BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Menurut pengamatan Keane, media publik
memberikan kesempatan kesempatan berbicara dan didengarkan secara tidak merata
di antara para pembaca. Mereka mengandalkan casting profesional atau
orang-orang yang menjadi ‘langganan’ yang ditunjuk sendiri oleh media untuk
berbicara mewakili umum. Murdock mengacu kepada kegagalan siaran publik dalam
mengikuti langkah diskursus sosial politik yang meningkat dengan cepat. Sistem
demokratis di tingkat nasional yang bertanggung-jawab memerlukan sistem media
yang mempunyai batas yang sama yang dapat menghasilkan diskusi-diskusi
isue-isue publik yang tidak berkaitan dengan kepentingan partisan.
Jadi, untuk menguatkan penyiaran publik sebagai
model dari pelayanan publik (the public service models) yang
dapat menguatkan bangunan public sphere tentunya harus melakukan hal-hal yang
dapat mendukung keberlangsungan model pelaynaan publik yang dimaksud. Sehingga,
cita-cita tentang public sphere sebagaimana yang disebut oleh Habermas dapat terealisasikan.
Konsep ini lahir dari pandangan Nicholas Garnham, pertama,
melakukan pengandaian dan usaha-usahanya untuk mengem-bangkan praktek-praktek
dalam serangkaian hubungan-hubungan sosial yang lebih bersifat politik daripada
ekonomi. Dan kedua, pada saat yang sama berusaha memisahkan
diri dari pengendalian negara (pengendalian politik).
Oleh karena itu, yang paling utama adalah
mengembalikan masyarakat sebagai manusia politik karena relasi sosial yang ada
telah dibentuk oleh ideologi konsumerisme dengan mengajukan isue-isue ekonomi
dan politik, pelayanan publik, dan perantara pengetahuan (knowledege
broking), pelayanan publik dan partai, pelayanan umum,
universalisme dan public sphere internasional. Dalam konteks ini sesungguhnya
public sphere akan dapat terwujud, memang tidak sebagaimana yang disebut
Habermas sebagai public sphere borjuis. Namun demikian, cita-cita dari public
sphere Habermas dapat terwujud melalui pembentukan penyiaran publik di beberapa
tempat yang dapat menjadai sarana diskusi publik dalam persoalan-persoalan
sosial, politik, dan sebagainya.
1.2
Penegasan
istilah
Sebelum masuk ke istilah penyiaran publik,
lebih baik mendefinisikan terlebih dahulu kata publik sejauh dimungkinkan. Kata
publik, ketika membicarakan pada tingkat lembaga penyiaran publik, secara umum
dilekatkan dalam konteks ‘warga negara (citizens) dengan hak-haknya.
Menjadi warga negara dan mendapatkan hak-haknya adalah konsekwensi logis secara
hukum (juga konsekwensi politis, administratif, dll) dari kontrak sosial bersama,
yang melahirkan negara berikut dengan; wilayah negara, warga negara, dan
pemerintahan, serta atribut lainya dari negara tersebut. Misalnya penggunaan
publik yang dilekatkan pada transportasi publik, pelayanan publik, dll.
Secara khusus, publik dalam istilah penyiaran
publik sebagaimana yang disebut oleh Efendi Ghazali dalam ‘Penyiaran Publik dan
Penyiaran Komunitas Alternatif tapi Mutlak’, bahwa kata publik diposisikan
sekaligus dalam dua (2) pengertian yakni sebagai khalayak (pemirsa atau
pendengar) dan sebagai partisipan yang aktif. Pemahaman ini terkait dengan
kebebasan menyatakan pendapat, hak untuk mendapatkan informasi, serta upaya
pemberdayaan masyarakat dalam proses menuju masyarakat madani. Philip
Savage, Manager of Coverage and Regulatory Affair, CBC (Radio
Kanada) mengatakan bahwa yang dikenal dengan penyiaran publik yaitu; ‘A
public broadcaster attemps to inform, antertain, and enligten the citizens of
the country as citizens first and foremost, that is as active participants in
the social, cultural, economic, and political life iof Canada’.
Eric Barendt (dalam Mendel, 2000) membuat
definisi tentang media penyiaran publik (public service broadcasting)
sebagai media yang: 1) tersedia (available) secara general-geographis,
2) memilikiconcern terhadap identitas dan kultur nasional, 3)
bersifat independen, baik dari kepentingan negara maupun kepentingan komersil,
4) memiliki imparsialitas program, 5) memiliki ragam varietas program, dan 6)
pembiayaannya dibebankan kepada pengguna media. Definisi tersebut mengandaikan
bahwa penyiaran publik dibangun didasarkan pada kepentingan, aspirasi, gagasan
publik yang dibuat berdasarkan swadaya dan swamandiri dari masyarakat atau
publik pengguna dan pemetik manfaat penyiaran publik.
Oleh karena itu, ketika penyiaran publik
dibangun bersama atas partisipasi publik, maka fungsi dan nilai kegunaan
penyiaran publik tentunya ditujukan bagi berbagai kepentingan dan aspirasi
publik. Sendjaja (2001, h.1) yang terinspirasi oleh Harol D. Lasswell (1946),
telah menguraikan beberapa fungsi sosial dari lembaga penyiaran publik. Pertama,
sebagai pengawas sosial (social surveillance). Yaitu merujuk pada
upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang objektif mengenai berbagai
peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan
kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kedua, Korelasi
sosial (social correlation). Merujuk pada upaya pemberian interpretasi
dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya
atau antara satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai
konsensus. Konsensus sosial ini biasanya untuk memperkuat rasa identitas dari
berbagai kelompok untuk menjadi satu kekuatan besar bersama. DanKetiga,
Sosialisasi (socialization). Merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai
dari satu generasi ke generasi lainnya, atau dari satu kelompok ke kelompok
lainnya. Nilai-nilai kearifan masyarakat lokal harus terus dijaga dan
dibentengi dari ‘serbuan’ nilai-nilai modern yang ditampilkan melalui
institusi-institusi produksi.
Selanjutnya menurut Ashadi, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan untuk kehadiran media penyiaran publik di
Indonesia. Pertama, telekomunikasi sebagai basis material.
Keberadaan media penyiaran publik bertumpu pada ranah (domain) telekomunikasi,
yaitu fasilitas transmisi signal. Setiap transmisi menggunakan jalur
telekomunikasi berupa gelombang elektromagnetik yang ‘dikuasai’ negara.
Regulasi penyiaran publik harus menjamin pengelolaan spektrum gelombang
tersebut dalam bingkai penguatan publik.
Kedua, orientasi
fungsi publik sebagai basis kultural. Basis kultural dari keberadaan media
penyiaran publik sebagai institusi publik ditentukan oleh nilai bersama yang
menjadi dasar keberadaannya. Nilai dasar ini mulai dari ketentuan hukum,
kebijakan negara, serta konsensus yang tumbuh di lingkungan masyarakat tentang
orientasi dan fungsi sosial-kultural yang harus dijalankan oleh media penyiaran
publik. nilai bersama ini diharapkan dirumuskan oleh kaum profesional penyiran
publik sebagai titik awal dalam penghayatan atas orientasi fungsional
kelembagaan.
Ketiga, sistem
jaringan publik. Sistem penyiaran publik pada dasarnya berupa ranah jaringan (networks)
penyiaran dan stasiun penyiaran. Masing-masing ranah ini dapat memiliki pola
orientasi fungsional yang spesifik, serta pola hubungan institusional satu sama
lain. Rumusan kedua macam pola ini diperlukan sebagai dasar sistemik
kelembagaan penyiaran publik. Keberadaan media penyiran publik juga ditentukan
oleh dukungan sosial dan finansial. Secara kongkrit dukungan ini diwujudkan
melalui adanyastake-holder yang berfungsi untuk mendorong dan
mengawasi jalannya fungsi kultural penyiaran publik, dan memberi dukungan
sistem finansial beroperasinya penyiaran publik.
Keempat,
adanya code of conduct profesi dan institusi. Code
of conduct dimaksudkan untuk memelihara standar profesi. Biasanya
mencakup visi dan misi yang menjadi landasan dari seluruh standar tindakan dan
nilai hasil kerja kaum prefesional, bertolak dari sikap terhadap masyarakat,
dan pemaknaan atas hasil kerja dalam konteks sosial. Pemaknaan hasil kerja
dalam konteks sosial ini perlu ditempatkan dalam konteks makna sosial dari
media penyiaran publik. Sebagai acuan standar tindakan profesional dan hasil
kerjanya suatu institusi memiliki dua sisi, eksternal untuk menjaga makna
sosial dari media massa, dan internal sebagai dasar dalam penilaian (evaluasi)
profesional sebagai bagian dalam sistem manejemen personalia.
Dan kelima, sistem kontrol fungsi
publik. Untuk menjaga agar suatu institusi dapat berjalan dalam penyelenggaraan
yang bersih, perlu dijunjung tinggi prinsip akuntabilitas terhadap stake-holder khususnya
dan publik umumnya. Akuntabilitas memiliki dua sisi, menyangkut parameter
akuntabilitas akuntasi dan menyangkut prinsip akuntabilitas sosial untuk
menjaga orientasi fungsionalnya kepada publik. Jika pertanggungjawaban
akuntansi melalui lembaga audit (publik maupun negara), maka akuntabilitas
sosial perlu dipertanggung-jawabkan kepada stake-holder dan
lembaga yang relevan. Lewat akuntabilitas sosial ini kontrol atas fungsi publik
yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik dapat berjalan.
1.3
Rumusan
Masalah
1.3.1
Bagaimana
kualitas penyiaran publik di indonesia?
1.3.2
Apakah
penyiaran publik yang di tayangkan ditelevisi indonesia sudah melalui regulasi
yang telah ditetapkan oleh Undang-undang?
1.4
Batasan
Masalah
Adapun
pembahasan dalam makalah ini hanya di fokuskan pada:
1.4.1
Kualitas
penyiaran publik di Indonesia.
1.4.2
Regulasi yang
ditetapkan Undang-undang dalam penyiaran publik di Indoesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Penyiaran
Publik
Lembaga penyiaran publik adalah lembaga
penyiaran yang tidak bersifat komersial, independen/netral dan berfungsi
memberikan layanan untuk kepentingan publik. Sumber pendanaan penyiaran publik
berasal dari negara, iuaran, iklan dan donatur yang tidak mengikat.
Menurut Effendi Gazali setidaknya
terdapat lima ciri penyiaran publik: Pertama, akses publik, akses publik di
sini dimaksudkan tidak hanya coverage area, tetapi juga menyangkut bagaimana
penyiaran publik mau mengangkat isu-isu lokal dan memprosuksi program-program
lokal sehingga misalnya dapat membentuk secara alami dari bawah,
tokoh-tokoh lokal yang betul-betul mengenal. Dikenal dan mewakili
masyarakatnya.
Kedua, dana publik, perlu diingat bahwa
lembaga penyiaran publik tidak hanya mengandalkan keuangannya dari anggaran
negara tetapi juga dari iuran dan donatur. NHK di jepang misalnya 90%
anggarannya berasal dari sumbangan sukarela masyarakat Jepang. ABC di Australia
mayoritas anggarannya berasal dari pemerintah federal Australia.
Ketiga, akuntabilitas publik, karena
dana utamanya dari publik, maka terdapat kewajiban bagi penyiaran publik untuk
membuatr akuntabilitas finansialnya. Di banyak TV publik di Amerika Serikat,
pemirsa dapat melihat neraca keuangan stasiunnya setiap saat yang disebut
public file.
Kempat, keterlibatan publik,
keterlibatan publik di sini, bisa berarti (pertama) menjadi penontonnya,
kemudian menjadi kelompok yang dengan rela membantu menyumbangkan tenaga,
pikiran, dan dana untuk kelangsungan penyiaran publik; dan yang demikian penting
adalah keterlibatan dalam ikut memberi arah pada program-program yang akan
dibuat serta ikut mengaevaluasinya.
Kelima, kepentingan publik lebih
dimenangkan dari pada kepentingan iklan. Misalnya, ada satu acara yang begitu
baik dan bermanfaat menurut publik, namun ratingnya rendah, maka ia tetap akan
diproduksi dan diupayakan tetap dipertahankan penayangannya. Tentu kontras
dengan penyiaran komersial.
Hakikat penyiaran publik adalah
diakuinya supervisi dan evaluasi publik pada level yang signifikan. Publik di
sini dibaca sebagai "warga negara." Hanya karena adanya hakikat
inilah maka stasiun publik dapat melakukan apa yang didengung-dengungkan
sebagai public service itu.
Mengapa kita berkomunikasi? Apa fungsi
komunikasi bagi manusia? Pertanyaan ini begitu luas, bisa dilihat dari berbagai
sudut pandang. Sehingga tidak mudah bagi kita untuk menjawabnya. Apalagi kalau
pertanyaanya kita lebih fokuskan seperti, mengapa kita berkomunikasi ?
cara-cara seperti apa yang menjadikan komunikasi menjadi efektif, dsb. Kalau
kita teliti lebih lanjut, pertanyaan tersebut merupakan dasar ketika kita akan
mendalami proses komunikasi antar manusia. Baik itu komunikasi yang bersifat
langsung, interpersonal maupun komunikasi yang menggunakan media, baik media
komunikasi interpersonal dan media massa.
Sebelum masuk ke istilah penyiaran
publik, lebih baik mendefinisikan terlebih dahulu kata publik sejauh
dimungkinkan. Kata publik, ketika membicarakan pada tingkat lembaga penyiaran
publik, secara umum dilekatkan dalam konteks ‘warga Negara (citizens) dengan
hak-haknya. Menjadi warga negara dan mendapatkan hak-haknya adalah konsekwensi
logis secara hokum (juga konsekwensi politis, administratif, dll) dari kontrak
sosial bersama, yang melahirkan negara berikut dengan; wilayah negara, warga
negara, dan pemerintahan, serta atribut lainya dari negara tersebut. Misalnya
penggunaan publik yang dilekatkan pada transportasi publik, pelayanan publik,
dll.
Secara khusus, publik dalam istilah
penyiaran publik sebagaimana yang disebut oleh Efendi Ghazali dalam ‘Penyiaran
Publik dan Penyiaran Komunitas Alternatif tapi Mutlak, bahwa kata publik
diposisikan sekaligus dalam dua (2) pengertian yakni sebagai khalayak (pemirsa
atau pendengar) dan sebagai partisipan yang aktif. Pemahaman ini terkait dengan
kebebasan menyatakan pendapat, hak untuk mendapatkan informasi, serta upaya
pemberdayaan masyarakat dalam proses menuju masyarakat madani. Philip Savage,
Manager of Coverage and Regulatory Affair, CBC (Radio Kanada) mengatakan bahwa
yang dikenal dengan penyiaran publik yaitu; ‘A public broadcaster attemps to
inform, antertain, and enligten the citizens of the country as citizens first
and foremost, that is as active participants in the social, cultural, economic,
and political life iof Canada’. Eric Barendt (dalam Mendel, 2000) membuat
definisi tentang media penyiaran publik (public service broadcasting) sebagai
media yang:
- tersedia (available) secara general-geographis,
- memiliki concern terhadap identitas dan kultur nasional,
- bersifat independen, baik dari kepentingan negara maupun
kepentingan komersil,
- memiliki imparsialitas program,
- memiliki ragam varietas program, dan
- pembiayaannya dibebankan kepada pengguna media.
Definisi tersebut mengandaikanbahwa
penyiaran publik dibangun didasarkan pada kepentingan, aspirasi, gagasan
publikyang dibuat berdasarkan swadaya dan swamandiri dari masyarakat atau
public pengguna dan pemetik manfaat penyiaran publik. Oleh karena itu, ketika
penyiaran publik dibangun bersama atas partisipasi publik, maka fungsi dan
nilai kegunaan penyiaran publik tentunya ditujukan bagi berbagai kepentingan
dan aspirasi publik. Sendjaja yang terinspirasi oleh Harol D. Lasswell (1946),
telah menguraikan beberapa fungsi sosial dari lembaga penyiaran publik.
Pertama, sebagai pengawas sosial (social surveillance). Yaitu merujuk pada
upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang objektif mengenai berbagai
peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan
kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Media penyiaran publik, khususnya TVRI
dan RRI sebenarnya bisa membuat suatu reformasi semacam itu. Pemaparan yang
jelas mengenai efek negatif media massa perlu ditonjolkan. Pada akhirnya,
masyarakat menampakkan kesadarannya akan penggunaan media massa. Hal ini
berujung pada penggunaan TVRI dan RRI sebagai sarana pendidikan dalam publik
kita. Memang tidak mudah dalam melaksanakannya.
Salah satu hal lain yang sebenarnya
menjadi permasalahan yang sangat pelik yakni issue mengenai status pegawai negeri
bagi para pegawai di TVRI dan RRI. Menurut Leen d’Haenens ini sangatlah membahayakan “Bukankah ini berarti
status mengembalikan TVRI dan RRI persis seperti di era Orde Baru?” Lembaga
media penyiaran benar-benar dipertegas dan dipersempit ruang geraknya. Pada
akhirnya, pemerintahlah yang mengatur segala-galanya. Padahal dengan semacam
itu, berarti juga memasung bagaimana media penyiaran publik tersebut bekerja
penuh untuk publik juga.
Bagaimanapun juga, media penyiaran di
Indonesia juga tetap harus dibanggakan. Setiap pemerintahan di Indonesia
tentunya menginginkan perkembangan yang baik bagi kualitas penyiarannya.
Presiden Megawati juga dinilai sangat konsen dengan perkembangan media
penyiaran ini. Munculnya KPI dan UU Penyiaran tidak boleh dilepaskan dari situ.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
sebagai lembaga yang berperan dalam bidang penyiaran di Indonesia mempunyai
tanggungjawab besar dalam penataan penyiaran yang ada di Indonesia.
Persoalannya tidak sekedar pada content siaran namun juga pada infrastruktur
penyiaran yang mencakup persoalan distribusi frekuensi.
Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia memang dimaksudkan sebagai perwujudan
peran serta masyarakat yang berfungsi untuk mewadahi aspirasi serta mewakili
kepentingan masyarakat dan penyiaran. Dibentuknya
KPI di Indonesia ini sebenarnya sangatlah wajar mengingat bahwa Indonesia
menganut sistem demokrasi. Namun yang perlu digarisbawai bahwa KPI tetap harus
bekerja dengan segala tanggungjawab moral yang diserahkan kembali di
masyarakat. Bagaimanakah penyiaran yang baik itu ditata dan disusun oleh KPI.
Secara khusus, publik dalam istilah
penyiaran publik diposisikan dalam dua pengertian, yakni sebagai khalayak
(pemirsa atau pendengar) dan sebagai partisipan yang aktif. Pemahaman ini
terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat, hak untuk mendapatkan informasi,
serta upaya pemberdayaan masyarakat dalam proses menuju civil society.
Sementara mengenai syarat penyiaran publik (public service broadcasting),
diantaranya adalah media yang: 1) tersedia (available) secara
“general-geographis”, 2) memiliki concern terhadap identitas dan
kultur nasional, 3) bersifat independen, baik dari kepentingan negara maupun
kepentingan komersil, 4) memiliki imparsialitas program, 5) memiliki ragam
variasi program, dan 6) pembiayaannya dibebankan kepada pengguna media.
Definisi tersebut mengandaikan bahwa penyiaran publik dibangun didasarkan pada
kepentingan, aspirasi, gagasan publik yang dibuat berdasarkan swadaya dan
swamandiri dari masyarakat atau publik pengguna dan pemetik manfaat penyiaran
publik. Oleh karena itu, ketika penyiaran publik dibangun bersama atas
partisipasi publik, maka fungsi dan nilai kegunaan penyiaran publik tentunya
ditujukan bagi berbagai kepentingan dan aspirasi publik.
Kebebasan bisnis media yang berkembang tanpa kendali membuat ranah
penyiaran kita kehilangan asas keadilan, pemerataan, etika, sekaligus
keberagaman. Dalam hal kepemilikan lembaga penyiaran oleh swasta, telah terjadi
pelanggaran terang-terangan terhadap peraturan yang berlaku.
Contohnya, sejumlah korporasi lembaga penyiaran swasta bisa menguasai
dua atau tiga stasiun penyiaran (televisi juga radio), dalam satu badan usaha,
di satu wilayah siaran. Sebut saja korporasi MNC yang menguasai RCTI, Global TV
dan MNC (dulu TPI) di wilayah Jakarta. Kemudian grup Elang Mahkota Teknologi
(EMTK) memiliki SCTV dan Omni-TV (O Channel), ditambah upaya akuisisi grup EMTK
terhadap Indosiar. Kemudian grup Visi Media Asia yang hendak masuk ke pasar
modal dengan menguasai dua stasiun ANteve dan TVOne yang sama-sama berbasis di
Jakarta.
Itu semua jelas melanggar pasal 18, pasal 20, pasal 34 ayat (4) Undang
Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Peraturan Pemerintah No 50
tahun 2005 pasal 34 ayat (1) huruf (a) tentang Lembaga Penyiaran Swasta.
Sementara itu UU Penyiaran juga mengatur penyertaan modal asing dalam usaha
penyiaran dibatasi maksimum 20%, kendati kenyataannya sudah seringkali
dilanggar.
Pasal-pasal tersebut pada intinya melarang seseorang atau badan hukum
memiliki dan atau menguasai lebih dari satu lembaga penyiaran swasta di satu
daerah. Selain melarang konsentrasi kepemilikan, UU Penyiaran juga melarang
pemindahtanganan izin penyelenggaraan siaran –dalam arti dijual atau dialihkan
kepada badan hukum lain. Sanksi terhadap pelanggaran itu ialah pidana penjara
(2-5 tahun), denda 500 juta sampai 10 milyar, serta pencabutan izin penyiaran.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menyampaikan pandangan hukum
atas rencana pengambilalihan stasiun penyiaran karena itu berpotensi melanggar hukum.
Sayangnya, peringatan KPI itu diabaikan oleh “regulator negara” yaitu Bapepam
dan Kementerian Kominfo. Kami menduga terjadi kongkalikong bisnis perizinan
penyiaran dan penggunaan frekuensi yang membuat pelanggaran terhadap UU
Penyiaran makin meluas, tanpa bisa dicegah. Kami berpendapat, aparatur
pemerintah yang paling bertanggung jawab terhadap carut-marut kepemilikan
stasiun penyiaran (TV dan radio) saat ini ialah Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga Negara yang bersifat
independen yang ada di pusat maupun daerah yang tugas dan wewenangnya diatur
dalam Undang-Undang sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang
penyiaran. KPI melakukan peran-perannya sebagai wujud peran serta masyarakat
yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan
penyiaran. Dalam menjalankan fungsinya, KPI juga mempunyai beberapa wewenang
yaitu: (1) Menetapkan standar program siaran dan Menyusun peraturan dan
menetapkan pedoman perilaku penyiaran. (2) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan
pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran dan Melakukan
koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat.
(3) Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku
penyiaran serta standar program siaran.
Regulasi Media adalah aturan-aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan
yang mengatur hubungan dan operasinal media massa. Regulasi sangat penting bagi
keteraturan dan keseimbangan hubungan media dengan pemerintah, masyarakat,
sesama industri media dan global media. (Umaimah : 2011)
Regulasi media tidak jarang dianggap sebagai suatu aturan yang bersifat
membatasi, adanya kontrol penuh, bahkan dianggap sebagai penghalang atas
kebebasan berekspresi. Namun, harus diakui bahwa regulasi media sangat
diperlukan dalam situasi tertentu. Berikut terdapat tiga alasan pentingnya
regulasi media (Ibid, 148).
Yang pertama adalah regulasi media membantu audience mendapatkan
informasi sesuai dengan tuntutan kualitas tertentu. Yang kedua adalah regulasi
mempunyai sisi di mana menjaga aturan pasar agar tidak terciptanya monopoli
atau bahkan komersialisasi media. Sedangkan yang ketiga, regulasi bukanlah
sebagai sarana dari kaum mayoritas untuk mendominasi kaum minoritas. Regulasi
justru tetap dapat menjunjung tinggi nilai kebebasan berekspresi setiap
individu. Regulasi bahkan dapat memaksa mayoritas untuk tetap mau membuka diri
terhadap kritik atas penyimpangan yang telah dilakukan. Hal tersebut dilakukan
demi mewujudkan prinsip pluralitas di Indonesia, di mana adanya sikap
menghargai kesamaan individu dan memungkinkan partisipasi yang sama dalam
proses demokrasi (Haryatmoko, 2007:149).
2.2
Regulasi
Penyiaran
Regulasi penyiaran di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Dengan adanya UU tersebut,
penyelenggaraan penyiaran mendapat kepastian hukum dan menjadi lebih tertib.
Menurut Mike Feintuck (1998) seperti yang dikutip
Muhamad Mufid, dewasa ini regulasi penyiaran mencakup tiga hal, yakni regulasi
struktur, tingkah laku, dan isi. Regulasi struktur (structural regulation)
berisi kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku (behavioral
regulation) dimaksudkan untuk mengatur tata laksana penggunaan properti
dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi (content regulation)
berisi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan.
Regulasi struktur berisi kepemilikan media oleh pasar.
Maksudnya adalah bahwa frekuensi radio atau televisi yang diberikan pemerintah
kepada penyelenggaraan media, ada hak kepemilikan masyarakat. Jadi pasar disini
adalah masyarakat. Contohnya ketika masyarakat menerima informasi tayangan
berita kriminal (misalnya SERGAP) tentang perkosaan berantai di Bali, kemudian
ada perkembangan mengenai kasus tersebut, SERGAP kembali menyampaikan informasi
bahwa ternyata kasus perkosaan berantai tidak hanya terjadi di Bali, namun
pelaku juga beraksi di Batam. Tanpa informasi dari media, masyarakat tidak akan
tahu perkembangan kasus tersebut. Dan oleh sebab itu, SERGAP terus mengikuti
perkembangan kasus tersebut agar masyarakat tahu akan informasi dan terus
waspada.
Regulasi isi berisi batasan material siaran yang boleh
dan tidak untuk disiarkan. Dalam program SERGAP isi siaran mengandung informasi
pendidikan, kewaspadaan dan warning. Hal ini sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002
pasal 36. Dalam penyiaran, isi siaran dilarang menonjolkan unsur kekerasan,
cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang.
2.3
Model-Model
Regulasi Penyiaran
Dalam hubungannya dengan model kepemerintahan suatu
negara, Leen d’Haenens seperti dikutip Muhamad Mufid membagi model regulasi
penyiaran menjadi lima, yaitu:
a. Model
Otoriter
Tujuan dari model ini lebih sebagai upaya menjadikan
penyiaran sebagai alat negara. Radio dan televisi sedemikian rupa diarahkan
untuk mendukung kebijakan pemerintah dan melestarikan kekuasaan. Ciri khas dari
model ini kuatnya lembaga sensor terutama yang menyangkut keberbedaan. Dunia
penyiaran selama Orde Baru praktis berada pada kondisi seperti ini.
b. Model Komunis
Aspek yang membedakan model komunis dan model lainnya
ialah dilarangnya kepemilikan swasta, karena media dalam model ini dilihat
sebagai milik kelas pekerja (biasanya terlambang kan dalam partai komunis) dan
media merupakan sarana sosialisasi, edukasi, informasi dan motivasi.
c. Model Barat-
Paternalistik
Sistem penyiaran ini banyak diterapkan oleh
negara-negara Eropa Barat semisal Inggris. Sifat dari penyiaran ini adalah
top-down dimana kebijakan media bukan apa yang audiens inginkan tapi lebih
sebagai keyakinan penguasa bahwa kebijakan yang dibuat memang membutuhkan dan
diinginkan oleh rakyat.
d. Model Barat-
Liberal
Secara umum sama dengan model Paternalistik, hanya
berbeda dalam fungsi media komersialnya. Disamping sebgai media penyedia
informasi dan hiburan, media juga memiliki fungsi mengembangkan hubungan yang
penting dengan aspek-aspek lain yang mendukung independensi ekonomi dan
keuangan.
e. Demokratis-
Participan Model
Model ini dikembangkan oleh mereka yang memercayai
sebagai powerful medium. Termasuk dalam model ini adalah berbagai media
penyiaran alternatif. Sifat komunikasi dalam model ini adalah dua arah.
2.4
Sanksi Regulasi
Penyiaran
Sanksi terhadap pelanggaran regulasi penyiaran berupa
sanksi administratif tertera pada pasal 55 UU No. 32 Tahun 2002 yaitu:
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15
ayat (2), Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 Ayat (2), Pasal 27, Pasal 28,
Pasal 33 Ayat (7), Pasal 34 Ayat (5) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf f,
Pasal 36 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4), Pasal 39 Ayat (1), Pasal 43 Ayat
(2), Pasal 44 Ayat (1), Pasal 46 Ayat (6), Ayat (7), Ayat (8), Ayat (9), dan
Ayat (11), dikenai sanksi administratif.
2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. Teguran Tertulis
b. Penghentian sementara mata acara
yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
c. Pembatasan durasi dan waktu
siaran;
d. Denda administratif;
e. Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu
tertentu;
f. Tidak diberi perpanjangan izin
penyelenggaraan penyiaran;
g. Pencabutan izin penyelenggaraan
penyiaran.
2.5
Pelanggaran
Regulasi Penyiaran
1.
KPI Pusat
melayangkan surat teguran kedua pada Trans 7 dan SCTV terkait adanya
pelanggaran pada penayangan program siaran iklan “On Clinic” di kedua stasiun
televisi tersebut. Pelanggaran yang dilakukan SCTV adalah penayangan materi
dewasa berupa pengobatan vitalitas seksual pada jam anak dan remaja. Jenis
pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan anak dan
remaja, penggolongan program siaran, dan siaran iklan. Selain pelanggaran di
atas, hasil pemantauan kami juga menemukan materi pelanggaran yang sama pada
tanggal 8 Februari 2011 pukul 11.40 WIB, 29 Maret 2011 pukul 11.41 WIB, 31
Maret 2011 pukul 11.49 WIB, 5 April 2011 mulai pukul 11.50 WIB dan 7 April 2011
mulai pukul 11.37 WIB.
Dalam waktu
yang bersamaan KPI Pusat juga memberikan teguran kepada Trans7 dalam
pelanggaran program yang sama. Pelanggaran yang dilakukan adalah penayangan
materi pada 16 Februari 2011 pukul 12.09 WIB, 17 Februari 2011, pukul 12.14
WIB, 1 April 2011 pukul 17.04 WIB, 6 April 2011 mulai pukul 12.28 WIB dan
9 April 2011 mulai pukul 12.13 WIB.
2.
Acara reality
show "Orang Ketiga" di Trans Tv dapat dikatakan melanggar
hak privasi seseorang disebabkan terjadinya penguntitan, perekaman tersembunyi
di ruang privasi, terhadap seseorang tanpa izin sebelumnya dari orang yang
bersangkutan serta penayangan wajah dan aib seseorang yang disiarkan kepada
khalayak ramai. Hal ini merupakan masalah yang menimbulkan pertanyaan bagaimana
dasar hukum suatu media massa televisi dapat menayangkan acara yang mengumbar
privasi dan bagaimana tanggung jawab stasiun televisi jika terjadi suatu
tuntutan dari pihak korban yang merasa terugikan oleh acara seperti itu. Namun
daripada semuanya itu, Trans Tv tidak dapat dipidana oleh karena adanya
perjanjian (alasan pembenar) antara Trans Tv dengan para pihak yang terlibat
termasuk korban/target khususnya. Saran bagi Trans Tv harus memperhatikan dan
menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya tentang privasi
seseorang, penggantian istilah reality show dengan drama nyata, perekaan ulang
setiap adegan dengan pemain tidak sebenarnya. Saran bagi KPI menyuluh setiap
stasiun televisi mengenai cara beretika dan menerapkan peraturan hukum
penyiaran khususnya program faktual terkait privasi orang dan bersama
pemerintah membuat sanksi administratif dan pidana spesifik mengenai
pelanggaran hak privasi dalam regulasi penyiaran.
3.
Menurut Pedoman
Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) 2012, ada empat bentuk
pelanggaran yang kerap dilakukan acara komedi. Pelanggaran tersebut yakni
melecehkan orang dengan kondisi fisik dan pekerjaan tertentu, pelanggaran atas
perlindungan anak, melanggar norma kesopanan dan kesusilaan serta melanggar
penggolongan program siaran dengan klasifikasi remaja.
Delapan siaran yang menerima teguran itu yakni
Sahurnya Pesbukers (ANTV), Yuk Kita Sahur (Trans TV), Sahurnya OVJ (Trans 7),
Karnaval Ramadhan (Trans TV), Hafidz Indonesia (RCTI), Mengetuk Pintu Hati
(SCTV), Promo Siaran Karnaval Ramadhan (Trans TV), dan Iklan PT Djarum edisi
Ramadhan versi merawat orang tua.
Dalam berbagai acara komedi, beberapa adegan tidak
pantas ditampilkan di ruang publik. Beberapa adegan yang tidak pantas itu
adalah pelemparan tempung atau bedak ke wajah atau kepala, mendorong tanpa
alasan jelas, menoyor kepala, menjejalkan sesuatu ke mulut, memukul dengan
benda tertentu, hingga aksi mencium ketiak. Selain itu, acara komedi juga kerap
menampilkan pemain pria yang berpakaian perempuan dan sebaliknya. Selain itu,
banyak acara komedi menghadirkan kuis dengan pertanyaan sepele yang cenderung
meremehkan kecerdasan publik.
4.
Komisi Penyiaran
Indonesia Daerah Bali berdasarkan kewenangan menurut Undang-undang No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) Pengaduan masyarakat, pemantauan dan
hasil analisis siaran telah menemukan pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran
dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 pada program
siaran “Mr. Tukul Jalan-jalan”, Katagori Reality Show yang ditayangkan oleh
Trans 7, pada tanggal 14, 15 dan 22 Pebruari 2015, pukul 23.00 wita.
Program
tersebut menampilkan Tukul sebagai Host yang tidak menggunakan pakaian yang
pantas dan menggunakan Pura sebagai tempat pengambilan gambar untuk tayangan
yang berbau mistik, horror, dan/atau supranatural. KPID Bali, menilai
tayangan tersebut tidak mencerminkan penghormatan terhadap suku, agama, ras,
dan/atau antar golongan serta tidak memperhatikan norma kesopanan dan
kesusilaan dalam masyarakat yang sepatutnya di junjung tinggi. Jenis tayangan
ini dikatagorikan sebagai pelanggaran atas penghormatan terhadap suku, agama,
ras, dan/atau antar golongan serta kesopanan yang berlaku di masyarakat.
2.6
Alasan Kenapa
Kita Butuh Regulasi Penyiaran
Pertama, masalah ekonomi. Ekonomi pasar
mempunyai dua asumsi, yaitu: kompetisi akan menghasilkan sesuatu yang baik bagi
masyarakat dan praktek bisnis yang tidak adil tidak diizinkan karena akan
mengurangi kadar kompetisi. Maksudnya adalah kompetisi pada gilirannya
diharapkan menghasilkan suatu produk yang baik dan murah yang bisa dijangkau
masyarakat. Secara teoritis, perusahaan yang menghasilkan produk yang baik dengan
harga yang murahlah yang akan bertahan dalam persaingan.
Kedua, regulasi dipeuntukkan bagi
usaha-usaha yang memang secara notabene menghasilkan dampak negatif yang luas
di masyarakat. Contoh yang pas untuk ini adalah peraturan mengenai tembakau
atau rokok. Tembakau berdasarkan riset, mempunyai dampak buruk bagi kesehatan,
tetapi masih juga diperdagangkan. Untuk itu maka pemerintah perlu membuat
regulasi agar masyarakat lain yang memang tidak suka dengan tembakau bisa
terjaga haknya untuk hidup secara sehat.
Ketiga, regulasi dibuat jika produk atau
perusahaan menghasilkan dampak negatif bagi individu yang lebih besar daripada
manfaatnya secara keseluruhan bagi masyarakat. Hak atas informasi tercantum
dalam First Amandment. Orang berhak atas informasi yang ada disekitarnya dan
media bertugas untuk menyampaikannya sesuai dengan fungsinya sebagai pengawas
lingkungan. Namun, dalam usahanya menyampaikan informasi, cara bagaimana media
mendapatkan informasi tersebut haruslah sesuai dengan peraturan yang ada.
Keempat, bagi pemberlakuan regulasi
mengenai arus informasi selama terjadinya perang. Ketika terjadi peperangan,
maka pemerintah berhak untuk melakukan upaya sensor dan membatasi ruang gerak
media jika dirasa itu membahayakan para tentara yang terlibat dalam peperangan.
Adalah wajar jika selama perang, media lebih didominasi oleh pemberitaan yang
sifatnya propaganda. Ini dimaksudkan agar moral para tentara tetap terjaga dan
masyarakat mau mendukung pemerintah memenangkan peperangan tersebut.
Kelima, yang membuat pemerintah untuk
memberlakukan regulasi adalah alasan keamanan dalam negerinya. Media dibatasi
untuk meliput dan mengungkap sebuah kasus jika itu dirasa mengancam stabilitas
dan keamanan dalam negeri.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
pemerintah telah beritikad baik untuk mengontrol
kebebasan media massa di Indonesia tanpa mengurangi kebebasan media massa itu
sendiri. Walau bagaimanapun, kebebasan media massa harus menjadi kebebasan yang
bertanggung jawab.
Penyebab lemahnya regulasi penyiaran di Indonesia
adalah karena Kekuatan media yang dipercaya dan mampu mempengaruhi masyarakat
adalah salah satu faktor utama mengapa beberapa media tidak “dikontrol”. Selain
itu, alasan dengan dasar “demokrasi” dan kebebasan berpendapat membuat banyak pihak
dengan bebas melakukan segala kepentingannya di media miliknya. Contoh jelas
dari kasus ini adalah TvOne (yang dimiliki Aburizal Bakrie) dengan nuansa ARB
dan iklan politiknya yang kental.
Pemanfaatan celah yang belum ada dan belum
tercantum/dibahas dalam Undang-Undang juga membuat banyak pihak melakukan
banyak hal sekehendak hati. Hal ini berawal dari tidak adanya hukum yang
jelas bagi mereka yang melanggar Undang-Undang penyiaran, sehingga banyak pihak
cenderung mengacuhkan dan menilai bahwa Undang-Undang tersebut hanya sekedar
formalitas belaka.
Hal inilah yang perlu diurus dan dibahas lebih lanjut.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan banyak tidak diketahui oleh masyarakat
awam, dan karena masyarakat terlalu terpaku dengan media, karena kurangnya
literasi media, akan membuat mereka lebih percaya pada media massa daripada KPI
dan sebagainya.
Disinilah regulasi berperan untuk menjaga kepentingan
masyarakat dari kepentingan-kepentingan tertentu. Tujuannya yaitu untuk
meminimalisir masyarakat yang memiliki potensi besar untuk menjadi korban
konvergensi media, khususnya generasi muda yang dianggap memiliki akses
terhadap media konvergen dan rancunya batasan seberapa jauh isi media konvergen
dianggap melanggar norma yang berlaku.
Namun, yang menarik ialah bahwa teknologi selalu
mendahului regulasi. Bagaimana caranya mengontrol semua ini? Yang dianggap
paling berwenang ialah negara karena negara dianggap penyeimbang antara pasar
dan masyarakat. Di sisi lain negara mempunyai wewenang untuk menjaga efektifnya
sebuah regulasi. Secara ideal hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat
seharusnya berjalan seimbang. Jangan sampai salah satu pihak mendominasi dan
masyarakat hanya bisa menerima informasi apa yang diberikan media.
3.2 Saran
1.
KPI perlu
meningkatkan kapasitas pemantauan agar lebih maksimal dalam memantau
siaran-siaran di media penyiaran.
2.
KPI diharapkan
lebih konsisten dan tegas dalam menegakkan rambu-rambu dalam P3SPS yang telah
direvisi.
3.
Media penyiaran
mesti lebih mengetatkan penegakan etika penyiaran agar lebih profesional dalam
menyajikan tayangan di stasiun-stasiun penyiaran.
4.
Masyarakat
diharapkan lebih bersikap selektif dalam memilih tayangan atau siaran karena
berkaitan dengan jumlah rating suatu tayangan.
DAFTAR PUSTAKA
Mufid, Muhammad. (2005). Komunikasi dan Regulasi Penyiaran.
Jakarta: Kencana – Prenada Media
Darwanto. (2007). Televisi Sebagai Media Pendidikan.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Nurudin. (2007). Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar