Jumat, 09 Juni 2017

MAKALAH TENTANG HAKIM



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Peradilan Agama  telah hadir dalam kehidupan hukum di Indonesia sejak masuknya agama Islam. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat muslim akan penegakan keadilan, pemerintah mewujudkan dan menegaskan kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam Al-Qur’an, Hadits Rasul dan ijtihad para ahli hukum Islam, terdapat aturan-aturan hukum materiil sebagai pedoman hidup dan aturan dalam hubungan antar manusia (muamalah) serta hukum formal sebagai pedoman beracara di Peradilan Agama.
Dalam pembuatan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangannya, semua keputusan terletak ditangan Peradilan Islam sehingga bukan Jabatan yang main-main karena orang yang menentukan suatu keputusan.
Siswa dapat memenuhi, memahami dan menghayati ajaran Islam tentang pemerintahan dan memperdomaninya dengan benar serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu makalah ini membahas sedikit masalah Peradilan Islam.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa arti, fungsi dan hikmah dari peradilan?
2.      Apa pengertian dari hakim?
3.      Apa saja syarat-syarat untuk menjadi seorang hakim?
4.      Tata cara apa saja peradilan menjatuhkan hukuman?
5.      Apa saja adab kesopanan/etika hakim?
6.      Bagaimana kedudukan hakim wanita
7.      Apa pengertian dari saksi?
8.       Apa syarat-syarat saksi yang adil?
9.      Bagaimana kesaksian seorang tetangga dan orang yang buta?
10.   Bagaimana sanksi terhadap saksi palsu?
11.  Apa pengertian penggugat
12.  Apa syarat-syarat gugatan?
13.  Apa saja macam-macam bukti itu?
14.  Bagaimana cara memeriksa terdakwa, dan terdakwa yang tidak hadir di persidangan
15.  Apa pengertian dari tergugat?
16.  Apa tujuan dari sumpah tergugat?
17.  Apa syarat-syarat orang-orang yang bersumpah?
18.    Bagaimana lafadz-lafadz sumpah?
19.    Apa sanksi yang harus dilakukan bagi seorang pelanggar sumpah?
20.  Apa dasar hukum peradilan agama di indonesia?
21.    Apa fungsi peradilan agama?

C.      Tujuan
1.      Menjelaskan arti, fungsi dan hikmah peradilan
2.      Menjelaskan pengertian dari hakim.
3.      Menyebutkan syarat-syarat untuk menjadi seorang hakim.
4.      Menyebutkan tata cara peradilan menjatuhkan hukuman.
5.      Menjelaskan tentang adab kesopanan/etika hakim 
6.       Menjelaskan kedudukan hakim seorang wanita.
7.       Menjelaskan pengertian saksi.
8.       Menyebutkan syarat-syarat  saksi yang adil
9.       Menjelaskan kesaksian seorang tetangga dan orang buta.
10.  .Menjelaskan sanksi terhadap saksi palsu
11.   Menjelaskan pengertian dari penggugat.
12.  .Menyebutkan syarat-syarat gugatan.
13.  .Menyebutkan macam-macam bukti.
14.   Menjelaskan cara memeriksa terdakwa dan terdakwa yang tidak hadir di persidangan.
15.  Menjelaskan pengertian dari tergugat
16.  Menjelaskan tujuan dari sumpah.
17.    Menyebutkan syarat-syarat orang bersumpah
18.  Menyebutkan lafadz-lafadz sumpah
19.  Menjelaskan sanksi bagi seorang pelanggar sumpah.
20.  Menjelaskan dasar hukum peradilan agama di Indonesia.
21.  Menjelaskan fungsi dari peradilan agama.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    ARTI, FUNGSI, DAN HIKMAH PERADILAN
1.         Pengertian Peradila
            Peradilan berasal dari kata adilyang mendapat imbuhan per- dan –an. Adil artinya “menempatkan sesuatu pada tempatnya.” Jadi, peradilan yang mendapat imbuhan per-an mengandung arti atau menunjukkan tempat, maka peradilan berarti “tempat atau lembaga yang menempatkan sesuatu pada tempatnya.” Alam hal ini peradilan lebih dikhususkan bergerak dalam masalah perkara-perkara hukum. Karenanya peradilan berarti lembaga yang menempatkan perkara-perkara hukum sesuai dengan tempatnya. Yang benar diputuskan benar, dan yang salah diputuskan salah.
           Untuk kata peradilan, didalam bahasa Arab digunakan kata qadha’, jamaknya aqdhiya’ yang berarti,”memutuskan perkara/perselisihan antara dua orang atau lebih berdasarkan hukum Allah.” Qadha dapat pula diartikan, “Sesuat hukum antara manusia dengan kebenaran dan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah.” Para ahli fikih memberikan definisi qadha sebagai keputusan produk pemerintah, atau menetapkan hukum syari’ dengan jalan penetapan.
2.        Fungsi Peradilan
           Lembaga peradilan bertugas menyelesaikan persengkatan dan memutuskan hukum. Dengan peradilan Allah SWT, memelihara keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat luas. Peradilan memberikan keputusan didalam perkara yang nyata (konkrit) yang diembankan kepadanya untuk diadili, sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan undang-undang.
           Dengan demikian, landasan dari fungsi peradilan adalah terpeliharanya kepastian hukum.


3.      Hikmah Peradilan
a.       Terciptanya keadilan dalam masyarakat karena masyarakat memperoleh hak-haknya.
b.      Terciptanya perdamaian karena masyarakat memperoleh kepastiannya hukumnya dan diantara masyarakat saling menghargai hak-hak orang lain. Tidak ada yang berbuat semena-mena, karena semuanya telah diatur oleh Undang-undang.
c.       Teriptanya kesejahteraan masyarakat.
d.      Terwujudnya aparatur pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa
B.     HAKIM
a.      Pengertian Hakim
           Hakim adalah isim fa’il dari kata “hakama”, yang artinyaorang yang menetapkan hukum atau memutuskan hukum atau suatu perkara. Sedang menurut istilah, hakim adalah orang yang diangkat penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan-persengkatan.
           Selain kata hakim, digunakan pula istilah qadhi, yang berarti orang yang memutuskan, mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara.
b.      Syarat-syarat Menjadi Hakim
a.       Muslim
Muslim merupakan syarat diperbolehkannya persaksian seorang muslim, dan keahlian mengadili itu ada kaitannya dengan keahlian menjadi saksi.
b.      Baligh
Baligh berarti dewasa , baik dewasa jasmani dan rohaninya maupun dewasa dalam berpikir.
c.       Berakal
Berakal disini bukan sekedar “mukallaf”, tetapi benar-benar sehat pikirannya, cerdas dan dapat memecahkan masalah.


d.      Adil
Adil disini berarti benar dalam berhujjah, dapat menjaga amanah, bersikap jujur baik dalam keadaan marah atau suka, mampu menjaga diri dari hawa nafsu dan perbuatan haram serta dapat mengendalikan amarah.
e.       Mengetahui / undang-undang
f.       Sehat jasmani dan rohani
g.      Dapat membaca dan menulis.
c.       Tata Cara Peradilan Menjatuhkan Hukuman
a.       Didasarkan kepada hasil pemeriksaan perkara didalam sidang peradilan. Kemudian para hakim mengambil kesimpulan dari pemeriksaan tersebut, lalu menjatuhkan hukuman.
b.      Dari kondisi para hakim, bahwa mereka telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan prosedur dan adab/kesopanan para hakim.
d.      Adab Kesopanan / Etika Hakim
e .Hendaklah ia berkantor ditengah-tengah negeri, ditempat yang diketahui orang dan dapat dijangkau oleh lapisan masyarakat.
            Hendaklah ia menganggap sama terhadap orang-orang yang berperkara.
c.       Jangan memeutuskan hukum dalam keadaan :
1.)    Sedang marah
2.)    Sedang sangat lapar dan haus
3.)    Sedang sangat susah atau sangat gembira
4.)    Sedang sakit
5.)    Sedang menahan buang air yang sangat
6.)    Mengantuk
Rasulullah SAW. Bersabda yang artinya :
“ Janganlah  hakim menghukum antara dua orang sewaktu ia marah.”(HR. Jamaah)
d.      Tidak boleh menerima pemberian dari orang-orang yang sedang berperkara, yang ada kaitannya dengan perkara yang sedang ditangani.
e.       Hakim tidak boleh menunjukkan cara mendakwa dan cara membela.
f.       Surat-surat kepada hakim yang lain diluar wilayahnya, apabila surat itu berisi hukum hendaklah dipersaksikan kepada dua orang saksi sehingga keduanya mengetahui isi surat tersebut.
5.      Kedudukan Hakim Wanita
Rasulullah SAW telah memberi petunjuk . meskipun Rasulullah tidak melarangnya, namun ia telah mengisyarakatkan, sebaiknya tidak mengangkat wanita menjadi hakim.
Kebanyakan jumhur ulama’ tidak membolehkan wanita menjadi hakim. Pendapat ini dikemukakan oleh Madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali dan lain-lain.
Sedangkan menurut Abu Hanifah dan para pengikutnya membolehkan wanita menjadi qadhi dalam segala urusan, kecuali “had dan qishas”.
C.   SAKSI
1.      Pengertian Saksi
           Saksi atau al-shahadah yaitu orang yang mengetahui atau melihat. Yaiutu orang yang dimintakan hadir dalam suatu persidangan untuk memberikan keterangan yang membenarkan atau menguatkan bahwa peristiwa itu terjadi.
2.      Syarat-syarat Saksi Yang Adil
Adil adalah syarat mutlak bagi seorang saksi. Allah SWT berfirman :
وَاَشْهِدُوْاذَوَى عَدْلٍ مِنْكُمْ وَاَقِيْمُ ااشَّهَادَةَلِلَّهِ
Artinya: “ dan persaksikanlah dua orang saksi yang adil diantara kamu.”
(QS. Al-Thalaq [65]:2)
Orang adil tersebut hendaknya mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Muslim
Orang bukan Muslim tidak diterima kesaksiannya untuk orang Islam. Tetapi, Imam Abu Hanifah membolehkan orang kafir menjadi saksi bagi orang Islam.


b.      Merdeka
Hamba sahaya tidak diterima menjadi saksi. Karena saksi itu diserahi kekuasaan, sedangkan hamba sahaya tidak dapat diserahi kekuasaan.
c.       Dapat berbicara
d.      Bukan usuh terdakwa
e.       Dhabit
Dalam arti kuat hafalan dari apa yang dilihat maupun didengar, serta dapat memelihara yang dilihat atau didengarnya itu.
f.       Bukan orang fasik, penghianat/pezina.
3.      Kesaksian Tetangga dan Orang Buta
           Kesaksian seorang tetangga diperbolehkan dan dianggap sah selama memenuhi syarat-syarat seorang saksi. Yang tidak boleh adalah suami memberikan saksi atas istri atau sebaliknya, anak atas orang tuadan sebaliknya serta pembantu atas tuannya.
           Demikian halnya orang buta, menurut Imam Mailik dan Imam Ahmad boleh menjadi saksi asal dia dapat mendengar suara. Jadi kesimpulannya, selama masih ada saksi yang lain (yang tidak buta), sebaiknya saksi orang buta tidak diajukan dulu, kecuali kalau memang keadaan sangat membutuhkan kesaksiannya.
4.      Sanksi Terhadap Saksi Palsu
           Saksi palsu itu dianggap sebagai dosa besar, karena dampak negatifnya yang sangat luas. Dapat merugikan pihak-pihak tertentu, yang salah bisa bebas dari hukuman dan yang benar bisa dihukum, akan tersebar fitnah di masyarakat dan lain-lain. Sehingga persaksian palsu ini dosanya disamakan dengan dosa syirik dan durhaka pada orang tua.
D.  PENGGUGAT DAN BUKTI
1.      Pengertian Penggugat
           Penggugat adalah orang yang mengajukan tuntutan melalui pengadilan karena ada haknya yang diambil orang lain atau karena adanya permasalahan dengan pihak lain, yang dianggap merugikan dirinya.

2.      Syarat-syarat Gugatan
a.       Gugatan disampaikan secara tertulis yang ditujukan ke pengadilan dan ditanda tangani oleh pengugat.
b.      Gugatan harus diuraikan dengan jelas dan rinci(tafshil).
c.       Tuntutan harus sesuai dengan kejadian perkara.
d.      Memenuhi persyaratan khusus yang dibuat oleh pengadilan.
e.       Pihak penggugat tertentu orangnya.
f.       Penggugat dan tergugat sama-sama mukallaf, baligh dan berakal.
g.      Penggugat dan tergugat tidak dalam keadaan berperang agama.
3.      Macam-macam Bukti
a.       Saksi
Saksi ini bisa dari pihak pendakwa maupun pihak terdakwa.
b.      Barang bukti
Bukti berupa barang sering lebih meyakinkan dalam gugatan di pengadilan.
c.       Pengakuan terdakwa
Pengakuan terdakwa merupakan pernyataan yang tegas tentang perbuatan yang dilakukan oleh diri sendiri. Pengakuan ini adalah hujjah yang terbatas. Artinya, hanya berlaku bagi orang yang memberi pengakuan saja dan tidak dapat mengenai diri orang lain.
d.      Sumpah
Sumpah ada dua macam:
1.) Sumpah untuk berjanji melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
2.) Sumpah untuk memberikan keterangan guna untuk menguatkan bahwa sesuatu itu benar-benar demikian atau tidak.
e.       Pengetahuan atau Keyakinan Hakim
4.      Cara memeriksa Terdakwa dan Terdakwa yang Tidak Hadir di Persidangan
           Adapun cara memeriksa terdakwa, mula-mula hakim berusaha terlebih dahulu untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Kalau tidak dapat didamaikan, barulah perkara itu diperiksa menurut ketentuan yang berlaku.
           Dalam pemeriksaan harus dihadirkan pihak-pihak yang berperkara. Untuk pendakwa dianggap tidak ada masalah hadir di persidangan, karena ia yang menuntut agar perkaranya dimeja hijaukan. Sedangkan terdakwa, juga harus hadir. Jika tidak, pengadilan tetap memanggilnya sampai batas tiga kali. Bila tidak kunjung hadir, maka hakim boleh memutuskan perkara atas orang ghaib ini. Putusan ini (dalam bahasa peradilan) disebut dengan putusan verstek(tidak hadir) yakni putusan pengadilan tanpa kehadiran pihak terdakwa/tertuduh. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan hakim memutuskan perkara dengan cara verstek ini.
           Sementara Imam Abu Hanifah, Ibn Abi Laila, Syuraih, dan Umar bin Abdul Aziz tidak membolehkan putusan verstek ini. Alasan yang dikemukakannya adalah mungin saja ketidakhadiran terdakwa karena ada “hujjah” yang menyebabkan tidak bisa hadir dipersidangan. Akan tetapi jika ada wakilnya, persidangan bisa dilanjutkan/dilangsungkan.
E.  TERGUGAT DAN SUMPAH
1.      Pengertian Tergugat
           Tergugat adalah orang yang dituntut mengembalikan keadilan berkaitan dengan hak-hak orang lain, atau dituntut untuk mempertanggungjawabkan kesalahan atas dakwaan pihak lain. Tergugat sering disebut juga terdakwa, atau tertuduh.
2.      Tujuan Sumpah dan Sumpah Tergugat
           Sumpah yaitu suatu pernyataan yang khidmat, diucapkan pada waktu berjanji atau keterangan dengan nama Allah dengan menggunakan huruf qasam (sumpah).
Tujuan sumpah adalah memberikan keterangan guna dmeyakinkan bahwa sesuatu itu demikian atau tidak. Sumpah diucapkan oleh tergugat untuk menyangkal atau menolak gugatan yang ditujukan kepadanya.

3.      Syarat-syarat Orang Bersumpah
a.       Mukallaf, yaitu baligh dan berakal.
b.      Atas kehendak sendiri, artinya tidak ada paksaan dari pihak manapun.
c.       Menyengaja mengucapkan sumpah.
d.      Harus dengan nama Allah.
4.      Lafadz-lafadz Sumpah
مَنْ كَانَ حَا لِفاً فَلْيَحْلِفْ بِا للهِ اَوْ لِيَذَرْ
Artinya: “ Barang siapa bersumpah maka bersumpahlah dengan billahi atau (jika tidak demikian) tinggalkanlah.
Kata “billahi” adalah salah satu sumpah yang diawali huruf qasam.
Kata-kata qasam adalah  والله- تا لله- با لله Kata-kata qasam tersebut mengandung arti “Demi Allah”.
5.      Pelanggaran Sumpah
Denda yang melanggar sumpah adalah memilih salah satu dari hal-hal sebagai berikut:
a.       Memberi makan kepada sepuluh orang miskin dengan makanan pokok (3/4 liter/beras)/orang.
b.      Memberikan pakaian sepuluh orang miskin, yaitu pakaian yang pantas untuk mereka.
c.       Memerdekakan budak.
d.      Mengerjakan puasa selama tiga hari.
F.   PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
1.      Dasar Hukum Peradilan Agama di Indonesia
           Dasar hukum peradilan agama adalah Undang-undang No. 14 tahun 1970, yang kemudian di era orde reformasi diperbaharui dengan lahirnya Undang-undang No. 35 Tahun 1999, yaitu Undang-undang tentang ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada pasal 10 ayat 1 ditetapkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:
a.       Peradilan Umum;
b.      Peradilan Negeri;
c.       Peradilan militer;
d.      Peradilan Tata Usaha Negara;
2.      Fungsi Peradilan Agama
           Peradilan Agama berfungsi sebagai tempat menyelesaikan perkara perdata bagi warga Indonesia yang beragama Islam, yang mencakup bidng perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, waqaf dan shadaqah.
Adapun rincian wewenang Peradilan Agama di Indonesia adalah:
a.       Perselisihan antara suami istri yang beragama lain.
b.      Perkara-perkara nikah, thalaq, ruju’ dan perceraian antara orang-orang yang beragama islam yang memerlukan penyelesaian atau penetapan hakim islam.
c.       Memberi putusan perceraian.
d.      Menyatakan bahwa syarat jatuhnya thalak yang digantungkan (ta’liq thalaq) sudah ada.
e.       Mahar (termasuk Mut’ah).
f.       Perkara tentang kehidupan (nafkah) istri yang wajib diadakan oleh suami.
           Khusus untuk peradila di luar Jawa/Madura dan sebagiana Kalimantan Selatan selain hal-hal diatas ditambah perkara-perkara tentang:
a.       Hadhanah
b.      Waris, Mal Waris
c.       Wakaf
d.      Shadaqah
e.       Baitul Mal
     Dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka tugas Peradilan Agama lebih luas. Selain yang diatas, juga ditambah:
a.       Izin untuk beristri lebih dari seorang (poligami)
b.      Izin melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, bila orangtuanya, wali dan keluarganya dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
c.       Izin untuk tidak tinggal dalam satu rumah bagi suami istri selama berlangsungnya gugatan perceraian
d.      Dispensasi dalam hal penyimpangan dari ketentuan umur pria 19 tahun, wanita 16 tahun
e.       Pencegahan terhadap perkawinan
f.       Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
g.      Pembatalan Perkawinan
h.      Kelalaian kewajiban suami istri
i.        Cerai talak oleh suami
j.        Cerai gugat oleh istri
k.      Hadhanah
l.        Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
m.    Biaya penghidupan bagi bekas istri
n.      Sah/tidaknya anak
o.      Pencabutan kekuasaan orang tua selain kekuasaan sebagai wali nikah
p.      Pencabutan penggantian wali
q.      Kewajiban ganti rugi oleh wali yang menyebabkan  kerugian
r.        Penetapan asal-usu seorang anak sebagai pengganti akte kelahiran
s.       Penolakan pemberian surat keterangan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dalam hal perkawinan campuran
t.        Harta bersama dalam  perkawinan



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Peradilan berasal dari kata adilyang mendapat imbuhan per- dan –an. Adil artinya “menempatkan sesuatu pada tempatnya.” Landasan dari fungsi peradilan adalah terpeliharanya kepastian hukum.
Hikmah peradilan:
a.       Terciptanya keadilan dalam masyarakat.
b.      Terciptanya perdamaian.
c.       Teriptanya kesejahteraan masyarakat.
d.      Terwujudnya aparatur pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa.
2.    Hakim adalah isim fa’il dari kata “hakama”, yang artinyaorang yang menetapkan hukum atau memutuskan hukum atau suatu perkara.
3.    Syarat-syarat menjadi hakim:
a.       Muslim               e. Mngetahui hukum/UU
b.      Baligh                f. Sehat jasmani dan rohani
c.       berakal               g. Dapat membaca dan menulis
d.      Adil
4.      Tata cara peradilan menjatuhkan hukuman:
a.       Didasarkan kepada hasil pemeriksaan perkara didalam sidang peradilan.
b.      Dari kondisi para hakim, bahwa mereka telah melakukan pemeriksaan sesuai dengan prosedur dan adab/kesopanan para hakim.
5.      Adab kesopanan/etika hakim:
a.       Sedang marah                                                    f. Mengantuk
b.      Sedang sangat lapar dan haus
c.       Sedang sangat susah atau sangat gembira
d.      Sedang sakit
e.       Sedang menahan buang air yang sangat
6.      Kebanyakan jumhur ulama’ tidak membolehkan wanita menjadi hakim. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan para pengikutnya membolehkan wanita menjadi qadhi dalam segala urusan, kecuali “had dan qishas”.
7.      Saksi atau al-shahadah yaitu orang yang mengetahui atau melihat.
8.      Syarat-syarat saksi yang adil:
a.       Muslim                           e. Dhabit
b.      Merdeka                                    f. Bukan orang yang fasik, penghianat.
c.       Dapat berbicara
d.      Bukan musuh terdakwa
9.      Penggugat adalah orang yang mengajukan tuntutan melalui pengadilan karena ada haknya yang diambil orang lain.
10.  Syarat-syarat gugatan:
a.       Gugatan disampaikan secara tertulis yang ditujukan ke pengadilan dan ditanda tangani oleh pengugat.
b.      Gugatan harus diuraikan dengan jelas dan rinci(tafshil).
c.       Tuntutan harus sesuai dengan kejadian perkara.
d.      Memenuhi persyaratan khusus yang dibuat oleh pengadilan.
e.       Pihak penggugat tertentu orangnya.
f.       Penggugat dan tergugat sama-sama mukallaf, baligh dan berakal.
g.      Penggugat dan tergugat tidak dalam keadaan berperang agama.
11.  Macam-macam bukti:
a.       Saksi                              d. Sumpah
b.      Barang bukti                  e. Pengetahuan/ keyakinan hakim
c.       Pengakuan terdakwa
12.  Tergugat adalah orang yang dituntut mengembalikan keadilan berkaitan dengan hak-hak orang lain, atau dituntut untuk mempertanggungjawabkan kesalahan atas dakwaan pihak lain.
13.  Tujuan sumpah adalah memberikan keterangan guna dmeyakinkan bahwa sesuatu itu demikian atau tidak. Sumpah diucapkan oleh tergugat untuk menyangkal atau menolak gugatan yang ditujukan kepadanya.

14.  Syarat-syarat orang bersumpah:
a.       Mukallaf, yaitu baligh dan berakal.
b.      Atas kehendak sendiri, artinya tidak ada paksaan dari pihak manapun.
c.       Menyengaja mengucapkan sumpah.
d.      Harus dengan nama Allah.
B.     Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga isinya bisa bermanfaat untuk kita semuanya. Apabila didalam makalah ini terdapat kesalahan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena kami sebagai pembuat makalah ini masih dalam proses pembelajaran. Demikian terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Halim, M.S. Abdul, 2005. FIKIH Madrasah Aliyah kelas tiga, Jakarta: PT. Listafariska Putra

Djunaedi, MS. Wawan, 2008. FIKIH untuk Madrasah Aliyah kelas XI, Jakarta: PT. Listafariska Putra

1 komentar:

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...