BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradilan Agama
telah hadir dalam kehidupan hukum di Indonesia sejak masuknya agama
Islam. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat muslim akan penegakan keadilan,
pemerintah mewujudkan dan menegaskan kedudukan Peradilan Agama sebagai salah
satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam Al-Qur’an, Hadits Rasul dan
ijtihad para ahli hukum Islam, terdapat aturan-aturan hukum materiil sebagai
pedoman hidup dan aturan dalam hubungan antar manusia (muamalah) serta
hukum formal sebagai pedoman beracara di Peradilan Agama.
Dalam pembuatan makalah
ini, masih banyak terdapat kekurangannya, semua keputusan terletak ditangan
Peradilan Islam sehingga bukan Jabatan yang main-main karena orang yang
menentukan suatu keputusan.
Siswa dapat memenuhi,
memahami dan menghayati ajaran Islam tentang pemerintahan dan memperdomaninya
dengan benar serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
makalah ini membahas sedikit masalah Peradilan Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa arti, fungsi dan hikmah
dari peradilan?
2.
Apa pengertian dari
hakim?
3.
Apa saja syarat-syarat
untuk menjadi seorang hakim?
4.
Tata cara apa saja
peradilan menjatuhkan hukuman?
5.
Apa saja adab
kesopanan/etika hakim?
6.
Bagaimana kedudukan
hakim wanita
7.
Apa pengertian dari
saksi?
8.
Apa syarat-syarat saksi yang adil?
9.
Bagaimana kesaksian
seorang tetangga dan orang yang buta?
10. Bagaimana sanksi terhadap saksi palsu?
11. Apa pengertian
penggugat
12. Apa syarat-syarat
gugatan?
13. Apa saja macam-macam
bukti itu?
14. Bagaimana cara
memeriksa terdakwa, dan terdakwa yang tidak hadir di persidangan
15. Apa pengertian dari
tergugat?
16. Apa tujuan dari sumpah
tergugat?
17. Apa syarat-syarat
orang-orang yang bersumpah?
18. Bagaimana lafadz-lafadz
sumpah?
19. Apa sanksi yang harus
dilakukan bagi seorang pelanggar sumpah?
20. . Apa dasar hukum
peradilan agama di indonesia?
21. Apa fungsi peradilan
agama?
C. Tujuan
1. Menjelaskan arti,
fungsi dan hikmah peradilan
2. Menjelaskan pengertian
dari hakim.
3. Menyebutkan
syarat-syarat untuk menjadi seorang hakim.
4. Menyebutkan tata cara
peradilan menjatuhkan hukuman.
5. Menjelaskan tentang
adab kesopanan/etika hakim
6. Menjelaskan kedudukan hakim seorang wanita.
7. Menjelaskan pengertian saksi.
8. Menyebutkan syarat-syarat saksi yang adil
9. Menjelaskan kesaksian seorang tetangga dan orang buta.
10. .Menjelaskan sanksi terhadap
saksi palsu
11. Menjelaskan pengertian dari penggugat.
12. .Menyebutkan
syarat-syarat gugatan.
13. .Menyebutkan macam-macam
bukti.
14. Menjelaskan cara memeriksa terdakwa dan terdakwa yang
tidak hadir di persidangan.
15. . Menjelaskan pengertian
dari tergugat
16. . Menjelaskan tujuan dari
sumpah.
17. Menyebutkan
syarat-syarat orang bersumpah
18. Menyebutkan
lafadz-lafadz sumpah
19. Menjelaskan sanksi bagi
seorang pelanggar sumpah.
20. Menjelaskan dasar hukum
peradilan agama di Indonesia.
21. Menjelaskan fungsi dari
peradilan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ARTI, FUNGSI, DAN
HIKMAH PERADILAN
1.
Pengertian Peradila
Peradilan berasal dari kata adilyang mendapat imbuhan
per- dan –an. Adil artinya “menempatkan sesuatu pada tempatnya.” Jadi,
peradilan yang mendapat imbuhan per-an mengandung arti atau menunjukkan tempat,
maka peradilan berarti “tempat atau lembaga yang menempatkan sesuatu pada
tempatnya.” Alam hal ini peradilan lebih dikhususkan bergerak dalam masalah
perkara-perkara hukum. Karenanya peradilan berarti lembaga yang menempatkan
perkara-perkara hukum sesuai dengan tempatnya. Yang benar diputuskan benar, dan
yang salah diputuskan salah.
Untuk kata peradilan, didalam bahasa Arab digunakan kata qadha’, jamaknya
aqdhiya’ yang berarti,”memutuskan perkara/perselisihan antara dua orang atau
lebih berdasarkan hukum Allah.” Qadha dapat pula diartikan, “Sesuat hukum
antara manusia dengan kebenaran dan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh
Allah.” Para ahli fikih memberikan definisi qadha sebagai keputusan produk pemerintah,
atau menetapkan hukum syari’ dengan jalan penetapan.
2.
Fungsi Peradilan
Lembaga peradilan bertugas menyelesaikan persengkatan dan memutuskan hukum.
Dengan peradilan Allah SWT, memelihara keseimbangan dan kedamaian dalam
masyarakat luas. Peradilan memberikan keputusan didalam perkara yang nyata
(konkrit) yang diembankan kepadanya untuk diadili, sesuai dengan kaidah-kaidah
hukum yang ditetapkan undang-undang.
Dengan demikian, landasan dari fungsi peradilan adalah terpeliharanya kepastian
hukum.
3.
Hikmah Peradilan
a. Terciptanya keadilan
dalam masyarakat karena masyarakat memperoleh hak-haknya.
b. Terciptanya perdamaian
karena masyarakat memperoleh kepastiannya hukumnya dan diantara masyarakat
saling menghargai hak-hak orang lain. Tidak ada yang berbuat semena-mena,
karena semuanya telah diatur oleh Undang-undang.
c. Teriptanya
kesejahteraan masyarakat.
d. Terwujudnya aparatur
pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa
B. HAKIM
a.
Pengertian Hakim
Hakim adalah isim fa’il dari kata “hakama”, yang artinyaorang yang menetapkan
hukum atau memutuskan hukum atau suatu perkara. Sedang menurut istilah, hakim
adalah orang yang diangkat penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan
persengketaan-persengkatan.
Selain kata hakim, digunakan pula istilah qadhi, yang berarti orang yang
memutuskan, mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara.
b. Syarat-syarat Menjadi
Hakim
a.
Muslim
Muslim merupakan syarat
diperbolehkannya persaksian seorang muslim, dan keahlian mengadili itu ada
kaitannya dengan keahlian menjadi saksi.
b.
Baligh
Baligh berarti dewasa ,
baik dewasa jasmani dan rohaninya maupun dewasa dalam berpikir.
c.
Berakal
Berakal disini bukan
sekedar “mukallaf”, tetapi benar-benar sehat pikirannya, cerdas dan dapat
memecahkan masalah.
d.
Adil
Adil disini berarti
benar dalam berhujjah, dapat menjaga amanah, bersikap jujur baik dalam keadaan
marah atau suka, mampu menjaga diri dari hawa nafsu dan perbuatan haram serta
dapat mengendalikan amarah.
e.
Mengetahui /
undang-undang
f.
Sehat jasmani dan
rohani
g.
Dapat membaca dan
menulis.
c. Tata Cara Peradilan
Menjatuhkan Hukuman
a.
Didasarkan kepada hasil
pemeriksaan perkara didalam sidang peradilan. Kemudian para hakim mengambil
kesimpulan dari pemeriksaan tersebut, lalu menjatuhkan hukuman.
b.
Dari kondisi para
hakim, bahwa mereka telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan prosedur dan
adab/kesopanan para hakim.
d. Adab Kesopanan / Etika
Hakim
e .Hendaklah ia
berkantor ditengah-tengah negeri, ditempat yang diketahui orang dan dapat
dijangkau oleh lapisan masyarakat.
Hendaklah ia menganggap
sama terhadap orang-orang yang berperkara.
c.
Jangan memeutuskan hukum dalam keadaan :
1.) Sedang marah
2.) Sedang sangat lapar dan haus
3.) Sedang sangat susah atau sangat gembira
4.) Sedang sakit
5.) Sedang menahan buang air yang sangat
6.) Mengantuk
Rasulullah SAW. Bersabda yang artinya :
“ Janganlah hakim
menghukum antara dua orang sewaktu ia marah.”(HR. Jamaah)
d.
Tidak boleh menerima pemberian dari orang-orang yang
sedang berperkara, yang ada kaitannya dengan perkara yang sedang ditangani.
e.
Hakim tidak boleh menunjukkan cara mendakwa dan cara
membela.
f.
Surat-surat kepada hakim yang lain diluar wilayahnya,
apabila surat itu berisi hukum hendaklah dipersaksikan kepada dua orang saksi
sehingga keduanya mengetahui isi surat tersebut.
5.
Kedudukan Hakim Wanita
Rasulullah SAW telah memberi petunjuk . meskipun
Rasulullah tidak melarangnya, namun ia telah mengisyarakatkan, sebaiknya tidak
mengangkat wanita menjadi hakim.
Kebanyakan jumhur ulama’ tidak membolehkan wanita
menjadi hakim. Pendapat ini dikemukakan oleh Madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali
dan lain-lain.
Sedangkan menurut Abu Hanifah dan para pengikutnya
membolehkan wanita menjadi qadhi dalam segala urusan, kecuali “had dan qishas”.
C. SAKSI
1. Pengertian Saksi
Saksi atau al-shahadah yaitu orang yang mengetahui atau melihat. Yaiutu orang
yang dimintakan hadir dalam suatu persidangan untuk memberikan keterangan yang
membenarkan atau menguatkan bahwa peristiwa itu terjadi.
2. Syarat-syarat Saksi Yang Adil
Adil adalah syarat mutlak bagi seorang saksi. Allah
SWT berfirman :
وَاَشْهِدُوْاذَوَى
عَدْلٍ مِنْكُمْ وَاَقِيْمُ ااشَّهَادَةَلِلَّهِ
Artinya: “ dan persaksikanlah dua orang saksi yang
adil diantara kamu.”
(QS. Al-Thalaq [65]:2)
Orang adil tersebut hendaknya mempunyai syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Muslim
Orang bukan Muslim tidak diterima kesaksiannya untuk
orang Islam. Tetapi, Imam Abu Hanifah membolehkan orang kafir menjadi saksi
bagi orang Islam.
b. Merdeka
Hamba sahaya tidak diterima menjadi saksi. Karena
saksi itu diserahi kekuasaan, sedangkan hamba sahaya tidak dapat diserahi
kekuasaan.
c. Dapat berbicara
d. Bukan usuh terdakwa
e. Dhabit
Dalam arti kuat hafalan dari apa yang dilihat maupun
didengar, serta dapat memelihara yang dilihat atau didengarnya itu.
f. Bukan orang fasik, penghianat/pezina.
3. Kesaksian Tetangga dan Orang Buta
Kesaksian seorang tetangga diperbolehkan dan dianggap sah selama memenuhi
syarat-syarat seorang saksi. Yang tidak boleh adalah suami memberikan saksi
atas istri atau sebaliknya, anak atas orang tuadan sebaliknya serta pembantu
atas tuannya.
Demikian halnya orang buta, menurut Imam Mailik dan Imam Ahmad boleh menjadi
saksi asal dia dapat mendengar suara. Jadi kesimpulannya, selama masih ada
saksi yang lain (yang tidak buta), sebaiknya saksi orang buta tidak diajukan
dulu, kecuali kalau memang keadaan sangat membutuhkan kesaksiannya.
4. Sanksi Terhadap Saksi Palsu
Saksi palsu itu dianggap sebagai dosa besar, karena dampak negatifnya yang
sangat luas. Dapat merugikan pihak-pihak tertentu, yang salah bisa bebas dari
hukuman dan yang benar bisa dihukum, akan tersebar fitnah di masyarakat dan
lain-lain. Sehingga persaksian palsu ini dosanya disamakan dengan dosa syirik
dan durhaka pada orang tua.
D. PENGGUGAT DAN BUKTI
1. Pengertian Penggugat
Penggugat adalah orang yang mengajukan tuntutan melalui pengadilan karena ada
haknya yang diambil orang lain atau karena adanya permasalahan dengan pihak
lain, yang dianggap merugikan dirinya.
2. Syarat-syarat Gugatan
a. Gugatan disampaikan secara tertulis yang ditujukan ke
pengadilan dan ditanda tangani oleh pengugat.
b. Gugatan harus diuraikan dengan jelas dan
rinci(tafshil).
c. Tuntutan harus sesuai dengan kejadian perkara.
d. Memenuhi persyaratan khusus yang dibuat oleh
pengadilan.
e. Pihak penggugat tertentu orangnya.
f. Penggugat dan tergugat sama-sama mukallaf, baligh dan
berakal.
g. Penggugat dan tergugat tidak dalam keadaan berperang
agama.
3. Macam-macam Bukti
a. Saksi
Saksi ini bisa dari pihak pendakwa maupun pihak
terdakwa.
b. Barang bukti
Bukti berupa barang sering lebih meyakinkan dalam
gugatan di pengadilan.
c. Pengakuan terdakwa
Pengakuan terdakwa merupakan pernyataan yang tegas
tentang perbuatan yang dilakukan oleh diri sendiri. Pengakuan ini adalah hujjah
yang terbatas. Artinya, hanya berlaku bagi orang yang memberi pengakuan saja
dan tidak dapat mengenai diri orang lain.
d. Sumpah
Sumpah ada dua macam:
1.) Sumpah untuk berjanji
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
2.) Sumpah untuk memberikan
keterangan guna untuk menguatkan bahwa sesuatu itu benar-benar demikian atau
tidak.
e. Pengetahuan atau Keyakinan Hakim
4. Cara memeriksa Terdakwa dan Terdakwa yang Tidak Hadir
di Persidangan
Adapun cara memeriksa terdakwa, mula-mula hakim berusaha terlebih dahulu untuk
mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Kalau tidak dapat didamaikan, barulah
perkara itu diperiksa menurut ketentuan yang berlaku.
Dalam pemeriksaan harus dihadirkan pihak-pihak yang berperkara. Untuk pendakwa
dianggap tidak ada masalah hadir di persidangan, karena ia yang menuntut agar
perkaranya dimeja hijaukan. Sedangkan terdakwa, juga harus hadir. Jika tidak,
pengadilan tetap memanggilnya sampai batas tiga kali. Bila tidak kunjung hadir,
maka hakim boleh memutuskan perkara atas orang ghaib ini. Putusan ini (dalam
bahasa peradilan) disebut dengan putusan verstek(tidak hadir) yakni putusan
pengadilan tanpa kehadiran pihak terdakwa/tertuduh. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
bin Hanbal membolehkan hakim memutuskan perkara dengan cara verstek ini.
Sementara Imam Abu Hanifah, Ibn Abi Laila, Syuraih, dan Umar bin Abdul Aziz
tidak membolehkan putusan verstek ini. Alasan yang dikemukakannya adalah mungin
saja ketidakhadiran terdakwa karena ada “hujjah” yang menyebabkan tidak bisa
hadir dipersidangan. Akan tetapi jika ada wakilnya, persidangan bisa
dilanjutkan/dilangsungkan.
E. TERGUGAT DAN SUMPAH
1. Pengertian Tergugat
Tergugat adalah orang yang dituntut mengembalikan keadilan berkaitan dengan
hak-hak orang lain, atau dituntut untuk mempertanggungjawabkan kesalahan atas
dakwaan pihak lain. Tergugat sering disebut juga terdakwa, atau tertuduh.
2. Tujuan Sumpah dan Sumpah Tergugat
Sumpah yaitu suatu pernyataan yang khidmat, diucapkan pada waktu berjanji atau
keterangan dengan nama Allah dengan menggunakan huruf qasam (sumpah).
Tujuan sumpah adalah memberikan keterangan guna
dmeyakinkan bahwa sesuatu itu demikian atau tidak. Sumpah diucapkan oleh
tergugat untuk menyangkal atau menolak gugatan yang ditujukan kepadanya.
3. Syarat-syarat Orang Bersumpah
a. Mukallaf, yaitu baligh dan berakal.
b. Atas kehendak sendiri, artinya tidak ada paksaan dari
pihak manapun.
c. Menyengaja mengucapkan sumpah.
d. Harus dengan nama Allah.
4. Lafadz-lafadz Sumpah
مَنْ كَانَ حَا لِفاً
فَلْيَحْلِفْ بِا للهِ اَوْ لِيَذَرْ
Artinya: “ Barang siapa bersumpah maka bersumpahlah
dengan billahi atau (jika tidak demikian) tinggalkanlah.
Kata “billahi” adalah salah satu sumpah yang diawali
huruf qasam.
Kata-kata qasam adalah والله- تا لله- با لله Kata-kata
qasam tersebut mengandung arti “Demi Allah”.
5. Pelanggaran Sumpah
Denda yang melanggar sumpah adalah memilih salah satu
dari hal-hal sebagai berikut:
a. Memberi makan kepada sepuluh orang miskin dengan
makanan pokok (3/4 liter/beras)/orang.
b. Memberikan pakaian sepuluh orang miskin, yaitu pakaian
yang pantas untuk mereka.
c. Memerdekakan budak.
d. Mengerjakan puasa selama tiga hari.
F. PERADILAN AGAMA DI
INDONESIA
1. Dasar Hukum Peradilan Agama di Indonesia
Dasar hukum peradilan agama adalah Undang-undang No. 14 tahun 1970, yang
kemudian di era orde reformasi diperbaharui dengan lahirnya Undang-undang No.
35 Tahun 1999, yaitu Undang-undang tentang ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman. Pada pasal 10 ayat 1 ditetapkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan
oleh Pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Negeri;
c. Peradilan militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara;
2. Fungsi Peradilan Agama
Peradilan Agama berfungsi sebagai tempat menyelesaikan perkara perdata bagi
warga Indonesia yang beragama Islam, yang mencakup bidng perkawinan, kewarisan,
hibah, wasiat, waqaf dan shadaqah.
Adapun rincian wewenang Peradilan Agama di Indonesia
adalah:
a. Perselisihan antara suami istri yang beragama lain.
b. Perkara-perkara nikah, thalaq, ruju’ dan perceraian
antara orang-orang yang beragama islam yang memerlukan penyelesaian atau
penetapan hakim islam.
c. Memberi putusan perceraian.
d. Menyatakan bahwa syarat jatuhnya thalak yang
digantungkan (ta’liq thalaq) sudah ada.
e. Mahar (termasuk Mut’ah).
f. Perkara tentang kehidupan (nafkah) istri yang wajib
diadakan oleh suami.
Khusus untuk peradila di luar Jawa/Madura dan sebagiana Kalimantan Selatan selain
hal-hal diatas ditambah perkara-perkara tentang:
a. Hadhanah
b. Waris, Mal Waris
c. Wakaf
d. Shadaqah
e. Baitul Mal
Dengan diundangkannya UU No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka tugas Peradilan Agama lebih luas. Selain
yang diatas, juga ditambah:
a. Izin untuk beristri lebih dari seorang (poligami)
b. Izin melangsungkan perkawinan seseorang yang belum
mencapai umur 21 tahun, bila orangtuanya, wali dan keluarganya dalam garis
lurus ada perbedaan pendapat
c. Izin untuk tidak tinggal dalam satu rumah bagi suami
istri selama berlangsungnya gugatan perceraian
d. Dispensasi dalam hal penyimpangan dari ketentuan umur
pria 19 tahun, wanita 16 tahun
e. Pencegahan terhadap perkawinan
f. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
g. Pembatalan Perkawinan
h. Kelalaian kewajiban suami istri
i. Cerai talak oleh suami
j. Cerai gugat oleh istri
k. Hadhanah
l. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
m. Biaya penghidupan bagi
bekas istri
n. Sah/tidaknya anak
o. Pencabutan kekuasaan orang tua selain kekuasaan
sebagai wali nikah
p. Pencabutan penggantian wali
q. Kewajiban ganti rugi oleh wali yang menyebabkan
kerugian
r. Penetapan asal-usu seorang anak sebagai pengganti akte
kelahiran
s. Penolakan pemberian surat keterangan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan dalam hal perkawinan campuran
t. Harta bersama dalam perkawinan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peradilan berasal dari kata adilyang mendapat imbuhan
per- dan –an. Adil artinya “menempatkan sesuatu pada tempatnya.” Landasan dari
fungsi peradilan adalah terpeliharanya kepastian hukum.
Hikmah peradilan:
a. Terciptanya keadilan dalam masyarakat.
b. Terciptanya perdamaian.
c. Teriptanya kesejahteraan masyarakat.
d. Terwujudnya aparatur pemerintahan yang jujur, bersih
dan berwibawa.
2. Hakim adalah isim fa’il
dari kata “hakama”, yang artinyaorang yang menetapkan hukum atau memutuskan
hukum atau suatu perkara.
3. Syarat-syarat menjadi
hakim:
a. Muslim
e. Mngetahui hukum/UU
b. Baligh
f. Sehat jasmani dan rohani
c. berakal
g. Dapat membaca dan menulis
d. Adil
4. Tata cara peradilan menjatuhkan hukuman:
a. Didasarkan
kepada hasil pemeriksaan perkara didalam sidang peradilan.
b.
Dari kondisi para hakim, bahwa mereka telah melakukan
pemeriksaan sesuai dengan prosedur dan adab/kesopanan para hakim.
5.
Adab kesopanan/etika hakim:
a.
Sedang
marah
f. Mengantuk
b.
Sedang sangat lapar dan haus
c.
Sedang sangat susah atau sangat gembira
d.
Sedang sakit
e.
Sedang menahan buang air yang sangat
6.
Kebanyakan jumhur ulama’ tidak membolehkan wanita
menjadi hakim. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan para pengikutnya membolehkan
wanita menjadi qadhi dalam segala urusan, kecuali “had dan qishas”.
7.
Saksi atau al-shahadah yaitu orang yang mengetahui
atau melihat.
8.
Syarat-syarat saksi yang adil:
a.
Muslim
e. Dhabit
b.
Merdeka
f. Bukan orang yang fasik, penghianat.
c.
Dapat berbicara
d.
Bukan musuh terdakwa
9.
Penggugat adalah orang yang mengajukan tuntutan
melalui pengadilan karena ada haknya yang diambil orang lain.
10. Syarat-syarat gugatan:
a. Gugatan disampaikan secara tertulis yang ditujukan ke
pengadilan dan ditanda tangani oleh pengugat.
b. Gugatan harus diuraikan dengan jelas dan
rinci(tafshil).
c. Tuntutan harus sesuai dengan kejadian perkara.
d. Memenuhi persyaratan khusus yang dibuat oleh
pengadilan.
e. Pihak penggugat tertentu orangnya.
f. Penggugat dan tergugat sama-sama mukallaf, baligh dan
berakal.
g. Penggugat dan tergugat tidak dalam keadaan berperang
agama.
11. Macam-macam bukti:
a. Saksi
d. Sumpah
b. Barang bukti
e. Pengetahuan/ keyakinan hakim
c. Pengakuan terdakwa
12. Tergugat adalah orang
yang dituntut mengembalikan keadilan berkaitan dengan hak-hak orang lain, atau
dituntut untuk mempertanggungjawabkan kesalahan atas dakwaan pihak lain.
13. Tujuan sumpah adalah memberikan
keterangan guna dmeyakinkan bahwa sesuatu itu demikian atau tidak. Sumpah
diucapkan oleh tergugat untuk menyangkal atau menolak gugatan yang ditujukan
kepadanya.
14. Syarat-syarat orang
bersumpah:
a. Mukallaf, yaitu baligh dan berakal.
b. Atas kehendak sendiri, artinya tidak ada paksaan dari
pihak manapun.
c. Menyengaja mengucapkan sumpah.
d. Harus dengan nama Allah.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga isinya bisa
bermanfaat untuk kita semuanya. Apabila didalam makalah ini terdapat kesalahan,
kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena kami sebagai pembuat makalah ini
masih dalam proses pembelajaran. Demikian terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Halim, M.S. Abdul,
2005. FIKIH Madrasah Aliyah kelas tiga, Jakarta: PT. Listafariska Putra
Djunaedi, MS. Wawan,
2008. FIKIH untuk Madrasah Aliyah kelas XI, Jakarta: PT. Listafariska
Putra
thanks bro
BalasHapus