecil
Syirik kecil tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam tapi dapat mengurangi (nilai) tauhid dan dapat menjadi perantara kepada syirik besar.
Syirik kecil terbagai menjadi dua:[12]
1.      Syirik Dzahir/al-Jaliy (Syirik yang Nampak); berupa perkataan dan perbuatan.
Contoh perkataan, seperti bersumpah dengan nama selain Allah. Rasulullah bersabda: “Barang siapa bersumpah dengan nama selain Allah, sungguh ia telah berbuat kekufuran atau kesyirikan.”
Contoh perbuatan, seperti mengenakan kalung atau benang untuk mengusir dan  bala’, memakai jimat karena khawatir terkena penyakir dan perbuatan lainnya.
2.      Syirik Khafiy (Tidak Nampak); yaitu kesyirikan yang terdapat pada keinginan dan niat, seperti riya (ingin dilihat orang).
d.        Bertaubat Dari Syirik
Adapun bertaubat dari perbuatan kedua jenis syirik tersebut tentunya disesuaikan dengan jenis syiriknya. Bila bertaubat dari syirik akbar tentunya dengan masuk Islam kembali, karena pada hakekatnya pelakunya telah murtad (keluar dari Islam). Sedangkan bretaubat dari syirik ashghor ialah dengan meminta ampun kepada Allah Ta’ala dan menyempurnakan tauhidnya sehingga terjauh dari kedua jenis syirik tersebut. Maka kita harus rajin-rajin mempelajari tauhid dan segala prebuatan syirik yang akan merusakkannya. Dan setiap saat kita harus bertaubat dari perbuatan syirik yang kita ketahui atau yang kita tidak ketahui.
e.         Dosa Syirik
Syirik adalah dosa besar, karena:
1.      syirik adalah tindakan penyerupaan makhluk dengan khaliq dalam masalah-masalah ketuhanan (uluhiyah). Mensejajarkan (menyekutukan) sesuatu bersama Allah adalah tindak penyerupaan sesuatu itu dengan Allah. Ini adalah kedzaliman yang besar. Allah SWT berfirman [إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ] (sesungguhnya syirik itu benar-benar merupakan kedzaliman yang besar). Dzalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya dan mempersembahkannya bukan kepada yang berhak.
2.      Allah mengabarkan bahwa Dia tidak mengampuni dosa syirik, jika ia tidak bertaubat. Allah SWT berfirman: [إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا ] (Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar).
3.      Allah mengabarkan bahwa Dia mengharamkan surga bagi orang musyrik dan bahwasanya ia akan kekal dan dikekalkan di neraka jahannam. Allah berfirman: [إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ ]” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun).
4.      Allah memberitakan bahwa syirik itu melenyapkan pahala semua amalan. Allah berfirman: [وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ] ( Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan), juga firman-Nya: [وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ] (Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: \\\\\\\\\\\\\\\”Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi) dsb.
Sikap Yang Dianjurkan Dalam Menghadapi Kaum Musyrik
Thema Al-Qur’an tentang syirik adalah thema yang sangat serius, mengandung pesan-pesan yang sangat berharga, nasehat-nasehat bijak demi kebaikan dan kesejahteraan ummat manusia. Masalah syirik adalah masalah yang memamng serius, oleh karenanya haruslah kita hadapi dengan serius dan penuh kesabaran.
Di bawah ini adalah sikap-sikap yang dianjurkan dalam menghadapi kaum musyrikin sesuai ajaran Al-Qur’an:
1.      Nabi Ibrahim harus dijadikan contoh, seorang nabi yang hanif tidak musyrik , selalu berdakwah dengan hikmah , mau’idhah hasanah dan logika sehat .
2.      Mencari titik temu dengan kaum musyrikin dan ahlul kitab untuk bertauhid saja (dialog / dakwah billisan)
3.      Aktif menyuarakan tauhid dan menginformasikan kesesatan-kesesatan dan kelemahan syirik dan akibatnya .
4.      Ikrar tauhid di hadapan Allah dan manusia
5.      Tidak menikahkan kaum mu’min dengan kaum musyrikin,baik laki-laki mauun perempuan
B.       MURTAD
a.         Pengertian Murtad
Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul Wasith, 1/338).Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah : menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217)
b.        Macam – Macam Riddah
a)        Riddah dengan sebab ucapan
Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu.
b)        Riddah dengan sebab perbuatan
Seperti contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di tempat-tempat yang kotor, melakukan prkatek sihir, mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.
c)        Riddah dengan sebab keyakinan
Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini bahwa sholat itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati keharamannya.
d)       Riddah dengan sebab keraguan
Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32-33)
c.         Persoalan Murtad Menurut Qur’an
Qur’an Suci adalah sumber syari’at Islam yang paling utama; oleh sebab itu akan kami dahulukan. Soal pertama, dalam Qur’an tak ada satu ayat pun yang membicaraan perihal murtad secara kesimpulan. Irtidad atau perbuatan murtad yang terjadi karena menyatakan diri sebagai orang kafir atau terang-terangan mengingkari Islam, ini tak dapat dijadikan patokan, karena adakalanya orang yang sudah mengaku Islam, mempunyai pendapat atau melakukan perbuatan yang menurut penilaian ulama ahli fiqih, bukanlah bersumber kepada Islam. Mencaci-maki seorang Nabi atau menghina Qur’an, acapkali dijadikan alasan untuk memperlakukan seseorang sebagai orang murtad, sekalipun ia secara sungguh-sungguh mengaku sebagai orang beriman kepada Qur’an dan Nabi.
Soal kedua, pengertian umum bahwa Islam menghukum mati orang murtad, ini tak ada dalilnya dalam Qur’an Suci. Dalam Encyclopaedia of Islam, tuan Heffeming mengawali tulisannya tentang masalah murtad dengan kata-kata: “Dalam Qur’an, ancaman hukuman terhadap orang yang murtad hanya akan dilakukan di Akhirat saja”. Dalam salah satu wahyu Makkiyah terakhir, terdapat uraian: “Barangsiapa kafir kepada Allah sesudah beriman -bukannya ia dipaksa, sedang hatinya merasa tentram dengan iman, melainkan orang yang membuka dadanya untuk kekafiran-, mereka akan ditimpa kutuk Allah, dan mereka akan mendapat siksaan yang pedih” . Dari ayat ini terang sekali bahwa orang murtad akan mendapat siksaan di Akhirat, dan hal ini tak diubah oleh wahyu yang diturunkan belakangan takala pemerintah Islam telah berdiri, setelah Nabi Suci hijrah ke Madinah.
Adapun dalil yang paling meyakinkan bahwa orang murtad tidak dihukum mati, ini tercantum dalam rencana kaum Yahudi yang diangan-angankan selagi mereka hidup di bawah pemerintahan Islam di Madinah. Qur’an berfirman: “Dan golongan kaum Ahli Kitab berkata: Berimanlah kepada apa yang diturunkan kepada arang-orang yang beriman pada bagian permulaan hari itu, dan kafirlah pada bagian terakhir hari itu”.
Bagaimana mungkin orang yang hidup di bawah pemerintahan Islam dapat meng-angan-angankan rencana semacam itu yang amat merendahkan martabat Islam, jika perbuatan murtad harus dihukum mati? Surat al-Maidah adalah Surat yang diturunkan menjelang akhir hidup Nabi Suci, namun dalam Surat itu perbuatan murtad dibebaskan dari segala hukuman dunia: “Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan kaum yang Allah cinta kepada mereka dan mereka cinta kepada-Nya“.
d.        Persoalan Murtad Menurut Hadits
Marilah kita sekarang meninjau uraian Hadits, yang dalil Hadits inilah yang dipakai oleh kitab-kitab fiqih sebagai dasar adanya hukuman mati bagi kaum murtad. Tak sangsi lagi bahwa uraian Hadits yang bersangkutan mencerminkan uraian yang timbul belakangan, namun demikian, jika Hadits itu kita pelajari dengan teliti, sampailah pada kesimpulan, bahwa perbuatan murtad tidaklah dihukum, terkecuali apabila perbuatan murtad itu dibarengi dengan peristiwa lain yang menuntut suatu hukuman bagi pelakunya. Imam Bukhari yang tak sangsi lagi merupakan penulis Hadits yang paling teliti dan paling hati-hati, amatlah tegas dalam hal ini.
Dalam Kitab Bukhari terdapat dua bab yang membahas masalah murtad; yang satu berbunyi: Kitabul-muharibin min ahlil-kufri wariddah, artinya Kitab tentang orang yang berperang (melawan kaum Muslim) dari golongan kaum kafir dan kaum murtad. Adapun yang satu lagi berbunyi: Kitab istita-bal-mu’anidin wal-murtadin wa qitalihim, artinya Kitab tentang seruan bertobat bagi musuh dan kaum murtad dan berperang melawan mereka.
Dua judul itu sudah menjelaskan sendiri. Judul yang pertama, menerangkan seterang-terangnya bahwa yang dibicarakan hanyalah kaum murtad yang berperang melawan kaum Muslimin. Adapun judul yang kedua, hubungan kaum murtad dengan musuh-musuh Islam. Itulah yang sebenarnya menjadi pokok dasar seluruh persoalan; hanya karena salah paham sajalah maka dirumuskan suatu ajaran yang bertentangan dengan ajaran Qur’an yang terang-benderang.
Banyak sekali orang yang hanya menekankan satu Hadits yang berbunyi: “Barangsiapa murtad dari agamanya, Bunuhlah dia”. Tetapi mengingat apa yang diungkapkan dalam Kitab Bukhari bahwa yang dimaksud murtad ialah orang yang berbalik memerangi kaum Muslimin, dan menghubungkan nama mereka dengan nama-nama musuh Islam, maka terang sekali bahwa yang dimaksud oleh Hadits tersebut ialah orang yang mengubah agamanya dan bergabung dengan musuh-musuh Islam lalu bertempur melawan kaum Muslimin.
Hanya dengan pembatasan dalam arti itulah, maka Hadits tersebut dapat disesuaikan dengan Hadits lain, atau dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Qur’an Suci. Sebenarnya, kata-kata Hadits tersebut begitu luas sehingga mencakup segala pergantian agama, agama apa saja. Jika demikian, maka orang non-Muslim yang masuk Islam, atau orang Yahudi yang masuk Kristen, harus dibunuh. Terang sekali bahwa uraian semacam itu tak dapat dilakukan kepada Nabi Suci. Maka Hadits tersebut tak dapat diterima begitu saja tanpa diberi pembatasan dalam artinya.
e.         PERBUATAN MURTAD DALAM FIQIH
Jika kita membaca kitab fiqih, di sana diuraikan bahwa mula-mula para ulama fiqih menggariskan satu prinsip yang bertentangan sekali dengan Qur’an Suci, yakni orang dapat dihukum mati karena murtad. Dalam Kitab Hidayah diuraikan: “Orang yang murtad, baik orang merdeka maupun budak, kepadanya disajikan agama Islam; jika ia menolak, ia harus dibunuh”.  Tetapi setelah Kitab Hidayah menguraikan prinsip tersebut, segera disusul dengan uraian yang bertentangan dengan menyebut orang murtad sebagai “orang kafir yang melancarkan perang (kafir harbiy) yang kepadanya telah disampaikan dakwah Islam”. Ini menunjukkan bahwa dalam Kitab Fiqih pun, orang murtad yang dihukum mati, ini disebabkan karena ia musuh yang memerangi kaum Muslimin.
Adapun mengenai perempuan yang murtad, mereka tidak dihukum mati, karena alasan berikut ini: “Alasan kami mengenai hal ini ialah, bahwa Nabi Suci melarang membunuh kaum perempuan dan karena pembalasan yang sebenarnya (bagi kaum mukmin dan kafir) itu ditangguhkan hingga Hari Kiamat, dan mempercepat pembalasan terhadap mereka di dunia akan menyebabkan kekacauan, dan penyimpangan dari prinsip ini hanya diperbolehkan apabila terjadi kerusakan di bumi berupa pertempuran, dan hal ini tak mungkin dilakukan oleh kaum perempuan, karena kondisi mereka tak mengizinkan”.
Ulama yang menafsiri kitab itu menambahkan keterangan: “Menghukum mati orang murtad itu wajib, karena ini akan mencegah terjadinya pertempuran yang merusakkan, dan ini bukanlah hukuman karena menjadi kafir” (idem). Selanjutnya ditambahkan keterangan sebagai berikut: “Hanya karena kekafiran saja, tidaklah menyebabkan orang boleh dibunuh menurut hukum” (idem). Terang sekali bahwa dalam hal pertempuran dengan kaum kafir, ulama ahli fiqih berbuat kesalah-pahaman, dan nampak sekali terjadi pertentangan antara prinsip yang digariskan oleh Qur’an dengan kesalah-pahaman yang masuk dalam pikiran ulama ahli fiqih. Qur’an Suci menggariskan seterang-terangnya bahwa orang murtad dihukum mati, bukan karena kekafirannya melainkan karena hirab atau memerangi kaum Muslimin.
Adapun alasannya dikemukakan seterang-terangnya bahwa menghukum mati orang karena kekafiran, ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Tetapi ulama ahli fiqih salah paham, bahwa kemampuan berperang, mereka anggap sebagai keadaan perang, suatu anggapan yang tak masuk akal samasekali. Jika itu yang dimaksud, bahwa orang murtad mempunyai kemampuan berperang, anak kecil dan erempuan pun dapat disebut harbiy (orang berperang), karena anak kecil dan perempuan itu akan tumbuh menjadi besar dan mempunyai kemampuan berperang.
f.          Faktor Penyebab
Sebenarnya faktor penyebab murtad dalam Islam, dapat diklasifikasi sedemikian rupa. Berbagai hal yang menyebabkan seorang muslim keluar dari Islam atau murtad, atau gugurnya seorang muslim dari ke Islamannya secara global dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu dengan perbuatan, ucapan dan niat.
Kehormatan seorang sesungguhnya terletak di dalam satu perkataannya saja, yaitu dalam aqidah atau kepercayaannya. Aqidah merupakan rantai hubungan antara manusia sesama manusia dan juga antara manusia dengan Tuhannya. Bahwa orang muslim yang menyekutukan Allah swt, mengingkari-Nya dan sebagainya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, Qadha dan Qadar, dan lain sebagainya. Orang yang tidak percaya apa saja dari inti ajaran Islam, orang yang seperti ini dapat dikatakan murtad.
Murtad dengan aksi atau perbuatan adalah sengaja melakukan perbuatan haram dengan maksud melecehkan Islam seperti sujud kepada patung atau matahari, sementara murtad dengan perkataan adalah seperti mengatakan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, ingkar atas eksistensi malaikat, menggingkari Muhammad sebagai nabi, menghujat pada Nabi saw atau nabi¬nabi terdahulu, mengingkari hari akhir, mengatakan al-Quran bukan firman Allah atau al-Quran itu tidak relevan bagi kehidupan kontemporer.
Imam mazhab (Syafi’i, Abu Hanifah, Malik ibn Anas dan Ahmad ibn Hanbal) menjadikan faktor aksi atau perbuatan sebagai parameter untuk mengukur skala murtad atau tidaknya seorang muslim, jadi tidak dititik beratkan pada faktor intense atau niat. Sehingga bagi mereka, vonis murtad itu sudah valid meskipun cuma bersandar pada perkataan dan tindakan melakukan praktik keagamaan terlarang maupun bermaksud untuk menghina dan merendahkan agama Islam.
Para fuqaha sepakat bahwa menyekutukan Allah atau mengingkari-Nya atau menafikan-Nya sifat-sifat-Nya, atau menetapkan bagi Allah sesuatu yang diingkari-Nya seperti anak, mengingkari hari akhir, mengingkari hari hisab, mengingkari surga neraka, mengingkari malaikat adalah perbuatan yang menjadikan seorang kafir. Oleh karena itu apabila tindakan tersebut dilakukan oleh orang-orang beriman, maka dia dapat dianggap murtad. Demikian juga orang Islam yang mengingkari masalah yang ditetapkan dengan dalil yang mutawatir seperti wajibnya shalat, juga dianggap murtad. Selain itu, orang Islam yang menyatakan tentang qadimnya alam, juga dianggap murtad.
Selain itu, ada persyaratan yang harus dipenuhi seorang untuk bisa disebut murtad. Seorang dapat dianggap murtad, apabila memenuhi syarat aqil, baligh, dan mempunyai kebebasan bertindak. Jadi, apabila seorang mukalaf (orang yang berakal dan baligh) melakukan tindakan yang mengandung unsur-unsur kemurtadan, dengan cara terang-terangan baik dengan perkataan maupun perbuatan, orang tersebut dikatakan telah murtad. Dengan ketentuan tersebut, berarti apabila tindakan yang mengandung kemurtadan dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh dan berakal atau dilakukan oleh orang gila, atau dilakukan dalam keadaan terpaksa, orang tersebut tidak dianggap murtad.
g.         Pembagian Orang Murtad Menurut Hukumnya
Orang yang murtad tidak lepas dari tiga keadaan ;
Pertama:  Mereka berada dibawah kekuasaan Islam dan tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri.
Para ulama dari keempat madzhab telah sepakat bahwa orang-orang murtad yang berada di bawah kekuasaan Islam dan tidak memiliki kekuatan : diberi tenggang waktu untuk bertaubat. Bila dalam jangka waktu yang  diberikan ia tetap tidak mau masuk Islam, maka ia dihukum bunuh.
 عَنْ عِكْرَمَةَ قَال:أُتِىَ علَىٌ رَضِىَ اْللهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ,فَأَحْرَقَهُمْ, فَبَلَغَ ذَلِكَ اِبْنُ عَبَّا سٍ, فَقَالَ: لَوْ كُنْتُ اَناَ لَمْ أُحَرِّقْهُمْ,لَنَهَى رَسُولُ للهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَالِهِ وَسَلَّمْ, قَالَ:(لَا تُعَذِّبُوْا بِعَذَاْ بِ اللهِ) وَلَقَتَلْتُهُمْ,لِقَوْلِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَأَلِهِ وَسَلَّمَ,(مَنْ بَدَّل دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ) رواه الجما عة الا مسلما
Kepada ali dibawa beberapa orang zindiq*. Dan ali membakar mereka. Kabar itu sampai ketelinga ibnu abbas, dan dia berkata: sekiranya aku yang harus menghukum, aku tidak akan membakar mereka, karena rasulullah melarangnya. Dia berkata: janganlah memaksa dengan siksaan Allah. Aku hanya akan membunuh mereka, menginggat sabda rasulullah saw.: “ mereka yang menukar agamanya,bunuhlah mereka”. (H.R. AL-Jamaah, selain muslim; Al-muntaqa II:745).
Para ulama mengatakan, bahwa zhahir hadist ini menyatakan, bahwa mereka yang keluar dari agama Islam dibunuh. Dikecualikan jika mereka menukar agamanya tanpa diketahui orang (menukar agama secara batin). Terhadap mereka diterapkan syariat yang berlaku terhadap pemeluk islam. Pengecualian juga berlaku terhadap mereka yang harus menukar agamanya karena di paksa.
h.        Hukuman Bagi Orang Yang Melakukan Ar-Ridah
Hukuman bagi orang yang murtad disebutkan dalam hadis nabi SAW sebagai berikut :

عن ابن عباس رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, من بدل دينه فاقتلوه
“ diriwayatkan dari ibnu abbas bahwa rasulullah SAW telah bersabda : “ barang siapa yang menukar agamanya ( dari islam kepada agama yang lain) msks bunuhlsh dia.” ( Hr. bukhari).
Hukuman mati dalam kasus pemurtadan telah disepakati tanpa keraguan lagi oleh keempat mazhab hukum islam. Namun kalau seseorang dipaksa menguc=apkan sesuatu yang bearti murtad sedangkan hatinya tetap beriman maka dalam keadaan demikian itu dia tidak akan dihukum murtad. Firman allah dalam al-quran  surat al-annahal ayat 106 menyebutkan:
Artinya : Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Meski demikian ada  pendapat pakar hukum islam tentang hukuman bagi pelaku ar-riddah ini. Syekh Mahmud syaltut menyatakan bahwa orang murtad itu sanksinya diserahkan kepada allah, tidak ada sanksi didunia atasnya. Allah swt bersabda:
Artinya: Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya ( qs. Al-baqarah:217)
Alasannya pertama, dalam qur-an surat al-baqoroh ayat 217 diatas hanya menunjukan kesia-siaan amal kebaikan orang murtad dan sanksi akhirat yaitu kekal dalam neraka.
Alasan lainnya adalah kekafiran sendiri tidak menyebabkan bolehnya orang dihukum mati, sebab membolehkan hukuman mati bagi orang yang kafir, itu adalah karena memerangi dan memusuhi orang islam. Mohammad hasyim kamali juga mempertanyakan masalah hukuman hadd
Bagi pelaku murtad ini dengan menyatakan bahwa karena dalam al-quran hukuman pidana bagi pelakunya tidak dinyatakan, maka sebenarnya sanksi atas perbuatan ini masuk dalam jenis ta’zir bukan hudud.
Ada juga yang berpendapat bahwa konsekuensi hukum setelah terjadinya riddah adalah:
1.        Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum dijatuhi hukuman. Kalau dia mau bertobat dan kembali kepada Islam dalam rentang waktu tiga hari maka diterima dan dibebaskan dari hukuman.
2.        Apabila dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
3.        Kemurtadannya menghalangi dia untuk memanfaatkan hartanya dalam rentang waktu dia diminta tobat. Apabila dia bertobat maka hartanya dikembalikan. Kalau dia tidak mau maka hartanya menjadi harta fai’ yang diperuntukkan bagi Baitul Maal sejak dia dihukum bunuh atau sejak kematiannya akibat murtad. Dan ada pula ulama yang berpendapat hartanya diberikan untuk kepentingan kebaikan kaum muslimin secara umum.
4.        Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya.
5.        Apabila dia mati atau terbunuh karena dijatuhi hukuman murtad maka mayatnya tidak dimandikan, tidak disholati dan tidak dikubur di pekuburan kaum muslimin akan tetapi dikubur di pekuburan orang kafir atau di kubur di tanah manapun selain pekuburan umat Islam (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 33)





















BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Syirik yaitu kepercayaan terhadap suatu benda yang mempunyai kekuatan tertentu atau juga mempercayai hal-hal selain Allah Swt. Orang yang mempercayai hal tersebut dinamakan Musyrik. Sedangkan orang musyrik itu adalah orang yang mempersekutukan.
a)      Sikap syirik dapat merusak, bahkan dapat menggugurkan aqidah Islam. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati jangan sampai gerak hati, ucapan, dan perbuatan kita terbawa kedalam kemusyrikan. Sebab ada syirik kecil dan syirik besar. Syirik kecil dapat berubah menjadi syirik besar. Ada beberapa cara agar kita bisa terhindar dari kesyirikan, di antaranya adalah:
1.      Dengan mengikhlaskan segala ibadah dan amal shalih kita hanya untuk mencari ridha Allah semata.
2.      Mempelajari ilmu tauhid yang murni dan benar sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
3.      Mempelajari lawan dari tauhid itu, yaitu syirik, baik itu definisinya, jenis-jenisnya, dan contoh-contohnya.
4.      Memperbanyak doa kepada Allah agar diberikan keistiqomahan (keteguhan) di atas tauhid dan sunnah dan agar dijauhkan dari segala bentuk kesyirikan dan kebid'ahan baik yang kita ketahui ataupun tidak, baik yang kita sadari ataupun tidak.
Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul Wasith, 1/338).Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah : menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217) (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)
Penulis Kristen yang bersemangat sekali untuk menemukan ayat Qur’an yang menghukum mati orang murtad, tak segan-segan lagi menerjemahkan kata fayamut (yang sebenarnya berarti: lalu ia mati) mereka terjemahkan: lalu ia dihukum mati, suatu terjemahan yang amat keliru. Kata fayamut adalah kata kerja aktif, dan kata yamutu artinya ialah mati. Digunakannya kata itu membuktikan seterang-terangnya bahwa perbutaan murtad tidaklah dihukum mati. Sebagian mufassir menarik kesimpulan yang salah terhadap ayat yang berbunyi: “ini adalah orang yang sia-sia amal perbuatannya”, ini tidaklah berarti bahwa ia akan diperlakukan sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan kata amal di sini ialah perbuatan baik yang ia lakukan selama ia menjadi Muslim. Amal inilah yang akan menjadi sia-sia, baik di dunia maupun di akhirat setelah ia murtad.
Sebagian Hadits menerangkan bahwa mereka disiksa sampai mati. Jika ini terjadi sungguh-sungguh, ini hanyalah sekedar hukum qisas, yang sebelum turun wahyu tentang hukum pidana secara Islam, hukum qisas menjadi peraturan yang lazim. Sebagian Hadits menerangkan bahwa segolongan orang dari kabilah ‘Ukul mencukil mata penjaga unta, lalu digiringnya ke gunung batu yang panas, agar ia mati kesakitan. Oleh sebab itu lalu mereka juga dihukum mati seperti itu. Tetapi Hadits lain membantah tentang digunakannya hukum qisas dalam peristiwa tersebut. Menurut Hadits ini, Nabi Suci berniat menyiksa mereka sampai mati sebagaimana telah mereka lakukan terhadap si penjaga unta, tetapi sebelum beliau melaksanakan hukuman itu, beliau menerima wahyu yang mengutarakan hukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran semacam itu, yang berbunyi: “Adapun hukuman orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berbuat bencana di bumi, ialah mereka harus dibunuh atau disalib atau dipotong tangan mereka berselang-seling, atau dipenjara”. Jadi, menurut ayat ini, perbuatan murtad ialah melancarkan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Adapun hukumannya bermacam-macam selaras dengan sifat kejahatan yang mereka lakukan. Adakalanya dihukum mati atau disalib apabila ia menjalankan teror; tetapi adakalanya hanya dihukum penjara saja.




























DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latif Fakih, Deklarasi Tauhid (Tangerang: Inbook, 2011)
Abdullah al-Wazaf, Ahmad Salamah dkk, Pokok-Pokok Keimanan (Bandung: Trigenda Karya, 1994)
Fauzi Saleh, Menegakkan Pilar-Pilar Tauhid (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007)
Shalih Bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid (Jakarta: Ummul Qura, 2014)


[1] Fauzi Saleh, Menegakkan Pilar-Pilar Tauhid (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007), 45.
[2] Abdul Latif Fakih, Deklarasi Tauhid (Tangerang: Inbook, 2011), 14.
[3] Fauzi Saleh, Pilar-Pilar Tauhid (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007), 48.
[4] Ibid, 50.
[5] Ibid, 51
[6] Ibid, 51
[7] Dr. Shalih Bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid (Jakarta: Ummul Qura, 2014), 329.
[8] Abdullah al-Wazaf, Ahmad Salamah dkk, Pokok-Pokok Keimanan (Bandung: Trigenda Karya, 1994), 252.
[9] Fauzi Saleh, Pilar-Pilar Tauhi, hal 51.
[10] Dr. Shalih Bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid hal 332
[11] Ibid. 333
[12] Dr. Shalih Bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid, hal 335-336.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...