Rabu, 07 Juni 2017

MAKALAH NASIKH DAN MANSUKH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ia meninggalkan dua kitab yang akan menjadi pedoman manusia hidup di dunia agar tidak tersesat yaitu Al-qur’an dan Al-hadits. Allah juga menurunkan syariat samawiyah kepada para utusanNya untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan muamalah. Tentang bidang ibadah dan mu’amalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat. Tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Dengan demikian hikmah tasyri’ (pemberlakuan hukum) pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’ pada periode yang lain. Tetepi tidak diragukan bahwa pembuat syari’at, yaitu Allah, rahmat dan ilmuNya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya milikNya.
Oleh sebab itu, wajarlah jika Allah menghapuskan sesuatu syari’at dengan syari’at lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuanNya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Nasikh dan Mansukh dan Syarat-syaratnya?
2.      Mkana Nasikh dan Mansukh
3.      Ayat Nasikh dan Mansukh
4.      Mengapa terjadinya Nasikh dan Mansukh
5.      Bagaiaman pendapt ulama dan hikahnya Nasikh dan Mansukh



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh dan Syarat-Syaratnya
Nasikh menurut bahasa memilki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan. Misalnya dikatakan nasakhat asy-syamsu azh-zhilla, artinya matahari menghilangkan bayang-bayang dan nasakhat ar-rih atsara al-masyyi, artinya angin menghapuskan jejak langkah kaki. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya:nasakhtu al- kitab, artinya, saya menyalin isi kitab. Didalam Al-quran dikatakan:
هَٰذَا كِتَابُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ 
Artinya: “ Sesunguhnya kami menyuruh untuk menasakhkan apa dahulu kalian kerjakan.” (Al-jatsiyah:29).
Maksudnya, kami (Allah) memindahkan amal perbuatan kedalam lembaran-lembaran catatan amal.
Sedangkan menurut istilah nakh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.” Disebutkan disini kata “hukum”, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” (Al-Bara’ah Al-ashliyah) tidak termasuk yang di naskh. Kata-kata “dengan dalil hukum syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas. Contohnya:
وَ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui. Disitulah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah [2] : 115.)
              Kemudian di nasakh oleh ayat:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya: “maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram....”
(QS. Al-Baqarah:144)
Ada yang berpendapat inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak di naskh  sebab ia berkanaan dengan sholat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan diatas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan daruarat. Dengan demikian, hkum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam Ash-Shahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan sholat fardlu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah kehadap Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
Sedangkan pengertian mansukh adalah hukum yang diangkat atau
dihapuskan. Maka ayat mawarits (warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat.
       Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
a.       Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
b.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian hari khitab yang hukumnya di mansukh
c.       Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhiranya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Makki berkata: “segolongan Ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah: “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya” (QS. Al-Baqarah;109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu, dan sesuatu yang dibatasi oleh waktu tidak ada naskh di dalamnya.
B.     Mkana Nasikh dan Mansukh
1.      Menghapuskan (izalah), firman Allah Ta'ala: 
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ۬ وَلَا نَبِىٍّ إِلَّآ إِذَا تَمَنَّىٰٓ أَلۡقَى ٱلشَّيۡطَـٰنُ فِىٓ أُمۡنِيَّتِهِۦ فَيَنسَخُ ٱللَّهُ مَا يُلۡقِى ٱلشَّيۡطَـٰنُ ثُمَّ يُحۡڪِمُ ٱللَّهُ ءَايَـٰتِهِۦ‌ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ۬
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak [pula] seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, (52(Q.S. Al-Hajj: 52).
2.      Mengganti (tabdil), firman Allah: 
وَإِذَا بَدَّلۡنَآ ءَايَةً۬ مَّڪَانَ ءَايَةٍ۬‌ۙ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوٓاْ إِنَّمَآ أَنتَ مُفۡتَرِۭ‌ۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (101)(Q.S. An-Nahl: 101).
3.      Mengalihkan / mengubah (tahwil), seperti mengalihkan warisan seseorang kepada orang lain.
4.      Memindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Diantaranya memindahkan (transcrib) suatu kitab. Dalam pengertian ini tidak mungkin terjadi di dalam al-Qur'an.

C.    Ayat Nasikh dan Mansukh
Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam:
Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”.
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya”.
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”.
Kedua : Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, mutlaq, zhahir, dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”.
D.    Mengapa terjadinya Nasikh dan Mansukh
Nasikh Mansukh salah satu obyek kajian yang sangat penting dalam ilmu-ilmu Al Quran, tidak boleh diabaikan bagi orang yang menekuni spesialisasi dalam bidang tafsir Al Quran. Begitu pula bagi pemerhati kajian-kanjian yurisprudensi islam, merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan dalam memicu perbedaan ulama tafsir dalam menginterpretasi ayat-ayat Al Quran.
Di kalangan mayoritas ulama-ulama islam di berbagai bidang, sudah menjadi sebuah opini umum yang mapan dan paten bahwa tidak ada kemustahilan atas konsekuensi adanya NASIKH MANSUKH, justru jika dicermati realitas kehidupan manusia yang selalu berubah-ubah disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Sedangkan islam dalam sisi idealitasnya -mewujudkan maslahat manusia- adalah sebagai sasaran pokok dalam perundang-undangannya menghendaki adanya Nasikh.
Nasikh adalah perbuatan Allah SWT Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, Dia memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tidak berarti ia sewenang-wenang dan menganiyaya, tapi semua hukum dan perbuatannya penuh dengan Hikmah dan Pengetahuan. terkadang dapat dideteksi oleh rasio dan kadang pula tersembunyi di balik tirai alam ghaib, untuk menguji loyalitas hamba-Nya.
Selama mengaktualisasikan maslahat manusia di muka bumi ini, sebagai inti dasar dan proses pijakan rel perundang-undangan dalam islam, yang pada tabiatnya sebagaian maslahat itu sendiri nisbi atau berubah-ubah, maka pemberhentian masa berlaku sebagian hukum dalam islam sangat relevan dengan keuniversalanya sebagai agama Shalihun Li Kulli Zaman Wal Makaan. Adanya pemberhentian masa berlaku sebagian hukum, karena perubahan dan perkembangan zaman, merupakan satu indikasi yang sangat kuat terhadap ruh dan semangat berkembang dan pembaharuan yang ada dalam perundang-undangan islam dari satu segi, pada segi lain merupakan stimulasi (perangsang) bagi para da’i dan ulama agar mereka menjauhi kejumudan, stagnasi dan kekerasan yang bisa menghambat kemajuan umat islam dalam dunia peradaban dan pembaharuan.
Teks (lafadz-lafadz Al Quran) yang masih tertulis dan tetap tebaca sampai sekarang dalam mushaf, sementara kandungan hukumnya sudah tidak berlaku (mansukh) merupakan sebuah ajaran dan inspirasi dari Al Quran bagi para ulama untuk memakai metode pemberlakuan secara bertahap dan berangsur, ketika menawarkan solusi dan hukum islam, khususnya ketika mengaplikasikan dalam dunia nyata, agar kecantikan dan kelembutan islam tidak ternodai, sebagai salah satu ciri khas terpenting dalam perundang-undangan islam, “Pelan-pelan tetapi terplanning lebih baik dari pada cepat namun kacau”.
di sisi kehistorisan, nasikh mansukh dapat menyingkap tabir, proses perjalanan perundang-undangan islam dan menggali pesan serta hikmah yang tersembunyi dibalik tarbiyah Allah SWT kepada hamba-Nya sekaligus sebagai Hujjah yang kokoh atas keontetikan Al Quran sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT, bukan bersumber dari diri Muhammad saw yang tidak tahu baca tulis (Ummy), pada sisi lain, mengingatkan orang mu’min terhadap nikmat dan rahmat Allah swt atas keintegralan agama islam.
Barangkali salah satu makna yang signifikan yang perlu direnungi dari eksisnya beberapa ayat yang masih tetap dibaca sekarang oleh umat muslim, tetapi hukumnya telah dimansukhkan adalah boleh jadi ayat ini diterapkan kembali pada kondisi tertentu, jika sejalan dengan dakwah dan perundang-undangan islam sebagai agama yang selalu memberi perhatian atas realitas dan idealitasnya.
E.     Bagaiaman pendapt ulama dan hikahnya Nasikh dan Mansukh
Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)
Secara umum, ada tiga pendapat mengenai Nasakh ini, yaitu :
1.      Bahwa Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara Sam`i/Syar`i telah terjadi. Pendapat ini merupakan ijma` kaum Muslimin, sebab kemunculan Abu Muslim Al-Ashfahani beserta yang sepaham dengan beliau. Mereka mengemukakan dalil-dalil kebolehan Nasakh tersebut, baik secara `Aqli maupun secara Sam`i/ Syar`i yaitu: Dalil Aqli Menurut akal, Nasakh itu tidak dilarang atau akal tidak menganggap mustahil terjadinya Nasakh itu. Sebab, Nasakh itu didasarkan atas kebijaksanaan Allah swt yang mengetahui kemaslahatan hamba-Nya pada sewaktu-waktu. Sehingga Allah menyuruh suatu perbuatan pada waktu tersebut. Tetapi Allah mengetahui pula mudharat yang mengancam seseorang pada waktu yang lain. Sehingga melarang sesuatu perbuatan pada waktu yang lain tadi. Hal ini diperkuat dengan praktek-praktek, sebagai berikut:
a.       Dokter mula-mula menyuruh minum obat bagi pasien, tetapi setelah sembuh disuruh berhenti minum obatnya tadi.
b.      Guru mengajar, mula-mula memberikan penjelasan yang mudah, kemudian diubah dengan diganti pelajaran yang lebih tinggi.
c.       DPR/DPRD juga sering membuat keputusan/peraturan tertentu, yang setelah berjalan beberapa waktu, lalu diubah dengan diganti keputusan/peraturan yang lain.
d.      Kalau saja masalah itu tidak boleh menurut akal dan syara`, tentunya tidak boleh juga syara` membuat peraturan yang terbatas waktunya, karena peraturan yang terbatas waktunya itu, secara tidak langsung sudah membutuhkan Nasakh. Padahal kenyataannya, banyak peraturan-peraturan yang demikian itu. Ini berarti secara rasional Nasakh boleh terjadi.
Dalil Sam`i/ Syar`i Al-Zarqany memetakan dalil Sam`i / Syar`i ini menjadi dua kategori : Kategori pertama, sebagai argumen terhadap orang Yahudi dan Nasrani, dimana mereka mengingkari adanya Nasakh terhadap syari`at mereka. Argumen tersebut antara lain:
a.       Pada saat Nabi Nuh keluar dari perahunya, Allah swt berfirman kepada beliau: "sesungguhnnya Aku jadikan setiap hayawan melata yang hidup itu sebagai makanan untukmu dan anak cucumu dan aku lepaskannya seperti rumput-rumput. Kecuali darah, jangan kamu makan". Hal ini menunjukkan bahwa dalam syari`ahnya Nabi Nuh diperbolehkan mengkonsumsi segala hayawan yang ada, akan tetapi pada masa berikutnya yaitu pada masa syari`ahnya Nabi Musa, banyak sekali hayawan-hayawan yang diharamkan untuk dikonsumsi oleh umatnya.
b.      Pada masa Nabi Adam, Allah swt memerintahkan Nabi Adam untuk mengawinkan anak putrinya dengan anak putranya lalu kemudian anak-anak dari hasil perkawinan putra-putrinya tersebut dipasang-pasangkan satu sama lainnya. Akan tetapi, pada masa setelahnya Allah menghapus syari`at Nabi Adam tersebut.
c.       Mengumpulkan dua bersaudara dalam satu ikatan perkawinan itu diperbolehkan pada syari`atnya Nabi Ya`qub. Lalu kemudian hal tersebut diharamkan pada syari`ahnya Nabi Musa a.s. Kategori kedua, sebagai argumen untuk menanggapi bantahan orang Islam sendiri yang menolak akan adanya Nasakh, seperti Abu Muslim Al-Ashfahany. Argumen tersebut antara lain: surat al-Baqarah Ayat




























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Nasikh ialah menghapuskan hukum syara’ dengan dalil hokum syara’ yang lain. Disebutkan kata “hukum” disisni, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hokum asalnya boleh”. Sedangkan Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Nasikh terdapat empat macam bagian, diantaranya:
1.      Naskh Al-qur’andengan Al-qur’an
2.      Naskh Al-qur’andengan As-sunnah
3.      Naskh As-sunnahdengan Al-qur’an
4.      Naskh As-sunnahdengan As-sunnah
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
1.      Memelihara kepentingan hamba
2.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia
3.      Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4.      Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang kebihringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
1.      Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
2.      Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya.yaitu Firman Allah:
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl [16]:101)
DAFTAR PUSTAKA

http://saifuddinasm.com/2013/01/23/ali-imran93-94-batalnya-yahudi-yang-
           mengharamkan-makanan/
Manna Khalil Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu Qur’an, PustakaLiteraAntarNusa, Jakarta:
            2001.
Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2001.
Rosihon Anwar,  Ulum Al-Qur’an,PustakaSetia, Bandung: 2000.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...