BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ia meninggalkan dua
kitab yang akan menjadi pedoman manusia hidup di dunia agar tidak tersesat
yaitu Al-qur’an dan Al-hadits. Allah juga menurunkan syariat samawiyah kepada
para utusanNya untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan muamalah.
Tentang bidang ibadah dan mu’amalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan
membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat. Tuntutan kebutuhan
setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu
kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping
itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan
perjalannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Dengan demikian
hikmah tasyri’ (pemberlakuan hukum) pada suatu periode akan berbeda
dengan hikmah tasyri’ pada periode yang lain. Tetepi tidak diragukan
bahwa pembuat syari’at, yaitu Allah, rahmat dan ilmuNya meliputi segala
sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya milikNya.
Oleh sebab itu, wajarlah jika Allah menghapuskan
sesuatu syari’at dengan syari’at lain untuk menjaga kepentingan para hamba
berdasarkan pengetahuanNya yang azali tentang yang pertama dan yang
terkemudian.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Nasikh dan
Mansukh dan Syarat-syaratnya?
2.
Mkana Nasikh dan Mansukh
3.
Ayat Nasikh dan Mansukh
4.
Mengapa terjadinya Nasikh dan Mansukh
5.
Bagaiaman pendapt ulama dan hikahnya Nasikh dan
Mansukh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasikh dan
Mansukh dan Syarat-Syaratnya
Nasikh menurut bahasa
memilki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan. Misalnya dikatakan nasakhat
asy-syamsu azh-zhilla, artinya matahari menghilangkan bayang-bayang dan nasakhat
ar-rih atsara al-masyyi, artinya angin menghapuskan jejak langkah kaki.
Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat
ke tempat lain. Misalnya:nasakhtu al- kitab, artinya, saya menyalin isi
kitab. Didalam Al-quran dikatakan:
هَٰذَا كِتَابُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ
مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “ Sesunguhnya
kami menyuruh untuk menasakhkan apa dahulu kalian kerjakan.” (Al-jatsiyah:29).
Maksudnya, kami (Allah)
memindahkan amal perbuatan kedalam lembaran-lembaran catatan amal.
Sedangkan menurut
istilah nakh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil
hukum syara’ yang lain.” Disebutkan disini kata “hukum”, menunjukkan bahwa
prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” (Al-Bara’ah Al-ashliyah)
tidak termasuk yang di naskh. Kata-kata “dengan dalil hukum syara’”
mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau
gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas. Contohnya:
وَ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.
Disitulah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah [2] : 115.)
Kemudian di nasakh oleh ayat:
فَوَلِّ
وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya: “maka
palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram....”
(QS. Al-Baqarah:144)
Ada yang berpendapat
inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak di naskh sebab ia
berkanaan dengan sholat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan diatas
kendaraan, juga dalam keadaan takut dan daruarat. Dengan demikian, hkum ayat
ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam Ash-Shahihain. Sedang
ayat kedua berkenaan dengan sholat fardlu lima waktu. Dan yang benar, ayat
kedua ini menasakh perintah kehadap Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
Sedangkan pengertian mansukh adalah hukum yang
diangkat atau
dihapuskan. Maka ayat mawarits (warisan) atau
hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum
wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat
berikut:
a. Hukum yang mansukh
adalah hukum syara’
b.
Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab
syar’i yang datang lebih kemudian hari khitab yang hukumnya di mansukh
c. Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat
(dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan
berakhir dengan berakhiranya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Makki berkata: “segolongan Ulama menegaskan bahwa khitab
yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah: “Maka
maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya” (QS.
Al-Baqarah;109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan
dengan batas waktu, dan sesuatu yang dibatasi oleh waktu tidak ada naskh di
dalamnya.
B. Mkana Nasikh dan
Mansukh
1. Menghapuskan (izalah), firman Allah Ta'ala:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ۬ وَلَا نَبِىٍّ إِلَّآ إِذَا
تَمَنَّىٰٓ أَلۡقَى ٱلشَّيۡطَـٰنُ فِىٓ أُمۡنِيَّتِهِۦ فَيَنسَخُ ٱللَّهُ مَا
يُلۡقِى ٱلشَّيۡطَـٰنُ ثُمَّ يُحۡڪِمُ ٱللَّهُ ءَايَـٰتِهِۦۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ
حَكِيمٌ۬
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak [pula]
seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun
memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang
dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana, (52(Q.S. Al-Hajj: 52).
2.
Mengganti (tabdil),
firman Allah:
وَإِذَا بَدَّلۡنَآ ءَايَةً۬ مَّڪَانَ ءَايَةٍ۬ۙ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا
يُنَزِّلُ قَالُوٓاْ إِنَّمَآ أَنتَ مُفۡتَرِۭۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا
يَعۡلَمُونَ
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja".
Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (101)(Q.S. An-Nahl: 101).
3.
Mengalihkan /
mengubah (tahwil), seperti mengalihkan warisan seseorang kepada orang lain.
4.
Memindahkan dari satu
tempat ke tempat lain. Diantaranya memindahkan (transcrib) suatu kitab. Dalam
pengertian ini tidak mungkin terjadi di dalam al-Qur'an.
C. Ayat Nasikh dan Mansukh
Naskh secara bahasa
artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun secara
istilah, maka ada dua macam:
Pertama. Naskh menurut
istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang
berbeda-beda.
Al-Baidhowi
rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh adalah penjelasan
berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”.
Ibnu Qudamah
rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan:
“Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan
perkataan yang datang setelahnya”.
Di antara ta’rif yang
ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan
dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”.
Kedua : Naskh menurut
istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih
luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah Radhiyallahu
‘anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang: Orang
yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus
(berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”.
Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh
beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah)
naasikh dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini
merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan
dalil ‘am, mutlaq, zhahir, dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish
(pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad
(yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan).
Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath, dan sifat
dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang
dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah:
menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara
yang di luarnya. Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat
padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu
akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa
perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”.
D. Mengapa terjadinya
Nasikh dan Mansukh
Nasikh
Mansukh salah satu obyek kajian yang sangat penting dalam ilmu-ilmu Al Quran,
tidak boleh diabaikan bagi orang yang menekuni spesialisasi dalam bidang tafsir
Al Quran. Begitu pula bagi pemerhati kajian-kanjian yurisprudensi islam,
merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan dalam memicu perbedaan ulama
tafsir dalam menginterpretasi ayat-ayat Al Quran.
Di
kalangan mayoritas ulama-ulama islam di berbagai bidang, sudah menjadi sebuah
opini umum yang mapan dan paten bahwa tidak ada kemustahilan atas konsekuensi
adanya NASIKH MANSUKH, justru jika dicermati realitas kehidupan manusia yang selalu
berubah-ubah disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Sedangkan islam dalam
sisi idealitasnya -mewujudkan maslahat manusia- adalah sebagai sasaran pokok
dalam perundang-undangannya menghendaki adanya Nasikh.
Nasikh
adalah perbuatan Allah SWT Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, Dia
memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tidak berarti ia
sewenang-wenang dan menganiyaya, tapi semua hukum dan perbuatannya penuh dengan
Hikmah dan Pengetahuan. terkadang dapat dideteksi oleh rasio dan kadang pula
tersembunyi di balik tirai alam ghaib, untuk menguji loyalitas hamba-Nya.
Selama
mengaktualisasikan maslahat manusia di muka bumi ini, sebagai inti dasar dan
proses pijakan rel perundang-undangan dalam islam, yang pada tabiatnya sebagaian
maslahat itu sendiri nisbi atau berubah-ubah, maka pemberhentian masa berlaku
sebagian hukum dalam islam sangat relevan dengan keuniversalanya sebagai agama
Shalihun Li Kulli Zaman Wal Makaan. Adanya pemberhentian masa berlaku sebagian
hukum, karena perubahan dan perkembangan zaman, merupakan satu indikasi yang
sangat kuat terhadap ruh dan semangat berkembang dan pembaharuan yang ada dalam
perundang-undangan islam dari satu segi, pada segi lain merupakan stimulasi
(perangsang) bagi para da’i dan ulama agar mereka menjauhi kejumudan, stagnasi
dan kekerasan yang bisa menghambat kemajuan umat islam dalam dunia peradaban
dan pembaharuan.
Teks
(lafadz-lafadz Al Quran) yang masih tertulis dan tetap tebaca sampai sekarang
dalam mushaf, sementara kandungan hukumnya sudah tidak berlaku (mansukh)
merupakan sebuah ajaran dan inspirasi dari Al Quran bagi para ulama untuk
memakai metode pemberlakuan secara bertahap dan berangsur, ketika menawarkan
solusi dan hukum islam, khususnya ketika mengaplikasikan dalam dunia nyata,
agar kecantikan dan kelembutan islam tidak ternodai, sebagai salah satu ciri
khas terpenting dalam perundang-undangan islam, “Pelan-pelan tetapi terplanning
lebih baik dari pada cepat namun kacau”.
di sisi
kehistorisan, nasikh mansukh dapat menyingkap tabir, proses perjalanan
perundang-undangan islam dan menggali pesan serta hikmah yang tersembunyi
dibalik tarbiyah Allah SWT kepada hamba-Nya sekaligus sebagai Hujjah yang kokoh
atas keontetikan Al Quran sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT,
bukan bersumber dari diri Muhammad saw yang tidak tahu baca tulis (Ummy), pada
sisi lain, mengingatkan orang mu’min terhadap nikmat dan rahmat Allah swt atas
keintegralan agama islam.
Barangkali
salah satu makna yang signifikan yang perlu direnungi dari eksisnya beberapa
ayat yang masih tetap dibaca sekarang oleh umat muslim, tetapi hukumnya telah
dimansukhkan adalah boleh jadi ayat ini diterapkan kembali pada kondisi
tertentu, jika sejalan dengan dakwah dan perundang-undangan islam sebagai agama
yang selalu memberi perhatian atas realitas dan idealitasnya.
E. Bagaiaman pendapt ulama
dan hikahnya Nasikh dan Mansukh
Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang
paling paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun
demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan:
“Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari
Rasulullah SAW, padahal Allah telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami
Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)
Secara umum, ada tiga pendapat mengenai Nasakh
ini, yaitu :
1. Bahwa
Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara Sam`i/Syar`i telah terjadi. Pendapat
ini merupakan ijma` kaum Muslimin, sebab kemunculan Abu Muslim Al-Ashfahani
beserta yang sepaham dengan beliau. Mereka mengemukakan dalil-dalil kebolehan
Nasakh tersebut, baik secara `Aqli maupun secara Sam`i/ Syar`i yaitu: Dalil
Aqli Menurut akal, Nasakh itu tidak dilarang atau akal tidak
menganggap mustahil terjadinya Nasakh itu. Sebab, Nasakh itu didasarkan atas
kebijaksanaan Allah swt yang mengetahui kemaslahatan hamba-Nya pada
sewaktu-waktu. Sehingga Allah menyuruh suatu perbuatan pada waktu tersebut.
Tetapi Allah mengetahui pula mudharat yang mengancam seseorang pada waktu yang
lain. Sehingga melarang sesuatu perbuatan pada waktu yang lain tadi. Hal ini
diperkuat dengan praktek-praktek, sebagai berikut:
a.
Dokter mula-mula menyuruh minum obat bagi
pasien, tetapi setelah sembuh disuruh berhenti minum obatnya tadi.
b.
Guru mengajar, mula-mula memberikan penjelasan
yang mudah, kemudian diubah dengan diganti pelajaran yang lebih tinggi.
c.
DPR/DPRD juga sering membuat
keputusan/peraturan tertentu, yang setelah berjalan beberapa waktu, lalu diubah
dengan diganti keputusan/peraturan yang lain.
d.
Kalau saja masalah itu tidak boleh menurut akal
dan syara`, tentunya tidak boleh juga syara` membuat peraturan yang terbatas waktunya,
karena peraturan yang terbatas waktunya itu, secara tidak langsung sudah
membutuhkan Nasakh. Padahal kenyataannya, banyak peraturan-peraturan yang
demikian itu. Ini berarti secara rasional Nasakh boleh terjadi.
Dalil
Sam`i/ Syar`i
Al-Zarqany memetakan dalil Sam`i / Syar`i ini menjadi dua kategori : Kategori
pertama, sebagai argumen terhadap orang Yahudi dan Nasrani, dimana mereka
mengingkari adanya Nasakh terhadap syari`at mereka. Argumen tersebut antara
lain:
a.
Pada saat Nabi Nuh keluar dari perahunya, Allah
swt berfirman kepada beliau: "sesungguhnnya Aku jadikan setiap hayawan
melata yang hidup itu sebagai makanan untukmu dan anak cucumu dan aku
lepaskannya seperti rumput-rumput. Kecuali darah, jangan kamu makan". Hal
ini menunjukkan bahwa dalam syari`ahnya Nabi Nuh diperbolehkan mengkonsumsi
segala hayawan yang ada, akan tetapi pada masa berikutnya yaitu pada masa
syari`ahnya Nabi Musa, banyak sekali hayawan-hayawan yang diharamkan untuk
dikonsumsi oleh umatnya.
b.
Pada masa Nabi Adam, Allah swt memerintahkan
Nabi Adam untuk mengawinkan anak putrinya dengan anak putranya lalu kemudian
anak-anak dari hasil perkawinan putra-putrinya tersebut dipasang-pasangkan satu
sama lainnya. Akan tetapi, pada masa setelahnya Allah menghapus syari`at Nabi
Adam tersebut.
c.
Mengumpulkan dua bersaudara dalam satu ikatan
perkawinan itu diperbolehkan pada syari`atnya Nabi Ya`qub. Lalu kemudian hal
tersebut diharamkan pada syari`ahnya Nabi Musa a.s. Kategori kedua, sebagai
argumen untuk menanggapi bantahan orang Islam sendiri yang menolak akan adanya
Nasakh, seperti Abu Muslim Al-Ashfahany. Argumen tersebut antara lain: surat
al-Baqarah Ayat
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nasikh ialah menghapuskan
hukum syara’ dengan dalil hokum syara’ yang lain. Disebutkan kata “hukum”
disisni, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hokum asalnya boleh”.
Sedangkan Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Nasikh terdapat
empat macam bagian, diantaranya:
1. Naskh Al-qur’andengan Al-qur’an
2.
Naskh Al-qur’andengan As-sunnah
3.
Naskh As-sunnahdengan Al-qur’an
4. Naskh As-sunnahdengan As-sunnah
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
1. Memelihara kepentingan hamba
2.
Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi umat manusia
3.
Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih
ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika
beralih ke hal yang kebihringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Jumhur Ulama. Mereka
berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula
terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
1. Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh
saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang
lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
2. Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya.yaitu
Firman Allah:
“Dan apabila Kami mengganti
suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl [16]:101)
DAFTAR PUSTAKA
http://saifuddinasm.com/2013/01/23/ali-imran93-94-batalnya-yahudi-yang-
mengharamkan-makanan/
Manna Khalil Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu
Qur’an, PustakaLiteraAntarNusa, Jakarta:
2001.
Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka
Setia, Bandung: 2001.
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an,PustakaSetia,
Bandung: 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar