BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan
pondasi pembangunan suatu bangsa, jika pendidikan tidak berjalan dengan
semestinya maka pembangunan tidak akan terlaksana, atau bahkan dapat
mengakibatkan krisis multidimensi yang berkepanjangan. Hal ini dikarenakan
pendidikan merupakan media pembangunan yang memiliki posisi strategis dalam
mengintegrasikan dan mengatur sub-sub sitem dalam masyarakat. Pendidikan juga
merupakan sarana transformasi ilmu pengetahuan, yang meliputi sosialisasi ilmu
pengetahuan, pengembangan ilmu pengetahuan, sosialisasi norma dan nilai dalam
masyarakat, baik budaya, agama, maupun idiologi.
Pendidikan adalah
pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhusussan tujuannya dan
program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum,
Pendidikan keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya pembaharuannya
meliputi landasan yuridis, Kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur
pendidikan dan tenaga jenis kependidikan.
Untuk memberikan
pendidikan yang baik dan bermutu bagi masyarakat, tidak hanya dibutuhkan sarana
dan prasarana pendidikan yang berkualitas baik, tetepi juga harus dibarengi
dengan kualitas pendidik yang baik, yang dalam melaksanakan tugasnya dalam
mendidik mempunyai karakteristik; kematangan diri dan sosial yang stabil serta
kematangan professional. sehingga mampu memberikan pengajaran yang tepat bagi
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian pendidikan ?
2.
Apa Tujuan pendidikan ?
3.
Apa Problem pendidikan di Indonesia?
4.
Apa Problem madrasah di indonesi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peendidikan
Hampir setiap orang pasti mengalami sebuah pendidikan
, akan tetapi tidak semua orang mengetahui makna pendidikan, pendidik,
mendidik. Untuk memahami pendidikan , ada dua istilah yang dapat mengarahkan
pada hakikat pendidikan yakni kata paedagogie dan paedagogiek,
paedagogie bermakna pendidikan sedangkan paedagogiek bermakna ilmu pendidikan.[1]
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan
pribadi manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan.[2]
Oleh karena kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan dan
pertumbuhan melalui proses demi proses kearah tujuan akhir dari perkembangan
tersebut.
Pendidikan sebenarnya adapat ditinjau dari dua segi,
pertama dari sudut pandangan masyarakat dan yang kedua dari sudut pandang
individu. Dari sudut pandnag masyarakat, pendidikan berarti pewarisan
kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda, agar tuuan pendidikan tetap
berlanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya
yang disalurkan dai generasi ke generasi agar identitas masyarakat tetap
terpelihara. Dan nilai-nilai ini brmacam-macam. Ada yang bersifat intelektual,
seni, politik, ekonomi dan masih banyak lagi. Dari sudut pandang individu,
pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi.
Peran yang dijalankan dalam rangka mencapai fungsi dan
tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana dinyatakan bahwa : “pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.[3]
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya
manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama
dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan
persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak
dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?, Walaupun pembangunan
fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut
terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi.
Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh
karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu
prioritas dalam pembangunan negeri ini.
B. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan memeuat gambaran tentang nilai-nilai
yang baik, luhur, pantas, benar,dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan
pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan
pendidikan dan merupakan suatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.[4]
Sebagai
suatu komponen pendidikan, tujuan pendidikan menduduki posisi penting diantara
komponen-komponen yang lainnya dapat dikatakan dari segenap komponen dari
seluruh kegiatan pendidikan dilakuka semata-mata terarah kepada atau ditujukan
untuk pencapaian tujuan tersebut. Dengan demikian maka kegiatan-kegiatan yang
tidak relevan dengan tujuan tersebut dianggap menyimpang, tidak fungsional,
bahkan salah, sehingga harus dicegah terjadinya. Di sini terlihat bahwa tujuan
pendidikan itu bersifat normative, yaitu mengandung unsure-unsur norma yang
bersifat memaksa, tetapi tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan peserta
didik serta dapat diterima oleh masyrakat sebgai nilai hidup yang baik.
Sehubungan
dengan fungsi dan tujuan pendidikan yang begitu pentingnya, maka menjadi sebuah
keharusan bagi pendidikan untuk mengerti dan memahaminya. Kekurang fahaman
pedidik tentang tujuan pendidikan dapat mengakibatkan kesalahan di dalam
melaksanakan pendidikan.
C. Sekilas Tentang
Madrasah
Kata madrasah merupakan isim makan dari darasa,
yadrusu, darsan yang berarti belajar. Sebutan itu merujuk kepada fungsi utama
madrasah dalam kultur islam, yaitu tempat belajar. Dari arti diatas sebagian
ahli pendidikan islam menyebutkan bahwa pusat-pusat pendidikan dengan nama
madrasah. Jadi pengertian madrasah ialah merupakan suatu lembaga pendidikan
yang dibentuk dengan sengaja sebagai pusat berlangsungnya proses pendidikan.[5]
Di Indonesia, pertumbuhan madrasah di Indonesia
dianggap sebagai memiliki latar belakang sejarahnya sendiri, walaupun sangat
dimungkinkan ia merupakan konsekuensi dari pengaruh intensif pembaharuan
pendidikan Islam di timur tengah masa modern. Pada paparan sejarah pendidikan
Islam ( khususnya madrasah ) akan terlihat bahwa pendidikan Islam pada saat itu
terkesan sebagai pendidikan yang tradisional dan jauh dari sentuhan-sentuhan
kemajuan.
Oleh karena itu, kondisi tersebut secara alamiah akan
membangun image masyarakat bahwa pendidikan Islam identik dengan pendidikan
yang terbelakang yang hanya dikonsumsi oleh rakyat kecil. Anggapan terhadap
kondisi pendidikan Islam ini, akan menimbulkan asumsi bahwa penyelenggaraan
pendidikan Islam ketika itu diselenggarakan dengan apa adanya. Selain itu
asumsi-asumsi terhadap pendidikan ini juga di kuatkan oleh adanya kondisi
pendidikan Islam yang kurang mendapat perhatian penuh dari pemerintah (waktu
itu dan sampai hari ini), sehingga pendidikan Islam termarginalkan dari pada
pendidikan umum.
Di sisi lain, perkembangan madrasah pada awalnya
berusaha menjembatani antara sistem pendidikan pesantren yang dianggap
tradisional dengan sistem pendidikan kolonial yang moderen, secara sederhana
dapat dikatakan bahwa madrasah dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga
persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan. Namun pada prakteknya
posisi madrasah masih kontra produksi dengan sistem pendidikan yang
dikembangkan penjajah, terutama jika dilihat dari kurikulumnya yang masih
dimonopoli oleh ulum al-naqliyah (Islamic science).
Lalu muncul kemudian dikotomi pendidikan, antara
sistem pendidikan barat yang moderen dengan sistem pendidikan Islam yang kolot
dan tradisional. Pendidikan Islam dicirikan sekolah anak petani miskin, bahkan
alumninya hampir tertutup mengakses ke jabatan birokrasi. Dikotomi tersebut
pada akhirnya menjadi kesan (image) masyarakat luas yang berdampak kurang baik
bagi perkembangan madrasah selanjutnya.
Kehadiran lembaga pendidikan Islam di Nusantara tidak
lama berselang setelah masuk dan tersebarnya Islam, justru proses Islamisasi
diperkuat oleh lembaga pendidikan sebagai medianya.[6] Madrasah
tidak lahir secara instan, melainkan ia bagian dari pembaruan pendidikan sistem
pendidikan sebelumnya, seperti maktab, kuttâb, istana, kedai buku, shuffah,
halaqah, masjid, khân, ribâth, toko buku dan perpustakaan. Sedangkan di
Indonesia madrasah ia merupakan bagian dari pembaruan pendidikan sistem
pendidikan masjid, pesantren, dll tidak memiliki perbedaan yang berarti sebagai
sebuah sistem pendidikan. Perbedaannya adalah keragaman, kekayaan dan
elastisitas pendidikan Islam. Islam nyaris menjadikan pranata-pranata di
Nusantara yang telah berlaku di komunitas setempat sebagai basis penyiaran
Islam, agar dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat setempat, yang kemudian
diislamisasikan.[7]
Madrasah yang didirikan organisasi ini tidak hanya
mempelajari ilmu-ilmu agama saja melainkan juga ilmu-ilmu umum, seperti
berhitung, sejarah dan ilmu bumi. Meskipun mayoritas anggota organisasi ini
keturunan Arab, bahasa Melayu tetap menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan
belajar mengajarnya. Karena madrasah ini tidak hanya diperuntukkan untuk
anak-anak keturunan Arab melainkan juga anak-anak asli pribumi.[8]
Bertolak dari pembahasan di atas, tidak dapat
dipungkiri bahwa madrasah merupakan hasil perjalanan keilmuan dan pendidikan
yang amat panjang di Nusantara bahkan di berbagai belahan dunia yang didiami
oleh kaum muslimin. Meski demikian, peran masjid ataupun lembaga pendidikan
Islam tradisional tetap berjalan dan berkembang meski tidak menjadi trend
ataupun mainstream sistem pendidikan.
D. Peran Madrasah Dalam
Menghadapi Globalisasi
Madrasah menempati
peran strategis bagi pendidikan generasi muda ummat Islam karena disanalah
tempat kebanyakan anak para santri mempersiapkan diri untuk menjalankan peran
penting mereka bagi masyarakat di kemudian hari. Dalam konteks mempersiapkan anak didik
menghadapi perubahan zaman akibat globalisasi ini pun madrasah (lembaga
pendidikan Islam) memiliki peran yang amat penting. Keberhasilan madrasah dalam menyiapkan anak
didik menghadapi tantangan masa depan yang lebih kompleks akan menghasilkan
lulusan yang akan menjadi pemimpin ummat, pemimpin masyarakat, dan pemimpin
bangsa yang ikut menentukan arah perkembangan bangsa ini. Sebaliknya, kegagalan madrasah dalam menyiapkan
anak didik menghadapi tantangan masa depan akan menghasilkan lulusan-lulusan
yang frustrasi, tersisih, dan menjadi beban masyarakat. Naudzubillahi min dzalik.
Dibandingkan dengan
pendidikan di sekolah umum, madrasah mempunyai misi yang mulia. Ia bukan saja memberikan pendidikan umum
(seperti halnya sekolah umum) tetapi juga memberikan pendidikan agama (melalui
pelajaran agama dan penciptaan suasana kegamaan di madrasah) sehiingga, kalau
pendidikan ini berhasil, para lulusannya akan dapat hidup bahagia di dunia ini
(biasanya diukur secara ekonomis) dan hidup bahagia di akhirat nanti (karena
ketaatannya pada ajaran agama). Madrasah
yang hanya menekankan pendidikan agama dan mengabaikan pendidikan umum mungkin
hanya akan mampu memberikan potensi untuk bahagia di akhirat saja (walaupun ini
masih lebih baik daripada hanya memperoleh kebaikan di dunia tanpa memperoleh
kebahagiaan di akhirat)
Dalam kaitannya dengan
era globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan ini,
madrasah harus juga menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa
saja yang mereka masuki. Ini dimaksudkan
agar lulusan madrasah tidak akan terpinggirkan oleh lulusan sekolah umum dalam
memperebutkan tempat dan peran dalam gerakan pembangunan bangsa.
Terbukanya peluang
untuk memasuki perguruan tinggi umum ini harus dimanfaatkan oleh madrasah
sebaik mungkin, terutama untuk Fakultas Ekonomi, Teknik, dan Eksakta,
fakultas-fakultas yang selama ini dijauhi oleh lulusan madrasah. Hal ini disebabkan karena bidang-bidang ilmu
itulah yang diperkirakan akan memainkan peran penting bagi pembangunan nasional
pada masa-masa mendatang. Untuk itu,
madrasah harus meningkatkan kualitas pelajaran ilmu eksakta seperti matematika,
fisika, dan biologi. Madrasah harus
mendorong para santrinya untuk mau bekerja di bidang ekonomi, teknik, dan ilmu
eksakta murni agar bidang itu tidak hanya dikuasai oleh lulusan non-madrasah
yang belum tentu memiliki mental keagamaan yang kuat.
Agar lulusan madrasah
memiliki wawasan global, yang memandang bahwa seluruh muka bumi milik Allah ini
adalah tempat mengabdi, maka madrasah pun harus memiliki wawasan global. Bagaimana mungkin madrasah yang tidak
memiliki wawasan global dapat menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan
global? Madrasah harus mempersiapkan anak didiknya agar dapat melanjutkan studi
atau bekerja di luar negeri. Untuk ini,
maka penguasaan ketrampilan berbahasa asing (terutama Arab dan Inggris) menjadi
amat penting. Demikian pula pengenalan
budaya dan bangsa asing.
E. Problem Pendidikan Di
Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang
pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih
mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena
pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam
kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan
manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang
ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di
Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena
pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak
seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara
belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif).
Jadi unsur mutu(integrasi) cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah
disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang
belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam
kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan
sebagainya.
Hal yang sering dikhawatirkan ialah pendidikan sering
kali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi
dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang
menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan
tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri
dan teknologi.
Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak
bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen
pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi
lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu
yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias
oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down
(dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh
pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini
sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap
manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan
kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang
diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi.
Otak murid
dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer
kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut
tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid
sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para
murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan
sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka
manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan
zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek
(yang adalah wujud dari dehumanisasi/penghilangan hakekat manusia) merupakan
fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi yang menyebabkan
manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia).
Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu
gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan
di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini
telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional.
Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis
kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan
ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita
menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk
manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya
sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan
situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
F. Problem Madrasah Di
Indonesi
Istilah Pendidikan Islam dipergunakan dalam dua hal,
yaitu: satu, segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau lembaga untuk
menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa. Dua, keseluruhan
lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatannya atas
pandangan dan nilai-nilai Islam.
Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim,
pendidikan Islam mempunyai peran yang sangat signifikan di Indonesia dalam
pengembangan sumberdaya manusia dan pembangunan karakter, sehingga masyarakat
yang tercipta merupakan cerminan masyarakat islami. Dengan demikian Islam
benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin, rahmat bagi seluruh alam.
Indonesia merupakan negara yang mayoritas Islam. Akan
tetapi dalam hal pendidikan, pendidikan islam tidak menjadi mayoritas dalam
kedudukan pendidikan nasional. Sudah menjadi rahasia public bahwa pendidikan
Islam di pandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal
dalam system pendidikan nasional. Padahal, pendidikan apa pun itu, Baik
pendidikan nasional ataupun pendidikan Islam, pada hakekat nya pendidikan
adalah mengembangkan harkat dan martabat
manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar mampu menjadi
khalifah .[9]
Ini mengindikasikan bahwa pendidikan islam di
Indonesia masih dibalut sejumlah problematika. Suatu Permasalahan dapat muncul
dari elemen-elemen intern maupun ektern yang ada di sekitar badan itu sendiri.
Begitu juga dalam pendidikan, bahwa problem-problem itu berakar dari penyebab
eksternal dan penyebab internal. Problem internal hingga ekternal pun hadir di
tengah-tengah pendidikan Islam. Mulai dari permasalahan internal dalam hal
manajemen hingga persoalan ekternal seperti politik dan ekonomi menambah
sederet daftar problem yang mestinya ditindak lanjuti.
Adapun faktor-faktor internal dalam pendidikan
Islam,yaitu :
a. Meliputi manajemen
pendidikan Islam yang terletak pada ketidak jelasan tujuan yang hendak di
capai, ketidak serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat, kurangnya
tenaga pendidik yang berkualitas dan profesional, terjadinya salah pengukuran
terhadap hasil pendidikan serta masih belum jelasnya landasan yang di
pergunakan untuk menetapkan jenjang-jenjang tingkat pendidikan mulai dari
tingkat dasar hingga keperguruan tinggi.[10]
Tentunya fenomena ketidakkreatifan peserta didik tentu
saja tidak lepas dari system pendidikan dan pembelajaran yang ada di lembaga
pendidikan yang memenag sering kali tidak menekankan peserta didik untuk bersikap
kreatif. Padahal menegemen siswa yang meliputi pengolahan siswa menjadi output
yang menarik itu penting. Hal ini menunjukkan bahwa menegemen pendidikan dalam
lembaga pendidikan islam pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran
dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas.
b.
Faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat
rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar
mengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama
menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan
motivasi mengajar. Para guru seharusnya mempunyai kompetensi padagogik ,
kepribadian, profesional, dan sosial.[11] Faktanya
tak jarang ditemui guru mengeluhkan nasibnya yang buruk, guru tidak berkompeten
untuk melakukan pengarahan; dan
guru yang merasa bahwa tugasnya hanya mengajar.
c. Faktor pemimpin sekolah
yang lemah dalam komunikasi dan negosiasi. Pimpinan pendidikan Islam bukan
hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal
dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat,
orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan
yang berkualitas.
Selain faktor internal
terdapat pula faktor-faktor eksternal yang dihadapi pendidikan Islam, meliputi
:
a.
Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap
pendidikan Islam. Alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh
perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas. Terlepas itu
semua, apakah itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara
pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, Padahal pendidikan Islam juga
bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh
pendidikan umum.
b.
Dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang
pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan
sektoral(lingkungan suatu usaha) dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan
Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di
bawah Depdiknas. Dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap
prodak atau lulusan pendidikan Islam. Dapat di katakan bahwa paradigma
masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam masih sebelah mata. Lembaga
pendidikan Islam merupakan alternatif
terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan
Diknas, itulah yang sering kita temui di sebagian masyarakat kita. Pandangan
masyarakat yang demikian menjadi indicator rendahnya kepercayaan mereka
terhadap lemabga pendidikan islam.
c.
Posisi dan peran pendidikan Islam dengan keragaman
lembaga yang dimilikinya masih dipertanyakan. Seharusnya: Pendidikan Islam
mampu menjalankan perannya sebagai pendidikan alternatif yang menjanjikan masa
depan. Tapi faktanya, Kehadiran madrasah, sekolah dan perguruan tinggi Islam
cenderung berafiliasi pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan
Persis atau badan-badan/ yayasan-yayasan Perguruan Islam. Yang Lebih parah
lagi, kasus teroris yang dalam kisah pendidikannya ada lulusan sekolah Isalm.
Ini mungkin menjadi alasan yang tidak cukup kuat, tetapi begitulah sebagian
perspektif masyarakat yang ada.Dengan demikian tugas Lembaga Pendidikan Islam
yang ada di Indonesia untuk menghasilkan output pendidikan yang tidak sekedar
berkualiatas iman,tetapi juga ilmu bisa terwujud.
Diharapkan
adanya usaha sekolah-sekolah dan instansi terkait dengan dengan pendidikan
Islam untuk meciptakan pendidikan islam yang ideal, yaitu pendidikan islam yang
membina potensi spiritual, emosional dan intelegensia secara optimal.[12]Ketiganya
terintegrasi dalam satu lingkaran yang akhirnya membentuk paradigma baru di
masyarakat tentang kualitas yang menarik dari sekolah-seolah Islam.
Dengan demikian sikap
diskriminatif dan masalah paradigma yang buruk tentang kualitas pendidikan di
Sekolah Islam dapat perlahan berubah. Tentunya melalui konsep integrated
curriculum, proses pendidikan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian
agama dengan kajian lain [non-agama] dalam pendidikan Islam yang merupakan
suatu keharusan, menciptakan output pendidikan yang baik, apabila menginginkan
pendidikan Islam kembali survive di tengah perubahan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan
pribadi manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan.
Tujuan pendidikan memeuat gambaran tentang nilai-nilai
yang baik, luhur, pantas, benar,dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan
pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan
pendidikan dan merupakan suatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan
pendidikan.
Problem pendidikan di Indonesia diantaranya :
1. Masalah pertama adalah
bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot.
2.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down
(dari atas ke bawah)
3. Yang ketiga, dari model
pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap
untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya
Problem madrasah di Indonesia adakalanya yang internal
dan eksternal, diantaranya :
1. Internal
a.
manajemen pendidikan Islam yang terletak pada ketidak
jelasan tujuan yang hendak di capai, ketidak serasian kurikulum terhadap
kebutuhan masyarakat, kurangnya tenaga pendidik yang berkualitas dan
professional.
b.
Faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat
renda
c.
Faktor pemimpin sekolah yang lemah dalam komunikasi
dan negosiasi
2. Ekternal
a.
Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap
pendidikan Islam
b.
Dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang
pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan
sektoral(lingkungan suatu usaha) dan bukan pendekatan fungsional
c.
Posisi dan peran pendidikan Islam dengan keragaman
lembaga yang dimilikinya masih dipertanyakan
Daftar Pustaka
Dr. M. sukardjo dan
ukim komarudin, landasan pendidikan konsep aplikasi, PT raj grafindo persada.
Jakarta 2009
Tim dosen FIP-IKIP
Malang, pengantar dasar-dasar pendidikan, PT Usaha Nasional. Surabaya, 2003
Dr. Syafaruddin, M.Pd, Manajemen
Lembaga Pendidikan Islam, tahun 2005
Prof. dr.
tirtharahardja dan Drs. S. l. La sulo, pengantar pendidikan. PT. rineka cipta.
Jakarta. 2005
Hery, Noer Aly, Ilmu
Pendidikan Islam Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999
Haidar Putra Daulay,
Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007
Azyumardi Azra, Surau;
Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Ciputat: Logos,
2003
Zuhairini dkk, Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997
Mastuhu, Menata Ulang
Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Safiria Insania Press dan
MSI : Yogyakarta, 2003
Abidin, Muhammad,
Zainal, Problematika Pendidikan di Indonesia dan solusi Pemecahannya:posted
pada 20 Februari 2010 dari
[1]Dr. M. sukardjo dan ukim komarudin. M. pd,
landasan pendidikan konsep aplikasi, PT raj grafindo persada. Jakarta 2009.hal
7
[2]Tim dosen FIP-IKIP Malang, pengantar
dasar-dasar pendidikan, PT Usaha Nasional. Surabaya, 2003, hal 2
[3] Dr. Syafaruddin, M.Pd, Manajemen Lembaga
Pendidikan Islam, tahun 2005, hal.203
[4] Prof. dr. tirtharahardja dan Drs. S. l. La
sulo, pengantar pendidikan. PT. rineka cipta. Jakarta. 2005, Hal 37
[5]Hery, Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 223-224.
[6]Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007). Hal. 14-15.
[7]Azyumardi Azra, Surau; Pendidikan Islam
Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. (Ciputat: Logos, 2003).
[8]Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam.
(Jakarta: Bumi Aksara, 1997). Hal. 159-160.
[9]Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem
Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Safiria Insania Press dan MSI : Yogyakarta
[10] Abidin,Muhammad,Zainal, Problematika
Pendidikan di Indonesia dan solusi Pemecahannya:posted pada 20 Februari 2010 dari
http://meetabied.wordpress.com/2010/02/20/problematika-pendidikan-di-Indonesia-dan-solusi-pemecahannya/,di
[11]Qurroti Siti, Problematika Pendidikan Islam,
from http://www.scribd.com/doc/28597217/Problematika-Pendidikan-Islam di Akses
Pada 15 Januari 2011
[12]Miftah, Konsep Pendidikn islam yang Ideal:
Posted pada 23 January, 2010, from http://miftah19.
wordpress.com/2010/01/23/konsep-pendidikan-islam-yang-ideal/Di akses pada 15
Januari 2010
Izin jadi rekomendasi untuk tugas mata kulyah...🙏
BalasHapus