Rabu, 07 Juni 2017

MAKALAH PENYIARAN PUBLIK



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar belakang
Menurut pengamatan Keane, media publik memberikan kesempatan kesempatan berbicara dan didengarkan secara tidak merata di antara para pembaca. Mereka mengandalkan casting profesional atau orang-orang yang menjadi ‘langganan’ yang ditunjuk sendiri oleh media untuk berbicara mewakili umum. Murdock mengacu kepada kegagalan siaran publik dalam mengikuti langkah diskursus sosial politik yang meningkat dengan cepat. Sistem demokratis di tingkat nasional yang bertanggung-jawab memerlukan sistem media yang mempunyai batas yang sama yang dapat menghasilkan diskusi-diskusi isue-isue publik yang tidak berkaitan dengan kepentingan partisan.
Jadi, untuk menguatkan penyiaran publik sebagai model dari pelayanan publik (the public service models) yang dapat menguatkan bangunan public sphere tentunya harus melakukan hal-hal yang dapat mendukung keberlangsungan model pelaynaan publik yang dimaksud. Sehingga, cita-cita tentang public sphere sebagaimana yang disebut oleh Habermas dapat terealisasikan. Konsep ini lahir dari pandangan Nicholas Garnham, pertama, melakukan pengandaian dan usaha-usahanya untuk mengem-bangkan praktek-praktek dalam serangkaian hubungan-hubungan sosial yang lebih bersifat politik daripada ekonomi. Dan kedua, pada saat yang sama berusaha memisahkan diri dari pengendalian negara (pengendalian politik).
Oleh karena itu, yang paling utama adalah mengembalikan masyarakat sebagai manusia politik karena relasi sosial yang ada telah dibentuk oleh ideologi konsumerisme dengan mengajukan isue-isue ekonomi dan politik, pelayanan publik, dan perantara pengetahuan (knowledege broking), pelayanan publik dan partai, pelayanan umum, universalisme dan public sphere internasional. Dalam konteks ini sesungguhnya public sphere akan dapat terwujud, memang tidak sebagaimana yang disebut Habermas sebagai public sphere borjuis. Namun demikian, cita-cita dari public sphere Habermas dapat terwujud melalui pembentukan penyiaran publik di beberapa tempat yang dapat menjadai sarana diskusi publik dalam persoalan-persoalan sosial, politik, dan sebagainya.


1.2    Penegasan istilah
Sebelum masuk ke istilah penyiaran publik, lebih baik mendefinisikan terlebih dahulu kata publik sejauh dimungkinkan. Kata publik, ketika membicarakan pada tingkat lembaga penyiaran publik, secara umum dilekatkan dalam konteks ‘warga negara (citizens) dengan hak-haknya. Menjadi warga negara dan mendapatkan hak-haknya adalah konsekwensi logis secara hukum (juga konsekwensi politis, administratif, dll) dari kontrak sosial bersama, yang melahirkan negara berikut dengan; wilayah negara, warga negara, dan pemerintahan, serta atribut lainya dari negara tersebut. Misalnya penggunaan publik yang dilekatkan pada transportasi publik, pelayanan publik, dll.
Secara khusus, publik dalam istilah penyiaran publik sebagaimana yang disebut oleh Efendi Ghazali dalam ‘Penyiaran Publik dan Penyiaran Komunitas Alternatif tapi Mutlak’, bahwa kata publik diposisikan sekaligus dalam dua (2) pengertian yakni sebagai khalayak (pemirsa atau pendengar) dan sebagai partisipan yang aktif. Pemahaman ini terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat, hak untuk mendapatkan informasi, serta upaya pemberdayaan masyarakat dalam proses menuju masyarakat madani. Philip Savage, Manager of Coverage and Regulatory Affair, CBC (Radio Kanada) mengatakan bahwa yang dikenal dengan penyiaran publik yaitu; ‘A public broadcaster attemps to inform, antertain, and enligten the citizens of the country as citizens first and foremost, that is as active participants in the social, cultural, economic, and political life iof Canada’.
Eric Barendt (dalam Mendel, 2000) membuat definisi tentang media penyiaran publik (public service broadcasting) sebagai media yang: 1) tersedia (available) secara general-geographis, 2) memilikiconcern terhadap identitas dan kultur nasional, 3) bersifat independen, baik dari kepentingan negara maupun kepentingan komersil, 4) memiliki imparsialitas program, 5) memiliki ragam varietas program, dan 6) pembiayaannya dibebankan kepada pengguna media. Definisi tersebut mengandaikan bahwa penyiaran publik dibangun didasarkan pada kepentingan, aspirasi, gagasan publik yang dibuat berdasarkan swadaya dan swamandiri dari masyarakat atau publik pengguna dan pemetik manfaat penyiaran publik.
Oleh karena itu, ketika penyiaran publik dibangun bersama atas partisipasi publik, maka fungsi dan nilai kegunaan penyiaran publik tentunya ditujukan bagi berbagai kepentingan dan aspirasi publik. Sendjaja (2001, h.1) yang terinspirasi oleh Harol D. Lasswell (1946), telah menguraikan beberapa fungsi sosial dari lembaga penyiaran publik. Pertama, sebagai pengawas sosial (social surveillance). Yaitu merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kedua, Korelasi sosial (social correlation). Merujuk pada upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai konsensus. Konsensus sosial ini biasanya untuk memperkuat rasa identitas dari berbagai kelompok untuk menjadi satu kekuatan besar bersama. DanKetiga, Sosialisasi (socialization). Merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lainnya, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Nilai-nilai kearifan masyarakat lokal harus terus dijaga dan dibentengi dari ‘serbuan’ nilai-nilai modern yang ditampilkan melalui institusi-institusi produksi.
Selanjutnya menurut Ashadi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk kehadiran media penyiaran publik di Indonesia. Pertama, telekomunikasi sebagai basis material. Keberadaan media penyiaran publik bertumpu pada ranah (domain) telekomunikasi, yaitu fasilitas transmisi signal. Setiap transmisi menggunakan jalur telekomunikasi berupa gelombang elektromagnetik yang ‘dikuasai’ negara. Regulasi penyiaran publik harus menjamin pengelolaan spektrum gelombang tersebut dalam bingkai penguatan publik.
Kedua, orientasi fungsi publik sebagai basis kultural. Basis kultural dari keberadaan media penyiaran publik sebagai institusi publik ditentukan oleh nilai bersama yang menjadi dasar keberadaannya. Nilai dasar ini mulai dari ketentuan hukum, kebijakan negara, serta konsensus yang tumbuh di lingkungan masyarakat tentang orientasi dan fungsi sosial-kultural yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik. nilai bersama ini diharapkan dirumuskan oleh kaum profesional penyiran publik sebagai titik awal dalam penghayatan atas orientasi fungsional kelembagaan.
Ketiga, sistem jaringan publik. Sistem penyiaran publik pada dasarnya berupa ranah jaringan (networks) penyiaran dan stasiun penyiaran. Masing-masing ranah ini dapat memiliki pola orientasi fungsional yang spesifik, serta pola hubungan institusional satu sama lain. Rumusan kedua macam pola ini diperlukan sebagai dasar sistemik kelembagaan penyiaran publik. Keberadaan media penyiran publik juga ditentukan oleh dukungan sosial dan finansial. Secara kongkrit dukungan ini diwujudkan melalui adanyastake-holder yang berfungsi untuk mendorong dan mengawasi jalannya fungsi kultural penyiaran publik, dan memberi dukungan sistem finansial beroperasinya penyiaran publik.
Keempat, adanya code of conduct profesi dan institusi. Code of conduct dimaksudkan untuk memelihara standar profesi. Biasanya mencakup visi dan misi yang menjadi landasan dari seluruh standar tindakan dan nilai hasil kerja kaum prefesional, bertolak dari sikap terhadap masyarakat, dan pemaknaan atas hasil kerja dalam konteks sosial. Pemaknaan hasil kerja dalam konteks sosial ini perlu ditempatkan dalam konteks makna sosial dari media penyiaran publik. Sebagai acuan standar tindakan profesional dan hasil kerjanya suatu institusi memiliki dua sisi, eksternal untuk menjaga makna sosial dari media massa, dan internal sebagai dasar dalam penilaian (evaluasi) profesional sebagai bagian dalam sistem manejemen personalia.
Dan kelima, sistem kontrol fungsi publik. Untuk menjaga agar suatu institusi dapat berjalan dalam penyelenggaraan yang bersih, perlu dijunjung tinggi prinsip akuntabilitas terhadap stake-holder khususnya dan publik umumnya. Akuntabilitas memiliki dua sisi, menyangkut parameter akuntabilitas akuntasi dan menyangkut prinsip akuntabilitas sosial untuk menjaga orientasi fungsionalnya kepada publik. Jika pertanggungjawaban akuntansi melalui lembaga audit (publik maupun negara), maka akuntabilitas sosial perlu dipertanggung-jawabkan kepada stake-holder dan lembaga yang relevan. Lewat akuntabilitas sosial ini kontrol atas fungsi publik yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik dapat berjalan.


1.3    Rumusan Masalah
1.3.1        Bagaimana kualitas penyiaran publik di indonesia?
1.3.2        Apakah penyiaran publik yang di tayangkan ditelevisi indonesia sudah melalui regulasi yang telah ditetapkan oleh Undang-undang?
1.4    Batasan Masalah
Adapun pembahasan dalam makalah ini hanya di fokuskan pada:
1.4.1        Kualitas penyiaran publik di Indonesia.
1.4.2        Regulasi yang ditetapkan Undang-undang dalam penyiaran publik di Indoesia.















BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Penyiaran Publik
Lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang tidak bersifat komersial, independen/netral dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan publik. Sumber pendanaan penyiaran publik berasal dari negara, iuaran, iklan dan donatur yang tidak mengikat.
Menurut Effendi Gazali setidaknya terdapat lima ciri penyiaran publik: Pertama, akses publik, akses publik di sini dimaksudkan tidak hanya coverage area, tetapi juga menyangkut bagaimana penyiaran publik mau mengangkat isu-isu lokal dan memprosuksi program-program lokal sehingga  misalnya dapat membentuk secara alami dari bawah, tokoh-tokoh lokal yang betul-betul mengenal. Dikenal dan mewakili masyarakatnya.
Kedua, dana publik, perlu diingat bahwa lembaga penyiaran publik tidak hanya mengandalkan keuangannya dari anggaran negara tetapi juga dari iuran dan donatur. NHK di jepang misalnya 90% anggarannya berasal dari sumbangan sukarela masyarakat Jepang. ABC di Australia mayoritas anggarannya berasal dari pemerintah federal Australia.
Ketiga, akuntabilitas publik, karena dana utamanya dari publik, maka terdapat kewajiban bagi penyiaran publik untuk membuatr akuntabilitas finansialnya. Di banyak TV publik di Amerika Serikat, pemirsa dapat melihat neraca keuangan stasiunnya setiap saat yang disebut public file.
Kempat, keterlibatan publik, keterlibatan publik di sini, bisa berarti (pertama) menjadi penontonnya, kemudian menjadi kelompok yang dengan rela membantu menyumbangkan tenaga, pikiran, dan dana untuk kelangsungan penyiaran publik; dan yang demikian penting adalah keterlibatan dalam ikut memberi arah pada program-program yang akan dibuat serta ikut mengaevaluasinya.
Kelima, kepentingan publik lebih dimenangkan dari pada kepentingan iklan. Misalnya, ada satu acara yang begitu baik dan bermanfaat menurut publik, namun ratingnya rendah, maka ia tetap akan diproduksi dan diupayakan tetap dipertahankan penayangannya. Tentu kontras dengan penyiaran komersial.
Hakikat penyiaran publik adalah diakuinya supervisi dan evaluasi publik pada level yang signifikan. Publik di sini dibaca sebagai "warga negara." Hanya karena adanya hakikat inilah maka stasiun publik dapat melakukan apa yang didengung-dengungkan sebagai public service itu.
Mengapa kita berkomunikasi? Apa fungsi komunikasi bagi manusia? Pertanyaan ini begitu luas, bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga tidak mudah bagi kita untuk menjawabnya. Apalagi kalau pertanyaanya kita lebih fokuskan seperti, mengapa kita berkomunikasi ? cara-cara seperti apa yang menjadikan komunikasi menjadi efektif, dsb. Kalau kita teliti lebih lanjut, pertanyaan tersebut merupakan dasar ketika kita akan mendalami proses komunikasi antar manusia. Baik itu komunikasi yang bersifat langsung, interpersonal maupun komunikasi yang menggunakan media, baik media komunikasi interpersonal dan media massa.
Sebelum masuk ke istilah penyiaran publik, lebih baik mendefinisikan terlebih dahulu kata publik sejauh dimungkinkan. Kata publik, ketika membicarakan pada tingkat lembaga penyiaran publik, secara umum dilekatkan dalam konteks ‘warga Negara (citizens) dengan hak-haknya. Menjadi warga negara dan mendapatkan hak-haknya adalah konsekwensi logis secara hokum (juga konsekwensi politis, administratif, dll) dari kontrak sosial bersama, yang melahirkan negara berikut dengan; wilayah negara, warga negara, dan pemerintahan, serta atribut lainya dari negara tersebut. Misalnya penggunaan publik yang dilekatkan pada transportasi publik, pelayanan publik, dll.
Secara khusus, publik dalam istilah penyiaran publik sebagaimana yang disebut oleh Efendi Ghazali dalam ‘Penyiaran Publik dan Penyiaran Komunitas Alternatif tapi  Mutlak, bahwa kata publik diposisikan sekaligus dalam dua (2) pengertian yakni sebagai khalayak (pemirsa atau pendengar) dan sebagai partisipan yang aktif. Pemahaman ini terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat, hak untuk mendapatkan informasi, serta upaya pemberdayaan masyarakat dalam proses menuju masyarakat madani. Philip Savage, Manager of Coverage and Regulatory Affair, CBC (Radio Kanada) mengatakan bahwa yang dikenal dengan penyiaran publik yaitu; ‘A public broadcaster attemps to inform, antertain, and enligten the citizens of the country as citizens first and foremost, that is as active participants in the social, cultural, economic, and political life iof Canada’. Eric Barendt (dalam Mendel, 2000) membuat definisi tentang media penyiaran publik (public service broadcasting) sebagai media yang:
- tersedia (available) secara general-geographis,
- memiliki concern terhadap identitas dan kultur nasional,
- bersifat independen, baik dari kepentingan negara maupun kepentingan komersil,
- memiliki imparsialitas program,
- memiliki ragam varietas program, dan
- pembiayaannya dibebankan kepada pengguna media.
Definisi tersebut mengandaikanbahwa penyiaran publik dibangun didasarkan pada kepentingan, aspirasi, gagasan publikyang dibuat berdasarkan swadaya dan swamandiri dari masyarakat atau public pengguna dan pemetik manfaat penyiaran publik. Oleh karena itu, ketika penyiaran publik dibangun bersama atas partisipasi publik, maka fungsi dan nilai kegunaan penyiaran publik tentunya ditujukan bagi berbagai kepentingan dan aspirasi publik. Sendjaja yang terinspirasi oleh Harol D. Lasswell (1946), telah menguraikan beberapa fungsi sosial dari lembaga penyiaran publik. Pertama, sebagai pengawas sosial (social surveillance). Yaitu merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Media penyiaran publik, khususnya TVRI dan RRI sebenarnya bisa membuat suatu reformasi semacam itu. Pemaparan yang jelas mengenai efek negatif media massa perlu ditonjolkan. Pada akhirnya, masyarakat menampakkan kesadarannya akan penggunaan media massa. Hal ini berujung pada penggunaan TVRI dan RRI sebagai sarana pendidikan dalam publik kita. Memang tidak mudah dalam melaksanakannya.
Salah satu hal lain yang sebenarnya menjadi permasalahan yang sangat pelik yakni issue mengenai status pegawai negeri bagi para pegawai di TVRI dan RRI. Menurut Leen d’Haenens ini sangatlah membahayakan “Bukankah ini berarti status mengembalikan TVRI dan RRI persis seperti di era Orde Baru?” Lembaga media penyiaran benar-benar dipertegas dan dipersempit ruang geraknya. Pada akhirnya, pemerintahlah yang mengatur segala-galanya. Padahal dengan semacam itu, berarti juga memasung bagaimana media penyiaran publik tersebut bekerja penuh untuk publik juga.
Bagaimanapun juga, media penyiaran di Indonesia juga tetap harus dibanggakan. Setiap pemerintahan di Indonesia tentunya menginginkan perkembangan yang baik bagi kualitas penyiarannya. Presiden Megawati juga dinilai sangat konsen dengan perkembangan media penyiaran ini. Munculnya KPI dan UU Penyiaran tidak boleh dilepaskan dari situ.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang berperan dalam bidang penyiaran di Indonesia mempunyai tanggungjawab besar dalam penataan penyiaran yang ada di Indonesia. Persoalannya tidak sekedar pada content siaran namun juga pada infrastruktur penyiaran yang mencakup persoalan distribusi frekuensi. Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia memang dimaksudkan sebagai perwujudan peran serta masyarakat yang berfungsi untuk mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat dan penyiaran. Dibentuknya KPI di Indonesia ini sebenarnya sangatlah wajar mengingat bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi. Namun yang perlu digarisbawai bahwa KPI tetap harus bekerja dengan segala tanggungjawab moral yang diserahkan kembali di masyarakat. Bagaimanakah penyiaran yang baik itu ditata dan disusun oleh KPI.
Secara khusus, publik dalam istilah penyiaran publik diposisikan dalam dua pengertian, yakni sebagai khalayak (pemirsa atau pendengar) dan sebagai partisipan yang aktif. Pemahaman ini terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat, hak untuk mendapatkan informasi, serta upaya pemberdayaan masyarakat dalam proses menuju civil society. Sementara mengenai syarat penyiaran publik (public service broadcasting), diantaranya adalah media  yang: 1) tersedia (available) secara “general-geographis”, 2) memiliki concern terhadap identitas dan kultur nasional, 3) bersifat independen, baik dari kepentingan negara maupun kepentingan komersil, 4) memiliki imparsialitas program, 5) memiliki ragam variasi program, dan 6) pembiayaannya dibebankan kepada pengguna media. Definisi tersebut mengandaikan bahwa penyiaran publik dibangun didasarkan pada kepentingan, aspirasi, gagasan publik yang dibuat berdasarkan swadaya dan swamandiri dari masyarakat atau publik pengguna dan pemetik manfaat penyiaran publik. Oleh karena itu, ketika penyiaran publik dibangun bersama atas partisipasi publik, maka fungsi dan nilai kegunaan penyiaran publik tentunya ditujukan bagi berbagai kepentingan dan aspirasi publik.
Kebebasan bisnis media yang berkembang tanpa kendali membuat ranah penyiaran kita kehilangan asas keadilan, pemerataan, etika, sekaligus keberagaman. Dalam hal kepemilikan lembaga penyiaran oleh swasta, telah terjadi pelanggaran terang-terangan terhadap peraturan yang berlaku.
Contohnya, sejumlah korporasi lembaga penyiaran swasta bisa menguasai dua atau tiga stasiun penyiaran (televisi juga radio), dalam satu badan usaha, di satu wilayah siaran. Sebut saja korporasi MNC yang menguasai RCTI, Global TV dan MNC (dulu TPI) di wilayah Jakarta. Kemudian grup Elang Mahkota Teknologi (EMTK) memiliki SCTV dan Omni-TV (O Channel), ditambah upaya akuisisi grup EMTK terhadap Indosiar. Kemudian grup Visi Media Asia yang hendak masuk ke pasar modal dengan menguasai dua stasiun ANteve dan TVOne yang sama-sama berbasis di Jakarta.
Itu semua jelas melanggar pasal 18, pasal 20, pasal 34 ayat (4) Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Peraturan Pemerintah No 50 tahun 2005 pasal 34 ayat (1) huruf (a) tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Sementara itu UU Penyiaran juga mengatur penyertaan modal asing dalam usaha penyiaran dibatasi maksimum 20%, kendati kenyataannya sudah seringkali dilanggar.
Pasal-pasal tersebut pada intinya melarang seseorang atau badan hukum memiliki dan atau menguasai lebih dari satu lembaga penyiaran swasta di satu daerah. Selain melarang konsentrasi kepemilikan, UU Penyiaran juga melarang pemindahtanganan izin penyelenggaraan siaran –dalam arti dijual atau dialihkan kepada badan hukum lain. Sanksi terhadap pelanggaran itu ialah pidana penjara (2-5 tahun), denda 500 juta sampai 10 milyar, serta pencabutan izin penyiaran.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menyampaikan pandangan hukum atas rencana pengambilalihan stasiun penyiaran karena itu berpotensi melanggar hukum. Sayangnya, peringatan KPI itu diabaikan oleh “regulator negara” yaitu Bapepam dan Kementerian Kominfo. Kami menduga terjadi kongkalikong bisnis perizinan penyiaran dan penggunaan frekuensi yang membuat pelanggaran terhadap UU Penyiaran makin meluas, tanpa bisa dicegah. Kami berpendapat, aparatur pemerintah yang paling bertanggung jawab terhadap carut-marut kepemilikan stasiun penyiaran (TV dan radio) saat ini ialah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga Negara yang bersifat independen yang ada di pusat maupun daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang  sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. KPI melakukan peran-perannya sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Dalam menjalankan fungsinya, KPI juga mempunyai beberapa wewenang yaitu: (1) Menetapkan standar program siaran dan Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran. (2) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program  siaran dan Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat. (3) Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran.
Regulasi Media adalah aturan-aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan yang mengatur hubungan dan operasinal media massa. Regulasi sangat penting bagi keteraturan dan keseimbangan hubungan media dengan pemerintah, masyarakat, sesama industri media dan global media. (Umaimah : 2011)
Regulasi media tidak jarang dianggap sebagai suatu aturan yang bersifat membatasi, adanya kontrol penuh, bahkan dianggap sebagai penghalang atas kebebasan berekspresi. Namun, harus diakui bahwa regulasi media sangat diperlukan dalam situasi tertentu. Berikut terdapat tiga alasan pentingnya regulasi media (Ibid, 148).
Yang pertama adalah regulasi media membantu audience mendapatkan informasi sesuai dengan tuntutan kualitas tertentu. Yang kedua adalah regulasi mempunyai sisi di mana menjaga aturan pasar agar tidak terciptanya monopoli atau bahkan komersialisasi media. Sedangkan yang ketiga, regulasi bukanlah sebagai sarana dari kaum mayoritas untuk mendominasi kaum minoritas. Regulasi justru tetap dapat menjunjung tinggi nilai kebebasan berekspresi setiap individu. Regulasi bahkan dapat memaksa mayoritas untuk tetap mau membuka diri terhadap kritik atas penyimpangan yang telah dilakukan. Hal tersebut dilakukan demi mewujudkan prinsip pluralitas di Indonesia, di mana adanya sikap menghargai kesamaan individu dan memungkinkan partisipasi yang sama dalam proses demokrasi (Haryatmoko, 2007:149).
2.2    Regulasi Penyiaran
Regulasi penyiaran di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Dengan adanya UU tersebut, penyelenggaraan penyiaran mendapat kepastian hukum dan menjadi lebih tertib.
Menurut Mike Feintuck (1998) seperti yang dikutip Muhamad Mufid, dewasa ini regulasi penyiaran mencakup tiga hal, yakni regulasi struktur, tingkah laku, dan isi. Regulasi struktur (structural regulation) berisi kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku (behavioral regulation) dimaksudkan untuk mengatur tata laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi (content regulation) berisi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan.
Regulasi struktur berisi kepemilikan media oleh pasar. Maksudnya adalah bahwa frekuensi radio atau televisi yang diberikan pemerintah kepada penyelenggaraan media, ada hak kepemilikan masyarakat. Jadi pasar disini adalah masyarakat. Contohnya ketika masyarakat menerima informasi tayangan berita kriminal (misalnya SERGAP) tentang perkosaan berantai di Bali, kemudian ada perkembangan mengenai kasus tersebut, SERGAP kembali menyampaikan informasi bahwa ternyata kasus perkosaan berantai tidak hanya terjadi di Bali, namun pelaku juga beraksi di Batam. Tanpa informasi dari media, masyarakat tidak akan tahu perkembangan kasus tersebut. Dan oleh sebab itu, SERGAP terus mengikuti perkembangan kasus tersebut agar masyarakat tahu akan informasi dan terus waspada.
Regulasi isi berisi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan. Dalam program SERGAP isi siaran mengandung informasi pendidikan, kewaspadaan dan warning. Hal ini sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 pasal 36. Dalam penyiaran, isi siaran dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang.
2.3    Model-Model Regulasi Penyiaran
Dalam hubungannya dengan model kepemerintahan suatu negara, Leen d’Haenens seperti dikutip Muhamad Mufid membagi model regulasi penyiaran menjadi lima, yaitu:
a. Model Otoriter
Tujuan dari model ini lebih sebagai upaya menjadikan penyiaran sebagai alat negara. Radio dan televisi sedemikian rupa diarahkan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan melestarikan kekuasaan. Ciri khas dari model ini kuatnya lembaga sensor terutama yang menyangkut keberbedaan. Dunia penyiaran selama Orde Baru praktis berada pada kondisi seperti ini.
b. Model Komunis
Aspek yang membedakan model komunis dan model lainnya ialah dilarangnya kepemilikan swasta, karena media dalam model ini dilihat sebagai milik kelas pekerja (biasanya terlambang kan dalam partai komunis) dan media merupakan sarana sosialisasi, edukasi, informasi dan motivasi.
c. Model Barat- Paternalistik
Sistem penyiaran ini banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa Barat semisal Inggris. Sifat dari penyiaran ini adalah top-down dimana kebijakan media bukan apa yang audiens inginkan tapi lebih sebagai keyakinan penguasa bahwa kebijakan yang dibuat memang membutuhkan dan diinginkan oleh rakyat.

d. Model Barat- Liberal
Secara umum sama dengan model Paternalistik, hanya berbeda dalam fungsi media komersialnya. Disamping sebgai media penyedia informasi dan hiburan, media juga memiliki fungsi mengembangkan hubungan yang penting dengan aspek-aspek lain yang mendukung independensi ekonomi dan keuangan.

e. Demokratis- Participan Model
Model ini dikembangkan oleh mereka yang memercayai sebagai powerful medium. Termasuk dalam model ini adalah berbagai media penyiaran alternatif. Sifat komunikasi dalam model ini adalah dua arah.

2.4    Sanksi Regulasi Penyiaran
Sanksi terhadap pelanggaran regulasi penyiaran berupa sanksi administratif tertera pada pasal 55 UU No. 32 Tahun 2002 yaitu:
1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2), Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 Ayat (2), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 Ayat (7), Pasal 34 Ayat (5) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf f, Pasal 36 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4), Pasal 39 Ayat (1), Pasal 43 Ayat (2), Pasal 44 Ayat (1), Pasal 46 Ayat (6), Ayat (7), Ayat (8), Ayat (9), dan Ayat (11), dikenai sanksi administratif.
2)   Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. Teguran Tertulis
b. Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
c. Pembatasan durasi dan waktu siaran;
d. Denda administratif;
e. Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
f. Tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;
g. Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.

2.5    Pelanggaran Regulasi Penyiaran

1.      KPI Pusat melayangkan surat teguran kedua pada Trans 7 dan SCTV terkait adanya pelanggaran pada penayangan program siaran iklan “On Clinic” di kedua stasiun televisi tersebut. Pelanggaran yang dilakukan SCTV adalah penayangan materi dewasa berupa pengobatan vitalitas seksual pada jam anak dan remaja. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan anak dan remaja, penggolongan program siaran, dan siaran iklan. Selain pelanggaran di atas, hasil pemantauan kami juga menemukan materi pelanggaran yang sama pada tanggal 8 Februari 2011 pukul 11.40 WIB, 29 Maret 2011 pukul 11.41 WIB, 31 Maret 2011 pukul 11.49 WIB, 5 April 2011 mulai pukul 11.50 WIB dan 7 April 2011 mulai pukul 11.37 WIB.
Dalam waktu yang bersamaan KPI Pusat juga memberikan teguran kepada Trans7 dalam pelanggaran program yang sama. Pelanggaran yang dilakukan adalah penayangan materi pada 16 Februari 2011 pukul 12.09 WIB, 17 Februari 2011, pukul 12.14 WIB, 1 April 2011 pukul 17.04 WIB, 6 April 2011 mulai pukul 12.28 WIB  dan 9 April 2011 mulai pukul 12.13 WIB.
2.      Acara reality show "Orang Ketiga" di Trans Tv  dapat dikatakan melanggar hak privasi seseorang disebabkan terjadinya penguntitan, perekaman tersembunyi di ruang privasi, terhadap seseorang tanpa izin sebelumnya dari orang yang bersangkutan serta penayangan wajah dan aib seseorang yang disiarkan kepada khalayak ramai. Hal ini merupakan masalah yang menimbulkan pertanyaan bagaimana dasar hukum suatu media massa televisi dapat menayangkan acara yang mengumbar privasi dan bagaimana tanggung jawab stasiun televisi jika terjadi suatu tuntutan dari pihak korban yang merasa terugikan oleh acara seperti itu. Namun daripada semuanya itu, Trans Tv tidak dapat dipidana oleh karena adanya perjanjian (alasan pembenar) antara Trans Tv dengan para pihak yang terlibat termasuk korban/target khususnya. Saran bagi Trans Tv harus memperhatikan dan menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya tentang privasi seseorang, penggantian istilah reality show dengan drama nyata, perekaan ulang setiap adegan dengan pemain tidak sebenarnya. Saran bagi KPI menyuluh setiap stasiun televisi mengenai cara beretika dan menerapkan peraturan hukum penyiaran khususnya program faktual terkait privasi orang dan bersama pemerintah membuat sanksi administratif dan pidana spesifik mengenai pelanggaran hak privasi dalam regulasi penyiaran.
3.      Menurut Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) 2012, ada empat bentuk pelanggaran yang kerap dilakukan acara komedi. Pelanggaran tersebut yakni melecehkan orang dengan kondisi fisik dan pekerjaan tertentu, pelanggaran atas perlindungan anak, melanggar norma kesopanan dan kesusilaan serta melanggar penggolongan program siaran dengan klasifikasi remaja.
Delapan siaran yang menerima teguran itu yakni Sahurnya Pesbukers (ANTV), Yuk Kita Sahur (Trans TV), Sahurnya OVJ (Trans 7), Karnaval Ramadhan (Trans TV), Hafidz Indonesia (RCTI), Mengetuk Pintu Hati (SCTV), Promo Siaran Karnaval Ramadhan (Trans TV), dan Iklan PT Djarum edisi Ramadhan versi merawat orang tua.
Dalam berbagai acara komedi, beberapa adegan tidak pantas ditampilkan di ruang publik. Beberapa adegan yang tidak pantas itu adalah pelemparan tempung atau bedak ke wajah atau kepala, mendorong tanpa alasan jelas, menoyor kepala, menjejalkan sesuatu ke mulut, memukul dengan benda tertentu, hingga aksi mencium ketiak. Selain itu, acara komedi juga kerap menampilkan pemain pria yang berpakaian perempuan dan sebaliknya. Selain itu, banyak acara komedi menghadirkan kuis dengan pertanyaan sepele yang cenderung meremehkan kecerdasan publik.
4.      Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali berdasarkan kewenangan menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) Pengaduan masyarakat, pemantauan dan hasil analisis siaran telah menemukan pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 pada program siaran “Mr. Tukul Jalan-jalan”, Katagori Reality Show yang ditayangkan oleh Trans 7, pada tanggal 14, 15 dan 22 Pebruari 2015, pukul 23.00 wita.
Program tersebut menampilkan Tukul sebagai Host yang tidak menggunakan pakaian yang pantas dan menggunakan Pura sebagai tempat pengambilan gambar untuk tayangan yang berbau mistik, horror, dan/atau supranatural.  KPID Bali, menilai tayangan tersebut tidak mencerminkan penghormatan terhadap suku, agama, ras,  dan/atau antar golongan serta tidak memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan dalam masyarakat yang sepatutnya di junjung tinggi. Jenis tayangan ini dikatagorikan sebagai pelanggaran atas penghormatan terhadap suku, agama, ras, dan/atau antar golongan serta kesopanan yang berlaku di masyarakat.

2.6    Alasan Kenapa Kita Butuh Regulasi Penyiaran
Pertama, masalah ekonomi. Ekonomi pasar mempunyai dua asumsi, yaitu: kompetisi akan menghasilkan sesuatu yang baik bagi masyarakat dan praktek bisnis yang tidak adil tidak diizinkan karena akan mengurangi kadar kompetisi. Maksudnya adalah kompetisi pada gilirannya diharapkan menghasilkan suatu produk yang baik dan murah yang bisa dijangkau masyarakat. Secara teoritis, perusahaan yang menghasilkan produk yang baik dengan harga yang murahlah yang akan bertahan dalam persaingan.
Kedua, regulasi dipeuntukkan bagi usaha-usaha yang memang secara notabene menghasilkan dampak negatif yang luas di masyarakat. Contoh yang pas untuk ini adalah peraturan mengenai tembakau atau rokok. Tembakau berdasarkan riset, mempunyai dampak buruk bagi kesehatan, tetapi masih juga diperdagangkan. Untuk itu maka pemerintah perlu membuat regulasi agar masyarakat lain yang memang tidak suka dengan tembakau bisa terjaga haknya untuk hidup secara sehat.
Ketiga, regulasi dibuat jika produk atau perusahaan menghasilkan dampak negatif bagi individu yang lebih besar daripada manfaatnya secara keseluruhan bagi masyarakat. Hak atas informasi tercantum dalam First Amandment. Orang berhak atas informasi yang ada disekitarnya dan media bertugas untuk menyampaikannya sesuai dengan fungsinya sebagai pengawas lingkungan. Namun, dalam usahanya menyampaikan informasi, cara bagaimana media mendapatkan informasi tersebut haruslah sesuai dengan peraturan yang ada.
Keempat, bagi pemberlakuan regulasi  mengenai arus informasi selama terjadinya perang. Ketika terjadi peperangan, maka pemerintah berhak untuk melakukan upaya sensor dan membatasi ruang gerak media jika dirasa itu membahayakan para tentara yang terlibat dalam peperangan. Adalah wajar jika selama perang, media lebih didominasi oleh pemberitaan yang sifatnya propaganda. Ini dimaksudkan agar moral para tentara tetap terjaga dan masyarakat mau mendukung pemerintah memenangkan peperangan tersebut.
Kelima, yang membuat pemerintah untuk memberlakukan regulasi adalah alasan keamanan dalam negerinya. Media dibatasi untuk meliput dan mengungkap sebuah kasus jika itu dirasa mengancam stabilitas dan keamanan dalam negeri.















BAB III
PENUTUP
3.1     Kesimpulan
pemerintah telah beritikad baik untuk mengontrol kebebasan media massa di Indonesia tanpa mengurangi kebebasan media massa itu sendiri. Walau bagaimanapun, kebebasan media massa harus menjadi kebebasan yang bertanggung jawab.
Penyebab lemahnya regulasi penyiaran di Indonesia adalah karena Kekuatan media yang dipercaya dan mampu mempengaruhi masyarakat adalah salah satu faktor utama mengapa beberapa media tidak “dikontrol”. Selain itu, alasan dengan dasar “demokrasi” dan kebebasan berpendapat membuat banyak pihak dengan bebas melakukan segala kepentingannya di media miliknya. Contoh jelas dari kasus ini adalah TvOne (yang dimiliki Aburizal Bakrie) dengan nuansa ARB dan iklan politiknya yang kental.
Pemanfaatan celah yang belum ada dan belum tercantum/dibahas dalam Undang-Undang juga membuat banyak pihak melakukan banyak hal sekehendak hati. Hal ini  berawal dari tidak adanya hukum yang jelas bagi mereka yang melanggar Undang-Undang penyiaran, sehingga banyak pihak cenderung mengacuhkan dan menilai bahwa Undang-Undang tersebut hanya sekedar formalitas belaka.
Hal inilah yang perlu diurus dan dibahas lebih lanjut. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan banyak tidak diketahui oleh masyarakat awam, dan karena masyarakat terlalu terpaku dengan media, karena kurangnya literasi media, akan membuat mereka lebih percaya pada media massa daripada KPI dan sebagainya.
Disinilah regulasi berperan untuk menjaga kepentingan masyarakat dari kepentingan-kepentingan tertentu. Tujuannya yaitu untuk meminimalisir masyarakat yang memiliki potensi besar untuk menjadi korban konvergensi media, khususnya generasi muda yang dianggap memiliki akses terhadap media konvergen dan rancunya batasan seberapa jauh isi media konvergen dianggap melanggar norma yang berlaku.
Namun, yang menarik ialah bahwa teknologi selalu mendahului regulasi. Bagaimana caranya mengontrol semua ini? Yang dianggap paling berwenang ialah negara karena negara dianggap penyeimbang antara pasar dan masyarakat. Di sisi lain negara mempunyai wewenang untuk menjaga efektifnya sebuah regulasi. Secara ideal hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat seharusnya berjalan seimbang. Jangan sampai salah satu pihak mendominasi dan masyarakat hanya bisa menerima informasi apa yang diberikan media.

3.2 Saran

1.      KPI perlu meningkatkan kapasitas pemantauan agar lebih maksimal dalam memantau siaran-siaran di media penyiaran.
2.      KPI diharapkan lebih konsisten dan tegas dalam menegakkan rambu-rambu dalam P3SPS yang telah direvisi.
3.      Media penyiaran mesti lebih mengetatkan penegakan etika penyiaran agar lebih profesional dalam menyajikan tayangan di stasiun-stasiun penyiaran.
4.      Masyarakat diharapkan lebih bersikap selektif dalam memilih tayangan atau siaran karena berkaitan dengan jumlah rating suatu tayangan.




















DAFTAR PUSTAKA


Mufid, Muhammad. (2005). Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Kencana – Prenada Media
Darwanto. (2007). Televisi Sebagai Media Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Nurudin. (2007). Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...