BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam sudah mulai berkembang lagi sejak abad ke-7 dan berkembang secara
pesat ke seluruh dunia dari waktu ke waktu. Dalam penyebarannya secara otomatis
Islam telah meletakkan nilai-nilai kebudayaannya.
Kebudayaan Islam adalah hasil olah akal, budi, cipta, rasa, karsa, dan
karya manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai tauhid. Islam sangat
menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang. Hasil olah
akal,budi,rasa,dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan
yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban.
Dalam perkembangannya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber pada nafsu hewani, sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau perdaban Islam.
Dalam perkembangannya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber pada nafsu hewani, sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau perdaban Islam.
B. Rumusan Masalah
a.
Bagaimana Konsep Kebudayaan dalam Islam?
b.
Prinsip – prinsip kebudayaan dalam islam?
c.
Bagaimana Sejarah Intelektual dalam Islam?
d.
Budaya yang boleh dan tidak boleh dalam
islam ?
e.
Bagaimana Masjid sebagai Pusat Peradaban dalam Islam?
C. Tujuan
Yang menjadi tujuan pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk menambah wawasan bagi pembaca
tentang Sistem Kebudayaan Islam.
2. Untuk membimbing manusia dalam
mengembangkan Sistem Kebudayaan Islam.
3. Dan sebagai pelengkap tugas mata kuliah
Pendidikan Agama Islam (PAI).
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem Sosial Dan Kebudayaan Islam
A. Konsep Kebudayaan dalam Islam
Dari segi etimologis, kata kebudayaan adalah kata dalam bahasa Indonesia
yang berasal dari bahasa Sansekerta buddhi yang berarti intelek (pengertian).
Kata buddhi berubah menjadi budaya yang berarti “yang diketahui atau akal
pikiran”. Budaya berarti pula pikiran, akal budi, kebudayaan, yang mengenai
kebudayaan yang sudah berkembang, beradab, maju (Poerwadarminta,1982:157).
Dari pengertian budaya di atas, dapat diutarakan dengan bahasa lain bahwa
kebudayaan merupakan gambaran dari taraf berpikir manusia. Tinggi-rendahnya
taraf berpikir manusia akan terlihat pada hasil budayanya. Kebudayaan merupakan
cetusan isi hati suatu bangsa, golongan, atau individu. Tinggi-rendahnya,
kasar-halusnya pribadi manusia, golongan, atau ras, akan terlihat pada
kebudayaan yang dimiliki sebagai hasil ciptaannya. Maka dapat juga dikatakan
bahwa kebudayaan merupakan orientasi dan pola pikir manusia, golongan, atau
bangsa. Kebudayaan merupakan suatu konsep yang sangat luas ruang lingkupnya.
Hal ini tidak terlepas dari latar belakang timbulnya suatu kebudayaan itu
sendiri. Dawson (1993:57) memberikan empat faktor yang menjadi alasan pokok
yang menentukan corak suatu kebudayaan, yaitu faktor geografis, keturunan atau
bangsa, kejiwaan, dan ekonomi.
Dalam Islam , memang tidak ada suatu rumusan yang kongkret mengenai suatu
kebudayaan. Berkaitan dengan masalah kebudayaan. Islam memberi kerangka asas
atau prinsip yang bersifat hakiki atau esensial. Dengan kata lain, Islam hanya
memberikan konsep dasar yang dalam perwujudannya tergantung pada pemahaman
pendukungnya.Dalam keadaan atau waktu yang berbeda, esensinya diwujudkan oleh
aksidensi yang sangat ditentukan oleh aspek ekonomi, politik, sosial budaya,
teknik, seni, dan mungkin juga oleh filsafat.
Ciri-ciri yang
membedakan antara kebudayaan Islam dengan budaya lain, diungkapkan oleh Siba’i
bahwa ciri-ciri kebudayaan Islam adalah yang ditegakkan atas dasar aqidah dan
tauhid, berdimensi kemanusiaan murni, diletakkan pada pilar-pilar akhlak mulia,
dijiwai oleh semangat ilmu (Zainal, 1993:60).
Dari paparan di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudyaan Islam dapat dipahami sebagai hasil
olah akal, budi, cipta, karya, karsa, dan rasa manusia yang bernafaskan wahyu
ilahi dan sunnah Rasul. Yakni suatu kebudayaan akhlak karimah yang muncul sebagai implementasi
Al-Qur’an dan Al-Hadist dimana keduanya merupakan sumber ajaran agama Islam,
sumber norma dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Dengan demikian
kebudayaan Islam dapat dipilah menjadi tiga unsur prinsipil, yaitu kebudayaan
Islam sebagai hasil cipta karya orang Islam, kebudayaan tersebut didasarkan
pada ajaran Islam, dan merupakan pencerminan dari ajaran Islam.
Ketiga unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisah
satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, sebagus apapun kebudayaannya, jika
itu bukan merupakan produk kaum Mslimin tidak bisa dikatakan dan diklaim
sebagai budaya Islam. Demikian pula sebaliknya, meskipun budaya tersebut
merupakan produk orang-orang Islam, tetapi substansinya sama sekali tidak
mencerminkan norma-norma ajaran Islam. Dengan kata lain, Al-Faruqi (2001)
menegaskan bahwa sesungguhnya kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan Al-Qur’an“,
karena semuanya berasal dari rangkaian wahyu Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW
pada abad ketujuh. Tanpa wahyu kebudayaan Islami Islam, filsafat Islam, hukum
Islam, masyarakat Islam maupun organisasi politik atau ekonomi Islam.
B.
Prinsip-Prinsip Kebudayaan dalam Islam
Islam, datang untuk mengatur
dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang.
Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah
dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan
agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak
bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu
meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju
kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar
Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat
perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32,
disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan
persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Ø
Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat
Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar
50-100 gram emas.
Ø
Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan
dengan Islam, Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan
ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti
lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan
telanjang.
Ø
Ketiga : Kebudayaan yang
bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh
masyarakat Bali.
C. Sejarah
Intelektual dalam Islam
Ada banyak faktor penyebab proses pertumbuhan peradaban Islam. Namun secara
garis besar dapat dibagi menjadi dua faktor penyebab tumbuh berkembangnya
peradaban Islam, hingga mencapai lingkup mondial, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal.
Faktor pertama (internal) berasal dari dalam norma-norma atau ajaran Islam sendiri.
Faktor kedua(eksternal) pada hakikanya merupakan implikasi dari faktor pertama. Motivasi internal yang begitu kuat telah mengkristal dalam kehidupan umat Islam sejalan dengan perkembangan sejarah, dan nilai-nilai atau norma-norma ajaran Islam menjiwai dalam setiap kehidupannya.
Faktor pertama (internal) berasal dari dalam norma-norma atau ajaran Islam sendiri.
Faktor kedua(eksternal) pada hakikanya merupakan implikasi dari faktor pertama. Motivasi internal yang begitu kuat telah mengkristal dalam kehidupan umat Islam sejalan dengan perkembangan sejarah, dan nilai-nilai atau norma-norma ajaran Islam menjiwai dalam setiap kehidupannya.
Tonggak-tonggak sejarah peradaban Islam, tak pernah lepas dari sejarah
intelektual Islam. Untuk memahami dengan baik perkembangan tersebut, idealnya
diperlukan pemahaman yang memadai tentang periodisasi sejarah perkembangan
Islam. Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution, dilihat
dari segi perkembangannya, sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan ke
dalam tiga masa, yaitu: masa klasik antara 650-1250 M, masa pertengahan antara
tahun 1250-1800 M, dan masa modern antara tahun 1800 sampai sekarang.
Pada masa klasik, lahir ulama’ mahzab, seperti: Imam Hanafi, Imam Hambali,
Imam Syafi’i , dan Imam Maliki. Sejalan dengan itu lahir pula filosof muslim
pertama,Al-Kindi 801 M. Diantara pemikirannya, ia berpendapat bahwa kaum
Muslimin menerima filsafat sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Selain,
Al-Kindi, pada abad itu lahir pula filosof besar seperti: Al-Razi (865 M) dan
Al-Farabi (870 M). keduanya dikenal sebagai pembangun agung sistem filsafat.
Pada abad berikutnya, lahir filosof agung Ibn Miskawaih 930 M. Pemikirannya
yang terkenal tentang pendidikan akhlak. Kemudian Ibn Sina tahun 1037 M, Ibn
Bajjah tahun 1138 M, Ibn Tufail tahun 1147 M,dan Ibn Rusyd tahun 1126 M.
Masa pertengahan dalam
catatan sejarah pemikiran Islam masa kini, merupakan fase kemunduran karena
filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam sehingga ada kecenderungan akal
dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih ada sampai
sekarang. Sebagai pemikir muslim kontemporer sering melontarkan tuduhan pada
Al-Ghazali sebagai orang pertama yang menjauhkan filsafat dari agama.
Sebagaimana tertuang dalam tulisannya “Tahafut al-Falasifah” (Kerancuan
Filsafat). Tulisan Al-Ghazali dijawab oleh Ibn Rusyd dengan tulisan Tahafut
al-Tahafut (Kerancuan di atas kerancuan).
D.
Budaya yang Boleh dan Tidak Boleh dalam Islam
Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia mempunyai
tipikal yang spesifik bila dibandingkan dengan ajaran Islam di berbagai negara
Muslim lainnya. Menurut banyak studi, Islam di Indonesia adalah Islam yang
akomodaatif dan cenderung elastis dalam berkompromi dengan situasi dan kondisi
yang berkembang di Indonesia, terutama situasi sosial politik yang sedang
terjadi pada masa tertentu. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang
khas, terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Indonesia. Disinilah
terjadi dialog dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian
menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia, sehingga dikenal sebagai “Islam
Nusantara” atau “Islam Indonesia” dimaknai sebagai Islam yang berbau kebudayaan
Indonesia. Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas,
Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Nusantara” atau
“Islam Indonesia” bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah,
bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.
Meskipun Islam lahir di negeri Arab, tetapi dalam kenyataannya
Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan kekhasannya dan pada waktu yang sama
sangat berpengaruh di bumi Indonesia yang sebelumnya diwarnai animisme dan
dinamisme, serta agama besar seperti Hindu dan Budha. Dengan demikian, wajah
Islam yang tampil di Indonesia adalah wajah Islam yang khas Indonesia, wajah
Islam yang berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan
masyarakat Indonesia, tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Oleh karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan
hasil dialog dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian
menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam kenyataannya, Islam di
Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak monolit, dan tidak simple,
walaupun sumber utamanya tetap pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Islam Indonesia
bergelut dengan kenyataan negara-negara, modernitas, globalisasi, kebudayaan
likal, dan semua wacana kontemporer yang
menghampiri perkembangan zaman dewasa ini.
Tulisan ini ditulis dalam
konteks sebagaimana tersebut diatas dalam memandang event peringatan Maulid
Nabi Muhammad Saw. Dalam realitanya memang terdapat berbagai tradisi umat Islam
dibanyak Negara Muslim seperti Indonesia, Malasyia, Brunai, Mesir, Yaman,
Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya yang menimbulkan “kontroversi” dari
perspektif hukum tentang boleh atau
tidaknya atau halal atau haramnya untuk mengamalkannya. Di Antara tradisi yang
menimbulkan kontroversi itu Antara lain melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan
Muharram, dan lain-lain.
Oleh karena
kontroversi-kontroversi yang menyelimuti peringatan-peringatan tersebut, maka
tulisan ini berupaya menjelaskan posisi peringatan Maulid Nabi Saw, perspektif
hukum Islam, akan tetapi tidak
bersifat tunggal, namun memberikan horizon pilihan yang memungkinkan kita untuk
bersikap arif dan bijaksana terhadap pihak yang berbeda pahamnya.
Dari riwayat Rasulullah Saw, Islam membiarkan beberapa
adat kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat dan adab-adab
Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw tidak menghapus
seluruh adat dan budaya masyarakat Arab (pada masa itu) yang ada sebelum
datangnya Islam. Akan tetapi Rasulullah Saw melarang budaya-budaya yang
mengandung unsur syirik, seperti pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang,
dan budaya-budaya yang bertentangan dengan adab-adab Islami.
Jadi, selama adat dan budaya itu tidak bertentangan dengan Islam, silahkan melakukannya. Namun jika
bertengan dengan ajaran Islam, seperti memamerkan aurat pada sebagian pakaian
adat daerah, atau budaya itu berbau syirik atau memiliki asal-usul ritual
syirik dan pemujaan atau penyembahan kepada dewa-dewa atau Tuhan-Tuhan selain
Allah, maka budaya seperti itu hukumnya haram.
E. Masjid sebagai Pusat Peradaban dalam Islam
Dalam sejarah perkembangan Islam, Masjid memiliki fungsi yang sangat vital
dan dominan bagi kaum Muslimin, di antaranya:
1. Mesjid pada umumnya dipahami masyarakat
sebagai tempat ibadah khusus, seperti sholat.
2. Sebagai “prasasti” atas berdirinya
masyarakat Muslim. Jika dewasa ini bendera sebagai simbol sebuah Negara yang
telah merdeka, maka kaum Muslimin pada tempo dulu jika berhasil “menaklukkan”
sebuah Negara, mereka menandainya dengan membangun sebuah masjid sebagai
pertanda bahwa wilayah tersebut menjadi bagian dari “Negara Islam”
(Shini,T.T:158)
3.
Masjid merupakan sumber komunikasi dan informasi antar warga masyarakat Islam.
4.
Di zaman Nabi SAW masjid sebagai pusat peradaban
5.
Sebagai simbol persatuan umat Islam.
6.
Sebagai pusat gerakan.
7.
Di Masjid kaum tua-muda Muslim mengabdikan hidup untuk belajar ilmu-ilmu Islam,
mempelajari Al-Qur’an dan Al-Hadist , kritisme, tafsir, cabang-cabang syariat,
sejarah, astronomi, geografi, tata bahasa, dan sastra arab.
F. Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Indonesia
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam berasal
dari jazirah Arab, maka Islam masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya
Arabnya.
Kedatangan Islam dengan segala komponen budayanya di Indonesia secara damai telah menarik simpati sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik yang tengah terjadi saat itu.
Kedatangan Islam dengan segala komponen budayanya di Indonesia secara damai telah menarik simpati sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik yang tengah terjadi saat itu.
Dalam pandangan Nurcholis Majid (1988:70) bahwa daya tarik Islam yang
pertama dan utama adalah besifat psikologis, Islam yang secara radikal bersifat
egaliter dan mempunyai semangat keilmuan merupakan konsep revolusioner yang
sangat memikat dalam membebaskan orang-orang lemah (mustadh’afin) dari belenggu
hidupnya.
Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran
Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh Wali Songo di tanah
Jawa. Karena kehebatan para wali Allah SWT itu dalam mengemas ajaran Islam
dengan bahasa budaya setempat sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai
Islam telah masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kebudayaan yang Islami
adalah hasil olah akal, budi, cipta, rasa, karsa, dan karya manusia yang tidak
terlepas dari nilai-nilai ketuhanan. Hasil olah yang universal berkembang menjadi sebuah peradaban. Dalam
perkembangannya, perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat
agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani sehingga
akan merugikan diri manusia sendiri. Di sinilah, agama berfungsi untuk
membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan
yang beradab.
2.
Pada masa klasik hidup ulama mahzab dan filosuf-filosuf besar dan agung.
3.
Masjid selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai salah satu
simbol bagi Islam, tempat pusat komunikasi dan informasi, tempat belajar
tentang ajaran Islam.
4. Nilai Islam yang beraroma Negara Arab secara tidak langsung masuk meresap
ke dalam budaya Indonesia, seperti ejaan, kebiasaan, dsb.
B.
Saran
1.
Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk dapat
lebih mengembangkan Sistem Kebudayaan
Islam di Indonesia dan dapat pula mengerti dan paham tentang konsep kebudayaan
islam di indonesia.
2.
Penulisan makalah ini tidak lepas dari yang namanya konsep dan sebuah
rujukan yang dijadikan bahan penulisan makalah. Untuk itu kami mohon kepada Bapak
pembimbing mata kuliyah pendidikan agama islam (PAI) agar mengajarkan kepada
para pelajar khususnya bagi mahasiswa agar tidak melanggar dari norma-norma
agama yang sudah ditetapkan, karena selain merugikan diri sendiri juga akan
merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tim Dosen PAI
UNM.2006.Reorientasi Pendidikan Islam: Menuju Pengembangan Kepribadian Insan
Kamil.Malang:Hilal Pustaka
2. Tim Dosen PAI UB.2006.Buku
Daras Pendidikan Agama Islam.Malang:PPA UB
3. Gazalba,Sidi.1975.Mesjid:
Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam.Jakarta:Pustaka Antara
4.
http://sahrul-media.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar