Rabu, 07 Juni 2017

MAKALAH PENAFSIRAN MENURUT PARA AHLI



PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir
Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran, berarti penjelasan (al-idhah wa at-tabyin), sebagai mana terdapat dalam firman Allah SWT yang berbunyi :
(٣٣) وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Artinya:
“tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Q.S. Al-Furqan 25:33).
Dari segi terminologis bermacam definisi dibuat oleh para ulama, antara lain sebagai berikut :[1]
1.      Abu Hayyan, menurutnya tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an dan tentang arti dan makna dari lafazh-lafazh tersebut, baik kata perkata maupun dalam kalimat yang utuh serta hal-hal yang melengkapinya.
2.      Az-Zarkasyi, menurutnya tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
3.      Az-Zarqani, menurutnya tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT sebatas kemampuan manusia.
Sekalipun telah diungkapkan dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi ketiga definisi di atas sepakat menyatakan bahwa secara terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, di sampig dibatasi oleh kemampuan masing-masing sebagai manusia, para mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang pedidikan, sosial budaya yang berbeda-bed, sehingga bentuk, metode dan corak penafsir an mereka juga berbeda-beda.
B.     Sejarah Perkembangan Tafsir
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat menggunakan beberapa cara, antar lain.
1.      Menelitinya dalam’ Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan.
2.      Merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammmad SA, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
3.      Apabila mereka tidak ditemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Rasulullah SA, para sahabat berijtihat dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi Arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri.
4.      Sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh ah;i Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar dan lain-lain.
Tafsir pada masa sahabat ini belum merupakan ilmu sendiri’ masih merupakan bagian dari riwayat-riwayat hadits yang berserakan, belum sistematis seperti tafsir yang kita kenal sekarang. Di samping belum sistematis pada masa sahabat ini pun Al-Qur’an belum ditafsirkan secara keseluruhan, dan pembahasannya pun belum luas dan mendalam. 
Sesudah periode sahabat, datangah generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha yang telah dirintis oleh para sahabat. Di samping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi mereka juga merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip dari Ahlul Kita. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa Tabi’in, tafsir masih merupakan bagian dari hadits, tetapi sudah mengelompok menurut kota masing-masing.
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwin) hadits dimana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum sistematis seperti susunan Al-Qur’an. Dalam perkembangan  selanjutnya tafsir dipisahkan dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisi tefsir dari Nabi, sahabat dan tabi’in dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian di kenal dengan bentuk at-tafsir bi al-ma’tsur.
Setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al-ma’tsur, karena perubahan dan perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir dengan memperluas dan memperbesar peran ra’yu atau ijtihad dibandingkan dengan penggunaannya pada bentuk bi al-ma’tsur. Tafsir dengan bentuk ini kemudian dikenal dengan  at-tafsir bi-ar-ra’yi.
Dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti ilm bahasa Arab, ilmu Qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqih, ilmu sejarah dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.
C.    Bentuk, Metode Dan Corak Tafsir
1.      Bentuk Penafsiran Al-Qur’an
Sebagaimana sudah disinggung dalam uraian perkembangan tafsir diatas, dari segi bentuk dikenal dengan dua bentuk penafsiran, yaitu :
a.      Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsri Tafsir bi al-ma’tsur adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi dan Al-Qur’an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in. Dinamai dengan bi al-ma’tsur (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Karena banyak mennggunakan riwayat, maka tafsir dengan meode ini dinamai tafsir bi ar-riwayah.
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau ayat dengan ayat adalah firman Allah dalam Surat Al An’am ayat 82 ditafsirkan oleh surat Luqman ayat 13. Allah SWT berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُواإِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Artinya:
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanandan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An’am 6:82)
Penafsiran ayat dengan ayat tidak selamanya berdasarkan petunjuk Nabi seperti dalam contoh di atas, tetapi bisa juga atas pemahaman para sahabat atau tabi’in seperti dalam penafsiran maksud kalimatin dalam Surat Al-Baqarah 37. Allah SWT berfirman:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Artinya:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat Lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah 2:37)
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Hadits Nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir dan lain-lain dari ‘Adi bin Hati, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang firman Allah SWT: ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, Nabi menjelaskan bahwa ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, adalah Yahudi, dan wa la adh-dhallin adalah Nashara.
b.      Tafsir bi ar-Ra’yi
Tafsir biar ar-ra’yi adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan mrnggunakan kemampun ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al_Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hdits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengtahuan seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu sejarah, dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi- ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.
2.      Metode Penafsiran Al-Qur’an
Dari segi metode sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu:
a.      Metode Ijmali
Metode ijmali adalah metode yang paling awal muncu karena sudah digunakan sejak Nabi dan para sahabat. Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak memberikan rincian yang detail, hanya secara ijmali atau global. 
Dengan metode ijmali, seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas, mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai dengan susunan ayat dan surat di dalam mushaf dengan bahasa yang populer dan mudah dimengerti. Makna yang diungkapkan ayat-ayat dengan menggunakan lafazh bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafazh Al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an itu sendiri.

b.      Metode Tahlili
Setelah metode ijmali, dikenal metode tahlili. Dengan menggunakan metode ini, seorang mufasir berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai aspek, mulai dari aspek bahasa, asbab an nuzul, munasabah dan aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat dan kecenderungan mufasir sendiri. Penafsiran dilakukan dengan menggunakan sistematika mushaf Al-Qur’an, urut dari awal sampai akhir ayat demi ayat.
c.       Metode Muqarin
Setelah metode ijmali dan tahlili, muncul metode muqarin atau perbandingan.
d.      Metode Maudhu’i
Yang terakhir muncul adalah metode  maudhu’i atau tematik. Berbeda dengan metode ijmali dan tahlili yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kronologis sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, maka metode maudhu’i ini membahas ayat-ayat yang dalam berbagai surat yang telah diklasifikasikan dalam tema-tema tertentu.
3.      Corak Penafsiran Al-Qur’an
Di samping bentuk dan metode yang sudah dijelaskan di atas, dikenal juga corak pnafsiran. Karena yang dominan dalam at-tafsir bi-ar-ra’yi adalah pemikiran musafir, baik yang orisinal dari yang bersangkutan atau mengutip dari sumber-sumber lain, maka tentu saja hasil penafsiran beragam sesuai latar belakang pengetahuan, sosial budaya dan kecenderungan masing-masing.
Sejauh ini corak-corak penafsiran yang dikenal antara lain sebagai berikut:
a.      Corak Sastra Bahasa
Corak sastra bahasa timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memelukagama islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dibanding sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an.
b.      Corak Fiqih dan Hukum
Corak fiqih dan hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan brusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
c.       Corak Teologi dan atau Filsafat
Corak teologi dan atau filsafat, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atua tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.
d.      Corak Tasawuf
Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
e.       Corak Penafsiran Ilmiah
Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufasir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
D.    Proses Penulisan Al-Qur’an
Proses penulisan Al-Qur’an terdiri dari beberapa tahapan atau masa. Yaitu pada masa Nabi Muhammad SAW, masa khulafa’ur rasyidin, dan pada masa setelah khulafa’ur rasyidin.
1.      Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang sangat dirindukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga kerinduan Nabi Muhammad SAW terhadap kedatangan wahyu tidak hanya diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara :
a.       Pertama, al Jam’u fis Sudur.
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Persis seperti dijanjikan Allah SWT dalam surat Al-Qiyamah ayat 17, sebagai berikut :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (Q.S. Al-Qiyamah:17).
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW adalah hafiz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dala menghafalnya, sebagai ralisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Setiap kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, para sahabt langsung menghafalnya diluar kepala.
a.       Kedua, al Jam’u fis Suthur.
Selain di hafal, Rasulullah juga mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka seperti Ali, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat tersebutdalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam hati.
Proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW.
2.      Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin
a.       Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Sepeningal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al Quran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Al Quran yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).
Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad dan juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 70 orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid.  Khawatir akan hilangnya Al-Qur’an karena para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam medan perang. Lalu Umar bin Khattab menemui Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan.
Namun pada awalnya Abu Bakar pun tidak setuju dengan apa yang diusulkan oleh Umar bin Khattab. Karena menurutnya, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah melakukannya. Tetapi Umar bin Khattab terus membujuk Abu Bakar untuk melakukannya, dan akhirnya Allah SWT membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut. Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Sabit untuk melakukannya. Seperti Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit pun menolak perintah Abu Bakar dengan alas an yang sama. Setelah terjadi musyawarah, akhirnya Zaid bin Sabit pun setuju.
b.      Pada Masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
Pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja (’Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman.
Inisiatif ‘Utsman bin ‘Affan untuk menyatukan penulisan Al-Qur’an tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Qur’an pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat Islam saling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi perselisihan diantara mereka.
‘Utsman bin ‘Affan memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut:[2]
1.      Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,
2.      Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kmbalidihadapan Nabi Muhmmad SAW pada saat-saat terakhir,
3.      Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar yang susunan mushafnya berbeda dengan mushaf ‘Utsman bin ‘Affan.
4.      Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun,
5.      Semua yang bukan mushaf Al-Qur’an dihilangkan.Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.
c.       Pada Masa Setelah Khulafa’ur Rasyidin.
Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M.).
Tulis menulis dalam kalangan orang Arab Jahiliyah amat sedikit.Yang pertama belajar menulis di antara orang Arab ialah Basyr ibn Abdul Malik, ia belajar kepada orang Al-Anabar.Tulisan orang Al-Anabar ketika itu diperbaiki (disempurnakan) karena tulisan itu tidak berbaris dan bertitik.
Islam terus menerus berkembang baik wilayah maupun pemeluknya. Banyak orang non Arab yang telah masuk islam, maka dari itu benturan-benturan kultural antara masyarakat Arab dengan orang-orang ‘ajam (non-Arab) tidak dapat dielakan. Sebab, dikalangan masyarakat Islam terutama orang non Arab sering terjadi kesalahan dalam melafalkan ayat-ayat Al-Quran.Dengan adanya masalah seperti itu maka timbulah usaha untuk memberikan pungtuasi (tanda-tanda baca) dikalangan para ulama ketika itu.
Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang siapa ulama yang pertama kali berupaya untuk melakukannya :
1.      Abu Amr al-Daniy dalam hal ini mengemukakan bahwa, tidak mustahil apabila penulisan titik (sebagai tanda baca) dimulai oleh para sahabat Nabi.
2.      Banyak juga ulama yang berpendapat bahwa orang yang pertama melakukan hal itu adalah Abu al-Awad al-Du’ali, dialah sebagai ulama ahli pertama dalam bidang kaidah bahasa Arab atas perintah khalifah Ali bin Abi Thalib. Menurut suatu riwayat mengatakan bahwa Abu al-Aswad al-Du’ali pernah mendengar seseorang di Basrah membaca ayat Al-Quran dengan cara yang salah, sehingga merubah semua pengertian dan maksud yang terkandung dalam ayat yang dibaca itu. Kesalahan orang tersebut disebabkan karena tidak adanya tanda baca yang menunjukan bagaimana seharusnya ayat tersebut dibaca.
Sejak kejadian itulah Abu al-Aswad al-Du’ali mulai melakukan pekerjaannya, dan hasilnya sampai kepada pembuatan tanda fathahberupa satu titik diatas huruf, tanda kasrah satu titik dibawah huruf, dan tanda dhomah berupa tanda titik disamping huruf, dan tanda sukun berupa dua titik
Dapat disimpulkan yaitu diantara nama-nama diatasyang terlebih dahulu meletakan titik dan harakat atau tanda baca lainnya, bahwasanya mereka semua itu telah ikut andil dalam upaya menutup kemungkinan terjadinya kekeliruan didalam membaca Al-Quran, sekaligus memperbagus dan memperindah rasm Al-Quran. Karena itu suatu hal yang kurang logis dan kurang rasional kalau dikatakan hanya Abu al-Aswad al-Du’ali saja tanpa yang lain. Sedangkan Abu al-Aswad sendiri hanyalah merupakan sebuah mata rantai pertama dalam proses penyempurnaan rasm ‘Utsmanymenuju kemudahan dalam membaca Al-Quran yang benar.
E.     Latar belakang penulisan Al-qur’an
Yang meltar belakangi pembukuan Al quran ini pada zaman khalifah Abu Bakar, dimana saat itu terjadilah gerakan Musailimah al-Kadzdzab. Dia mengembangkan khurafatnya dan kebohongan-kebohongannya. Diapun mengaku dirinya nabi dan dia dapat mempengaruhi Banu Hanifah dari penduduk Yamamah lalu mereka menjadi murtad. Gerakan ini segera ditindak oleh Abu Bakar dengan mengirimkan pasukan tentara di bawah pimpinan Khalid bin al-Walid yang terdiri dari 4000 pengendara kuda, terjadilah clash fisik di Yamamah pada tahun 12 H yang menimbulkan korban yang tidak sedikit dikalangan pasukan islam terutama para sahabat yang gugur syahid. Di antara sahabat yang gugur itu adalah Zaid ibnul Khattab, saudara Umar. Selain daripada itu syahid pula 700 penghafal Al-Qur’an. Setelah umat islam mengeraskan tekanannya, pertolongan Allah pun datang, barulah tentara Musailamah hancur dan lari. Umat islam mengejar meraka dan mengurung tentara musuh itu dalam suatu kebun kurma. Al Barra’ ibn Malikmenaiki tembok kebun dan menjatuhkan dirinya ke dalam benteng, lalu membuka pintu. Setelah tentara islam dapat masuk ke dalam, barulah Musailamah dan kawan-kawannya dapat dibunuh. Kebun tersebut dinamai kebun mati. Orang yang membunuh  Musailamah ini juga telah membunuh Hamzah.
Peristiwa yang tragis itu mendorong Umar untuk menyarankan kepada khalifah agar segera dipimpin ayat-ayat Al-Qur’an dalam suhuf, karena dikhawatirkan akan kehilangan sebagaian Al-Qur’an dengan wafatrnya sebagaian para penghafalnya. Usul Umar dapat diterima oleh Abu Bakar setelah diadakan diskusi dan pertimbangan yang saksama. Kemudian khalifah memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit agar segera menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu shuhuf.
Zaid sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini walaupun ia seorang penulis yang hafal Al-Qur’an. Ia berpegangan dua hal, yaitu:[3]
1.      ayat-ayat Al-Qur’an ditulis dihadapan Nabi yang di simpan dirumah nabi.
2.      ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz Al-Qur’an.
Selain itu juga menerima tulisan dari sahabat lain dengan dua saksi. Akhirnya dengan kerja keras tim pengumpulan Al-Qur’an yang terdiri Abu Bakar sebagai pengawas, Umar sebagai pengusul, Zaid sebagai pelaksana dan para sahabat sebagai pemberi bantuan  yaitu Ubay ibn Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Mereka berulang kali mengadakan pertemuan dan mereka mengumpulkan tulisan-tulisan yang mereka tuliskan di masa nabi. Maka dengan usaha badan ini terkumpullah Al-Qur’an di dalam shuhuf dari lembaran-lembaran kertas. Dalam pada itu, juga ada riwayat yang menerangkan, bahwa badan tersebut menulis Al-Qur’an dalam shuhuf-shuhuf yang terdiri dari kulit dan pelepah kurma. Inilah pengumpulan pertama.
Sahifah-sahifah (yang terdiri dari 7 huruf dan masih utuh termasuk ayat-ayat yang belum dinasahkan bacaannya) yang telah dihimpun oleh Zaid lalu disimpan oleh Abu Bakar, kemudian Umar, lalu Hafsah binti Umar (Hafsah adalah seorang istri nabi yang hafidz Al-Q’uran), kemudian Utsman bin Affan dan kemudian dikembalikan lagi kepada Hafsah setelah dilakukan penyalinan oleh Utsman
F.     Tokoh Kunci Dalam Proses Pembukuan Al Quran
Penulisan alquran pada masa nabi sudah dikenal secara umum. Beberapa sahabat dikenal sebagai penulis wahyu, antara lain abu bakar assiddiq, umar bin khattab, ustman bin affa, ali bin abi thalib, mu’awiyah, khalid bin walid, ubay ibn ka’b, zaid bin tsabit, tsabit ibn qais, amir ibn fuhairah, amr bin ash, abu musa al-asy’ari, dan abu darda.[4]
Para sahabat meniulis waahyu di kepingan tulang belulang, pelepah korma, dan bebatuan. Pada masa nabi belum ada upaya untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi alquran. Selain karena wahyu masih turun, juga belum ada kebutuhan yang mendesak utnuk melakukan upaya itu.
G.    Perbedaan Mushaf Al Quran Hasil Kodifikasi Pada Masa Umar Dan Usman
Dengan demikian, sesungguhnya , kodifikasi al-Qur’an pada masa Usman ini  memiliki maksud yang berbeda dengan kodifikasi pada masa Abu Bakar, yakni:[5]
1.      Penyatuan kaum muslimin kepada  satu macam mushaf  yang  sama ejaan tulisannya.
2.      Penyatuan bacaan, dan kalaupun ada perbedaan, namun masih menggunakan teks dan ejaan Mushaf Usmani
3.      Dan upaya preventip dalam rangka  melestarikan penetapan urutan  ayat dan surat-surat  dalam al-Qur’an.
Demikianlah gambaran mengenai  kodifikasi al-Qur’an yang telah dilakukan oleh  umat Islam, baik yang terjadi pada masa khalifah pertama, yakni Abu Bakr, maupun yang terjadi pada  masa khalifah ketiga, Utsman bin al-Affan, dengan segala perbedaan nuansa dan tujuannya.  Apapun yang dilakukan  dan apapun motivasinya, barang kali yang paling  signifiokan sekarang ini adalah  adanya kesamaan mushhaf  al-Qur’an dan kemufakaan seluruh umat Islam dalam mengakui keabsahan  kitab suci ini.  Dan ini merupakan suatu  kekayaan yang tidak ternilai harganya bagi umat Islam.

H.    Pemeliharaan MUSHAF Al-Qur’an dalm masyarkat islam kini
Meskipun Al-Qur’an telah dibukukan pada masa Usman bin Affan dan semua umat islam menyakini bahwa di dalamnya tidak ada perubahan dari apa yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW. 14 abad yang lalu. Namun orang orientalis masih saja ada yang meragukan keotentikan Al-Qur’an. Diantara mereka ada yang mencoba melakukan من تغير النص القرأن yaitu perubahan terhadap isi Al-Qu’ran dengan merubah sebagian teksnya, serta melakukan من تحريف النص القرأن yaitu merubah satu huruf yang mirip seperti خ dirubah jadi ح sehingga berubah arti dan maknanya. 
Upaya-upaya kaum orientalis ini tidak pernah mengalami keberhasilan karena sangat banyak umat Islam yang menghafal Al-Qur’an, sehingga perubahan sedikit pun dari redaksi Al-Qur’an pasti ditemukan. Karena upaya tersebut tidak berhasil maka mereka mencoba cara lain dengan melakukanتأ ويل القرأن على حسب الهوي yaitu melakukan penafsiran tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya. Apalagi banyaknya kisah israiliyyat yang merasuki penafsiran al-Qur’an. kisah dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits tersebut sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.
Mufassir dituntut untuk memperhatikan cakupan pengertian dan keserasian makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat Al-Qur’an. Di samping itu harus tetap memelihara dan memperhatikan semua konsekuensi makna yang terkandung dalam redaksi ayat, serta makna lain yang mengarah kepadanya, yaitu makna yang tidak terjangkau oleh penyebutan redaksi ayat, tetapi relevan dengannya. Menurut para ulama, seseorang yang hendak menafsirkan ayat Al-Qur’an, hendaklah lebih dahulu mencari tafsir ayat tersebut di dalam Al-Qur’an sendiri, karena kerap kali ayat-ayat itu bersifat global di suatu tempat, sedang penjelasannya terdapat di tempat lain (ayat lain), terkadang ayat itu bersifat ringkas di suatu tempat, dan penjelasannya ditemukan di tempat lain (ayat lain). Lantaran yang lebih mengetahui makna Al-Qur’an secara tepat hanyalah Allah. Jika tidak ada ayat yang dapat dijadikan tafsir bagi ayat itu, hendaklah memeriksa hadis-hadis Nabi. Karena sunnah merupakan penjelas makna ayat Al-Qur’an. Jika tidak menemukan di dalam sunnah hendaklah merujuk kepada perkataan sahabat, sesungguhnya mereka lebih tahu mengenai hal itu lantaran mereka mendengar sendiri dari mulut Rasulullah dan menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan suasana yang meliputi ketika turunnya, mereka juga memiliki pemahaman bahasa Arab yang benar, ilmu yang benar dan amal shalih.
Dalam hal tersebut di atas, maka pemeliharaan Al-Qur’an tidaklah berhenti sampai di situ, melainkan umat Islam di masa sekarang haruslah senantiasa memelihara dan menjaga keotentikan al-Qur’an dengan cara berusaha menghafal, mempelajari dan mengkaji Al-Qur’an, serta memahami makna yang sebenarnya berdasarkan kaidah tafsir, sehingga setiap perubahan isi Al-Qur’an serta adanya upaya untuk menafsirkan tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya dapat diketahui.
Dengan mengetahui secara mendalam tentang pengumpulan al-Qur’an, serta memeliharanya dengan menghafal dan memahami maknanya, maka kita akan menjadikannya pedoman yang diyakini kebenarannya karena sebuah kitab suci harus dipertanggung jawabkan keotentikannya sehingga tetap bisa dianggap sebagai kitab suci dan untuk membuktikan keotentikan sebuah kitab suci salah satu caranya adalah dengan mengetahui sejarah turun ataupun cara pengumpulannya serta untuk mengetahui sampai dimana usaha para sahabat setelah Rasululllah saw. wafat, dalam memelihara dan melestarikan Al-Qur’an.





                                                                                                 


A.    Kesimpulan
Secara etimologis Tafsir berarti penjelasan, sedangkan secara terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia. 
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.




















DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Quran Praktis. Bogor:Pustaka Utama. 2003.
Al Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an. Jakarta: Pustaka Al Kautsar. 2006.
Al Zarqani, Manahil al-‘Urfan fi Ulum Al-Qur’an. 2002
al-Banna, Gamal, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, Pent. Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004.
As Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran. Terj. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1990.
Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Gama Media: Yogyakarta
Ilyas, Yunahar. 2013. Ulumul Qur’an. Itqan Publishing: Yogyakarta
J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Shihab , M. Quraish, Membumikan al-Qur’an Bandung: Mizan, 1995.
Soenaryo. Muqaddimah Terjemah Al-Qur’an. Kerajaan Arab Saudi. t.t.,


[1] Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Gama Media: Yogyakarta, h. 124
[2] Soenaryo. Muqaddimah Terjemah Al-Qur’an. Kerajaan Arab Saudi. t.t.,
[3] As Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran. Terj. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1990, h. 178
[4] Al Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an. Jakarta: Pustaka Al Kautsar. 2006, h. 256
[5] Ilyas, Yunahar. 2013. Ulumul Qur’an. Itqan Publishing: Yogyakarta, h. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...