A.
Pengertian Hak
Ulayat/ Hak Purba
Hak Purba memiliki
beberapa istilah, diantaranya hak persekutuan dan hak purba itu sendiri, hal
ini diungkapkan oleh Djojodigoeno, hak pertuanan diungkapkan oleh Supomo, dan
dalam UUPA disebut hak ulayat. Dalam masa lalu, dimasa sebelum kemerdekaan dan
masa-masa kerajaan di Nusantara ini, hak persekutuan/hak purba merupakan hak
tertinggi atas tanah di seluruh Nusantara ini. Hak purba adalah hak yang
dipunyai oleh suatu suku (clan/ gens/ stam), sebuah serikat desa-desa
(dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah
dan seisinya dalam lingkungan wilayahnya.
Dalam redaksi lain
disebutkan bahwa hak persekutuan atas tanah adalah hak persekutuan (hak
masyarakat hukum) dalam hukum adat terhadap tanah tersebut; misalnya hak untuk
menguasai tanah, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan
yang hidup di atasnya, atau berburu binatang-binatang yang hidup di atas tanah
itu. Hak masyarakat hukum atas tanah ini disebut juga “hak ulayat” atau “hak
pertuanan”. Dalam literatur oleh C. Van Vollenhoven disebut dengan istilah
“beschikking”, sedangkan tanah sebagai wilayahnya disebut “beschikkingring”.
Hak Ulayat adalah
pengakuan bersama oleh seluruh anggota masyarakat dan didalamnya juga
terkandung hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh
mempunyai tanah di lingkungan hak ulayat tersebut. Sementara menurut Budi
Harsono hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan
tanah wilayahnya, yang memberi wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa adat
untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum tersebut.
Van Vollenhoven
menyebutkan enam ciri hak ulayat, yaitu persekutuan dan para anggotanya berhak
untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam
tanah dan tumbuh dan hidup di atas tanah ulayat ini. Adapun keenam ciri-ciri
hak ulayat adalah sebagai berikut:
1.
Hak individual diliputi
juga oleh hak persekutuan
2.
Pimpinan persekutuan dapat
menentukan untuk menyatakan dan menggunakan bidang-bidang tanah tertentu
ditetapkan untuk kepentingan umum dan terhadap tanah ini tidak diperkenankan
diletakkan hak perseorangan.
3.
Orang asing yang mau
menarik hasil tanah-tanah ulayat ini haruslah terlebih dulu meminta izin dari
kepada persekutuan dan harus membayar uang pengakuan, setelah panen harus
membaar uang sewa.
4.
Persekutuan bertanggung
jawab atas segala sesuatu yang terjadi di atas lingkungan ulayat.
5.
Larangan mengasingkan tanah
yang termasuk tanah ulayat, artinya baik persekutuan maupun para anggotanya
tidak diperkenankan memutuskan secara mutlak sebidang tanah ulayat sehingga
persekutuan hilang sama sekali wewenangnya atas tanah tersebut.
B.
Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan
tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau
peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat
sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa.
Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
Apabila dipandang dari
sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka lingkungan tanah mungkin dikuasai oleh
suatu masyarakat hukum adat atau beberapa masyarakat. Oleh karena itu
biasanyanya lingkungan tanah adat dibedakan antara :
1.
Lingkungan tanah sendiri,
yaitu lingkungan tanah yang dimiliki oleh satu masyarakat hukum adat. Misalnya
masyarakat adat tunggal desa di Jawa.
2.
Lingkungan tanah bersama,
yaitu yaitu lingkungan tanah adat yang dikuasai oleh beberapa masyarakat hukum
adat yang setingkat. Dengan alternatif sebagai berikut :
a.
Beberapa masyarakat hukum
adat tunggal. Misalnya beberapa belah di Gayo.
b.
Beberapa masyarakat hukum
adat atasan. Misalnya, luhat di Padanglawas.
c.
Beberapa masyarakat adat bawahan.
Misalnya, huta-huta di Angkola.
C.
Hubungan Hak Ulayat
Dengan Hak Perorangan
Di berbagai bagian
Hindia-Belanda terdapat lingkungan-lingkungan hak purba yang satu sama lain
dipisahkan oleh wilayah-wilayah tak bertuan yang luas. Di bagian-bagian lain terdapat
wilayah-wilayah yang disitu hampir tak ada sebidang tanah pun yang termasuk
dalam hak purba. Hak purba itu di tempat yang satu masih kuat, sedang di tempat
lain sudah lemah. Dan gejala yang bersifat umum adalah semakin maju dan bebas
penduduk dalam usaha-usaha pertaniannya, semakin lemahlah hak ulayat itu dengan
sendirinya. Akhirnya jika hak ulayat sudah lemah, maka dengan sendirinya hak
perorangan akan berkembang dengan pesatnya (semakin menguat).
Menurut Ter Haar
hubungan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan persekutuan adalah
timbal balik dan memiliki kekuatan yang sama. Artinya, hak perseorangan
mempertahankan diri terhadap hak persekutuan adalah sama kuatnya dengan hak
persekutuan mempertahankan diri terhadap hak perseorangan. Fakta tersebut dapat
dirumuskan demikian: hak ulayat dan hak perorangan itu bersangkut-paut dalam
hubungan kempis-mengembang, desak-mendesak, batas-membatasi, mulur-mungkret
tiada henti. Ketika hak ulayat menguat maka hak perorangan melemah, demikian
pula sebaliknya ketika hak perorangan menguat hak ulayat melemah.Di Tapanuli
Selatan ada kemungkinan tanah perorangan itu dicabut haknya, hal ini dapat
terjadi apabila yang mengolahnya adalah orang lain dan mereka sendiri pergi
meninggalkan lingkungan ulayatnya. Oleh karena itu, tanah mereka akan dibagikan
kepada orang-orang miskin denga hak pakai. Tanah yang demikian tersebut disebut
“salipi na tartat”.
Selanjutnya hak ulayat
juga juga berlaku terhadap orang-orang luar, yaitu orang-orang yang bukan
anggota persekutuan. Apabila orang-orang di luar hendak memasuki persekutuan
mereka harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari kepala persekutuan dan
sebelum permohonan mereka dikabulkan terlebih dahulu harus memberi sesuatu
kepada persekutuan; misalnya di Aceh, orang di luar persekutuan yang hendak
memasuki persekutuan harus membayar “uang pemasukan”, di Jawa disebut “mesi”.
Hal lain yang dapat
dicontohkan untuk menjelaskan hubungan antara hak peroranga dengan hak ulayat
adalah sebagai berikut: Hak rakyat tani di jawa atas tanahnya mengalami
perkembangan melalui taraf-taraf yang menggambarkan makin menipisnya hak purba
persekutuan hukum, sejalan dengan makin menebalnya hak perorangan.
1.
Sistem Bluburan; Milik
Komunal dengan pembagian periodik
Tanah kuliah pertanian dibagi dalam beberapa bidang dengan pematang-pematang (galengan) sebagai batas pemisahnya. Setiap bidang dikerjakan oleh seorang petani. Sesudah panen, galengan-galengan itu dihapus (‘diblubur’). Menjelang masa menggarap, diadakan pembidangan kembali yang berbeda dengan pembagian semula. Dan pada masa tanam yang berikut ini masing-masing petani mendapat bidang tanah yang lain, sehingga hubungannya dengan tanah garapanya tidak tetap, tidak kontinu.
Tanah kuliah pertanian dibagi dalam beberapa bidang dengan pematang-pematang (galengan) sebagai batas pemisahnya. Setiap bidang dikerjakan oleh seorang petani. Sesudah panen, galengan-galengan itu dihapus (‘diblubur’). Menjelang masa menggarap, diadakan pembidangan kembali yang berbeda dengan pembagian semula. Dan pada masa tanam yang berikut ini masing-masing petani mendapat bidang tanah yang lain, sehingga hubungannya dengan tanah garapanya tidak tetap, tidak kontinu.
2.
Matok Galeng, gilir wong
Tanah kulian pertanian dibagi dalam
beberapa bidang yang tetap, tidak diblubur setiap habis panen. Tetapi bagian
masing-masing petani itu gilir-berganti setiap masa tanam. Masing-masing petai
tidak/belum mau memperbaiki tanah garapannya, karena ia tahu bahwa masa tanam
berikutnya ia akan mendapat bidang tanah yang lain.
3.
Matok galeng, matok wong
Disamping petani yang mendapat bagian yang
berganti-ganti ada juga yang mendapat bagian tetap. Tetapi tanah itu hanya
dikuasainya hanya seumur hidupnya sendiri, sesudah ia meninggal maka desalah
yang menentukan kepada siapa tanah itu akan diserahkan (kembali kepada
persekutuan hukum sendiri/kepada warga lain dalam persekutuan hukum tersebut).
4.
Tanah dapat diwariskan
disertai pembatasan
Tanah yang dikuasai seumur hidup itu dapat diwariskan tetapi tidak boleh dibagi dan tidak boleh dijual.
Tanah yang dikuasai seumur hidup itu dapat diwariskan tetapi tidak boleh dibagi dan tidak boleh dijual.
5.
“Tebok” dengan seleksi
Seorang petani yang menguasai hak atas
tanah kulian tetapi dia berhutang, selanjutnya ia melepaskan tanah tersebut
sebagai pengganti hutangnya, orang yang mau menebus atau tebok tanah tersebut
maka dia menguasai tanah kulian itu.
Tentang perubahan hak ulayat menjadi hak perorangan baru
dapat terjadi apabila ditempuh cara-cara sebagai berikut:
1.
Apabila seorang pemimpin
lingkungan ulayat menyatakan dirinya sebagai pendukung hak ulayat dan akibatnya
pimpinan lingkungan ulayat yang biasanya raja, menyatakan dirinya karena
kekuasaannya sebagai pemilik tanah di bawah kekuasaannya; misalnya desa Mijen
di Jawa dimana kepala desanya menjadi pemilik dari tanah ulayat.
2.
Apabila anggota ulayat
mencari orang-orang luar untuk mengusahakan tanah-tanah hutan yang kosong
dengan mengadakan pembayaran terlebih dahulu.
3.
Apabia anggota ulayat
ditarik biaya jika mereka ingin mengusahakab tanah tersebut.
D.
Kedudukan Hak Ulayat
Dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)
Dalam Undang-undang
Pokok Agraria pasal 5 UU No.5 1960 menyebutkan bahwa: “Hukum Agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam UU ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Ketentuan ini mengandung makna, bahwa unsur-unsur hukum adat di bidang pertanahan yang ada di dalam suatu masyarakat hukum adat selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang ada dapat dipergunakan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.
Ketentuan ini mengandung makna, bahwa unsur-unsur hukum adat di bidang pertanahan yang ada di dalam suatu masyarakat hukum adat selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang ada dapat dipergunakan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.
Unsur-unsur yang penting
dalam UUPA yang perlu kita perhatikan dan mempunyai kaitan dengan uraian ini
lebih lanjut adalah:
1.
Bahwa tidak ada perbedaan
tiap-tiap WNI baik laki-laki maupun wanita dalam memperoleh kesempatan untuk
mendapatkan sesuatu hak dan manfaat atas tanah. [pasal 9: (2)]
2.
Bahwa UUPA No.5 1960
mengharuskan adanya pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia
dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah (pasal 19)
3.
Bahwa UUPA No.5 1960
membenarkan adanya sistem pemilikan bersama (pasal 17)
4.
Perintah penegasan hak-hak
atas tanah adat yang telah ada sebelum UUPA No.5 1960 diundangkan (pasal-pasal
ketentuan Konversi).
Untuk menerangkan bagaimana hubungan antara hak ulayat dengan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)/ UU No. 5 Tahun 1960 kita dapat melihat
pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan
dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Berdasarkan pasal 3 di atas, hak ulayat atau hak tanah adat
diakui keberadaannya, akan tetapi pengakuan itu diikuti syarat-syarat yang
harus dipenuhi diantaranya:
1.
Eksistensinya masih ada
2.
Tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional
3.
Tidak bertentangan dengan
aturan-aturan dalam undang-undang.
Ketentuan ini berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru (UUPA). Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu seringkali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.
Ketentuan ini berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru (UUPA). Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu seringkali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya
tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum
tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian
hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas.
Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan
hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara
besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam
rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan
penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu
sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat,
inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua pada ketentuan pasal 3 tersebut di
atas. Kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional
dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai
dengan kepentingan yang lebih luas itu.
Dalam UUPA dan hukum
tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak dihapus, tetapi juga tidak akan
mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat
melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat
hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya
hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan
106 E).
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan
Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan, 1991.
Sajuti, Thalib. Hubungan Tanah Adat Dengan
Hukum Agraria di Minangkabau, Bina Aksara, , 1985.
Sudiyat, Imam. Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty,
2000.
Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia,
Jakarta: Rajawali, 1990.
Wulansari, Dewi. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar,
Bandung: Refika Aditama, 2010.
Republik Indonesia, UU No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang
Pokok Agraria)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar