Rabu, 07 Juni 2017

MAKALAH TAFSIR MAUDHU'I HIJAB



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam yang didalamnya memuat berbagai tatanan kagamaan yang universal dan mencakup segala macam aspek kehidupan umat manusia, dia diyakini juga tidak akan pernah lekang dan lapuk dimakan zaman. Jika pada masa awal Islam,  penafsiran terhadap sudah bisa diwakilkan Muhammad saw. secara langsung. Namun setelah wafatnya Rasulullah saw berbagai penafsiran semakin beragam yang kesemuanya bermuara untuk mendapatkan pemahaman yang mendekati kebenaran terhadap pesan yang terkandung dalam al-Quran tersebut.
Sempitnya teks al-Quran dan semakin kompleksnya pelbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia, menuntut para mufassir untuk terus memperbaharui pemahanan bahkan pada tingkatan metodologi penafsiran guna mendapatkan intisari dan menjawab berbagai permasalahan tersebut. Jika pada masa dahulu (klasik) kita temukan metodologi penafisran berupa tafsir bi al-Ma’tsur, bi al-Ra’yi,  dan bi al-Isyari. Pada masa modern, kita temukan pengembangan penafsiran tersebut, berupa tafsir kontemporer yang meliputi tafsir maudhu’i, bahkan al-Quran tidak lepas dari pendekatan hermeneutika.
Banyaknya metodologi penafsiran yang digunakan untuk memahami al-Quran tersebut, sebenarnya mengindikasikan eksistensi al-Quran itu sendiri sebagai kitab suci yang tetap relevan untuk dianalisa dan dipahami diberbagai waktu dan situasi.
Salah satu tema yang  sempat menjadi pembahasan hangat adalah seputar “Hijab”. Pada ranah regional, permasalahn seputar hijab dibeberapa daerah sudah dimasukkan dalam sebuah peraturan pemerintah (Aceh dan Padang). Untuk ranah international,  “hijab” menjadi issu yang hangat dengan berbagai kebijakan negara yang tidak berpihak pada kaum muslimah dengan adanya kebijakan larangan menggunakan hijab ditempat-tempat umum. Masalah demi masalah silih berganti menyebabkan adanya gerakan reintrepretasi ayat-ayat Hijab tersebut.
Dalam makalah ini, peneliti tertarik untuk membahas kembali ayat yang berkenaan dengan pembahasan “Hijab” yang difokuskan pada surah al-Nur: 30-31, dengan harapan semoga memberikan informasi lebih mengenai “Hijab” yang selanjutnya dapat kita amalkan bersama. Amin.

B.       Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian hijab?
2.         Bagaimana tafsiran ayat tentang hijab dalam surah an-nur ayat 30-31?
3.         Apa saja ayat-ayat yang berkaitan dengan hijab?




















BAB II
PEMBAHASAN

Kata Hijab, berasal dari bahasa arab yang berarti penutup, tabir, tirai, layar atau sekat,[1] kata ini merupakan bentuk mufrad dari kata “Hujub”. Dan merupakan benuk Mashdar  dari kata Hajaba-Yahjubu Hajban/ Hijaban. Pada perkembangannya, kata ini dikonotasikan sebagai penutup aurat, seperti halnya al-Shabuni, yang membuat Bab khusus pembahasan tentang Hijab dan pandangan. Oleh karena itu, dalam makalah ini, peneliti memaksudkan kata hijab sebagai penutup aurat. Adapun ayat yang membahas tentang pembahasan penutup aurat ini, tersurat dalam surah an-Nur ayat 30-31, sebagai berikut:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(31)
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (Al-Nur : 30-31)
A.      Sekilas Tentang Surat al-Nur
Surat an-Nur adalah surat yang tergolong pada Madaniyah[2], yakni surat yang turun setelah Hijrah ke Madinah.[3] Jumlah ayatnya berjumlah 64 ayat. diambil dari kata An Nuur yang terdapat pada ayat ke 35. Dalam ayat ini, Allah s.w.t. menjelaskan tentang Nuur Ilahi, yakni Al Quran yang mengandung petunjuk-petunjuk. Petunjuk-petunjuk Allah itu, merupakan cahaya yang terang benderang menerangi alam semesta. Surat ini sebagian besar isinya memuat petunjuk- petunjuk Allah yang berhubungan dengan soal kemasyarakatan dan rumah tangga.[4]

B.       Uraian Kata (al-Tahlil  al-Lafdzi)
1.         يَغْضوا kata ini berasal dari kata غض يغض  yang berarti menundukkan, memjamkan, mengurangi,[5] mempertemukan dua kelopak mata sehingga mencegah pengelihatan[6] sedangkan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah menundukkan / memalingkan pengelihatan kepada hal yang tidak diharamkan.
2.         وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ, sebagaian ulama tafsir mengatakan yang dimaksud lafadz ini adalah menutup aurat agar tidak terlihat, dan sebagian lagi mengatakan, maksud lafadz ini adalah mencegah dari zina.[7] Sementara ini Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa kedua maksud ini dapat dibenarkan melihat teks yang umum (memiliki intrepretasi bermacam-macam)[8]
3.         أَزْكَى, berasal dari kata زكاة  yang berarti suci secara batin. Sehingga maksudnya adalah, lebih mensucikan hati dan agama.[9]
4.         خَبِيرٌ, asal kata dari الخبرة  yang berati pengalaman, pengetahuan,[10] pemahaman yang mendalam sampai pada hakikat sesuatu.
5.         زِينَتَهُنَّ,.  Kata الزينة  berarti sesuatu yang digunakan perempuan untuk berhias, baik berupa baju, atau perhiasan lain. Bentuk aktualisasinya pada zaman saat ini biasanya diistilahkan dengan التجمل (bersolek). Menurut al-Qurthubi, Perhiasan terbagi menjadi dua,  Khalqiyah dan Muktasabah.
Khalqiyah : adalah hiasan yang sudah ada sejak penciptaan
Muktasabah : merupakan hiasan yang timbul setelah proses usaha, seperti baju, perhiasan yang digunakan, celak, bedak dan lain sebagainya.[11]
6.         إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا,  sebagian Ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan redaksi ini adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk diperlihatkan, seperti pakaian, kutek, cincin, atau berupa hal yang tidak mungkin untuk ditutup. Sementara itu, pendapat sebagian yang lain, menegaskan bahwa redaksi tersebut memberi pengertian, “kecuali hal yang tanpa sengaja terlihat”. Namun, terdapat pendapat lain, yang menegaskan bahwa maksud redaksi ini adalah “wajah, dua telapa tangan, dan gigi perempuan. Perbedaan ini akan memberikan implikasi terhadap hukum.
7.         بِخُمُرِهِنَّ , Ibnu Katsir menegaskan bahwa yang dimaksud dengan الخمر merupakan bentuk dari kata mufrad الخمار yang berarti tudung, tutup kepala wanita, tutup,[12] alat untuk menutup kepala, atau yang pada saat ini disebut dengan “al-Maqani’ “,  sementara itu dalam Lisanu al-‘Arab, disebutkan الخمر  merupakan bentuk kata mufrad الخمار, merupakan alat yang digunakan untuk menutup kepala perempuan, sehingga apapun yang menutup kepala perempuan bisa dikatakan “Khimar” secara bahasa.
8.         جُيُوبِهِنَّ, الجيوب  jama’ dari kataالجيب “, al-Imam al-Alusi mengatakan bahwaالجيب “, pada umumnya bermakna “saku” yang berada pada baju. Namun yang dimaksud dalam ayat ini adalah, “Allah swt. Memerintahkan para wanita menutup bagian atas dada mereka, sekiranya tidak dilihat”[13]
9.         بُعُولَتِهِنَّ, Kata بعولة  adalah bentuk jama’ dari kata بعل dalam masyarakat arab kata ini berarti “Suami atau Majikan/ Sayyid”.
10.     أَيْمَانُهُنَّ, Berarti budak, baik laki-laki maupun perempuan.
11.     غير أولى الإربة“kebutuhan”, maksud dari redaksi ini adalah orang yang tidak memiliki nafsu birahi kepada perempuan, seperti orang yang bodoh, atau siapapun yang memang tidak memiliki hasrat kepada lawan jenis.
12.     الطفل  Berarti anak kecil, kata ini bisa menunjukkan Jama’, hal ini terbukti dengan redaksi selanjutnya yang menunjukkan jama’.
13.     لم يظهروا  maksudnya adalah “tidak memahami”, sehingga maksud dari redaksi “لم يظهروا  ” ialah anak kecil yang belum memahami pengaruh relasi antar lawan jenis.[14]

C.      Pemahaman Secara Umum (Al-Ma’na al-Ijmali)
Dalam ayat ini, seakan-akan Allah swt. memintahkan Rasulullah saw.  dengan berfirman, “wahai Muhammad, dan para pengikutmu, hendaklah kalian menutup pandangan kalian, dan mencegah mata kalian untuk melihat kepada wanita yang bukan mahram, dan hendaklah tidak melihat hal-hal yang diharamkan (tidak dihalalkan), dan jagalah “kemaluan” kalian dari zina, dan hendaklah menutup aurat, sehingga tidak seorangpun yang melihatnya. Karena hal itu, baik dan suci bagi hatimu, dan lebih dapat menjaga dirimu untuk melaksanakan pekerjaan yang tidak baik. Pandangan (kepada yang diharamkan) akan menumbuhkan “Nafsu Birahi” dalam hati. Sedangkan Nafsu birahi, dapat dipastikan menyebabkan kesedihan berkepanjangan.
Namun apabila, tanpa disengaja melihat perkara yang diharamkan, maka hendaklah segera mungkin untuk memalingkan pendangan tersebut, sesungguhnya Allah swt. mengetahui apa yang kalian pandang.
Kemudian Allah swt. melanjutkan firmanNya, berkenaan tentang perempuan agar mereka juga menjaga pandangan dan kemaluannya,  namun pada ayat ini Allah swt. lebih memberikan titik tekan daripada kepada kaum laki-laki,  dengan bentuk larangan memperlihatkan perhiasan keculi kepada saudara mahramnya. Hal ini lebih mulian bagi perempuan (daripada diperlihatkan kepada selain mahram), kecuali apabila tanpa disengaja perhiasan tersebut dilihat orang lain, maka para perempuan ini tidak mendapatkan dosa. Hal ini dikarenakan, dahulu kala, para perempuan terbiasa lewat didepan laki-laki yang bukan mahram dengan busana yang tidak menutup dada mereka, dan melipat lengan. Sehingga Allah swt. menurunkan ayat ini agar mereka (perempuan) tidak memperlihatkan dadanya, dengan cara memanjangkan penutup (kerudung/ jilbab), dan Allah swt. juga memerintakan para perempuan untuk tidak menginjakkan kakinya dengan keras ketika berjalan, karena hal itu dapat menyebabkan hati orang-orang terganggu.
Pada akhir ayat ini, Allah swt. menyeru pada kaum laki-laki dan kaum perempuan agar kembali kepada Allah swt. (taubat), sehingga mereka tergolong orang yang menang (baik).[15]

D.      Asbabu al-Nuzul
Terdapat dua riwayat tentang sebab turunnya ayat diatas, antara lain sebagai berikut :
1.         Ibnu Mardawaih meriwayatkan sebuah hadits, dari sahabat Ali Ra. Dia bercerita “suatu ketika pada zaman Rasulullah saw. ada seorang pemuda yang melihat perempuan, dan perempuan itu-pun  juga melihat pemuda itu. Pada saat itu Syetan mulai mengganggu mereka berdua, sehingga mereka berdua sama-sama merasa kagum melihat orang yang dipandang. Pemuda itu lantas melanjutkan perjalanannya sambil tetap melihat perempuan itu, namun ketika sudah hampir sampai disebuah pinggiran, pemuda itu menabrak semacam tembok, sampai mulutnya terluka. Kemudian pemuda itu berkata “ demi Allah swt. aku memandikan darahku ini, sampai akhirnya aku mendatangi Rasulullah untuk menayakan prihal ini. lantas pemuda itu datang kepada Rasulullah saw. dan pemuda itu menceriakan kisahnya, Rasulullah saw. bersabda “inilah balasan dosamu”, kemudian Allah swt. menurukan ayat 30.
2.         Ibnu Katsir meriwayatkan sebuah hadits dari Muqatil bin Hayyan, dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, berkata “ada sebuah kabar, bahwa Jabir bin Abdullah al-Anshari, suatu ketika bercerita tentang Asma’ Binti Murtsid, yang ketika itu berada disebuah ladang kurmanya di kabilah Haritsah, kemudian datanglah beberapa orang perempuan, yang kesemuanya mengenakan “Gelang Kaki”, dan mereka juga memperlihatkan dada-dadanya, kemudian Asma’ berkata: “ betapa jeleknya hal ini?”, kemudian Allah swt. menurunkan ayat 31.[16]

E.       Ayat-ayat yang terkait
1.         Surah al-Ahzab ayat 32-33
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا (32) وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (33)
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya  dan ucapkanlah perkataan yang baik (32) dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul baitdan membersihkan kamu sebersih-bersihnya (33) .
Dalam ayat diatas terdapat redaksi “التبرج “, yang berarti bersolek/ berhias, mempertontonkan kecantikan dan perhiasan,[17] artinya Allah swt. Dalam ayat ini melarang perempuan untuk berhias/ bersolek/ berbusana seperti yang dilakukan perempuan kafir pada masa Jahiliyah (Sebelum Islam)[18] yakni dengan
2.         Surah al-Ahzab ayat 59
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (59)
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kata جَلَابِيبِهِنَّ  merupakan Jama’ dari kata جلباب  yang berarti baju kurung panjang sejenis jubah,[19] atau selendang yang digunakan diatas kerudung.[20] Dalam ayat ini Allah swt. Secara umum memerintahkan Rasulullah saw. agar para perempuan menutup bagian atas dada mereka. Bahkan Ibnu Abbas menegaskan, bahwa Umahtul Mukminin (Istri-istri Rasulullah saw. diwajibakan menutup seluruh tubuh mereka kecuali mata (digunakan untuk melihat), hanya sebagai tanda bahwa mereka bukan budak”[21]

F.       Beberapa Hukum Berkenaan Dengan Ayat
1.         Hukum melihat kepada bukan mahram
Secara garis besar, diperkenankan bagi seseorang (Baik laki-laki, maupun perempuan) melihat orang lain yang lawan jenis, dan bukan mahram. Hukum ini berlaku, ketika pandangan tersebut dapat mendatangkan nafsu birahi, dan menimbulkan “fitnah”. Namun syariat, masih memperkenankan hanya pada pandangan pertama, bukan yang kedua.[22] Seperti yang ditegaskan Rasulullah saw. pada perkataanya kepada sahabat Ali Ra. dalam sebuah hadits : “Wahai ‘Ali, janganlah kau ikutkan pandangan pertama, dengan pendangan kedua, diperkanankan bagi pandangan pertama (tanpa sengaja), dan tidak (diperkenankan) untuk yang pandangan yang kedua kalinya” (HR. Imam Ahmad dan al-Tirmidzi).[23]
2.         Perbedaan pendapat tentang aurat laki-laki dan perempuan
Redaksi “dan memelihara kemaluannya” dalam ayat diatas, menimbulkan beberapa pendapat antara para ulama, mengenai batasan aurat. Disisi lain, mereka sepakat, bahwa aurat tidak diperbolehkan dilihat atau diperlihatkan pada orang lain yang bukan mahram.[24] Perbedaan pandapat tersebut, bermuara pada klasifikasi aurat, sebagaimana berikut ini :
a.         Aurat laki-laki dihadapan laki-laki lain
Menurut jumhur ulama, aurat laki-laki dihadapan laki-laki lain, adalah selain diantara pusar dan lutut, sehingga selainnya diperkenankan dilihat.[25] Hanya saja, Imam malik mengatakan bahwa paha tidak termasuk aurat.
b.        Aurat perempuan dihadapan perempuan lain
Tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, Aurat perempuan dihadapan perempuan lain, juga hanya selain pusar dan lutut.
c.         Aurat Laki-laki dihadapan perempuan
Aurat laki-laki dihadapan perempuan bukan mahram, sama halnya laki-laki dihadapan laki-laki, namun terdapat pendapat dha’if yang mengatakan bahwa Aurat laki-laki dihadapan perempuan adalah seluruh badannya. Namun, jika laki-laki yang dimaksud adalah suaminya sendiri, maka seluruh badannya diperbolehkan dilihat dengan berlandaskan umunya maksud ayat al-Quran surah al-Ma’arij ayat 30, dan al-Mukminun ayat 6
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela
d.        Aurat perempuan dihadapan laki-laki.
Khusus pembahasan ini, para ulama berbeda pendapat, antara dua golongan :
1)        Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, seluruh badan perempuan merupakan aurat yang wajib ditutup. Bahwan Imam Ahmad bin Hanbal berkata “Kuku perempuan juga termasuk aurat yang wajib ditutup[26] Terkecuali ketika ada kebutuhan, seperti ketika menjadi saksi, atau proses bertunangan.
2)        Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, mengatakan bahwa Aurat perempuan yang tidak termasuk aurat adalah wajah dan kedua telapak tangan. Pendapat ini dilandasi dengan  penafsiran ayat al-Quran “Kecuali apa yang tampak dari perempuan”, dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud[27] selain ini, mereka mengatakan bahwa salah satu alasan lain yang menguatkan bahwa wajah dan telapak tangan bukan merupakan aurat yang wajib ditutupi, ialah hukum wajib membuka kedua anggota tubuh tersebut ketika shalat dan haji.


3.         Orang –orang yang berstatus Mahram
Setelah dijelaskan tentang hukum melihat/ memandang selain mahram, dan perbedaan ulama tentang batasan aurat, kemudian Allah swt. menjelaskan tentang orang-orang yang diperbolehkan untuk melihat aurat tersebut atau biasa diistilahkan dengan “mahram”. Dalam ayat an-Nur ayat 31, disebutkan beberapa mahram, yakni: suami (Bu’ulah), Orang tua kandung (Aba’), Ayah suami/ Mertua (Aba’ Bu’ulah), Anak kandung dan anak suaminya,  saudara-saudaranya (kandung, atau seibu, atau se ayah) anak-anak saudara atau saudari kandungnya. Selain itu terdapat pula bukan mahram, namun tetap diperbolehkan bagi wanita tidak menutup aurat dihadapannya, yakni “Ghoiru Uli al-Irbati.[28] Secara umum mereka adalah orang yang tidak memiliki keinginan (nafsu birahi) kepada perempuan.
4.         Tata cara penggunaan Hijab
Sebenarnya, dalam ayat ini tidak disebutkan bagaimana tatacara menggunakan hijab sebagai penutup aurat, banyak para mufassir yang menafsirkan surah al-Ahzab ayat 59.  Dan sebenarnya perintah menutup aurat ini bukan hanya sekedar “budaya atau tradisi”, namun lebih itu sebagaimana pelaksanaan perintah Allah swt.  oleh karena itu, al-Shabuni menegaskan, perintah menutup aurat bagi perempuan sebenarnya sama halnya kewajiban melaksanakan shalat dan puasa, sehingga perempuan akan dianggap “murtad” ketika tidak mempercayai kewajiban ini, dan dihukumi berdoa jika melalaikannya.[29]
Terdapat beberapa tatacara yang dijelaskan para ulama menafsiri surah al-Ahzab  ayat 59, antara lain :
a.         Ibnu Jarir al-Thabari, menegaskan, terdapat sebuah riwayat dari Ibnu Sirin. Suatu ketika Ibnu Sirin bertanya kepada ‘Abidah al-Salmani menganai pemahaman ayat tersebut, lalu dia mendemontrasikan tatacara penggunakan hijab, yaitu dengan menutup seluruh kepalanya dengan kain, sampai kain tersebut menutup seluruh sisi tubuhnya, dan membuka kain bagian kiri.
b.        Ibnu Jarir dan Ibnu Hayyan, meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas, dia mengatakan, tatacara penggunaan hijab adalah, dengan menutup seluruh kepala dan wajah, kecuali bagian mata. Dan penutup tersebut terus menutupi tubuh.[30]
5.         Hikmah Perintah Hijab
Seperti telah diketahui bersama, bahwa Al-Quran sebagai tuntunan kehidupan manusia, sudah barang tentu ajaran yang dikandungnya memiliki tujuan untuk mashlahah bagi manusia itu sendiri. Tidak terkecuali ajaran menutup aurat dengan Hijab pada ayat diatas, sedikitnya ada. berkenaan dengan hikmah perintah menggunakan hijab. Yakni:
a.         Manfaat Hijab (sebagai penutup aurat) yang kembali pada pribadi seseorang, adalah dapat mendatangkan kesucian harkat dan martabat seseorang. Khusus bagi perempuan, al-Quran menambahkan manfaat lain, yaitu dapat menjaga kehormatan perempuan itu sendiri.
b.        Sedangkan manfaat bagi masyarakat ialah, dapat menstabilkan sosial masyarakat serta menjaga budaya yang baik, dari budaya yang justru menghancurkan moral.[31]










BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari uraian dapat diambil beberapa kesimpulan penting mengenai Surah an-Nur ayat 30 dan 31 ini mengenai, Hijab/ penutup aurat, antara lain:
1.         Hijab pada dasarnya adalah penutup, penghalang. Kemudian diderefasikan kepada makna khusus yakni penutup aurat. Dengan dasar surah al-Ahzab ayat 59, yang mengindikasikan pembahasan Hijab sebagai alat.
2.         Sebelum pembahasan Hijab sebagai alat penutup aurat, terdapat klasifikasi batasan aurat yang pada titik ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, yang sama-sama memiliki argumentasi atas intrepretasi ayat al-Quran.
3.         Terdapat Munsabah ayat, antara Surah an-Nur ayat 31 dan  surah al-Ahzab ayat 59, yakni pembahasan batasan aurat didahulukan kemudian dilanjutkan bagaimana tatacara penggunaannya. Keduanya, sama-sama surah madaniyah, namun urutan pembahasannya didahului surah an-Nur.
4.         Secara garis besar, Hijab bukan hanya sekedar budaya atau tradisi, namun justru sebuah dogma/ ajaran Islam yang diwajibkan. Hal ini bukan tanpa alasan, karena menutup aurat lebih mensucikan hati dan agama.
5.         Dari sisi sosial, martabat perempuan akan semakin mulia ketika sesuatu yang seharusnya tidak diperlihatkan kecuali pada orang-orang yang dihalalkan.
6.         Hemat peneliti, Hijab erat kaitannya dengan pembahasan aurat, sejauh mana seseorang menganggap batasan aurat, maka sejauh itupula hijab wajib digunakan.




DAFTAR PUSTAKA

al-Nawawi, Muhammad bin Umar. “Murahu Labid; Likasyfi Ma’ani al-Qurani al-Majid” Juz. II, 2003 (Beirut; Daru al-Kutub al-Alamiyah)

al-Sajastani, Abu Dawud Sulaiman. “Sunan Abi Dawud” 1424 H.  (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif)

al-Shabuni, Muhammad Ali. “Rawai’u al-Bayan Tafsiru Ayati al-Ahkam Min al-Quran” 1981(Beirut; Maktabah al-Ghazali)

al-Suyuthy, Jalaluddin. “al-Itqan” 2008. Cet I (Lebanon; Muassasah Risalah Nasyirun).

al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa. “Al- Jami’u al-Kabir” Jilid. IV. 1996 (Beirut; Daru al-Gharb al-Islami)

Katsir, Abu al-Fida’ Ismail ibnu. “Tafsiru al-Quran al-‘Adzim” Jilid.VI, 1999 ( Riyadh; Daru al-Thayyibah Li al-Nasyr wa al-Tauzi’).

Warson, Ahmad. “Kamus al-Munawwir” Cet. 25, 2002 (Surabaya; Pustaka Progressif)

DIGITAL

Al-Quran Digital v. 2.1, 2004

Hanbal, Ahmad bin. “al-Musnad” Hadits ke-1389 Versi. II (Maktabah al-Syamilah al-Ishdar al-Tsani)





[1] Ahmad Warson al-Munawwir “Kamus al-Munawwir” Cet. 25, 2002 (Surabaya; Pustaka Progressif) 237
[2] Abu al-Fida’ Ismail ibnu Katsir “Tafsiru al-Quran al-‘Adzim” Jilid.VI, 1999 ( Riyadh; Daru al-Thayyibah Li al-Nasyr wa al-Tauzi’). 5
[3] Mengikuti pendapat Jumhurul Ulama’, lihat Jalaluddin al-Suyuthy, “al-Itqan” 2008. Cet I (Lebanon; Muassasah Risalah Nasyirun). 32
[4] Al-Quran Digital v. 2.1, 2004
[5] Op.Cit. Ahmad Warson 1008
[6] Muhammad Ali al-Shabuni “Rawai’u al-Bayan Tafsiru Ayati al-Ahkam Min al-Quran” 1981(Bairut; Maktabah al-Ghazali) 143
[7] Abu al-Fida’ Ismail ibnu Katsir Op.Cit. 42
[8] Muhammad Ali al-Shabuni Op.Cit.  143
[9] Abu al-Fida’ Ismail ibnu Katsir Op.Cit.  43
[10] Ahmad Warson Op.Cit. 318
[11] Muhammad Ali al-Shabuni Op.Cit.  144
[12] Ahmad Warson Op.Cit. 368
[13] Muhammad Ali al-Shabuni Op.Cit. 145
[14] Ibid. 146
[15] Ibid. 147
[16] Abu al-Fida’ Ismail ibnu Katsir Op.Cit..44
[17] Ahmad Warson Op.Cit. 70
[18] Muhammad bin Umar al-Nawawi “Murahu Labid; Likasyfi Ma’ani al-Qurani al-Majid Juz. II, 2003 (Beirut; Daru al-Kutub al-Alamiyah) 252
[19] Ahmad Warson Op.Cit. 199
[20] Abu al-Fida’ Ismail ibnu Katsir Op.Cit. 482
[21] Muhammad Ali al-Shabuni Op.Cit. 375
[22] Ibid. 151
[23] Abu Isa Muhammad bin Isa al-Tirmidzi “Al- Jami’u al-Kabir” Jilid. IV. 1996 (Beirut; Daru al-Gharb al-Islami) 480-481, Lihat juga, Ahmad bin Hanbal “al-Musnad” Hadits ke-1389 Versi. II (Maktabah al-Syamilah) 395
[24] Muhammad Ali al-Shabuni Op.Cit. 152
[25] Ibid. 153
[26] Ibid.  154
[27] Abu Dawud Sulaiman al-Sajastani “Sunan Abi Dawud” 1424 H. Hadits ke-4104 (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif) 734
[28] Muhammad Ali al-Shabuni Op.Cit.  165
[29] Ibid. 380
[30] Ibid. 381
[31] Ibid. 168

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...