BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam yang didalamnya
memuat berbagai tatanan kagamaan yang universal dan mencakup segala macam aspek
kehidupan umat manusia, dia diyakini juga tidak akan pernah lekang dan lapuk
dimakan zaman. Jika pada masa awal Islam,
penafsiran terhadap sudah bisa diwakilkan Muhammad saw. secara langsung.
Namun setelah wafatnya Rasulullah saw berbagai penafsiran semakin beragam yang
kesemuanya bermuara untuk mendapatkan pemahaman yang mendekati kebenaran
terhadap pesan yang terkandung dalam al-Quran tersebut.
Sempitnya teks al-Quran dan semakin kompleksnya
pelbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia, menuntut para mufassir
untuk terus memperbaharui pemahanan bahkan pada tingkatan metodologi penafsiran
guna mendapatkan intisari dan menjawab berbagai permasalahan tersebut. Jika
pada masa dahulu (klasik) kita temukan metodologi penafisran berupa tafsir bi
al-Ma’tsur, bi al-Ra’yi, dan bi
al-Isyari. Pada masa modern, kita temukan pengembangan penafsiran tersebut,
berupa tafsir kontemporer yang meliputi tafsir maudhu’i, bahkan al-Quran tidak
lepas dari pendekatan hermeneutika.
Banyaknya metodologi penafsiran yang digunakan untuk
memahami al-Quran tersebut, sebenarnya mengindikasikan eksistensi al-Quran itu
sendiri sebagai kitab suci yang tetap relevan untuk dianalisa dan dipahami
diberbagai waktu dan situasi.
Salah satu tema yang
sempat menjadi pembahasan hangat adalah seputar “Hijab”. Pada
ranah regional, permasalahn seputar hijab dibeberapa daerah sudah dimasukkan
dalam sebuah peraturan pemerintah (Aceh dan Padang). Untuk ranah
international, “hijab” menjadi issu yang
hangat dengan berbagai kebijakan negara yang tidak berpihak pada kaum muslimah
dengan adanya kebijakan larangan menggunakan hijab ditempat-tempat umum.
Masalah demi masalah silih berganti menyebabkan adanya gerakan reintrepretasi
ayat-ayat Hijab tersebut.
Dalam makalah ini, peneliti tertarik untuk membahas
kembali ayat yang berkenaan dengan pembahasan “Hijab” yang difokuskan pada
surah al-Nur: 30-31, dengan harapan semoga memberikan informasi lebih mengenai
“Hijab” yang selanjutnya dapat kita amalkan bersama. Amin.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
hijab?
2.
Bagaimana
tafsiran ayat tentang hijab dalam surah an-nur ayat 30-31?
3.
Apa saja
ayat-ayat yang berkaitan dengan hijab?
BAB II
PEMBAHASAN
Kata Hijab, berasal dari bahasa arab yang berarti
penutup, tabir, tirai, layar atau sekat,[1]
kata ini merupakan bentuk mufrad dari kata “Hujub”. Dan merupakan benuk Mashdar dari kata Hajaba-Yahjubu Hajban/ Hijaban.
Pada perkembangannya, kata ini dikonotasikan sebagai penutup aurat, seperti
halnya al-Shabuni, yang membuat Bab khusus pembahasan tentang Hijab dan
pandangan. Oleh karena itu, dalam makalah ini, peneliti memaksudkan kata hijab
sebagai penutup aurat. Adapun ayat yang membahas tentang pembahasan penutup
aurat ini, tersurat dalam surah an-Nur ayat 30-31, sebagai berikut:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ
التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ
الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(31)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung” (Al-Nur : 30-31)
A. Sekilas Tentang Surat
al-Nur
Surat an-Nur adalah surat yang tergolong pada
Madaniyah[2],
yakni surat yang turun setelah Hijrah ke Madinah.[3]
Jumlah ayatnya berjumlah 64 ayat. diambil dari kata An Nuur yang terdapat pada
ayat ke 35. Dalam ayat ini, Allah s.w.t. menjelaskan tentang Nuur Ilahi, yakni
Al Quran yang mengandung petunjuk-petunjuk. Petunjuk-petunjuk Allah itu,
merupakan cahaya yang terang benderang menerangi alam semesta. Surat ini
sebagian besar isinya memuat petunjuk- petunjuk Allah yang berhubungan dengan
soal kemasyarakatan dan rumah tangga.[4]
B. Uraian Kata (al-Tahlil al-Lafdzi)
1.
يَغْضوا kata ini berasal dari kata غض يغض yang berarti
menundukkan, memjamkan, mengurangi,[5]
mempertemukan dua kelopak mata sehingga mencegah pengelihatan[6] sedangkan yang dimaksud
dalam ayat tersebut adalah menundukkan / memalingkan pengelihatan kepada hal
yang tidak diharamkan.
2.
وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ, sebagaian ulama tafsir
mengatakan yang dimaksud lafadz ini adalah menutup aurat agar tidak terlihat,
dan sebagian lagi mengatakan, maksud lafadz ini adalah mencegah dari zina.[7]
Sementara ini Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa kedua maksud ini dapat
dibenarkan melihat teks yang umum (memiliki intrepretasi bermacam-macam)[8]
3.
أَزْكَى, berasal dari kata زكاة yang berarti suci secara batin. Sehingga maksudnya
adalah, lebih mensucikan hati dan agama.[9]
4.
خَبِيرٌ, asal kata dari الخبرة yang berati pengalaman, pengetahuan,[10]
pemahaman yang mendalam
sampai pada hakikat sesuatu.
5.
زِينَتَهُنَّ,. Kata الزينة berarti sesuatu yang
digunakan perempuan untuk berhias, baik berupa baju, atau perhiasan lain.
Bentuk aktualisasinya pada zaman saat ini biasanya diistilahkan dengan التجمل (bersolek). Menurut al-Qurthubi, Perhiasan terbagi
menjadi dua, Khalqiyah dan Muktasabah.
Khalqiyah : adalah hiasan yang sudah ada sejak penciptaan
Muktasabah : merupakan hiasan yang timbul setelah proses usaha,
seperti baju, perhiasan yang digunakan, celak, bedak dan lain sebagainya.[11]
6.
إِلَّا مَا ظَهَرَ
مِنْهَا, sebagian Ulama
berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan redaksi ini adalah sesuatu yang
dibutuhkan untuk diperlihatkan, seperti pakaian, kutek, cincin, atau
berupa hal yang tidak mungkin untuk ditutup. Sementara itu, pendapat sebagian
yang lain, menegaskan bahwa redaksi tersebut memberi pengertian, “kecuali hal
yang tanpa sengaja terlihat”. Namun, terdapat pendapat lain, yang menegaskan
bahwa maksud redaksi ini adalah “wajah, dua telapa tangan, dan gigi perempuan.
Perbedaan ini akan memberikan implikasi terhadap hukum.
7.
بِخُمُرِهِنَّ , Ibnu Katsir menegaskan
bahwa yang dimaksud dengan الخمر merupakan bentuk dari kata mufrad الخمار yang berarti tudung, tutup kepala wanita, tutup,[12]
alat untuk menutup kepala, atau yang pada saat ini disebut dengan “al-Maqani’
“, sementara itu dalam Lisanu
al-‘Arab, disebutkan “الخمر merupakan bentuk kata mufrad الخمار, merupakan
alat yang digunakan untuk menutup kepala perempuan, sehingga apapun yang
menutup kepala perempuan bisa dikatakan “Khimar” secara bahasa.
8.
جُيُوبِهِنَّ, الجيوب jama’ dari kata “الجيب “, al-Imam al-Alusi mengatakan bahwa “الجيب “, pada umumnya bermakna
“saku” yang berada pada baju. Namun yang dimaksud dalam ayat ini adalah, “Allah
swt. Memerintahkan para wanita menutup bagian atas dada mereka, sekiranya tidak
dilihat”[13]
9.
بُعُولَتِهِنَّ, Kata بعولة adalah bentuk jama’
dari kata بعل dalam masyarakat arab
kata ini berarti “Suami atau Majikan/ Sayyid”.
10. أَيْمَانُهُنَّ, Berarti budak, baik laki-laki maupun perempuan.
11. غير أولى الإربة“kebutuhan”, maksud dari redaksi ini adalah orang yang tidak
memiliki nafsu birahi kepada perempuan, seperti orang yang bodoh, atau siapapun
yang memang tidak memiliki hasrat kepada lawan jenis.
12. الطفل Berarti anak kecil, kata ini bisa menunjukkan Jama’,
hal ini terbukti dengan redaksi selanjutnya yang menunjukkan jama’.
13. لم يظهروا maksudnya adalah “tidak memahami”, sehingga
maksud dari redaksi “لم يظهروا ” ialah anak kecil yang belum memahami
pengaruh relasi antar lawan jenis.[14]
C. Pemahaman Secara Umum (Al-Ma’na
al-Ijmali)
Dalam ayat ini, seakan-akan Allah swt. memintahkan
Rasulullah saw. dengan berfirman, “wahai
Muhammad, dan para pengikutmu, hendaklah kalian menutup pandangan kalian, dan
mencegah mata kalian untuk melihat kepada wanita yang bukan mahram, dan
hendaklah tidak melihat hal-hal yang diharamkan (tidak dihalalkan), dan jagalah
“kemaluan” kalian dari zina, dan hendaklah menutup aurat, sehingga tidak
seorangpun yang melihatnya. Karena hal itu, baik dan suci bagi hatimu, dan
lebih dapat menjaga dirimu untuk melaksanakan pekerjaan yang tidak baik.
Pandangan (kepada yang diharamkan) akan menumbuhkan “Nafsu Birahi” dalam hati.
Sedangkan Nafsu birahi, dapat dipastikan menyebabkan kesedihan berkepanjangan.
Namun apabila, tanpa disengaja melihat perkara yang
diharamkan, maka hendaklah segera mungkin untuk memalingkan pendangan tersebut,
sesungguhnya Allah swt. mengetahui apa yang kalian pandang.
Kemudian Allah swt. melanjutkan firmanNya, berkenaan
tentang perempuan agar mereka juga menjaga pandangan dan kemaluannya, namun pada ayat ini Allah swt. lebih
memberikan titik tekan daripada kepada kaum laki-laki, dengan bentuk larangan memperlihatkan perhiasan
keculi kepada saudara mahramnya. Hal ini lebih mulian bagi perempuan (daripada
diperlihatkan kepada selain mahram), kecuali apabila tanpa disengaja perhiasan
tersebut dilihat orang lain, maka para perempuan ini tidak mendapatkan dosa.
Hal ini dikarenakan, dahulu kala, para perempuan terbiasa lewat didepan
laki-laki yang bukan mahram dengan busana yang tidak menutup dada mereka, dan
melipat lengan. Sehingga Allah swt. menurunkan ayat ini agar mereka (perempuan)
tidak memperlihatkan dadanya, dengan cara memanjangkan penutup (kerudung/
jilbab), dan Allah swt. juga memerintakan para perempuan untuk tidak
menginjakkan kakinya dengan keras ketika berjalan, karena hal itu dapat
menyebabkan hati orang-orang terganggu.
Pada akhir ayat ini, Allah swt. menyeru pada kaum
laki-laki dan kaum perempuan agar kembali kepada Allah swt. (taubat), sehingga
mereka tergolong orang yang menang (baik).[15]
D. Asbabu al-Nuzul
Terdapat dua riwayat tentang sebab turunnya ayat
diatas, antara lain sebagai berikut :
1.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan sebuah hadits, dari sahabat Ali Ra.
Dia bercerita “suatu ketika pada zaman Rasulullah saw. ada seorang pemuda yang
melihat perempuan, dan perempuan itu-pun
juga melihat pemuda itu. Pada saat itu Syetan mulai mengganggu mereka
berdua, sehingga mereka berdua sama-sama merasa kagum melihat orang yang
dipandang. Pemuda itu lantas melanjutkan perjalanannya sambil tetap melihat
perempuan itu, namun ketika sudah hampir sampai disebuah pinggiran, pemuda itu
menabrak semacam tembok, sampai mulutnya terluka. Kemudian pemuda itu berkata “
demi Allah swt. aku memandikan darahku ini, sampai akhirnya aku mendatangi
Rasulullah untuk menayakan prihal ini. lantas pemuda itu datang kepada
Rasulullah saw. dan pemuda itu menceriakan kisahnya, Rasulullah saw. bersabda
“inilah balasan dosamu”, kemudian Allah swt. menurukan ayat 30.
2.
Ibnu Katsir meriwayatkan sebuah
hadits dari Muqatil bin Hayyan, dari Jabir bin Abdullah al-Anshari,
berkata “ada sebuah kabar, bahwa Jabir bin Abdullah al-Anshari, suatu ketika
bercerita tentang Asma’ Binti Murtsid, yang ketika itu berada disebuah
ladang kurmanya di kabilah Haritsah, kemudian datanglah beberapa orang
perempuan, yang kesemuanya mengenakan “Gelang Kaki”, dan mereka juga
memperlihatkan dada-dadanya, kemudian Asma’ berkata: “ betapa jeleknya
hal ini?”, kemudian Allah swt. menurunkan ayat 31.[16]
E.
Ayat-ayat yang terkait
1.
Surah al-Ahzab ayat 32-33
يَا نِسَاءَ
النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا
مَعْرُوفًا (32) وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ
أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (33)
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti
wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya
dan ucapkanlah perkataan yang
baik (32) dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul baitdan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya (33) .
Dalam ayat
diatas terdapat redaksi “التبرج “, yang berarti bersolek/ berhias,
mempertontonkan kecantikan dan perhiasan,[17]
artinya Allah swt. Dalam ayat ini melarang perempuan untuk berhias/ bersolek/
berbusana seperti yang dilakukan perempuan kafir pada masa Jahiliyah (Sebelum
Islam)[18]
yakni dengan
2.
Surah al-Ahzab ayat 59
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا
يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (59)
“Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Kata جَلَابِيبِهِنَّ merupakan Jama’ dari kata جلباب yang berarti
baju kurung panjang sejenis jubah,[19]
atau selendang yang digunakan diatas kerudung.[20]
Dalam ayat ini Allah swt. Secara umum memerintahkan Rasulullah saw. agar para
perempuan menutup bagian atas dada mereka. Bahkan Ibnu Abbas menegaskan, bahwa Umahtul
Mukminin (Istri-istri Rasulullah saw. diwajibakan menutup seluruh tubuh
mereka kecuali mata (digunakan untuk melihat), hanya sebagai tanda bahwa mereka
bukan budak”[21]
F. Beberapa Hukum
Berkenaan Dengan Ayat
1.
Hukum melihat kepada bukan mahram
Secara garis besar, diperkenankan bagi seseorang (Baik
laki-laki, maupun perempuan) melihat orang lain yang lawan jenis, dan bukan
mahram. Hukum ini berlaku, ketika pandangan tersebut dapat mendatangkan nafsu
birahi, dan menimbulkan “fitnah”. Namun syariat, masih memperkenankan
hanya pada pandangan pertama, bukan yang kedua.[22]
Seperti yang ditegaskan Rasulullah saw. pada perkataanya kepada sahabat Ali Ra.
dalam sebuah hadits : “Wahai ‘Ali, janganlah kau ikutkan pandangan pertama,
dengan pendangan kedua, diperkanankan bagi pandangan pertama (tanpa sengaja),
dan tidak (diperkenankan) untuk yang pandangan yang kedua kalinya” (HR. Imam
Ahmad dan al-Tirmidzi).[23]
2.
Perbedaan pendapat tentang aurat laki-laki dan
perempuan
Redaksi “dan memelihara kemaluannya” dalam ayat
diatas, menimbulkan beberapa pendapat antara para ulama, mengenai batasan
aurat. Disisi lain, mereka sepakat, bahwa aurat tidak diperbolehkan dilihat
atau diperlihatkan pada orang lain yang bukan mahram.[24]
Perbedaan pandapat tersebut, bermuara pada klasifikasi aurat, sebagaimana
berikut ini :
a.
Aurat laki-laki dihadapan laki-laki lain
Menurut jumhur ulama,
aurat laki-laki dihadapan laki-laki lain, adalah selain diantara pusar dan
lutut, sehingga selainnya diperkenankan dilihat.[25]
Hanya saja, Imam malik mengatakan bahwa paha tidak termasuk aurat.
b.
Aurat perempuan dihadapan perempuan lain
Tidak jauh berbeda
dengan sebelumnya, Aurat perempuan dihadapan perempuan lain, juga hanya selain
pusar dan lutut.
c.
Aurat Laki-laki dihadapan perempuan
Aurat laki-laki
dihadapan perempuan bukan mahram, sama halnya laki-laki dihadapan laki-laki,
namun terdapat pendapat dha’if yang mengatakan bahwa Aurat laki-laki dihadapan
perempuan adalah seluruh badannya. Namun, jika laki-laki yang dimaksud adalah
suaminya sendiri, maka seluruh badannya diperbolehkan dilihat dengan
berlandaskan umunya maksud ayat al-Quran surah al-Ma’arij ayat 30, dan
al-Mukminun ayat 6
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela”
d.
Aurat perempuan dihadapan laki-laki.
Khusus pembahasan ini, para ulama berbeda pendapat,
antara dua golongan :
1)
Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah,
seluruh badan perempuan merupakan aurat yang wajib ditutup. Bahwan Imam Ahmad
bin Hanbal berkata “Kuku perempuan juga termasuk aurat yang wajib ditutup”[26]
Terkecuali ketika ada kebutuhan, seperti ketika menjadi saksi, atau proses
bertunangan.
2)
Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, mengatakan
bahwa Aurat perempuan yang tidak termasuk aurat adalah wajah dan kedua telapak
tangan. Pendapat ini dilandasi dengan
penafsiran ayat al-Quran “Kecuali apa yang tampak dari perempuan”,
dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud[27]
selain ini, mereka mengatakan bahwa salah satu alasan lain yang menguatkan
bahwa wajah dan telapak tangan bukan merupakan aurat yang wajib ditutupi, ialah
hukum wajib membuka kedua anggota tubuh tersebut ketika shalat dan haji.
3.
Orang –orang yang berstatus Mahram
Setelah dijelaskan tentang hukum melihat/ memandang
selain mahram, dan perbedaan ulama tentang batasan aurat, kemudian Allah swt.
menjelaskan tentang orang-orang yang diperbolehkan untuk melihat aurat tersebut
atau biasa diistilahkan dengan “mahram”. Dalam ayat an-Nur ayat 31,
disebutkan beberapa mahram, yakni: suami (Bu’ulah), Orang tua kandung (Aba’),
Ayah suami/ Mertua (Aba’ Bu’ulah), Anak kandung dan anak suaminya, saudara-saudaranya (kandung, atau seibu, atau
se ayah) anak-anak saudara atau saudari kandungnya. Selain itu terdapat pula
bukan mahram, namun tetap diperbolehkan bagi wanita tidak menutup aurat
dihadapannya, yakni “Ghoiru Uli al-Irbati”.[28] Secara umum mereka
adalah orang yang tidak memiliki keinginan (nafsu birahi) kepada perempuan.
4.
Tata cara penggunaan Hijab
Sebenarnya, dalam ayat ini tidak disebutkan bagaimana
tatacara menggunakan hijab sebagai penutup aurat, banyak para mufassir yang
menafsirkan surah al-Ahzab ayat 59. Dan
sebenarnya perintah menutup aurat ini bukan hanya sekedar “budaya atau
tradisi”, namun lebih itu sebagaimana pelaksanaan perintah Allah swt. oleh karena itu, al-Shabuni menegaskan,
perintah menutup aurat bagi perempuan sebenarnya sama halnya kewajiban
melaksanakan shalat dan puasa, sehingga perempuan akan dianggap “murtad” ketika
tidak mempercayai kewajiban ini, dan dihukumi berdoa jika melalaikannya.[29]
Terdapat beberapa tatacara yang dijelaskan para ulama
menafsiri surah al-Ahzab ayat 59, antara
lain :
a.
Ibnu Jarir al-Thabari, menegaskan, terdapat sebuah
riwayat dari Ibnu Sirin. Suatu ketika Ibnu Sirin bertanya kepada ‘Abidah
al-Salmani menganai pemahaman ayat tersebut, lalu dia mendemontrasikan tatacara
penggunakan hijab, yaitu dengan menutup seluruh kepalanya dengan kain, sampai
kain tersebut menutup seluruh sisi tubuhnya, dan membuka kain bagian kiri.
b.
Ibnu Jarir dan Ibnu Hayyan, meriwayatkan dari sahabat
Ibnu Abbas, dia mengatakan, tatacara penggunaan hijab adalah, dengan menutup
seluruh kepala dan wajah, kecuali bagian mata. Dan penutup tersebut terus
menutupi tubuh.[30]
5.
Hikmah Perintah Hijab
Seperti telah diketahui bersama, bahwa Al-Quran
sebagai tuntunan kehidupan manusia, sudah barang tentu ajaran yang dikandungnya
memiliki tujuan untuk mashlahah bagi manusia itu sendiri. Tidak terkecuali
ajaran menutup aurat dengan Hijab pada ayat diatas, sedikitnya ada. berkenaan
dengan hikmah perintah menggunakan hijab. Yakni:
a.
Manfaat Hijab (sebagai penutup aurat) yang kembali
pada pribadi seseorang, adalah dapat mendatangkan kesucian harkat dan martabat
seseorang. Khusus bagi perempuan, al-Quran menambahkan manfaat lain, yaitu
dapat menjaga kehormatan perempuan itu sendiri.
b.
Sedangkan manfaat bagi masyarakat ialah, dapat
menstabilkan sosial masyarakat serta menjaga budaya yang baik, dari budaya yang
justru menghancurkan moral.[31]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dapat diambil beberapa kesimpulan penting
mengenai Surah an-Nur ayat 30 dan 31 ini mengenai, Hijab/ penutup aurat, antara
lain:
1.
Hijab pada dasarnya adalah penutup, penghalang.
Kemudian diderefasikan kepada makna khusus yakni penutup aurat. Dengan dasar
surah al-Ahzab ayat 59, yang mengindikasikan pembahasan Hijab sebagai alat.
2.
Sebelum pembahasan Hijab sebagai alat penutup aurat,
terdapat klasifikasi batasan aurat yang pada titik ini terjadi perbedaan
pendapat dikalangan para ulama, yang sama-sama memiliki argumentasi atas
intrepretasi ayat al-Quran.
3.
Terdapat Munsabah ayat, antara Surah an-Nur ayat 31
dan surah al-Ahzab ayat 59, yakni
pembahasan batasan aurat didahulukan kemudian dilanjutkan bagaimana tatacara
penggunaannya. Keduanya, sama-sama surah madaniyah, namun urutan pembahasannya
didahului surah an-Nur.
4.
Secara garis besar, Hijab bukan hanya sekedar budaya
atau tradisi, namun justru sebuah dogma/ ajaran Islam yang diwajibkan. Hal ini
bukan tanpa alasan, karena menutup aurat lebih mensucikan hati dan agama.
5.
Dari sisi sosial, martabat perempuan akan semakin
mulia ketika sesuatu yang seharusnya tidak diperlihatkan kecuali pada
orang-orang yang dihalalkan.
6.
Hemat peneliti, Hijab erat kaitannya dengan pembahasan
aurat, sejauh mana seseorang menganggap batasan aurat, maka sejauh itupula
hijab wajib digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Nawawi, Muhammad bin Umar. “Murahu Labid;
Likasyfi Ma’ani al-Qurani al-Majid” Juz. II, 2003 (Beirut; Daru al-Kutub
al-Alamiyah)
al-Sajastani, Abu Dawud Sulaiman. “Sunan Abi Dawud”
1424 H. (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif)
al-Shabuni, Muhammad Ali. “Rawai’u al-Bayan Tafsiru
Ayati al-Ahkam Min al-Quran” 1981(Beirut; Maktabah al-Ghazali)
al-Suyuthy, Jalaluddin. “al-Itqan” 2008. Cet I
(Lebanon; Muassasah Risalah Nasyirun).
al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa. “Al- Jami’u
al-Kabir” Jilid. IV. 1996 (Beirut; Daru al-Gharb al-Islami)
Katsir, Abu al-Fida’ Ismail ibnu. “Tafsiru al-Quran
al-‘Adzim” Jilid.VI, 1999 ( Riyadh; Daru al-Thayyibah Li al-Nasyr wa
al-Tauzi’).
Warson, Ahmad. “Kamus al-Munawwir” Cet. 25,
2002 (Surabaya; Pustaka Progressif)
DIGITAL
Al-Quran Digital v.
2.1, 2004
Hanbal, Ahmad bin. “al-Musnad” Hadits ke-1389
Versi. II (Maktabah al-Syamilah al-Ishdar al-Tsani)
[2] Abu al-Fida’ Ismail ibnu Katsir “Tafsiru
al-Quran al-‘Adzim” Jilid.VI, 1999 ( Riyadh; Daru al-Thayyibah Li al-Nasyr
wa al-Tauzi’). 5
[3] Mengikuti pendapat Jumhurul Ulama’, lihat
Jalaluddin al-Suyuthy, “al-Itqan” 2008. Cet I (Lebanon; Muassasah
Risalah Nasyirun). 32
[6] Muhammad Ali al-Shabuni “Rawai’u al-Bayan
Tafsiru Ayati al-Ahkam Min al-Quran” 1981(Bairut; Maktabah al-Ghazali) 143
[18] Muhammad bin Umar al-Nawawi “Murahu Labid;
Likasyfi Ma’ani al-Qurani al-Majid” Juz. II, 2003 (Beirut; Daru al-Kutub
al-Alamiyah) 252
[23] Abu Isa Muhammad bin Isa al-Tirmidzi “Al-
Jami’u al-Kabir” Jilid. IV. 1996 (Beirut; Daru al-Gharb al-Islami) 480-481,
Lihat juga, Ahmad bin Hanbal “al-Musnad” Hadits ke-1389 Versi. II
(Maktabah al-Syamilah) 395
[27] Abu Dawud Sulaiman al-Sajastani “Sunan Abi
Dawud” 1424 H. Hadits ke-4104 (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif) 734
Tidak ada komentar:
Posting Komentar