BAB I
PENDAHULUAN
A.
Implementasi Iman Dan
Taqwa Dalam Kehidupan Modern
Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena begitu
pentingnya taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan dunia
ini sehingga beberapa syariat islam yang diantaranya puasa adalah sebagai wujud
pembentukan diri seorang muslim supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan lebih
sering lagi setiap khatib pada hari jum’at atau shalat hari raya selalu
menganjurkan jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi taqwa
dalam kehidupan beragama membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang
diharapkan dari tujuan hidup manusia (ibadah).
Taqwa
adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim. Signifikansi
taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi pembeda dengan
umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah refleksi iman
seorang muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti binatang, jin
dan iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap taqwa, karena
binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana beriman kepada
Allah yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara sederhana adalah
“percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara manusia dengan
makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah mengucapkan dua kalimat
syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya dengan bertaqwa
dalam arti menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya,
dan dia juga tidak mau terikat dengan segala aturan agamanya dikarenakan
kesibukannya atau asumsi pribadinya yang mengaggap eksistensi syariat agama
sebagai pembatasan berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia, kendatipun
dia beragama akan tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas pelengkap dalam
kehidupan sosialnya, maka orang semacam ini tidak sama dengan binatang akan
tetapi kedudukannya lebih rendah dari binatang, karena manusia dibekali akal
yang dengan akal tersebut manusia dapat melakukan analisis hidup, sehingga pada
akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud implementasi dari keimanannya.
Taqwa
adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang aplikasinya
berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang muslim yang
bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan menjauhi
segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan sekarang
adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan modern yang serba mudah, serba
bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan umat islam
selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi sangat
menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang
mendukung. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam
terdahulu yang kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu
yang cukup mendukung kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu
mewujudkan satu konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap
taqwa sebagai tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun.
Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang
berbentuk syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti
himbauan khatib dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa
faktor, diantaranya yang pertama muslim yang bersangkutan belum paham
betul makna dari taqwa itu sendiri, sehingga membuatnya enggan untuk memulai,
dan yang kedua ketidaktahuannya tentang bagaimana, darimana dan kapan dia harus
mulai merilis sikap taqwa, kemudian yang ketiga kondisi sosial dimana dia hidup
tidak mendukung dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti saat sekarang
kehidupan yang serba bisa dan cenderung serba boleh. Oleh karenanya setiap
individu muslim harus paham pos – pos alternatif yang harus dilaluinya,
diantaranya yang paling awal dan utama adalah gadhul bashar (memalingkan
pandangan), karena pandangan (dalam arti mata dan telinga) adalah awal dari
segala tindakan, penglihatan atau pendengaran yang ditangkap oleh panca indera
kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh anggota tubuh dan akhirnya
berimbas ke hati sebagai tempat bersemayam taqwa, jika penglihatan atau
pendengaran tersebut bersifat negatif dalam arti sesuatu yang dilarang agama
maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati sudah kotor maka pikiran (akal)
juga ikut kotor, dan ini berakibat pada aktualisasi kehidupan nyata, dan jika
prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan sulit mencapai sikap taqwa. Oleh
karenanya dalam situasi yang serba bisa dan sangat plural ini dirasa perlu
menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga) dari hal – hal yang dilarang
agama sebagai cara awal dan utama dalam mendidik diri menjadi muslim yang
bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari hal-hal yang
dilarang agama, menjadikan seorang muslim memiliki kesempatan besar dalam
memperoleh taqwa.
Karena taqwa adalah sebaik–baik bekal yang harus kita peroleh dalam
mengarungi kehidupan dunia yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa kepada
kehidupan akhirat yang kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai sesuatu
yang pasti dan tidak dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan setelah
kematian menjadikan taqwa sebagai obyek vital yang harus digapai dalam
kehidupan manusia yang sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa adalah dengan
mulai melakukan hal-hal yang terkecil seperti menjaga pandangan, serta melatih
diri untuk terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya,
karena arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin
Al-Mahally dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi
wajtinabinnawahih”, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Iman dan Taqwa?
2.
Bagaimana Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan modern?
3.
Hubungan timbal balik antara Taqwa dan Iman ?
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
iman dan taqwa
Pengertian Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun menurut istilah syari’at yaitu meyakini dengan
hati, mengucapkan dengan lisan dan membuktikannya dalam amal perbuatan yang
terdiri dari tujuh puluh tiga hingga tujuh puluh sembilan cabang. Yang
tertinggi adalah ucapan لاَ اِلَهَ اِلاَّ لله dan
yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan yang menggangu orang
yang sedang berjalan, baik berupa batu, duri, barang bekas, sampah, dan sesuatu
yang berbau tak sedap atau semisalnya. Iman merupakan perpaduan antara aqidah
dengan syariah atau perpaduan keyakinan dan amal dan perbuatan,tetapi jika
tidak melaksanakan ketentuan Allah dan rasulnya maka orang itu belum bias
dikatakan beriman.
Rasulullah
Shallahu’alaihi wa sallam bersabda, ”Iman lebih dari tujuh puluh atau
enam puluh cabang, paling utamanya perkataan dan yang paling rendahnya
menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan cabang dari
keimanan.” (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676, Tirmidzi: 2614).
Adapun cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh bentuk amal
kebaikan yang kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang. Karena itu Allah
menggolongkan dan menyebut ibadah shalat dengan sebutan iman dalam
firmanNya, ”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” (QS.
Al-Baqarah:143). [1]
Para ahli tafsir
menyatakan, yang dimaksud ’imanmu’ adalah shalatmu tatkala engkau menghadap ke
arah baitul maqdis, karena sebelum turun perintah shalat menghadap ke Baitullah
(Ka’bah) para sahabat mengahadap ke Baitul Maqdis.
Iman kepada Allah adalah
mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang disifati dengan sifat-sifat
keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha
Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara
dengan Dia), Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang dikehendakiNya,
dan mengerjakan dalam kerajaanNya apa yang dikehendakiNya. Beriman kepada Allah
juga bisa diartikan, berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta
beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid
uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa ash-shifaat.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
1. Beriman akan adanya Allah. Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan dengan:
a.
Bahwa manusia mempunyai
fitrah mengimani adanya Tuhan
Tanpa harus di dahului dengan berfikir dan sebelumnya. Fitrah ini tidak
akan berubah kecuali ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah hatinya. Nabi
Shallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Tidaklah anak itu lahir melainkan dalam
keadaan fitrah, kedua orangtuanya lah yang menjadikan mereka Yahudi, Nashrani,
atau Majusi.” (HR. Bukhori). Bahwa makhluk tersebut tidak muncul begitu
saja secara kebetulan, karena segala sesuatu yang wujud pasti ada yang
mewujudkan yang tidak lain adalah Allah, Tuhan semesta alam. Allah berfirman, ”Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri)?” (QS. Ath-Thur: 35
Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada yang menciptakan dan
tidak mungkin mereka mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti mereka pasti
ada yang menciptakan, yaitu Allah yang maha suci.
b.
Adannya kitab-kitab
samawi
Yang membicarakan tentang adanya Allah. Demikian pula hukum serta aturan
dalam kitab-kitab tersebut yang mengatur kehidupan demi kemaslahatan manusia
menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa
c.
Adanya orang-orang yang
dikabulkan do’anya.
Ditolongnya orang-orang yang sedang mengalami kesulitan, ini menjadi
bukti-bukti kuat adanya Allah.
d.
Adanya tanda-tanda
kenabian seorang utusan yang disebut mukjizat
suatu bukti kuat adanya Dzat yang mengutus mereka yang tidak lain Dia
adalah Allah Azza wa Jalla. Misalnya: Mukjizat nabi Musa ’Alahissalam. Tatkala
belau diperintah memukulkan tongkatnya ke laut sehngga terbelahlah lautan
tersebut menjadi dua belas jalan yang kering dan air di antara jalan-jalan
tersebut laksana gunung. Firman Allah, ”Lalu kami wahyukan kepada Musa:
“Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan
tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar” (QS. Asy-Syu’ara’:
63)[2]
Pengertian TAQWA secara dasar adalah Menjalankan perintah, dan menjauhi larangan. Kepada siapa ???
maka dilanjukan dengan kalimat Taqwallah yaitu taqwa kepada Allah SWT.
Kelihatan kata-kata tersebut ringan diucapkan tapi kenyataan-nya banyak orang
yang belum sanggup bahkan terkesan asal-asalan dalam menerapkan arti kata Taqwa
tersebut, lihat sekitar kita ada beberapa orang yang tidak berpuasa dan
terang-terangan makan di tempat umum, padahal bila ditanya ” mas, agama-nya
apa?” jawab-nya muslim, ada juga yang sudah berpuasa tapi masih suka melirik
kanan-kiri dan ketika ditanya ” mas, ini kan lagi puasa?” jawabnya cuma
sebentar kan boleh. Ya… Allah, manusia…, manusia.., sebenarnya banyak contoh
bagaimana lingkungan di sekitar kita atau mungkin diri saya pribadi masih belum
mampu mengemban amanah Taqwallah dengan sepenuhnya.[3]
TAQWA = Terdiri dari 3 Huruf :
Ta = TAWADHU’ artinya sikap rendah dirii (hati), patuh, taat baik
kepada aturan Allah SWT, maupun kepada sesama muslim jangan menyombongkan diri.
Qof = Qona’ah artinya Sikap menerima apa adanya (ikhlas), dalam semua
aspek, baik ketika mendapat rahmat atau ujian, barokah atau musibah,
kebahagiaan atau teguran dari Allah SWT, harus di syukuri dengan hati yang
lapang dada.
Wau = Wara’ artinya Sikap menjaga hati / diri (Introspeksi), ketika menemui
hal yang bersifat subhat (tidak jelas hukum-nya) atau yang bersifat haram (yang
dilarang) oleh Allah SWT. beberapa ulama mendifinisikan dengan :
Taqwa = dari kata = waqa-yaqi-wiqayah = memelihara yang artinya
memelihara iman agar terhindar dari hal-hal yang dibenci dan dilarang oleh
Allah SWT.
Taqwa = Takut yang artinya takut akan murka da adzab allah SWT.
Taqwa = Menghindar yang artinya menjauh dari segala keburukan dan kejelekan
dari sifat syetan.
Taqwa = Sadar yang artinya menyadari bahwa diri kita makhluk ciptaan Allah
sehingga apapun bentuk perintah-nya harus di taati, dan jangan sekali-kali
menutup mata akan hal ini. “Hai Orang-orang beriman bertaqwalah kamu
kepada Allah, dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati, melainkan
dalam keadaan beragama islam.” (Al-Imron) :
Dr. Abdullah Nashih
Ulwan menyebut ada 5 langkah yang dapat dilakukan untuk mencapai taqwa, iaitu ;
a. Mu’ahadah Mu’ahadah
berarti selalu mengingat
perjanjian kepada Allah swt., bahawa dia akan selalu beribadah kepada Allah
swt. Seperti merenungkan sekurang-kurangnya 17 kali dalam sehari semalam dia
membaca ayat surat Al Fatihah : 5 “Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya
kepada Engkau kami mohon pertolongan”
b.
Muraqabah Muraqabah
berarti merasakan kebersamaan
dengan Allah swt. dengan selalu menyedari bahawa Allah swt. selalu bersama para
makhluk-Nya dimana saja dan pada waktu apa sahaja. Terdapat beberapa jenis
muraqabah, pertamanya muraqabah kepada Allah swt. dalam melaksanakan ketaatan
dengan selalu ikhlas kepadaNya. Kedua muraqabah dalam kemaksiatan adalah dengan
taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara total. Ketiga, muraqabah dalam
hal-hal yang mubah adalah dengan menjaga adab-adab kepada Allah dan bersyukur
atas segala nikmatNya. Keempat muraqabah dalam mushibah adalah dengan redha.
atas ketentuan Allah serta memohon pertolonganNya dengan penuh kesabaran.
c. Muhasabah
Muhasabah sebagaimana
yang ditegaskan dalam Al Quran surat Al Hasyr: 18, “Wahai orang-orang
yang beriman! Takwalah kepada Allah dan hendaklah merenungkan setiap diri,
apalah yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan takwalah kepada Allah!
Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa jua pun yang kamu kerjakan”
Ini bermakna hendaklah
seorang mukmin menghisab dirinya tatkala selesai melakukan amal perbuatan,
apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan redha. Allah? Atau apakah amalnya
dicampuri sifat riya? Apakah ia sudah memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak
manusia.
d. Mu’aqabah Mu’aqabah
ialah memberikan hukuman
atau denda terhadap diri apabila melakukan kesilapan ataupun kekurangan dalam
amalan. Mu’aqabah ini lahir selepas Muslim melakukan ciri ketiga iaitu
muhasabah. Hukuman ini bukan bermaksud deraan atau pukulan memudaratkan,
sebaliknya bermaksud Muslim yang insaf dan bertaubat berusaha menghapuskan
kesilapan lalu dengan melakukan amalan lebih utama meskipun dia berasa
berat.dalam Islam, orang yang paling bijaksana ialah orang yang sentiasa
bermuhasabah diri dan melaksanakan amalan soleh.
e.
Mujahadah
Makna mujahadah
sebagaimana disebutkan dalam surat Al Ankabut ayat 69 adalah apabila seorang
mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi
melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya,
maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari
sebelumnya. Dalam hal ini ia harus tegas, serius dan penuh semangat sehingga
pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia baginya dan menjadi sikap
yang melekat dalam dirinya. Sebagai penutup, Allah swt. telah berfirman dalam
Al-Quran yang bermaksud: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kamu mati melainkan
di dalam keadaan Islam”. (‘Ali Imran: 102)[4]
B.
Problematika tantangan
dan resiko dalam kehidupan modern
Problem-problem manusia dalam kehidupan modern adalah munculnya dampak negatif
(residu), mulai dari berbagai penemuan teknologi yang berdampak terjadinya
pencemaran lingkungan, rusaknya habitat hewan maupun tumbuhan, munculnya
beberapa penyakit, sehingga belum lagi dalam peningkatan yang makro yaitu
berlobangnya lapisan ozon dan penasan global akibat akibat rumah kaca.
Manusia
tidak mampu lari seperti kuda dan mengangkat benda-benda berat seperti sekuat
gajah, namun akal manusia telah menciptakan alat yang melebihi kecepatan kuda
dan sekuat gajah. Kelebihi manusia dengan mahkluk lain adalah dari Akalnya.
Sedangkan dalam bidang ekonomi kapitalisme-kapitalisme yang telah melahirkan
manusia yang konsumtif, meterialistik dan ekspoloitatif.
Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena begitu
pentingnya taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan dunia
ini sehingga beberapa syariat islam yang diantaranya puasa adalah sebagai wujud
pembentukan diri seorang muslim supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan lebih
sering lagi setiap khatib pada hari jum’at atau shalat hari raya selalu
menganjurkan jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi taqwa
dalam kehidupan beragama membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang
diharapkan dari tujuan hidup manusia (ibadah).[5]
Taqwa
adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim.
Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi
pembeda dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah
refleksi iman seorang muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti
binatang, jin dan iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap
taqwa, karena binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana
beriman kepada Allah yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara
sederhana adalah “percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara
manusia dengan makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah
mengucapkan dua kalimat syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya
dengan bertaqwa dalam arti menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi
segala laranganNya, dan dia juga tidak mau terikat dengan segala aturan agamanya
dikarenakan kesibukannya atau asumsi pribadinya yang mengaggap eksistensi
syariat agama sebagai pembatasan berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia,
kendatipun dia beragama akan tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas
pelengkap dalam kehidupan sosialnya, maka orang semacam ini tidak sama dengan
binatang akan tetapi kedudukannya lebih rendah dari binatang, karena manusia
dibekali akal yang dengan akal tersebut manusia dapat melakukan analisis hidup,
sehingga pada akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud implementasi dari
keimanannya.[6]
Taqwa
adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang aplikasinya
berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang muslim yang
bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan menjauhi
segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan sekarang
adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan modern yang serba mudah, serba
bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan umat islam selalu
berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi sangat menarik
naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang mendukung.
Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam terdahulu yang
kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu yang cukup
mendukung kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu mewujudkan satu
konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap taqwa sebagai
tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun.
Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang
berbentuk syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti
himbauan khatib dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa
faktor, diantaranya yang pertama muslim yang bersangkutan belum paham
betul makna dari taqwa itu sendiri, sehingga membuatnya enggan untuk memulai,
dan yang kedua ketidaktahuannya tentang bagaimana, darimana dan kapan dia harus
mulai merilis sikap taqwa, kemudian yang ketiga kondisi sosial dimana dia hidup
tidak mendukung dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti saat sekarang
kehidupan yang serba bisa dan cenderung serba boleh. Oleh karenanya setiap
individu muslim harus paham pos – pos alternatif yang harus dilaluinya,
diantaranya yang paling awal dan utama adalah gadhul bashar (memalingkan
pandangan), karena pandangan (dalam arti mata dan telinga) adalah awal dari
segala tindakan, penglihatan atau pendengaran yang ditangkap oleh panca indera
kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh anggota tubuh dan akhirnya
berimbas ke hati sebagai tempat bersemayam taqwa, jika penglihatan atau
pendengaran tersebut bersifat negatif dalam arti sesuatu yang dilarang agama
maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati sudah kotor maka pikiran (akal)
juga ikut kotor, dan ini berakibat pada aktualisasi kehidupan nyata, dan jika
prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan sulit mencapai sikap taqwa.[7]
Oleh karenanya dalam situasi yang serba bisa dan sangat plural ini dirasa
perlu menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga) dari hal – hal yang
dilarang agama sebagai cara awal dan utama dalam mendidik diri menjadi muslim
yang bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari hal-hal
yang dilarang agama, menjadikan seorang muslim memiliki kesempatan besar dalam
memperoleh taqwa. Karena taqwa adalah sebaik–baik bekal yang harus kita peroleh
dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa
kepada kehidupan akhirat yang kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai
sesuatu yang pasti dan tidak dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan
setelah kematian menjadikan taqwa sebagai obyek vital yang harus digapai dalam
kehidupan manusia yang sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa adalah dengan
mulai melakukan hal-hal yang terkecil seperti menjaga pandangan, serta melatih
diri untuk terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya,
karena arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin
Al-Mahally dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi
wajtinabinnawahih”, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganya.[8]
C. Problem dalam Hal Ekonomi
Semakin lama manusia semakin menganggap bahwa dirinya merupakan homo economicus,
yaitu merupakan makhluk yang memenuhi kebutuhan hidupnya dan melupakan dirinya
sebagai homo religious yang erat dengan kaidah – kaidah moral.Ekonomi
kapitalisme materialisme yang menyatakan bahwa berkorban sekecil – kecilnya
dengan menghasilkan keuntungan yang sebesar – besarnya telah membuat manusia
menjadi makhluk konsumtif yang egois dan serakah (saya sendiri mengakuinya).[9]
D.
Problem dalam Bidang
Moral
Pada hakikatnya Globalisasi adalah sama halnya dengan Westernisasi. Ini tidak lain hanyalah kata lain dari penanaman nilai – nilai Barat
yang menginginkan lepasnya ikatan – ikatan nilai moralitas agama yang
menyebabkan manusia Indonesia pada khususnya selalu “berkiblat” kepada dunia
Barat dan menjadikannya sebagai suatu symbol dan tolok ukur suatu kemajuan.
E.
Problem dalam Bidang
Agama
Tantangan agama dalam kehidupan modern ini lebih dihadapkan kepada faham
Sekulerisme yang menyatakan bahwa urusan dunia hendaknya dipisahkan dari urusan
agama. Hal yang demikian akan menimbulkan apa yang disebut dengan split
personality di mana seseorang bisa berkepribadian ganda. Misal pada saat yang
sama seorang yang rajin beribadah juga bisa menjadi seorang koruptor.
F.
Problem dalam Bidang
Keilmuan
Masalah yang paling kritis dalam bidang keilmuan adalah pada corak kepemikirannya
yang pada kehidupan modern ini adalah menganut faham positivisme dimana tolok
ukur kebenaran yang rasional, empiris, eksperimental, dan terukur lebih
ditekankan. Dengan kata lain sesuatu dikatakan benar apabila telah memenuhi
criteria ini. Tentu apabila direnungkan kembali hal ini tidak seluruhnya dapat
digunakan untuk menguji kebenaran agama yang kadang kala kita harus menerima
kebenarannya dengan menggunakan keimanan yang tidak begitu poluler di kalangan
ilmuwan – ilmuwan karena keterbatasan rasio manusia dalam memahaminya. Anda
merasakan itu?
Perbedaan metodologi yang lain bahwa dalam keilmuan dikenal istilah
falsifikasi. Apa itu? Artinya setiap saat kebenaran yang sudah diterima dapat
gugur ketika ada penemuan baru yang lebih akurat. Sangat jauh dan bertolak
belakang dengan bidang keagamaan.Jika anda tidak salah lihat, maka akan banyak
anda temukan banyak ilmuwan yang telah menganut faham atheis (tidak percaya
adanya tuhan) akibat dari masalah – masalah dalam bidang keilmuan yang telah
tersebut di atas.
Kalau bersama – sama kita telah melihat sebagian kecil dari beberapa bagian
besar problematika dalam kehidupan kita saat ini, apa yang sebaiknya menjadi
solusi bersama dalam meningkatkan ketahanan tubuh Negara kita terhadap prediksi
– prediksi kehancuran moral bangsa Indonesia akibat dari kekurang selektifan
kita terhadap apa yang namanya Westernisasi?
G.
Hubungan
timbal balik antara taqwa dan iman
Iman dan taqwa adalah dua unsur pokok bagi pemeluk agama. Keduanya
merupakan elemen yang penting dalam kehidupan makhluq manusia dan sangat erat
hubungannya dalam menentukan nasib hidupnya serta memiliki fungsi yang urgen.
Menurut ahli hukum, iman itu hanya sekedar pengakuan suatu makna yang
terkandung dalam lubuk hati, menurut para teolog, iman itu adalah kepercayaan
yang tertanam dalam lubuk hati dengan keyakinan yang kuat tanpa tercampuri oleh
keraguan dan berperan terhadap pendangan hidup atau amal perbuatan sehari-hari.
Sedangkan menurut berbagai filosof, iman diartikan lebih jauh dari lafidz dan makna
serta tidak terikat dengan dalil-dalil apologis. Misalnya Karl Teodor Yoeper
seorang filosof Jerman mengetengahkan istilah iman falsafi yang universil yang
berlaku untuk semua zaman dan kebudayaan. Isi iman falsafi baginya, bahwa Allah
itu ada, manusia harus mampu memilih memilih yang baik secara tak bersarat,
dunia tidak merupakan kenyataan terakhir dan bahwa cinta kasih manusia
merupakan suatu bukti adanya Allah. Semua pengertian-pengertian yang
dikemukakan diatas pada dasarnya menunjukkan, bahwa iman itu berperanan dan
berpengaruh terhadap tindak laku manusia dalam segala aspek kahidupan manusia.
Menurut filosof islam Imam Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan
hal-hal yang bersifat spiritual atau batin, dimana hati dapat menangkap iman
dalam pengertian hakiki melalui kasyaf yang diperoleh berkat pancaran sinar
Ilahi padanya. Dalam kesempatan lain beliau menegaskan, bahwa arti iman adalah
pengakuan yang kuat tidak ada pembuat (faa`il) selain Allah. Makna iman
yang dikemukakan ini menimbulkan problema metafisis, diantaranya membatasi
sebab pembuat (illah faa`iliyah) hanya kepada Allah, manafikan kebebasan
berikhtiar dari manusia serta penyerahan diri (tawakkal) kepada-Nya.
Pemikiran Imam Ghozali ini disebut dengan istilah tauhid, sebab artinya
keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab tersebut kepada selai Allah. Dialah pembuat
satu-satunya dan selain-Nya hanya sekedar washilah (perantara). Hukumnya perantara
itu dalam tinjauan filsafat juga sebab, namun sebab pokok.
Bagi Imam Ghozali iman itu bukan lawan dari syirik, tetapi peng-Esaan
kepada Kholiq (Pencipta). Oleh karena itu bagi orang yang meng-Esakan Allah
harus bersikap tawakkal. Tawakkal bukan berarti maniadakan ikhtiar, tetapi
maniadakan kebebasan berikhtiar, karena dalam tawakkal manusia berkesempatan
untuk kasab (berusaha). Bahkan dengan tawakkal itu dapat mengenal hakekat ikhtiar dan sekaligus
dapat mengetahui nilai dan kualitas iman. Iman yang sebenarnya harus membuahkan
tawakkal, sehingga dapat memperoleh ridho Allah. Dalam kitab suci dikemukakan,
bahwa Nabi Hud, Nabi Musa dan tang lainya telah menjadikan tawakkal sebagai
benteng kekuatan bertaqwa dalam menghadapi kaumnya. Ini semua menunjukkan,
bahwa antara iman dan taqwa saling berpengaruh dalam membentuk membentuk
manusia berkepribadian luhur.
Taqwa itu pada prinsipnya adalah amal batin atau lahir, baik yang bersifat
mengikuti perintah Tuhan maupun amal yang berbentuk menjauhi larangan Tuhan.
Yang menjadi problema apakah unsur amal itu menjadi syarat iman, dengan
pengertian, bahwa apakah tanpa amal seseoran tidak dianggap beriman. Iman
adalah sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa (Ma waqaro fil qalbi). Berdasarkan
eksperimen sebagian besar ahli jiwa berkesimpulan, bahwa iman kepada Allah
termasuk obat yang manjur untuk menyembuhkan penyakit jiwa atau menghilangkan
gangguan jiwa.
Kesimpulan inin diperkuat oleh filosof-silosof besar diantaranya Francis
Bacon, William James, Kierkegoor dan lain-lain.
Menurut filosof Islam Jamaluddin Alafghoni, bahwa iman kepada Allah
menumbuhkan keteguahan pendirian dalam menghadapi kesulitan dan bahaya, bahkan
mampu untuk membentuk kerelaan dan meninggalkan kemewahan hidup, manakala ada
seruan untuk bejuang dijalan Allah. Dalam Islam pengaruh iman diantaranya rasa
tawakkal (Ali Imron: 160).
Tawakkal dalam tinjauan tasawuf ini harus seiring dengan kesabaran.
Keberhasilan manusia tidak mungkin sepenuhnya dari usaha sendiri. Sedangkan
kecil dan tidaknya ditentukan oleh berbagai faktor diluar kemampuannya.
Faktor-faktor itu adalah sebab keberhasilan. Banyak akibat yang sebabnya
bermacam-macam dan sebaliknya, banyak sebab yang akibatnya bermacam-macam.
Banyak akibat yang sulit diketahui sebabnya dan banyak sebab yang sulit
diketahui akibatnya. Dalam situasi diatas sikap tawakkal sangat diperlukan. [10]
Kita diciptakan didunia
ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk bersenang-senang dan
bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini telah dijelaskan dalam firman
Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَاْلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ
أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi
rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS. 51:56-58)
Allah telah menjelaskan
dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan manusia adalah ibadah
kepadaNya saja tanpa berbuat syirik. Sehingga Allah pun menjelaskan salahnya
dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang belum mengetahui hikmah tersebut
dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu tujuan tertentu dalam
firmanNya :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا
خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ
Artinya : Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan
kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada
Kami. (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini
menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-main saja, namun
diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan manusia hanya untuk makan,
minum dan bersenang-senang dengan perhiasan dunia, serta tidak dimintai
pertanggung jawaban atas semua prilakunya didunia ini. Tentu saja jawabannya
adalah kita semua diciptakan untuk satu himah dan tujuan yang agung dan
dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian
dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa atas keburukan (yang dia
amalkan) serta (mendapatkan) syurga atau neraka.[11]
Demikianlah seorang
manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan proforsonal
dalam mencapai tujuan tersebut, sebab sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia
adalah mewujudkan peribadatan kepada Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena
itu orang yang paling sukses dan paling mulia disisi Allah adalah yang paling
taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ
اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49:13)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Iman dan taqwa sangat penting di kehidupan modern, jika
dalam kehidupan modern yang serba canggih tidak menghiraukan lagi keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah maka akan banyak timbul problem dan tantangan yang
terjadi, baik dibidang ekonomi, social, agama, maupun keilmuan itu sendiri.
Iman dan taqwa juga mempunyai peran penting dalam kehidupan dunia modern,
dalam kehidupan modern yang serba cepat sering kali memicu timbulnya stress dan
berbagai penyakit. Iman dan taqwa mempunyai peran antara lain:
1.
Iman dan taqwa melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda,
2.
Iman dan taqwa menanamkan semangat berani menghadap maut
3.
Iman dan taqwa menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.
4.
Iman dan taqwa memberikan ketenteraman jiwa.
5.
Iman dan taqwa mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).
6.
Iman dan taqwa melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
7.
Iman dan taqwa memberi keberuntunganIman mencegah penyakit
Iman didefinisikan
dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan
amal perbuatan (Al-Iimaanu ‘aqdun bil qalbi waiqraarun billisaani wa’amalun
bil arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan
antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai
pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup. Sedangkan takwa adalah menjadikan
jiwa berada dalam perlindungan dari sesuatu yang ditakuti, kemudian rasa takut
juga dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam istilah syar’I adalah menjaga diri
dari perbuatan dosa.
Dapat disimpulkan, bahwa peran iman, diantaranya menghilangkan
gangguan jiwa, menumbuhkan keteguahan pendirian, menumbuhkan kekuatan
pengendali hawa nafsu, menumbuhkan tawakkal, menciptakan tekat berbuat baik dan
berperan menciptakan rasa cinta dan bahagia. Pegaruh kekuatan iman melahirkan akhlak dan moral dalam kehidupan manusia, seperti
jujur, adil dala segala situasi, diucapkan kebenaran walaupun terasa sangat
berat, ditegakkan kebenaran sekalipun berakibat merugikan dirinya dan
keluarganya, bersikap adil terhadap lawan sebagaimana bersikap adil di
tengah-tengah kawan, masih banyak lagi norma-norma luhur yang dicetuskan oleh
kekuatan iman. Oleh karena itu sangat patut sekali
apabila dinyatakan bahawa iman dan taqwa adalah kunci pengalaman nilai-nilai
luhur.
Daftar Pustaka
Imtihana,aida.dkk.2009.Buku Ajar Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum.Palembang:Universitas
Sriwijaya.
Labay,Mawardi.2000.Zikir dan Do’a Iman Pengaman Dunia.Jakarta:Al Mawardi
Prima
“IMAN DAN TAQWA DALAM
PERSPEKTIF FILSAFAT”, Oleh: Prof. DR. K. H. Achmad Mudlor, SH.
http://meyheriadi.blogspot.com/2011/02/pengertian-iman-dan-taqwa.html (Online ) Di
Akses Tanggal 17 oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar