Rabu, 07 Juni 2017

MAKALAH PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MADRASAH DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan pondasi pembangunan suatu bangsa, jika pendidikan tidak berjalan dengan semestinya maka pembangunan tidak akan terlaksana, atau bahkan dapat mengakibatkan krisis multidimensi yang berkepanjangan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan media pembangunan yang memiliki posisi strategis dalam mengintegrasikan dan mengatur sub-sub sitem dalam masyarakat. Pendidikan juga merupakan sarana transformasi ilmu pengetahuan, yang meliputi sosialisasi ilmu pengetahuan, pengembangan ilmu pengetahuan, sosialisasi norma dan nilai dalam masyarakat, baik budaya, agama, maupun idiologi.
Pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhusussan tujuannya dan program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, Pendidikan keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya pembaharuannya meliputi landasan yuridis, Kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga jenis kependidikan.
Untuk memberikan pendidikan yang baik dan bermutu bagi masyarakat, tidak hanya dibutuhkan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas baik, tetepi juga harus dibarengi dengan kualitas pendidik yang baik, yang dalam melaksanakan tugasnya dalam mendidik mempunyai karakteristik; kematangan diri dan sosial yang stabil serta kematangan professional. sehingga mampu memberikan pengajaran yang tepat bagi masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian pendidikan ?
2.      Apa Tujuan pendidikan ?
3.      Apa Problem pendidikan di Indonesia?
4.      Apa Problem madrasah di indonesi?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Peendidikan
Hampir setiap orang pasti mengalami sebuah pendidikan , akan tetapi tidak semua orang mengetahui makna pendidikan, pendidik, mendidik. Untuk memahami pendidikan , ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada hakikat pendidikan yakni kata paedagogie dan paedagogiek, paedagogie bermakna pendidikan sedangkan paedagogiek bermakna ilmu pendidikan.[1]
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.[2] Oleh karena kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan dan pertumbuhan melalui proses demi proses kearah tujuan akhir dari perkembangan tersebut.
Pendidikan sebenarnya adapat ditinjau dari dua segi, pertama dari sudut pandangan masyarakat dan yang kedua dari sudut pandang individu. Dari sudut pandnag masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda, agar tuuan pendidikan tetap berlanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang disalurkan dai generasi ke generasi agar identitas masyarakat tetap terpelihara. Dan nilai-nilai ini brmacam-macam. Ada yang bersifat intelektual, seni, politik, ekonomi dan masih banyak lagi. Dari sudut pandang individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi.
Peran yang dijalankan dalam rangka mencapai fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana dinyatakan bahwa : “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[3]
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?, Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

B.     Tujuan Pendidikan
            Tujuan pendidikan memeuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar,dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan suatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.[4]
            Sebagai suatu komponen pendidikan, tujuan pendidikan menduduki posisi penting diantara komponen-komponen yang lainnya dapat dikatakan dari segenap komponen dari seluruh kegiatan pendidikan dilakuka semata-mata terarah kepada atau ditujukan untuk pencapaian tujuan tersebut. Dengan demikian maka kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dengan tujuan tersebut dianggap menyimpang, tidak fungsional, bahkan salah, sehingga harus dicegah terjadinya. Di sini terlihat bahwa tujuan pendidikan itu bersifat normative, yaitu mengandung unsure-unsur norma yang bersifat memaksa, tetapi tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan peserta didik serta dapat diterima oleh masyrakat sebgai nilai hidup yang baik.
            Sehubungan dengan fungsi dan tujuan pendidikan yang begitu pentingnya, maka menjadi sebuah keharusan bagi pendidikan untuk mengerti dan memahaminya. Kekurang fahaman pedidik tentang tujuan pendidikan dapat mengakibatkan kesalahan di dalam melaksanakan pendidikan.

C.    Sekilas Tentang Madrasah
Kata madrasah merupakan isim makan dari darasa, yadrusu, darsan yang berarti belajar. Sebutan itu merujuk kepada fungsi utama madrasah dalam kultur islam, yaitu tempat belajar. Dari arti diatas sebagian ahli pendidikan islam menyebutkan bahwa pusat-pusat pendidikan dengan nama madrasah. Jadi pengertian madrasah ialah merupakan suatu lembaga pendidikan yang dibentuk dengan sengaja sebagai pusat berlangsungnya proses pendidikan.[5]
Di Indonesia, pertumbuhan madrasah di Indonesia dianggap sebagai memiliki latar belakang sejarahnya sendiri, walaupun sangat dimungkinkan ia merupakan konsekuensi dari pengaruh intensif pembaharuan pendidikan Islam di timur tengah masa modern. Pada paparan sejarah pendidikan Islam ( khususnya madrasah ) akan terlihat bahwa pendidikan Islam pada saat itu terkesan sebagai pendidikan yang tradisional dan jauh dari sentuhan-sentuhan kemajuan.
Oleh karena itu, kondisi tersebut secara alamiah akan membangun image masyarakat bahwa pendidikan Islam identik dengan pendidikan yang terbelakang yang hanya dikonsumsi oleh rakyat kecil. Anggapan terhadap kondisi pendidikan Islam ini, akan menimbulkan asumsi bahwa penyelenggaraan pendidikan Islam ketika itu diselenggarakan dengan apa adanya. Selain itu asumsi-asumsi terhadap pendidikan ini juga di kuatkan oleh adanya kondisi pendidikan Islam yang kurang mendapat perhatian penuh dari pemerintah (waktu itu dan sampai hari ini), sehingga pendidikan Islam termarginalkan dari pada pendidikan umum.
Di sisi lain, perkembangan madrasah pada awalnya berusaha menjembatani antara sistem pendidikan pesantren yang dianggap tradisional dengan sistem pendidikan kolonial yang moderen, secara sederhana dapat dikatakan bahwa madrasah dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan. Namun pada prakteknya posisi madrasah masih kontra produksi dengan sistem pendidikan yang dikembangkan penjajah, terutama jika dilihat dari kurikulumnya yang masih dimonopoli oleh ulum al-naqliyah (Islamic science).
Lalu muncul kemudian dikotomi pendidikan, antara sistem pendidikan barat yang moderen dengan sistem pendidikan Islam yang kolot dan tradisional. Pendidikan Islam dicirikan sekolah anak petani miskin, bahkan alumninya hampir tertutup mengakses ke jabatan birokrasi. Dikotomi tersebut pada akhirnya menjadi kesan (image) masyarakat luas yang berdampak kurang baik bagi perkembangan madrasah selanjutnya.
Kehadiran lembaga pendidikan Islam di Nusantara tidak lama berselang setelah masuk dan tersebarnya Islam, justru proses Islamisasi diperkuat oleh lembaga pendidikan sebagai medianya.[6] Madrasah tidak lahir secara instan, melainkan ia bagian dari pembaruan pendidikan sistem pendidikan sebelumnya, seperti maktab, kuttâb, istana, kedai buku, shuffah, halaqah, masjid, khân, ribâth, toko buku dan perpustakaan. Sedangkan di Indonesia madrasah ia merupakan bagian dari pembaruan pendidikan sistem pendidikan masjid, pesantren, dll tidak memiliki perbedaan yang berarti sebagai sebuah sistem pendidikan. Perbedaannya adalah keragaman, kekayaan dan elastisitas pendidikan Islam. Islam nyaris menjadikan pranata-pranata di Nusantara yang telah berlaku di komunitas setempat sebagai basis penyiaran Islam, agar dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat setempat, yang kemudian diislamisasikan.[7]
Madrasah yang didirikan organisasi ini tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama saja melainkan juga ilmu-ilmu umum, seperti berhitung, sejarah dan ilmu bumi. Meskipun mayoritas anggota organisasi ini keturunan Arab, bahasa Melayu tetap menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajarnya. Karena madrasah ini tidak hanya diperuntukkan untuk anak-anak keturunan Arab melainkan juga anak-anak asli pribumi.[8]
Bertolak dari pembahasan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa madrasah merupakan hasil perjalanan keilmuan dan pendidikan yang amat panjang di Nusantara bahkan di berbagai belahan dunia yang didiami oleh kaum muslimin. Meski demikian, peran masjid ataupun lembaga pendidikan Islam tradisional tetap berjalan dan berkembang meski tidak menjadi trend ataupun mainstream sistem pendidikan.
D.    Peran Madrasah Dalam Menghadapi Globalisasi
Madrasah menempati peran strategis bagi pendidikan generasi muda ummat Islam karena disanalah tempat kebanyakan anak para santri mempersiapkan diri untuk menjalankan peran penting mereka bagi masyarakat di kemudian hari.  Dalam konteks mempersiapkan anak didik menghadapi perubahan zaman akibat globalisasi ini pun madrasah (lembaga pendidikan Islam) memiliki peran yang amat penting.  Keberhasilan madrasah dalam menyiapkan anak didik menghadapi tantangan masa depan yang lebih kompleks akan menghasilkan lulusan yang akan menjadi pemimpin ummat, pemimpin masyarakat, dan pemimpin bangsa yang ikut menentukan arah perkembangan bangsa ini.  Sebaliknya, kegagalan madrasah dalam menyiapkan anak didik menghadapi tantangan masa depan akan menghasilkan lulusan-lulusan yang frustrasi, tersisih, dan menjadi beban masyarakat.  Naudzubillahi min dzalik.
Dibandingkan dengan pendidikan di sekolah umum, madrasah mempunyai misi yang mulia.  Ia bukan saja memberikan pendidikan umum (seperti halnya sekolah umum) tetapi juga memberikan pendidikan agama (melalui pelajaran agama dan penciptaan suasana kegamaan di madrasah) sehiingga, kalau pendidikan ini berhasil, para lulusannya akan dapat hidup bahagia di dunia ini (biasanya diukur secara ekonomis) dan hidup bahagia di akhirat nanti (karena ketaatannya pada ajaran agama).  Madrasah yang hanya menekankan pendidikan agama dan mengabaikan pendidikan umum mungkin hanya akan mampu memberikan potensi untuk bahagia di akhirat saja (walaupun ini masih lebih baik daripada hanya memperoleh kebaikan di dunia tanpa memperoleh kebahagiaan di akhirat)
Dalam kaitannya dengan era globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan ini, madrasah harus juga menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa saja yang mereka masuki.  Ini dimaksudkan agar lulusan madrasah tidak akan terpinggirkan oleh lulusan sekolah umum dalam memperebutkan tempat dan peran dalam gerakan pembangunan bangsa.
Terbukanya peluang untuk memasuki perguruan tinggi umum ini harus dimanfaatkan oleh madrasah sebaik mungkin, terutama untuk Fakultas Ekonomi, Teknik, dan Eksakta, fakultas-fakultas yang selama ini dijauhi oleh lulusan madrasah.  Hal ini disebabkan karena bidang-bidang ilmu itulah yang diperkirakan akan memainkan peran penting bagi pembangunan nasional pada masa-masa mendatang.  Untuk itu, madrasah harus meningkatkan kualitas pelajaran ilmu eksakta seperti matematika, fisika, dan biologi.  Madrasah harus mendorong para santrinya untuk mau bekerja di bidang ekonomi, teknik, dan ilmu eksakta murni agar bidang itu tidak hanya dikuasai oleh lulusan non-madrasah yang belum tentu memiliki mental keagamaan yang kuat.
Agar lulusan madrasah memiliki wawasan global, yang memandang bahwa seluruh muka bumi milik Allah ini adalah tempat mengabdi, maka madrasah pun harus memiliki wawasan global.  Bagaimana mungkin madrasah yang tidak memiliki wawasan global dapat menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan global? Madrasah harus mempersiapkan anak didiknya agar dapat melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri.  Untuk ini, maka penguasaan ketrampilan berbahasa asing (terutama Arab dan Inggris) menjadi amat penting.  Demikian pula pengenalan budaya dan bangsa asing.
E.     Problem Pendidikan Di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur mutu(integrasi) cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya.
Hal yang sering dikhawatirkan ialah pendidikan sering kali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.
Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi.
 Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi/penghilangan hakekat manusia) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi yang menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional.
Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.


F.     Problem Madrasah Di Indonesi
Istilah Pendidikan Islam dipergunakan dalam dua hal, yaitu: satu, segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa. Dua, keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam.
Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, pendidikan Islam mempunyai peran yang sangat signifikan di Indonesia dalam pengembangan sumberdaya manusia dan pembangunan karakter, sehingga masyarakat yang tercipta merupakan cerminan masyarakat islami. Dengan demikian Islam benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin, rahmat bagi seluruh alam.
Indonesia merupakan negara yang mayoritas Islam. Akan tetapi dalam hal pendidikan, pendidikan islam tidak menjadi mayoritas dalam kedudukan pendidikan nasional. Sudah menjadi rahasia public bahwa pendidikan Islam di pandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam system pendidikan nasional. Padahal, pendidikan apa pun itu, Baik pendidikan nasional ataupun pendidikan Islam, pada hakekat nya pendidikan adalah mengembangkan  harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar mampu  menjadi  khalifah .[9]
Ini mengindikasikan bahwa pendidikan islam di Indonesia masih dibalut sejumlah problematika. Suatu Permasalahan dapat muncul dari elemen-elemen intern maupun ektern yang ada di sekitar badan itu sendiri. Begitu juga dalam pendidikan, bahwa problem-problem itu berakar dari penyebab eksternal dan penyebab internal. Problem internal hingga ekternal pun hadir di tengah-tengah pendidikan Islam. Mulai dari permasalahan internal dalam hal manajemen hingga persoalan ekternal seperti politik dan ekonomi menambah sederet daftar problem yang mestinya ditindak lanjuti.
Adapun faktor-faktor internal dalam pendidikan Islam,yaitu :
a.       Meliputi manajemen pendidikan Islam yang terletak pada ketidak jelasan tujuan yang hendak di capai, ketidak serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat, kurangnya tenaga pendidik yang berkualitas dan profesional, terjadinya salah pengukuran terhadap hasil pendidikan serta masih belum jelasnya landasan yang di pergunakan untuk menetapkan jenjang-jenjang tingkat pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga keperguruan tinggi.[10]
Tentunya fenomena ketidakkreatifan peserta didik tentu saja tidak lepas dari system pendidikan dan pembelajaran yang ada di lembaga pendidikan yang memenag sering kali tidak menekankan peserta didik untuk bersikap kreatif. Padahal menegemen siswa yang meliputi pengolahan siswa menjadi output yang menarik itu penting. Hal ini menunjukkan bahwa menegemen pendidikan dalam lembaga pendidikan islam pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas.
b.      Faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Para guru seharusnya mempunyai kompetensi padagogik , kepribadian, profesional, dan sosial.[11] Faktanya tak jarang ditemui guru mengeluhkan nasibnya yang buruk, guru tidak berkompeten untuk melakukan pengarahan; dan guru yang merasa bahwa tugasnya hanya mengajar.
c.       Faktor pemimpin sekolah yang lemah dalam komunikasi dan negosiasi. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
Selain faktor internal terdapat pula faktor-faktor eksternal yang dihadapi pendidikan Islam, meliputi :
a.       Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas. Terlepas itu semua, apakah itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, Padahal pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum.
b.      Dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral(lingkungan suatu usaha) dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam. Dapat di katakan bahwa paradigma masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam masih sebelah mata. Lembaga pendidikan Islam  merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas, itulah yang sering kita temui di sebagian masyarakat kita. Pandangan masyarakat yang demikian menjadi indicator rendahnya kepercayaan mereka terhadap lemabga pendidikan islam.
c.       Posisi dan peran pendidikan Islam dengan keragaman lembaga yang dimilikinya masih dipertanyakan. Seharusnya: Pendidikan Islam mampu menjalankan perannya sebagai pendidikan alternatif yang menjanjikan masa depan. Tapi faktanya, Kehadiran madrasah, sekolah dan perguruan tinggi Islam cenderung berafiliasi pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis atau badan-badan/ yayasan-yayasan Perguruan Islam. Yang Lebih parah lagi, kasus teroris yang dalam kisah pendidikannya ada lulusan sekolah Isalm. Ini mungkin menjadi alasan yang tidak cukup kuat, tetapi begitulah sebagian perspektif masyarakat yang ada.Dengan demikian tugas Lembaga Pendidikan Islam yang ada di Indonesia untuk menghasilkan output pendidikan yang tidak sekedar berkualiatas iman,tetapi juga ilmu bisa terwujud.
            Diharapkan adanya usaha sekolah-sekolah dan instansi terkait dengan dengan pendidikan Islam untuk meciptakan pendidikan islam yang ideal, yaitu pendidikan islam yang membina potensi spiritual,  emosional dan intelegensia secara optimal.[12]Ketiganya terintegrasi dalam satu lingkaran yang akhirnya membentuk paradigma baru di masyarakat tentang kualitas yang menarik dari sekolah-seolah Islam.
Dengan demikian sikap diskriminatif dan masalah paradigma yang buruk tentang kualitas pendidikan di Sekolah Islam dapat perlahan berubah. Tentunya melalui konsep integrated curriculum, proses pendidikan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama dengan kajian lain [non-agama] dalam pendidikan Islam yang merupakan suatu keharusan, menciptakan output pendidikan yang baik, apabila menginginkan pendidikan Islam kembali survive di tengah perubahan masyarakat.










BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Tujuan pendidikan memeuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar,dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan suatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.
Problem pendidikan di Indonesia diantaranya :
1.      Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot.
2.      Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah)
3.      Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya
Problem madrasah di Indonesia adakalanya yang internal dan eksternal, diantaranya :
1.      Internal
a.        manajemen pendidikan Islam yang terletak pada ketidak jelasan tujuan yang hendak di capai, ketidak serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat, kurangnya tenaga pendidik yang berkualitas dan professional.
b.      Faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat renda
c.       Faktor pemimpin sekolah yang lemah dalam komunikasi dan negosiasi

2.      Ekternal
a.       Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam
b.      Dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral(lingkungan suatu usaha) dan bukan pendekatan fungsional
c.       Posisi dan peran pendidikan Islam dengan keragaman lembaga yang dimilikinya masih dipertanyakan


























Daftar Pustaka

Dr. M. sukardjo dan ukim komarudin, landasan pendidikan konsep aplikasi, PT raj grafindo persada. Jakarta 2009
Tim dosen FIP-IKIP Malang, pengantar dasar-dasar pendidikan, PT Usaha Nasional. Surabaya, 2003
Dr. Syafaruddin, M.Pd, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, tahun 2005
Prof. dr. tirtharahardja dan Drs. S. l. La sulo, pengantar pendidikan. PT. rineka cipta. Jakarta. 2005
Hery, Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.  Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007
Azyumardi Azra, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Ciputat: Logos, 2003
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Safiria Insania Press dan MSI : Yogyakarta, 2003
Abidin, Muhammad, Zainal, Problematika Pendidikan di Indonesia dan solusi Pemecahannya:posted pada  20 Februari 2010 dari





[1]Dr. M. sukardjo dan ukim komarudin. M. pd, landasan pendidikan konsep aplikasi, PT raj grafindo persada. Jakarta 2009.hal 7
[2]Tim dosen FIP-IKIP Malang, pengantar dasar-dasar pendidikan, PT Usaha Nasional. Surabaya, 2003, hal 2
[3] Dr. Syafaruddin, M.Pd, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, tahun 2005, hal.203
[4] Prof. dr. tirtharahardja dan Drs. S. l. La sulo, pengantar pendidikan. PT. rineka cipta. Jakarta. 2005, Hal  37
[5]Hery, Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 223-224.
[6]Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.  (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007). Hal. 14-15.
[7]Azyumardi Azra, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. (Ciputat: Logos, 2003).
[8]Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1997). Hal. 159-160.
[9]Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Safiria Insania Press dan MSI : Yogyakarta
[10] Abidin,Muhammad,Zainal, Problematika Pendidikan di Indonesia dan solusi Pemecahannya:posted pada  20 Februari 2010 dari http://meetabied.wordpress.com/2010/02/20/problematika-pendidikan-di-Indonesia-dan-solusi-pemecahannya/,di
[11]Qurroti Siti, Problematika Pendidikan Islam, from http://www.scribd.com/doc/28597217/Problematika-Pendidikan-Islam di Akses Pada 15 Januari 2011
[12]Miftah, Konsep Pendidikn islam yang Ideal: Posted pada 23 January, 2010, from http://miftah19. wordpress.com/2010/01/23/konsep-pendidikan-islam-yang-ideal/Di akses pada 15 Januari 2010

1 komentar:

  1. Izin jadi rekomendasi untuk tugas mata kulyah...🙏

    BalasHapus

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...