PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir
Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran, berarti penjelasan (al-idhah
wa at-tabyin), sebagai mana terdapat dalam firman Allah SWT yang berbunyi :
(٣٣) وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Artinya:
“tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling
baik penjelasannya.” (Q.S. Al-Furqan 25:33).
Dari segi
terminologis bermacam definisi dibuat oleh para ulama, antara lain sebagai
berikut :[1]
1.
Abu Hayyan, menurutnya tafsir
adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an dan tentang
arti dan makna dari lafazh-lafazh tersebut, baik kata perkata maupun dalam
kalimat yang utuh serta hal-hal yang melengkapinya.
2.
Az-Zarkasyi, menurutnya tafsir
adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
3.
Az-Zarqani, menurutnya tafsir
adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi makna yang
terkandung di dalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT
sebatas kemampuan manusia.
Sekalipun telah
diungkapkan dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi ketiga definisi di atas
sepakat menyatakan bahwa secara terminologis tafsir adalah keterangan dan
penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak
diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan
Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan
tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia.
Dalam menafsirkan
Al-Qur’an, di sampig dibatasi oleh kemampuan masing-masing sebagai manusia,
para mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang pedidikan, sosial budaya yang
berbeda-bed, sehingga bentuk, metode dan corak penafsir an mereka juga
berbeda-beda.
B.
Sejarah Perkembangan
Tafsir
Usaha menafsirkan
Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi
Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah
diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
Dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat menggunakan beberapa cara, antar lain.
1.
Menelitinya dalam’
Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling
menafsirkan.
2.
Merujuk kepada
penafsiran Nabi Muhammmad SA, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an.
3.
Apabila mereka tidak
ditemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat
menanyakannya kepada Rasulullah SA, para sahabat berijtihat dengan bantuan
pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi Arab dan keadaan
orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar
belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran
mereka sendiri.
4.
Sebagian sahabat ada
pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah
yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh ah;i Ahlul Kitab yang telah
memeluk agama Islam, seperti Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar dan lain-lain.
Tafsir pada masa
sahabat ini belum merupakan ilmu sendiri’ masih merupakan bagian dari
riwayat-riwayat hadits yang berserakan, belum sistematis seperti tafsir yang
kita kenal sekarang. Di samping belum sistematis pada masa sahabat ini pun
Al-Qur’an belum ditafsirkan secara keseluruhan, dan pembahasannya pun belum
luas dan mendalam.
Sesudah periode
sahabat, datangah generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha yang telah
dirintis oleh para sahabat. Di samping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
dan Hadits Nabi mereka juga merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian
juga tidak lupa mengutip dari Ahlul Kita. Setelah itu baru mereka mengembangkan
penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa Tabi’in, tafsir masih
merupakan bagian dari hadits, tetapi sudah mengelompok menurut kota
masing-masing.
Sesudah masa sahabat
dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwin) hadits dimana riwayat-riwayat
berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum
sistematis seperti susunan Al-Qur’an. Dalam perkembangan selanjutnya
tafsir dipisahkan dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para
ulama mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisi tefsir dari Nabi, sahabat dan
tabi’in dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan itu sudah
mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika
mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain pada masa
awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian di kenal dengan bentuk at-tafsir
bi al-ma’tsur.
Setelah ilmu
pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah, para
mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al-ma’tsur, karena perubahan
dan perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir dengan memperluas
dan memperbesar peran ra’yu atau ijtihad dibandingkan dengan penggunaannya pada
bentuk bi al-ma’tsur. Tafsir dengan bentuk ini kemudian dikenal
dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi.
Dengan at-tafsir
bi-ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula meninggalkan sama
sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran
dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti ilm bahasa Arab, ilmu
Qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqih, ilmu sejarah dan
lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi karena yang
dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.
C.
Bentuk, Metode Dan
Corak Tafsir
1.
Bentuk Penafsiran
Al-Qur’an
Sebagaimana sudah
disinggung dalam uraian perkembangan tafsir diatas, dari segi bentuk dikenal
dengan dua bentuk penafsiran, yaitu :
a.
Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsri Tafsir bi
al-ma’tsur adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan
Sunnah Nabi dan Al-Qur’an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan
tabi’in. Dinamai dengan bi al-ma’tsur (dari kata atsar yang
berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam menafsirkan Al-Qur’an,
seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi
sebelumnya terus sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Karena banyak mennggunakan
riwayat, maka tafsir dengan meode ini dinamai tafsir bi ar-riwayah.
Contoh tafsir
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau ayat dengan ayat adalah firman Allah dalam
Surat Al An’am ayat 82 ditafsirkan oleh surat Luqman ayat 13. Allah SWT
berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا
وَلَمْ يَلْبِسُواإِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Artinya:
“Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah yang mendapat keamanandan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An’am 6:82)
Penafsiran ayat
dengan ayat tidak selamanya berdasarkan petunjuk Nabi seperti dalam contoh di
atas, tetapi bisa juga atas pemahaman para sahabat atau tabi’in seperti dalam
penafsiran maksud kalimatin dalam Surat Al-Baqarah 37. Allah SWT
berfirman:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ
رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Artinya:
“Kemudian Adam
menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat Lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah
2:37)
Contoh tafsir
Al-Qur’an dengan Hadits Nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi,
Ibnu Jarir dan lain-lain dari ‘Adi bin Hati, ia berkata: Aku bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang firman Allah SWT: ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin,
Nabi menjelaskan bahwa ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin,
adalah Yahudi, dan wa la adh-dhallin adalah Nashara.
b.
Tafsir bi ar-Ra’yi
Tafsir biar ar-ra’yi
adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan mrnggunakan kemampun ijtihad atau pemikiran
tanpa meninggalkan tafsir Al_Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hdits dan
tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk
ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengtahuan
seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits,
ushul fiqh, ilmu sejarah, dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi-
ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu
sendiri.
2.
Metode Penafsiran
Al-Qur’an
Dari segi metode
sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu:
a.
Metode Ijmali
Metode ijmali
adalah metode yang paling awal muncu karena sudah digunakan sejak Nabi dan para
sahabat. Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak memberikan
rincian yang detail, hanya secara ijmali atau global.
Dengan metode
ijmali, seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas,
mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai dengan susunan ayat dan
surat di dalam mushaf dengan bahasa yang populer dan mudah dimengerti. Makna
yang diungkapkan ayat-ayat dengan menggunakan lafazh bahasa yang mirip bahkan
sama dengan lafazh Al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya
tersebut tidak jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an itu sendiri.
b.
Metode Tahlili
Setelah metode
ijmali, dikenal metode tahlili. Dengan menggunakan metode ini,
seorang mufasir berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari
berbagai aspek, mulai dari aspek bahasa, asbab an nuzul, munasabah dan
aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat dan kecenderungan mufasir
sendiri. Penafsiran dilakukan dengan menggunakan sistematika mushaf Al-Qur’an,
urut dari awal sampai akhir ayat demi ayat.
c.
Metode Muqarin
Setelah metode ijmali
dan tahlili, muncul metode muqarin atau perbandingan.
d.
Metode Maudhu’i
Yang terakhir muncul
adalah metode maudhu’i atau tematik. Berbeda dengan metode ijmali
dan tahlili yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kronologis
sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, maka metode
maudhu’i ini membahas ayat-ayat yang dalam berbagai surat yang telah
diklasifikasikan dalam tema-tema tertentu.
3.
Corak Penafsiran
Al-Qur’an
Di samping bentuk dan
metode yang sudah dijelaskan di atas, dikenal juga corak pnafsiran. Karena yang
dominan dalam at-tafsir bi-ar-ra’yi adalah pemikiran musafir, baik yang
orisinal dari yang bersangkutan atau mengutip dari sumber-sumber lain, maka
tentu saja hasil penafsiran beragam sesuai latar belakang pengetahuan, sosial
budaya dan kecenderungan masing-masing.
Sejauh ini
corak-corak penafsiran yang dikenal antara lain sebagai berikut:
a.
Corak Sastra Bahasa
Corak sastra bahasa
timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memelukagama islam, serta akibat
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dibanding sastra, sehingga dirasakan
kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman
arti kandungan Al-Qur’an.
b.
Corak Fiqih dan Hukum
Corak fiqih dan
hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih,
yang setiap golongan brusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan
penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
c.
Corak Teologi dan
atau Filsafat
Corak teologi dan
atau filsafat, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara
pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang
dengan sadar atua tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan
lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang
tercermin dalam penafsiran mereka.
d.
Corak Tasawuf
Corak tasawuf, akibat
timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak
terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
e.
Corak Penafsiran
Ilmiah
Corak penafsiran
ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufasir untuk memahami
ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
D.
Proses Penulisan Al-Qur’an
Proses penulisan Al-Qur’an terdiri dari beberapa tahapan atau masa. Yaitu
pada masa Nabi Muhammad SAW, masa khulafa’ur rasyidin, dan pada masa setelah
khulafa’ur rasyidin.
1.
Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang sangat dirindukan oleh Nabi Muhammad
SAW. Sehingga kerinduan Nabi Muhammad SAW terhadap kedatangan wahyu tidak hanya
diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Oleh
karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara
:
a.
Pertama, al Jam’u fis Sudur.
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu turunnya wahyu
dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Persis seperti dijanjikan
Allah SWT dalam surat Al-Qiyamah ayat 17, sebagai berikut :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya.” (Q.S. Al-Qiyamah:17).
Oleh sebab itu, Nabi
Muhammad SAW adalah hafiz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan
merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dala menghafalnya, sebagai
ralisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Setiap kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, para sahabt langsung
menghafalnya diluar kepala.
a.
Kedua, al Jam’u fis
Suthur.
Selain di hafal,
Rasulullah juga mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabat
terkemuka seperti Ali, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat
turun, beliau memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat
tersebutdalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan
didalam hati.
Proses penulisan
Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah
kurma, tulang belulang dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi
Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi
Muhammad SAW.
2.
Pada Masa Khulafa’ur
Rasyidin
a.
Pada Masa Khalifah Abu
Bakar Ash-Shiddiq
Sepeningal Rasulullah
SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al Quran,
dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu
pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Al Quran yang susunan surah-surahnya
menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).
Usaha pengumpulan
tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada
tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad dan juga
para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 70 orang
sahabat penghafal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan hilangnya Al-Qur’an karena para
penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam medan perang. Lalu Umar bin Khattab
menemui Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari
berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan.
Namun pada awalnya Abu Bakar pun tidak setuju dengan apa yang diusulkan
oleh Umar bin Khattab. Karena menurutnya, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah
melakukannya. Tetapi Umar bin Khattab terus membujuk Abu Bakar untuk
melakukannya, dan akhirnya Allah SWT membukakan hati Abu Bakar untuk menerima
usulan tersebut. Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Sabit untuk
melakukannya. Seperti Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit pun menolak perintah
Abu Bakar dengan alas an yang sama. Setelah terjadi musyawarah, akhirnya Zaid
bin Sabit pun setuju.
b.
Pada Masa Khalifah
‘Utsman bin ‘Affan.
Pada
masa pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar
Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa
arab saja (’Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah
satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka
bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh
salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang
bernama Hudzaifah bin Al-Yaman.
Inisiatif
‘Utsman bin ‘Affan untuk menyatukan penulisan Al-Qur’an tampaknya sangat
beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca
Al-Qur’an pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat Islam
saling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi perselisihan diantara mereka.
‘Utsman
bin ‘Affan memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang
memenuhi persyaratan berikut:[2]
1.
Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan
riwayat ahad,
2.
Mengabaikan ayat yang
bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kmbalidihadapan Nabi
Muhmmad SAW pada saat-saat terakhir,
3.
Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang
ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar yang susunan mushafnya berbeda dengan
mushaf ‘Utsman bin ‘Affan.
4.
Sistem penulisan yang
digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan
lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun,
5.
Semua yang bukan
mushaf Al-Qur’an dihilangkan.Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap
penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak
memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu
qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa
kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa
khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi
para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan
mulai segera dilakukan.
c.
Pada Masa Setelah Khulafa’ur Rasyidin.
Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam
penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki
harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang
tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan
membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd
Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana
muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai segera
dilakukan.
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan
dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M.).
Tulis menulis dalam
kalangan orang Arab Jahiliyah amat sedikit.Yang pertama belajar menulis di
antara orang Arab ialah Basyr ibn Abdul Malik, ia belajar kepada orang
Al-Anabar.Tulisan orang Al-Anabar ketika itu diperbaiki (disempurnakan) karena
tulisan itu tidak berbaris dan bertitik.
Islam terus menerus berkembang baik wilayah maupun pemeluknya. Banyak orang
non Arab yang telah masuk islam, maka dari itu benturan-benturan kultural
antara masyarakat Arab dengan orang-orang ‘ajam (non-Arab) tidak dapat
dielakan. Sebab, dikalangan masyarakat Islam terutama orang non Arab sering
terjadi kesalahan dalam melafalkan ayat-ayat Al-Quran.Dengan adanya masalah
seperti itu maka timbulah usaha untuk memberikan pungtuasi (tanda-tanda baca)
dikalangan para ulama ketika itu.
Dalam hal ini ada
beberapa pendapat tentang siapa ulama yang pertama kali berupaya untuk
melakukannya :
1.
Abu Amr al-Daniy dalam
hal ini mengemukakan bahwa, tidak mustahil apabila penulisan titik (sebagai
tanda baca) dimulai oleh para sahabat Nabi.
2.
Banyak juga ulama yang
berpendapat bahwa orang yang pertama melakukan hal itu adalah Abu al-Awad
al-Du’ali, dialah sebagai ulama ahli pertama dalam bidang kaidah bahasa Arab
atas perintah khalifah Ali bin Abi Thalib. Menurut suatu riwayat mengatakan
bahwa Abu al-Aswad al-Du’ali pernah mendengar seseorang di Basrah membaca ayat
Al-Quran dengan cara yang salah, sehingga merubah semua pengertian dan maksud
yang terkandung dalam ayat yang dibaca itu. Kesalahan orang tersebut disebabkan karena tidak
adanya tanda baca yang menunjukan bagaimana seharusnya ayat tersebut dibaca.
Sejak
kejadian itulah Abu al-Aswad al-Du’ali mulai melakukan pekerjaannya, dan
hasilnya sampai kepada pembuatan tanda fathahberupa satu titik
diatas huruf, tanda kasrah satu titik dibawah huruf, dan
tanda dhomah berupa tanda titik disamping huruf, dan
tanda sukun berupa dua titik
Dapat
disimpulkan yaitu diantara nama-nama diatasyang terlebih dahulu meletakan titik
dan harakat atau tanda baca lainnya, bahwasanya mereka semua itu telah ikut
andil dalam upaya menutup kemungkinan terjadinya kekeliruan didalam membaca
Al-Quran, sekaligus memperbagus dan memperindah rasm Al-Quran. Karena itu suatu hal yang kurang logis dan kurang rasional kalau dikatakan
hanya Abu al-Aswad al-Du’ali saja tanpa yang lain. Sedangkan Abu al-Aswad
sendiri hanyalah merupakan sebuah mata rantai pertama dalam proses
penyempurnaan rasm ‘Utsmanymenuju kemudahan dalam membaca Al-Quran
yang benar.
E.
Latar belakang penulisan Al-qur’an
Yang meltar belakangi pembukuan Al quran ini pada zaman khalifah Abu Bakar,
dimana saat itu terjadilah gerakan Musailimah al-Kadzdzab. Dia mengembangkan
khurafatnya dan kebohongan-kebohongannya. Diapun mengaku dirinya nabi dan dia
dapat mempengaruhi Banu Hanifah dari penduduk Yamamah lalu mereka menjadi
murtad. Gerakan ini segera ditindak oleh Abu Bakar dengan mengirimkan pasukan
tentara di bawah pimpinan Khalid bin al-Walid yang terdiri dari 4000 pengendara
kuda, terjadilah clash fisik di Yamamah pada tahun 12 H yang
menimbulkan korban yang tidak sedikit dikalangan pasukan islam terutama para
sahabat yang gugur syahid. Di antara sahabat yang gugur itu adalah Zaid ibnul
Khattab, saudara Umar. Selain daripada itu syahid pula 700 penghafal Al-Qur’an.
Setelah umat islam mengeraskan tekanannya, pertolongan Allah pun datang,
barulah tentara Musailamah hancur dan lari. Umat islam mengejar meraka dan
mengurung tentara musuh itu dalam suatu kebun kurma. Al Barra’ ibn Malikmenaiki
tembok kebun dan menjatuhkan dirinya ke dalam benteng, lalu membuka pintu.
Setelah tentara islam dapat masuk ke dalam, barulah Musailamah dan
kawan-kawannya dapat dibunuh. Kebun tersebut dinamai kebun mati. Orang yang
membunuh Musailamah ini juga telah membunuh Hamzah.
Peristiwa yang tragis itu mendorong Umar untuk menyarankan kepada khalifah
agar segera dipimpin ayat-ayat Al-Qur’an dalam suhuf, karena dikhawatirkan akan
kehilangan sebagaian Al-Qur’an dengan wafatrnya sebagaian para penghafalnya.
Usul Umar dapat diterima oleh Abu Bakar setelah diadakan diskusi dan
pertimbangan yang saksama. Kemudian khalifah memerintahkan kepada Zaid bin
Tsabit agar segera menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu shuhuf.
Zaid
sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini walaupun ia seorang penulis yang
hafal Al-Qur’an. Ia berpegangan dua hal, yaitu:[3]
1.
ayat-ayat
Al-Qur’an ditulis dihadapan Nabi yang di simpan dirumah nabi.
2.
ayat-ayat
yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz Al-Qur’an.
Selain itu juga menerima tulisan dari sahabat lain dengan dua saksi.
Akhirnya dengan kerja keras tim pengumpulan Al-Qur’an yang terdiri Abu Bakar
sebagai pengawas, Umar sebagai pengusul, Zaid sebagai pelaksana dan para
sahabat sebagai pemberi bantuan yaitu Ubay ibn Ka’ab, Ali bin Abi Thalib
dan Utsman bin Affan. Mereka berulang kali mengadakan pertemuan dan mereka
mengumpulkan tulisan-tulisan yang mereka tuliskan di masa nabi. Maka dengan
usaha badan ini terkumpullah Al-Qur’an di dalam shuhuf dari lembaran-lembaran
kertas. Dalam pada itu, juga ada riwayat yang menerangkan, bahwa badan tersebut
menulis Al-Qur’an dalam shuhuf-shuhuf yang terdiri dari kulit dan pelepah
kurma. Inilah pengumpulan pertama.
Sahifah-sahifah (yang terdiri dari 7 huruf dan masih utuh termasuk
ayat-ayat yang belum dinasahkan bacaannya) yang telah dihimpun oleh Zaid lalu
disimpan oleh Abu Bakar, kemudian Umar, lalu Hafsah binti Umar (Hafsah adalah
seorang istri nabi yang hafidz Al-Q’uran), kemudian Utsman bin Affan dan kemudian
dikembalikan lagi kepada Hafsah setelah dilakukan penyalinan oleh Utsman
F.
Tokoh
Kunci Dalam Proses Pembukuan Al Quran
Penulisan alquran pada masa nabi sudah dikenal secara umum. Beberapa
sahabat dikenal sebagai penulis wahyu, antara lain abu bakar assiddiq, umar bin
khattab, ustman bin affa, ali bin abi thalib, mu’awiyah, khalid bin walid, ubay
ibn ka’b, zaid bin tsabit, tsabit ibn qais, amir ibn fuhairah, amr bin ash, abu
musa al-asy’ari, dan abu darda.[4]
Para sahabat meniulis waahyu di kepingan tulang belulang, pelepah korma,
dan bebatuan. Pada masa nabi belum ada upaya untuk melakukan unifikasi dan
kodifikasi alquran. Selain karena wahyu masih turun, juga belum ada kebutuhan
yang mendesak utnuk melakukan upaya itu.
G.
Perbedaan
Mushaf Al Quran Hasil Kodifikasi Pada Masa Umar Dan Usman
Dengan demikian, sesungguhnya , kodifikasi al-Qur’an pada masa Usman
ini memiliki maksud yang berbeda dengan kodifikasi pada masa Abu Bakar,
yakni:[5]
1.
Penyatuan
kaum muslimin kepada satu macam mushaf yang sama ejaan
tulisannya.
2.
Penyatuan
bacaan, dan kalaupun ada perbedaan, namun masih menggunakan teks dan ejaan
Mushaf Usmani
3.
Dan
upaya preventip dalam rangka melestarikan penetapan urutan ayat dan
surat-surat dalam al-Qur’an.
Demikianlah gambaran mengenai kodifikasi al-Qur’an yang telah
dilakukan oleh umat Islam, baik yang terjadi pada masa khalifah pertama,
yakni Abu Bakr, maupun yang terjadi pada masa khalifah ketiga, Utsman bin
al-Affan, dengan segala perbedaan nuansa dan tujuannya. Apapun yang
dilakukan dan apapun motivasinya, barang kali yang paling
signifiokan sekarang ini adalah adanya kesamaan mushhaf al-Qur’an
dan kemufakaan seluruh umat Islam dalam mengakui keabsahan kitab suci
ini. Dan ini merupakan suatu kekayaan yang tidak ternilai harganya bagi
umat Islam.
H.
Pemeliharaan MUSHAF Al-Qur’an dalm masyarkat islam kini
Meskipun
Al-Qur’an telah dibukukan pada masa Usman bin Affan dan semua umat islam
menyakini bahwa di dalamnya tidak ada perubahan dari apa yang telah diturunkan
kepada Rasulullah SAW. 14 abad yang lalu. Namun orang orientalis masih saja ada yang meragukan keotentikan
Al-Qur’an. Diantara mereka ada yang mencoba melakukan من تغير
النص القرأن yaitu perubahan terhadap isi Al-Qu’ran dengan merubah
sebagian teksnya, serta melakukan من تحريف النص
القرأن yaitu merubah satu huruf yang mirip seperti خ dirubah jadi ح sehingga berubah arti dan maknanya.
Upaya-upaya
kaum orientalis ini tidak pernah mengalami keberhasilan karena sangat banyak
umat Islam yang menghafal Al-Qur’an, sehingga perubahan sedikit pun dari
redaksi Al-Qur’an pasti ditemukan. Karena upaya tersebut tidak berhasil maka
mereka mencoba cara lain dengan melakukanتأ ويل القرأن على حسب
الهوي yaitu
melakukan penafsiran tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya. Apalagi
banyaknya kisah israiliyyat yang merasuki penafsiran al-Qur’an. kisah dan
dongeng yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya
kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam
tafsir dan hadits tersebut sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam
sumber-sumber lama.
Mufassir dituntut untuk memperhatikan cakupan pengertian dan keserasian
makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat Al-Qur’an. Di samping itu harus tetap
memelihara dan memperhatikan semua konsekuensi makna yang terkandung dalam
redaksi ayat, serta makna lain yang mengarah kepadanya, yaitu makna yang tidak
terjangkau oleh penyebutan redaksi ayat, tetapi relevan dengannya. Menurut para
ulama, seseorang yang hendak menafsirkan ayat Al-Qur’an, hendaklah lebih dahulu
mencari tafsir ayat tersebut di dalam Al-Qur’an sendiri, karena kerap kali
ayat-ayat itu bersifat global di suatu tempat, sedang penjelasannya terdapat di
tempat lain (ayat lain), terkadang ayat itu bersifat ringkas di suatu tempat,
dan penjelasannya ditemukan di tempat lain (ayat lain). Lantaran yang lebih
mengetahui makna Al-Qur’an secara tepat hanyalah Allah. Jika tidak ada ayat
yang dapat dijadikan tafsir bagi ayat itu, hendaklah memeriksa hadis-hadis
Nabi. Karena sunnah merupakan penjelas makna ayat Al-Qur’an. Jika tidak
menemukan di dalam sunnah hendaklah merujuk kepada perkataan sahabat,
sesungguhnya mereka lebih tahu mengenai hal itu lantaran mereka mendengar
sendiri dari mulut Rasulullah dan menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan
suasana yang meliputi ketika turunnya, mereka juga memiliki pemahaman bahasa
Arab yang benar, ilmu yang benar dan amal shalih.
Dalam
hal tersebut di atas, maka pemeliharaan Al-Qur’an tidaklah berhenti sampai di
situ, melainkan umat Islam di masa sekarang haruslah senantiasa memelihara dan
menjaga keotentikan al-Qur’an dengan cara berusaha menghafal, mempelajari dan
mengkaji Al-Qur’an, serta memahami makna yang sebenarnya berdasarkan kaidah
tafsir, sehingga setiap perubahan isi Al-Qur’an serta adanya upaya untuk
menafsirkan tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya dapat diketahui.
Dengan
mengetahui secara mendalam tentang pengumpulan al-Qur’an, serta memeliharanya
dengan menghafal dan memahami maknanya, maka kita akan menjadikannya pedoman
yang diyakini kebenarannya karena sebuah kitab suci harus dipertanggung
jawabkan keotentikannya sehingga tetap bisa dianggap sebagai kitab suci dan
untuk membuktikan keotentikan sebuah kitab suci salah satu caranya adalah
dengan mengetahui sejarah turun ataupun cara pengumpulannya serta untuk
mengetahui sampai dimana usaha para sahabat setelah Rasululllah saw. wafat,
dalam memelihara dan melestarikan Al-Qur’an.
A. Kesimpulan
Secara etimologis
Tafsir berarti penjelasan, sedangkan secara terminologis tafsir adalah
keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun
tidak diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan
Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan
tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia.
Usaha menafsirkan
Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi
Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah
diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Quran Praktis. Bogor:Pustaka
Utama. 2003.
Al Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al
Qur’an. Jakarta: Pustaka Al Kautsar. 2006.
Al
Zarqani, Manahil al-‘Urfan fi Ulum Al-Qur’an. 2002
al-Banna, Gamal, Evolusi Tafsir: Dari Zaman
Klasik Hingga Zaman Modern, Pent. Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press,
2004.
As Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran. Terj.
Jakarta: Pustaka Firdaus. 1990.
Hamzah, Muchotob. 2003.
Studi Al-Qur’an Komprehensif. Gama Media: Yogyakarta
Ilyas, Yunahar. 2013. Ulumul
Qur’an. Itqan Publishing: Yogyakarta
J.M.S. Baljon, Tafsir
Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991.
Shihab , M. Quraish, Membumikan al-Qur’an
Bandung: Mizan, 1995.
Soenaryo. Muqaddimah Terjemah Al-Qur’an.
Kerajaan Arab Saudi. t.t.,
[4] Al Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al
Qur’an. Jakarta: Pustaka Al Kautsar. 2006, h. 256
Tidak ada komentar:
Posting Komentar