BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah
rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju perubahan dan kedewasaan.
Kedewasaan dalam bentuk akal, mental, maupun moral dalam rangka menjalankan
fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan khalik-Nya dan
juga sebagai khalifahtul fil ardh pada alam semesta ini.
Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran
pendidikan benar-benar bisa diaktualisasikan dan diaplikasikan pada zaman
kejayaan Islam. Dimana aktualisasi tersebut adalah sebuah proses dari sekian
lama umat muslim berkecimpung dalam naungan ilmu-ilmu keIslaman yang bersumber
dari Al-Qur’an dan sunnah. Hal ini dapat kita saksikan ketika pendidikan
benar-benar mampu membentuk peradaban, sehingga peradaban Islam menjadi
peradaban terdepan, sekaligus yang mewarnai peradaban di sepanjang jazirah
arab, asia barat, hingga eropa timur. Berangkat dari
hal yang telah disebutkan di atas terlihat bahwa adanya sebuah paradigma dalam manajemen pendidikan yang memberdayakan peserta didik
merupakan sebuah keniscayaan. Upaya membangun manajemen pendidikan
Islam berwawasan global dewasa ini bukan persoalan mudah karena pada waktu
bersamaan pendidikan Islam harus memiliki kewajiban untuk melestarikan,
menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dan dipihak lain berusaha untuk menanamkan
karakter budaya nasional Indonesia dan budaya global. Upaya untuk membangun
pendidikan Islam yang berwawasan global dapat dilaksanakan dengan
langkah-langkah yang terencana dan strategis, apabila nilai-nilai tersebut
dapat memasuki relung-relung pendidikan Islam sampai pada akar-akarnya
kemungkinan pendidikan kita akan menemukan jalan keluar, pendidikan Islam yang
berwawasan global yang dimaksud adalah pemikiran yang terus menerus harus
dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali kepemimpinan iptek,
sebagaimana zaman keeamasan dulu.
Merintis kembali pendidkan Islam Ala Rasulullah
Saw, maupun ilmuan-ilmuan intelek Islam yang berjaya dimasa itu merupakan
dorongan bagi umat Islam, pencarian
paradigma baru dalam pendidikan Islam dimulai dari konsep manusia menurut
Islam. Pandangan Islam terhadap iptek, kemudian dirumuskan konsep atau sistem pendidikan Islam secara utuh pendidikan
Islam yang ingin dikembangkan adalah pendidikan yang menghilangkan atau tidak
ada dikotomi antara Ilmu dan agama, serta ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas
dinilai. Selanjutnya terjadi perubahan paradigma pendidikan, juga sebagai
akibat dari percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menentang sistem pendidikan konvensional, karena sumber
ilmu pengetahuan akan tersebar diamana-mana dan setiap orang akan dengan mudah
memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan. Peran teknologi yang
merupakan alat bantu
yang akan sangat mempercepat proses distributed of knowledge,
semakin berkembang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Islam di Indonesia
Paradigma dalam
disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya
yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif),
bersikap (afektif), dan
bertingkah laku (konatif).
Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik
yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama,
khususnya, dalam disiplin intelektual. Kata paradigma sendiri
berasal dari abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin di tahun 1483 yaitu paradigma yang
berarti suatu model atau pola; bahasa Yunani paradeigma (para+deiknunai)
yang berarti untuk "membandingkan", "bersebelahan"
(para) dan memperlihatkan (deik). Dari penjelasan sebuah situs mengenai
paradigma tersebut, maka dapat dikatakan bahwa paradigma merupakan sudut pandang atau sudut serang dalam memandang suatu persoalan, realitas dan sebagainya.
Masalah
pengolahaan pendidikan Islam yang kini difokuskan adalah membuat terobosan dan
mengujicobakan hasil berbagai kajian dan penelitian sambil menemukan
alternative solusi dan paradigma dalam meningkatkan mutu kelembagaan dan SDM, Manajemen pendidikan Islam.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi,
sudah lama melaksanakan manajemen secara konvensional harus mulai menata dan menciptakan pengelolaan
pendidikan yang peka terhadap perkembangan jaman. Salah
satu pola pembaharuan di dalam manajemen pendidikan Islam adalah diterapkannya Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS). Upaya ini di lakukan untuk menggiring paradigma
lama kepada paradigma baru dalam rangka meningkatkan mutu lembaga pendidikan
Islam.
Latar
belakang munculnya MBS pertama kali di Negara Amerika, dimana masyarakat
merasakan kurangnya relevansi dan hubungan hasil pendidikan dengan tuntutan
kebutuhan. Hal tersebut diakibatkan kinerja sekolah tidak sesuai dengan
tuntutan yang diperlukan siswa untuk terjun ke dunia kerja, sekolah dianggap
tidak mampu memberikan hasil dalam konteks kehidupan ekonomi kompetitif secara
global. Hal tersebut diindikasikan dengan prestasi siswa dalam mata pelajaran
tertentu (Matematika dan sains) yang belum memuaskan. Berdasarkan hal tersbut
pemerintah mengantisipasi untuk melakukan upaya perubahan manajemen sekolah.
Upaya yang dilakukan adalah membangun suatu sistem persekolahan yang mampu
memberikan kemampuan dasar (basic skill) bagi siswa. Sehingga muncullah suatu
konsep pengelolaan sekolah melalui konsep MBS (School Based Management). MBS
dapat diartikan sebagai pengalihan dalam pengambilan keputusan dari tingkat
pusat sampai ke tingkat sekolah. Maksudnya Sekolah diberikan kewenangan
(Otonomi) untuk pengambilan keputusan dalam pemberdayaan sumber-sumber sehingga
sekolah mampu secara mandiri menggali, mengalokasikan , menentukan prioritas,
memanfaatkan, mengendalikan dan mempertangungjawabkan kepada setiap yang
berkepentingan (stakeholder). MBS pada prinsipnya menempatkan kewenangan yang
bertumpu kepada sekolah dan masyarakat, menghindarkan format sentralisasi dan
birokratisasi yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi manajemen sekolah. Susan
Albers Mohrman, dkk, memandang MBS sebagai suatu pendekatan politik untuk
me-redisain dan memodifikasi struktur pemerintahan dengan memindahkan otoritas
pusat ke sekolah, memindahkan keputusan pemerintah pusat ke lokal stakeholder
dengan mempertaruhkan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan kualitas
pendidikan nasional. Hal tersebut sejalan dengan jiwa dan semangat
desentralisasi dan otonomi di sektor pendidikan.
A. Asumsi dasar MBS :
1.
MBS
memandang sekolah sebagai suatu lembaga yang harus dikembangkan. Dan sekolah
dipandang sebagai suatu lembaga layanan jasa pendidikan dimana kepala sekolah
sebagai manajer pendidikan yang dituntut untuk bertanggungjawab atas seluruh
komponen sekolah, dan harus berupaya meningkatkan mutu
pelayanan dan mutu hasil belajar yang berorientasi kepada pemakai, baik
inetrnal (siswa) atau eksternal (masyarakat), pemerintah maupun lembaga
industri dan dunia kerja (stakeholder). Dalam konsep MBS harus memperhatikan
aspek-aspek mutu yang harus dikendalikan secara komprehensif yaitu :1)
karakteristik mutu pendidikan (input, proses, output); 2) pembiayaan;3) metode
atau sistem penyampaian bahan/materi pelajaran; 4) pelayanan kepada siswa dan
orang tua.masyarakat.
2.
MBS
dapat efektif diterapkan jika di dukung oleh sistem berbagi kekuasaan antara
pemerintah pusat, Pemda dalam pengelolaan sekolah. (dalam hal ini aturan-aturan
dalam manajemen pendidikan perlu ditinjau kembali). Agar hasil outputnya baik,
maka (dalam konsep MBS) sekolah dipandang sebagai suatu unit manajemen yang
utuh dan memerlukan perlakuan khusus dalam upaya pengembangannya. Dimana
perlakuan khusus tersebut akan berbeda untuk setiap sekolah. Hal inilah yang
melandasi keyakinan bahwa pengambilan keputusan dalam merancang dan mengelola
pendidikan seharusnya dilakukan di tingkat sekolah.
B. Keuntungan yang diperoleh sekolah dengan adanya
MBS adalah :
a.
Kebijakan
dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada siswa, orang tua, dan
guru
b.
Memanfaatkan
sumber daya lokal
c.
Efektif
dalam melakukan pembinaan peserta didik (kehadiran, hasil belajar, tingkat
pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah).
Adanya
perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen
sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan
perencanaan. Aspek-aspek yang dapat menciptakan efektivitas program MBS dalam
meningkatkan kinerja sekolah menurut Mohrman (1992) adalah aspek :
1.
Kemampuan/pengetahuan
2.
Informasi
3.
Imbalan yang memadai
MBS
bertujuan agar otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat (local stakeholder)
mempunyai keterlibatan tinggi. Artinya dapat memberikan kerangka dasar bahwa
setiap unsur akan dapat berperan dalam meningkatkan mutu, efisiensi dan
pemerataan kesempatan pendidikan. MBS memberikan peluang kepada guru dan Kepala
Sekolah mengelola sekolah menjadi lebih efektif karena adanya partisipasi dan
rasa kepemilikan dan keterlibatan yang tinggi dalam membuat keputusan.
Pengelola sekolah akan mempunyai kendali dan akuntabilitas terhadap lingkungan
sekolah. Pengelola pendidikan tingkat pusat dan dasar hanya berperan dalam
melayani kebutuhan sekolah. MBS akan menciptakan berbagi kekuasaan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta sekolah yang memerlukan penataan
secara hati-hati yang dilandasi semangat kerjasama dan konsisten dalam
kewajiban, kewenangan dan tanggungjawab masing-masing. Dalam konsep MBS
pemerintah pusat berkewajiban dalam merumuskan cita-cita dan strategi nasional
pendidikan, kurikulum nasional, publikasi buku-buku pelajaran tertentu,
pertanggungjawaban dalam mutu edukatif. Sedangkan pemerintah daerah
berkewajiban menyelenggarakan pembinaan SDM (guru dan Kepala sekolah), mengatur rekruitmen, pengangkatan
dan penempatan, pengembangan karier, pemindahan, kenaikan pangkat, dan
pemberhentian guru. Sekolah berkewajiban untuk mengatur jam pelajaran, dikelas
mana pelajaran diberikan atau tidak dalam mengelola kurikulum nasional, tolak
ukur apa yang digunakan untuk menilai pencapaian kurikulum, keleluasaan dalam
mengelola sumber daya sekolah dan dalam menyertakan masyarakat dalam
meningkatkan kinerja sekolah.
C. Tahap Implementasi MBS
Secara garis besar pentahapan tersebut dapat
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :
1. Tahap sosialisasi
Mencakup
ide dasar MBS pada jajaran Depdiknas dan stakeholder, kejelasan karir dan kebijakan
yang menjadi wewenang pusat, daerah dan sekolah. Perubahan pola hubungan
sub-ordinasi, perubahan sikap dan perilaku baik pimpinan jajaran birokrasi
maupun masyarakat, deregulasi aturan, dan transparansi serta akuntabilitas.
2. Tahap Piloting (Uji Coba)
Efektivitas
uji coba memerlukan persyaratan dasar yaitu :
a.
Akseptibilitas : dapat diterima oleh masyarakat
b.
Akuntabilitas : dapat dipertanggungjawabkan
c.
Replikabilitas : dapat dicontoh oleh sekolah lain
d.
Sustainabilitas : program MBS dapat terus dikembangkan meskipun tahap uji coba
selesai
3. Tahap desiminasi (Kondisi Wilayah yang
berbeda)
Sangat
ditentukan oleh efektivitas pelaksanaan oleh anggaran yang cukup memadai,
fasilitas dan keuangan dari pemerintah terutama bagi daerah dan sekolah yang kurang
mampu.
4. Indikator keberhasilan MBS
1.
Pemberian otonomi yang luas kepada sekolah.
2.
Partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi
3.
Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan professional
4.
Adanya “team-work” yang tinggi dan profesional
1. Manajemen Pendidikan Islam dan Karakteristiknya
Manajemen merupakan terjemahan secara langsung
dari kata manajemen yang berarti pengelolaan, ketatalaksanaan, atau tata
pimpinan. Management
berakar dari kata kerja to manage yang berarti mengurus, mengatur,
melaksanakan, atau mengelola. Pengertian yang sama dengan pengertian dan
hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan). Kata ini merupakan
derivasi dari kata dabbara (mengatur) yang dapat kita temukan dalam
al-Qur’an Q.S. 32:5 sebagai berikut :
يدبِّر الأمر من السِّمآء الى الأرض...
Artinya : “Dia mengatur
urusan dari langit ke bumi...(QS: As-sajadah : 5)
Manajemen mencakup kegiatan untuk mencapai
tujuan, dengan fungsi dasar dan proses manajemennya adalah planning, organizing,
actuating dan controlling. Semuanya dilakukan oleh individu-individu yang
menyumbangkan upayanya yang terbaik melalui tindakan-tindakan manajemen yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Jika menilik arti manajemen sebagaimana
diuraikan diatas, maka manajemen dapat kita lihat sebagai sebuah proses
pemanfaatan semua sumber daya melalui orang lain dan bekerjasama dengannya.
Proses itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan bersama secara efektif, efisiens,
dan produktif. Sedangkan, Pendidikan Islam merupakan proses trans-internalisasi
nilai-nilai Islam kepada
peserta didik sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahtraan di
dunia dan akhirat. Oleh karena itu, manajemen dalam pendidikan Islam dapat di
definisikan sebagai proses pemanfaatan semua sumber daya yang dimiliki (umat
Islam, lembaga pendidikan/lainnya) pemanfaatan tersebut melalui kerjasama
dengan orang lain secara efektif, efisien, dan produktif untuk mencapai
kebahagiaan dan kesejahtraan, baik di dunia maupun di
akhirat. Sistem
manajemen dalam pendidikan Islam merupakan proses yang koordinatif, sistematik,
dan integratif. Proses itu dimulai dari perencanaan. Pengorganisasian,
penggerakan, sampai pada pengawasan yang semuanya selalu didasari oleh
nilai-nilai Islam agar sistem
tersebut dapat sekaligus mempunyai nilai-nilai yang material dan spritual.
Gambaran tentang manajemen pendidikan Islam
yang membedakan dengan manajemen secara umum adalah terletak pada karakteristik
dari manajemen pendidikan Islam itu sendiri. Perlu diketahui bahwa manajemen
secara sumum, sasaran ataupun obyek yang dikelola adalah dalam suatu organisasi
atau perusahaan. Sedangkan manajemen lembaga pendidikan Islam, sasaran yang
dikelola adalah semua SDM dan SDA yang ada dan terlibat dalam suatu proses
pendidikan. Dalam manajemen pendidikan Islam ini, manajemen fokus adalah
terletak pada guru. Hal ini disebabkan karena guru merupakan ujung tombak dari
pelaksanaan pembelajaran. Hal ini senada dengan pendapatnya E. Mulyasa, yang
menyatakan bahwa ”Guru merupakan pemeran utama proses pendidikan yang
sangat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan.” Maka guru
merupakan jiwa dari sekolah. Namun
demikian tidak menafikan peran yang lain, seperti karyawan, ketua, wali murid
dan siswa itu sendiri. Sehingga memang terdapat karakteristik dan ketentuan
normatif manajemen pendidikan Islam jika dibandingkan dengan manajemen secara
umum.
Dalam membahas manajemen pendidikan Islam
senantiasa melibatkan wahyu dan budaya kaum Muslimin ditambah kaidah-kaidah
manajemen pendidikan secara umum. Maka pembahasan ini akan mempertimbangkan
bahan-bahan sebagai berikut:
1. Teks-teks wahyu baik al-Qur’an maupun hadits
yang terkait dengan manajemen pendidikan.
2. Perkataan-perkataan (aqwâl) pada sahabat Nabi
maupun ulama dan cendikiawan Muslim yang terkait dengan manajemen pendidikan
3. Realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam.
4. Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga
pendidikan Islam.
5. Ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan.
Teks-teks wahyu sebagai sandaran teologis;
Perkataan-perkataan para sahabat Nabi, ulama dan cendikiawan Muslim sebagai
sandaran rasional, realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam serta kultur
komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga pendidikan Islam sebagai sandaran
empiris, sedangkan ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan sebagai
sandaran teoritis. Jadi bangunan manajemen pendidikan Islam ini diletakkan di
atas empat sandaran yaitu sandaran teologis, rasional, empiris, dan teoritis. Sandaran teologis akan berdampak pada keyakinan adanya
kebenaran pesan-pesan wahyu karena berasal dari Tuhan, sandaran rasional
menimbulkan keyakinan kebenaran berdasarkan pertimbangan akal-pikiran, sandaran
empiris menimbulkan keyakinan adanya kebenaran berdasarkan
data-data riil dan akurat, sedangkan sandaran teoritis menimbulkan
keyakinan adanya kebenaran berdasarkan akal pikiran dan data sekaligus dan
telah dicobakan berkali-kali dalam pengelolaan pendidikan.
Secara materi (mâddah),
sebenarnya banyak sekali bahan-bahan keilmuan yang berserakan dalam berbagai
bidang keilmuan termasuk bahan-bahan manajemen pendidikan Islam meskipun masih
merupakan prinsip-prinsip dasar baik berupa ayat-ayat al-Qur’an, hadits
Nabi, aqwâl para sahabat Nabi, aqwâl ulama maupun cendikiawan Muslim. Di
samping itu, perkembangan lembaga pendidikan Islam maupun budaya dari komunitas
(pimpinan dan pegawai) yang ada di lembaga pendidikan Islam juga dapat
dijadikan bahan. Kemudian didukung kaidah-kaidah manajemen pendidikan. Oleh
karena itu, dibutuhkan para peramu atau pengracik bahan-bahan tersebut menjadi
formula-formula teoritis yang kemudian bisa diaplikasikan, kemudian jika
berhasil dengan baik, langkah berikutnya adalah disosialisasikan dan
dipublikasikan pada masyarakat luas agar cepat menyebar pada mereka.
Selanjutnya, perlu dikenali dahulu posisi dan
fungsi bahan-bahan keilmuan manajemen pendidikan Islam tersebut untuk
memudahkan pemahaman bagaimana mekanisme membangun konsep-konsep teoritis
tentang manajemen pendidikan Islam tersebut yaitu:
1. Teks-teks wahyu baik al-Qur’an maupun hadits
shahih sebagai pengendali terhadap bangunan rumusan kaidah-kaidah teoritis
manajemen pendidikan Islam.
2. Aqwâl
(perkataan-perkataan) para sahabat Nabi, ulama dan cendikiawan Muslim sebagai
pijakan logis-argumentatif dalam menjelaskan kaidah-kaidah teoritis manajemen
pendidikan Islam secara rasional.
3. Perkembangan lembaga pendidikan Islam sebagai
pijakan empiris dalam mendasari perumusan kaidah-kaidah teoritis manajemen
pendidikan Islam.
4. Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) dalam
lembaga pendidikan Islam sebagai pijakan empiris dalam merumuskan kemungkinan
strategi yang khas dalam me-manage lembaga pendidikan Islam.
5. Ketentuan kaidah-kaidah menejemen pendidikan
sebagai pijakan teoritis dalam me-manage lembaga pendidikan Islam, tetapi juga
dikritisi untuk disesuaikan dengan kondisi budaya yang terjadi dalam lembaga
pendidikan Islam jika terdapat ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip yang
tidak relevan.
Mekanisme demikian ini
mempertegas sikap bahwa dalam wilayah keilmuan sekalipun, Islam melalui wahyu
hadir untuk memberikan inspirasi-kreatif dalam membangun konsep ilmiah,
sedangkan rinciannya secara detail diserahkan pada para ahli pendidikan Islam
berdasarkan inspirasi-kreatif dari wahyu itu. Tetapi
dalam pembahasan ini, juga bersikap adaptif-selektif terhadap kaidah-kaidah
manajemen pendidikan yang terdapat di berbagai literatur dan dipengaruhi oleh
pemikiran dan pengalaman orang-orang Barat. Sikap adaptif ini didasarkan
pada pemikiran bahwa secara umum kaidah-kaidah manajemen pendidikan itu
bersifat general atau universal yang juga dapat diterapkan dalam me-manage
lembaga pendidikan Islam. Hanya saja, mungkin ada kaidah-kaidah tertentu yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang didasarkan wahyu tersebut ataupun
realitas yang dihadapi lembaga pendidikan Islam lantaran faktor budaya tertentu
yang unik dan khas sehingga dibutuhkan sikap selektif dengan mengkritisi
kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum itu, kemudian diganti atau
disempurnakan.
Kalau sebenarnya kita berstudi tour ke dunia
tazkiyah atau tasawuf, maka di sana terdapat hal yang mirip dengan fungsi
manajemen. Jadi kalau mau menerapkan ilmu tasawuf atau tazkiyah maka secara
tidak langsung kita telah menerapkan manajemen. Penjabarannya adalah sebagai
berikut: pertama, orang yang masuk ke dunia tazkiyah tersebut dimulai dengan
niat. Niat juga merupakan awal dari tindakan manusia atau orang tersebut. Maka
niat itu sama halnya dengan planning. Niat di sini bukan hanya lintasan yang
ada dalam hati, akan tetapi niat adalah sudah mempunyai gambaran walaupun itu
hal yang mustahil dan akan sungguh-sungguh untuk melaksanakannya. Kedua, adalah mujahadah, dalam tahapan ini seseorang
berusaha sungguh-sungguh untuk mewujudkan niat serta istiqamah atau konsisten
dalam niat tersebut dan berusaha mewujudkannya sekuat tenaga. Maka hal
ini sama dengan organizing dan actuating. Ketiga, adalah muhasabah yaitu
melakukan kontrol atau evaluasi diri terhadap sesuatu yang telah dilakukan atau
keberhasilan niat. Maka hal ini identik dengan controlling. Maka sebenarnya
umat Islam itu telah melakukan kegiatan manajemen dalam diri mereka sendiri,
namun mereka tidak menyadarinya.
Dari penjelasan diatas
terdapat beberapa karakter dan ciri manajemen pendidikan Islam yaitu :
a. Manajemen berdasarkan
akhlak yang luhur (akhlakul Karimah), karena akhlak yang luhur dan mulia adalah
tujuan pendidikan Islam dalam menghasilkan produk-produk pendidikannya.
b. Manajemen terbuka. Artinya pengolaan yang
sehat, dan terbuka (open minded) atau tranparansi. Karena Jabatan sebagai
pimpinan atau manajer adalah amanah yang harus dipelihara dengan baik dan penuh
keadilan
c. Manajemen yang demokratis. Konsekuensi dari
sikap terbuka dalam manajemen. Maka pengambilan keputusan atas musyawarah untuk
kebaikan organisasi. Dengan demikian tinggi keterlibatan anggota dalam
pengambilan keputusan.
d. Manajemen berdasarkan ilmiah. Dengan
mengamalkan prinsip pengetahuan tidak dikerjakan secara membabi buta. Artinya
pimpinan dan manajer haruslah orang yang berilmu pengetahuan karena dia yang
akan merencanakan, mengarahkan, menambil keputusan dan mengawasi pekerjaan
tentu memerlukan ilmu penegtahuan yang luas tentang organisasi, manajemen dan
bidang pekerjaannya.
e. Manajemen berdasarkan tolong menolong
(ta’awun). Prinsip tolong menolong atau kerjasama adalah mengamalkan
sunnatullah dalam menjalankan hidupnya sebagai mahkluk sosial yang diciptakan
Allah, dan hal ini sejalan dengan fitrah penciptaan manusia
f. Manajemen berdasarkan perdamaian.
1. Pengertian, Tugas dan
Peran Manajemen Puncak, Menegah dan Bawah
Manajemen,
sebagaimana diketahui sebagai proses mengintegrasikan sumber-sumber yang tidak
berhubungan menjadi sistem total untuk menyelesaikan suatu tujuan (Johnson,
1973). Sumber yang dimaksud disini adalah mencakup orang-orang, alat-alat,
sarana, media, bahan-bahan, uang dan lain-lain. Semuanya diarahkan dan
dikoordinasikan agar terpusat untuk mencapai suatu tujuan. Di dalam manajemen terdapat beberapa tingkatan yaitu :
A. Manajemen Puncak
Manajemen
tingkat puncak merupakan tingkatan tertinggi dalam manajemen. Manajer bertanggung jawab
atas pengaruh yang ditimbulkan
dari keputusan-keputusan manajemen keseluruhan dari organisasi. Misal:
Direktur, wakil direktur, direktur utama. Keahlian yang dimiliki para manajer
tingkat puncak adalah konseptual, artinya keahlian untuk membuat dan merumuskan
konsep untuk dilaksanakan oleh tingkatan manajer dibawahnya. Kemampuan membuat
keputusan adalah yang paling utama bagi seorang manajer, terutama bagi kelompok
manajer puncak (top
manager). Griffin mengajukan tiga langkah dalam pembuatan keputusan. Pertama,
seorang manajer harus mendefinisikan masalah dan mencari berbagai alternatif
yang dapat diambil untuk menyelesaikannya. Kedua, manajer harus mengevaluasi
setiap alternatif yang ada dan memilih sebuah alternatif yang dianggap paling
baik. Dan terakhir, manajer harus mengimplementasikan alternatif yang telah ia
pilih serta mengawasi dan mengevaluasinya agar tetap berada di jalur yang
benar.
B. Manajemen Menengah
Manajemen menengah harus memiliki keahlian
interpersonal/manusiawi, artinya keahlian untuk berkomunikasi, bekerjasama dan
memotivasi orang lain. Manajer bertanggung jawab melaksanakan rencana dan
memastikan tercapainya suatu tujuan. Misal: manajer wilayah, kepala divisi,
kepala cabang, direktur produk.
C. Manajemen Bawah/terdepan
Manager bertanggung jawab menyelesaikan
rencana-rencana yang telah ditetapkan oleh para manajer yang lebih tinggi. Pada
tingkatan ini juga memiliki keahlian yaitu keahlian teknis, atrinya keahlian
yahng mencakup prosedur, teknik, pengetahuan dan keahlian dalam bidang khusus.
Misal: supervisor/pengawas produksi, mandor.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan Islam dewasa ini menjadi perhatian publik, di dorong oleh
bergesernya orientasi pendidikan yang dipengaruhi oleh percepatan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu mengemas pendidikan Islam harus
sesuai dengan kebutuhan jaman yang selalu berkembang tanpa meninggalkan
nilai-nilai orisinalitas Islam. Salah satu upaya merekonstruksi bangunan pendidikan
Islam adalah dengan menciptakan manajemen pendidikan Islam yang selaras dengan
tuntutan diatas. Sebuah paradimga baru manajemen pendidikan Islam yang asalnya
masih konvensional menuju manajemen pendidikan Islam yang modern yaitu
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS merupakan manajemen yang memberikan
wewenang dan pola otonomi dalam kelembagaan pendidikan. Dengan MBS ini
diharapkan pendidikan Islam dapat bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan
yang lain, agar tidak tertinggal dalam manajemennya.
Karakter manajemen pendidikan Islam diantaranya :
a. Manajemen berdasarkan
akhlak yang luhur (akhlakul Karimah).
b. Manajemen terbuka.
c. Manajemen berdasarkan tolong menolong
(ta’awun).
d. Manajemen berdasarkan ilmiah.
e. Manajemen yang demokratis.
f. Manajemen berdasarkan perdamaian.
Dalam manajemen, terdapat beberapa tingkatan
yang akan menentukan peran dan wewenang dalam tingkatan yang disebut manajer
yaitu :
1. Manajemen Puncak
2. Manajemen Menengah, dan
3. Manajemen Bawah.
Daftar Pustaka
Pidarta, Made. Manajemen Pendidikan
Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta . 2011
ejurnal.uin-alauddin.ac.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Paradigma. Diakses pada 21 maret 2013 jam 13.46
file.upi.edu.com di akses pada 21 maret 2013 jam 19.36
www.m-edukasi.web.id
http://mamansuryamansalim.blogspot.com/2009/08/paradigma-manajemen-pendidikan-
Islam.html
http://www.ririsatria.net/category/manajemen-organisasi,
tanggal 24 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar