BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits ialah
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya. Namun pada kasus ini, tidak
semua hadits yang disandarkan kepada Nabi adalah benar. Kadang adanya sebuah
penambahan pada matan, kecacatan pada rawi, terputusnya sanad dan berbagai
bentuk ketidakbenaran lainnya. Dari kasus
seperti ini, maka diadakanlah kodifikasi hadits atau pembukuan hadits
secara rinci yang membagi tingkatan-tingkatan hadits dari keshahihannya sampai
kedhaifannya.
Pada makalah ini
akan dibahas tentang hadits dhaif. Di mana hadits dhaif ini adalah salah satu
tingkatan hadits yang menjadi sasaran
penting untuk dipelajari dalam disiplin ilmu hadits.
B. Rumusan Masalah
1.
Apap Itu hadist dhoi’if
dan hadist maudhu’
2.
Apa saja yang
terkandung dalam hadis dho’if dan hadist maudhu’?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
Dha’if
Hadits dha’if adalah hadits yang
kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits
hasan.
الحديث الضعيف هو ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح و لا صفات الحسن
Artinya:
“hadits dha’if ialah hadits yang tidah memenuhi kriteria hadits shahih dan
hadits hasan.[1]
Dha’if itu artinya
lemah. Hadits dha’if artinya hadits yang lemah, maksudnya hadits tersebut tidak
kuat dijadikan landasan dan sandaran dalam menetapkan masalah hukum halal dan
haram. Hadits dinilai dha’if bukanlah karena Nabi SAW. akan tetapi disebabkan
oleh para periwayat dalam sanadnya yang terlibat dalam proses
periwayatannya.
Ke-dha’if-an hadits
disebabkan pada beberapa hal, yaitu:
1.
sanadnya
terputus
2.
kualitas
moral (ke-‘adil-an) periwayatnya yang cacat
3.
kualitas
intelektual (ke-dhabith-an) periwayatnya yang rusak
4.
susunan
redaksinya yang bermasalah
5.
kandungan
maknanya rancu
B. Klasifikasi
Hadits Dha’if
Pada dasarnya hadits dha’if
termasuk bagian dari hadits mardud (tertolak). Namun, tidak semua hadits dha’if
tertolak. Ada hadits dha’if yang dapat
diterima dan diamalkan dengan kriteria tertentu.
Dengan demikian ada hadits dha’if yang diterima dan ada juga yang ditolak.
Hadits dha’if dilihat dari segi kahujjahannya dapat diklasifikasikan menjadi
dua macam[2],
yaitu:
1. Hadits
dha’if ringan. Maksudnya hadits yang kedh’ifannya dapat berubah kualitasnya
karena mendapat dukungan yang menguatkan dari hadits-hadits shahih lainnya yang
kandungan maknanya sama, sehingga berubah menjadi hadits hasan li ghairihi.
Hadits dha’if yang dapat berubah kualitasnya menjadi hadits hasan li ghairihi
karena didukung dan dikuatkan oleh hadits shahih lain sebagai mutabi’ atau
syahid adalah hadits dha’if ringan yang kedha’ifannya disebabkan oleh;
a.
Sanadnya
terputus, seperti hadits mu’allaq, munqathi’, mu’dhal, dan mursal
b.
Ke-dhabith-an
periwayatnya buruk, misalnya banyak bimbang dan ragu-ragu, atau hafalan buruk
c.
Tidak
jelas ke-‘adil-an periwayatnya, misalnya mubham, majhul al-‘ain, dan
al-mastur.
Contohnya:
اغتنم خمسا قبل خمس : شبابك قبل
هرمك و صحتك قبل سقمك و غناك قبل فقرك و فراغك قبل شغلك و حياتك قبل موتك
“perhatikanlah
lima sebelum datang yang lima; mudamu sebelum tua, masa sehatmu sebelum sakit,
masa kayamu sebelum miskin, masa luangmu sebelum sbuk, dan masa hidupmu sebelum
meninggal”.
1.
Hadits
ini diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad, bersumber dari ‘Amr bin Maimun
adalah dha’if, yaitu mursal. Hanya saja dha’ifnya ringan karena sanadnya
tidak bersambung.
2.
Hadits
tersebut selain bersumber dari ‘Amr bin Maimun juga bersumber dari Ibnu Abbas.
Hakim dan Nasai meriwayatkan melalui jalur Ibnu Abbas. Melalui sanad ini,
kualitasnya shahih.
3.
Oleh
karena itu hadits dha’if ringan yang diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi dan Ahmad
tersebut berubah kualitasnya menjadi hadits hasan.
2. Hadits
dha’if berat. Maksudnya adalah hadits dha’if yang kedha’ifannya bersifat paten,
tidak berubah kualitasnya walau sebanyak apa pun hadits shahih lainnya yang
semakna dan mendukungnya. Hadits dha’if yang paling parah atau kelas berat
adalah hadits maudhu’ atau hadits palsu. Hadits dha’if berat tidak dapat
berubah kualitasnya disebabkan kualitas moral periwayatnya cacat, seperti
dusta, tertuduh dusta, fasik, atau hapalannya rusak atau kacau (ikhtilath).
Hadits dha’if yang diriwayatkan oleh periwayat seperti ini disebut hadits yang
sangat dha’if, seperti hadits maudhu’, hadits munkar dan hadits matruk.
Contoh:
اطلبوا العلم ولو بالصين
“tuntutlah
ilmu walau sampai ke negeri Cina”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh bberapa riwayat, di antaranya Ibn ‘Adiy (356 H) dalam
bukunya Al-Kamil fi Dhu’afa’ Ar-Rijal, Abu Nu’aim (450 H) dalam bukunya Akhbar
Al-Ashbihan, Al-Katib Al-Baghdadiy (463 H) dalam bukunya Tarikh Baghdad
dan Ar-Rihlah fi Thalab Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlihi[3]dan
lainnya.
1. Dilihat
dari sisi sumber sanadnya, hadits ini melalui al-Hasan ibn ‘Atiyah dari Abu
‘Atikah Tarif ibn Sulaiman dari Anas ibn Malik. Kualitas hadits ini dinilai
oleh para ulama hadits sebagai hadits dha’if. Kedha’ifan hadits ini disebabkan
salah seorang periwayatnya dalam sanadnya bernama Abu ‘Atikah Tarif ibn
Sulaiman. Abu ‘Atikah dinilai oleh kritikus hadits seperti al-‘Uqaili sebagai matruk
(tertolak).
Bukhari
menilai bahwa haditsnya munkar. An-Nasai menilai haditsnya tidak kuat.
Abu Hatim menilai, haditsnya dzahib (dibuang). Kata as-Sulaimani, Abu
‘Atikan dikenal pernah memalsukan hadits. Ahmad ibn Hambal (243 H) tidak
mengakui hadits tersebut. Ibn Hibban (354 H/965 M) menilai hadits ini bathil,
tidak ada dasar dan sumbernya. Bahkan Ibn Al-Jauzi dalam bukunya koleksi
hadits-hadits palsu al-maudhu’at, menilai bahwa hadits tersebut adalah
palsu[4]
C. Pengertian
Hadits Maudhu’
Ditinjau dari sisi bahasa,
hadits maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari kata وضع –
يضغ. Kata وضع memiliki
beberapa makna, yaitu menggugurkan, meninggalkan dan mengada-ada dan
membuat-buat.
Menurut
para muhadditsin, hadits maudhu’ adalah
هو
ما نسب الى رسول الله صلى الله عليه و سلم اختلاقا و كذبا مما لم يقله او يفعله او
يقره.
“sesuatu
yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Secara mengada-ada dan dusta, yang
tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan”.
Dari pengertian tersebut dapak
kita simpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW., baik perbuatan, perkataan maupun taqrir, secara
rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat Islam, hadits maudhu’
disebut juga dengan hadits palsu.
D. Kedudukan
Hadits
Dhaif
Para muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua
jurusan. Yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan. Dari jurusan sanad
diperinci menajadi dua bagian:
1.
terwujudnya cacat-cacat
pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun kehafalannya, seperti : dusta,
tertuduh dusta, fasik, banyak salah, lengah dalam menghafal, banyak waham, menyalahi
orang kepercayaan, tidak diketahui identitasnya, penganut bid’ah dan tidak baik
hafalannya.
2.
tidak bersambungnya
sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling
tidak bertemunya satu dengan yang lainnya.
Sebab-sebab tertolaknya hadis
karena sanad digugurkan (tidak bersambung)
1. Kalau yang digugurkan itu sanad pertama
2. Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (sahabat)
3. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut.[5]
Dari jurusan matan, hadis dhaif yang disebabkan suatu
sifat yang terdapat pada matan ialah:
a.
Hadis maufuq ilah hadis
yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun
ketetapan baik sanadnya bersambung atau tidak, dengan syarat sunyi dari
tanda-tanda marfu’. Kalau tidak sunyi maka hukumnya marfu’. Seperti riwayat Bukhari
:” adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas keduanya berbuka puasa dan meringkas shalat
pada perjalanan empat burad (12 mil)
b.
Hadis maqthu ialah
hadis yang disandarkan kepada tabiin dan orang-orang yang datang sesudahnya,
baik berupa perkataan, perbuatan maupu ketetapan, baik sanadnya bersambung atau
tidak, tetapi dengan syarat sunyi dari tanda-tanda marfu’ dan mauquf. Contohnya : perkataan
tabiin”berbuat demikian”.[6]
Contoh hadis dhaif
من قا م ليلتي العيد ين
محتسبا الله لم يمت قلبه يو م تمو ت
Arinya: Barang siapa
menyamarakkan malam dua hari raya hanya semata-mata mengharap ridha
Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari ketika manusia mati.
Hadis ini sangat dhaif. Telah
dikeluarkan oleh Ibnu Majah dengan sanad dari buqayah
bin al-walid, dari Tsur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Umamlah r.a,
sanad riwayat ini dhaif dikarenakan Buqayah dikenal sebagai orang yang suka
mencampur adukkan perawi, dengan demikian yang dinyatakan al-Hafizh al-Iraqi dalam Tahrij al-Ihya-nya.[7]
3.
Hukum Periwayatan Hadis Dhaif
Ulama hadis mengingatkan agar orang yang meriwayatkan hadis dhaif tanpa sanad tidak meriwayatkan dengan redaksi
yang menunjukkan kemantapan penuh bahwa ia merupakan hadis. Sehingga ia tidak
diperkenankan mengatakan: Rasulullah SAW. Menyabdakan begini-begini”dan
sejenisnya. Bahkan Ia harus meriwayatkan dengan redaksi yang menujukkan
keraguan akan keshahihannya misalnya; ruwiya (diriwayatkan) ja’a (datang),
nuqila (di pindahkan), fima yurwa. (pada sesuatu yang diriwayatkan) dan
sejenisnya. Adapun meriwayatkan hadis-hadis dhaif lengkap dengan sanadnya tidak
di makruhkan menggunakan redaksi yng menunjukkan kemantapan, bila diriwayatkan
kepada ahli ilmu. Bila diriwayatkan kepada orang awam, maka
menggunakan redaksi yang tidak menunjukkan kemantapan penuh, sama seperti
ketika meriwayatkan tanpa sanad.[8]
Para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat:
a. Tidak berkaitan dengan
akidah seperti sifat-sifat Allah
b. Tidak menjelaskan hukum
syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, Tetapi berkaitan dengan masalahh mau’izhah,
targhib watarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kisah dan
lain-lain.
Berbeda dengan meriwayatkan hadits shahih, harus menggunakan kata aktif yang meyakinkan Rasulullah SAW bersabda…….. makruh meriwayatkan dengan menggunakan bentuk kata pasif
seperti hadis dhaif. Kecuali jika hadis dhaif diriwayatkan dengan menyebutkan sanad, sebaiknya dengan
menggunakan bentuk kata aktif dan meyakinkan ketika dikonsumsi oleh kalangan ahli ilmu dan
untuk kalangan orang umum boleh dengan menggunakan bentuk pasif tidak
sebagaimana tanpa sanad.[9]
4.
Hukum pengamalan hadis dhaif
Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadis dhaif. Perbedaan itu dapat
dibagi menjadi tiga pendapat yaitu:
a. Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak baik mengenai fadhilah amal maupun dalam hukum. Ini diceritakan oleh Ibnu Sayyid an-nas dari Yahya bin Ma’in dan pendapat inilah yang dipilih Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazam
b. Hadis dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhilah al-amal atau dalam masalah hukum (ahkam). Pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa
hadis dhaif lebih kuat dari pada pendapat ulama.
c. Hadis dhaif dapat
diamalkan dalam fadhail al-amal, mau’izah, targhib (janiji-janji yang
menggemparkan) dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa
persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yaitu
sebagai berikut:
1.
Tidak terlalu dhaif,
seperti diantara perawinya pendusta (hadis mawdhu’) atu dituduh dusta (hadis
matruk), orang yang daya ingat hapalannya sangat kurang dan berlaku fasik dan
bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadis munkar)
2.
Masuk kedalam kategori
hadis yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadis muhkan (hadis maqbul yang tidak
terjadi pertentangan dengan hadis lain), nasikh (hadis yang membatalkan hukum
pada hdis sebelumnya) dan rajah (hadis yang lebih unggul dibandingkan
oposisinya)
3.
Tidak diyakinkan secara
unggul yakin kebenaran hadis dari nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau
ikhtiyath.[10]
Hadis-hadis dha’if banyak terdapat pada sebagian karya berikut ini:
a.
Ketiga mu;jani at-thabari-
al-kabir, al-awsat, as-shaghir
b.
Kitab al-afrad, karya
ad-daruquthni. Didalam hadis-hadis afrad terdapat
hadis-hadis al-fardu al-muthlaq dan al-frdu an-nisb
c.
Kumpulan karya
al-khathib al-baghdadi
d.
Kitab hilyatul auliya
‘wa-thbaqtul ashfiya’kary abu nu’aim al-ashbahani.[11]
E. Kedudukan
Hadits
Maudhu’
Jumhur ahli hadis juga
berpendapat, bahwa berdusta termasuk dosa besar. Semua ahli hadis menolak
khabar pendusta. Bahkan Syeikh Abu Muhammad al-juwainiy mengkafirkan pemalsu
hadis. Semua hadis maudhu bathil lagi tertolak dan tidak bisa dijadikan
pegangan, karena merupakan kedustan atas diri rasul SAW.
Disamping sepakat mengenai
keharaman membuat hadis palsu, ulama juga sepakat
mengenai keharaman meriwayatknnya, tanpa
menjelaskan kemaudhuannya dan kedustaannya. Mereka tidak
memperbolehkan meriwayatkan sedikit pun hadis
palsu, baik berkenaan dengan kisah, tarhib, targthib, hukum-hukum ataupun
tidak, berdasarkan sabda Rasulullah SAW
من احذث عني بحد ير انه كذب فهواحدالكاذبين
Artinya:” Barang siapa yang meriwayatkan dariku sebuah hadis dan terlihat bahwa hadis itu dusta, maka Ia juga
termasuk satu diantara para pendusta”.
1. Tanda-tanda hadis maudhu
Hadis maudhu dapat diketahui melalui tanda-tandanya
baik yang ada pada sanad maupun pada
matan. Tanda-tanda maudhu pada sanad, diantaranya sebagai berikut:
a. Pengkuan dari ornag yang membuat sendiri
Sebagaimana pengakuan abdul Karim bin Abu Al-Auja ketika akan dihukum mati ia mengatakan: “ demi Allah
aku palsukan padamu 4000 buah hadis. Di dalamnya aku haramkan yang halal dan
aku halalkan yang haram”. Kemudian dihukum pancung lehernya atas instruksi
Muhammad bin Sulaiman bin Ali gubernur Basrah (160-173 H). Maysarah bin Abdi Rabbih al-Farisi mengaku banyak membuat
hadis maudhu lebih dari 70 hadis. Demikian Abu Ishmah bin Maryam yang bergelar Nuh Al-Jami mengaku banyak membuat
hadis maudhu yang disandarkan kepada abbas tentang keutamaan al-quran.
b. Adanya bukti (qarinah) mengenai pengakuan
Seperti seorang yang meriwayatkan hadis dengan
ungkapan yang mantap serta meyakinkan (jazam) dari seorang syeikh padahal dalam
sejarah ia tidak pernah bertemu atau dari seorang syeikh di suatu negeri yang
ia tidak pernah ke sana atau seorang syeikh yang telah wafat sementara ia masih
kecil atau belum lahir.
Ma’mun bin ahmad al-kharawi
mengaku mendengar hadis dari Hisyam bin Hammar. Al-hafizh bin Hibban bertanya:’ kapan anda
datang ke syam?”, Ma’mun menjwab: “ pada tahun 250 H. “ Ibnu Hibban menjelaskan
bahwa Hisyam bin Amar meninggal pada tahun 245 H. sambut Ma’mun :” Hisyam bin Amar yang lain.
Hal ini menunjukkan adanya pengakuan bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Amar.
c. Adanya bukti pada
perawi
Adanya indikasi pada perawi yang menujukkan akan
kepalsuannya, misalnya seorang perawi yang rafidhah dan hadisnya berisikan
tentang keutamaan ahlul baith.
d. Kedustaan perawi
Seorang perawi yang dikenal
dusta meriwayatkan suatu hadis sendirian dan tidak ada seorang tsiqah yang
meriwayatkannya.[12]
2. Tanda-tanda maudhu pada matan
a.
Lemah susunan lafal dn
maknanya
Dari segi maknanya, maka hadis itu bertentangan dengan al-quran, hadis, dengan
ijma dan logika yang sehat.[13][16] Secara logis tidak di
benarkan bahwa ungkapan itu datang dari Rasul. Banyak hadis-hadis
panjang yang lemah susunan bahasa dan maknanya. Seorang yang memiliki ketajaman
dalam memahami hadis dari Nabi atau bukan hadis maudhu
ini bukan bahasa Nabi yang mengandung sastra (fashahah), karena sangat rusak susunanya, Ar-Rabi’ bin Khats yang berkata:
sesungguhnya hadis itu bercahaya seperti cahaya kami mengenalnya dan memilki
kegelapan bagaikan gelap malam kami menolaknya.
Hadis palsu jika
diriwayatkan secara eksplisit bahwa ini
lafal dari Nabi dapat terdeteksi oleh pakar yang dalam bidangnya sehingga
tercium bahwa ini hadis yang sesungguhnya dan hadis palsu. Jika tidak
dinyatakan secara eksplisit, menurut Hajar al-Asqalani, hadis itu dikembalikan
kepada maknanya yang rusak, karena bisa jadi ia beralasan Riwayah Abi
Al-Ma’na atau tidak bisa menyusunnya secara baik
b.
Rusak maknanya
Maksud rusak maknanya karena bertentangan dengan rasio yang sehat,
menyalahi kaidah kesehatan, mendorong pelampiasan biologis seks dan lain-lain
dan tidak bisa ditakwilkan.
Contoh:
النظرال الوجه الحسن يجاوالبصر والنظرال الوجه القبيح
يورث الكا ح
Artinya:” Memandang wajah
yang cantik dapat menerangkan mata, memandang wajah yang jelek dapat
menyebabkan sedih”.[14]
c.
Bertentangan teks Al-Qur’an
atau hadis mutawatir
Contoh yang bertentangan dengan Al-Quran adalah tentang jangka usia dunia,
yaitu tujuh ribu tahun. Ini jelas tidak shahih, tentu semau orang akan mengerti
kapan kiamat tiba. Padahal Allah Azza Wa Jalla
berfirman:
y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ïptã$¡¡9$# tb$r& $yg8yóßD ( ö@è% $yJ¯RÎ) $ygãKù=Ïæ y0ZÏã În1u ( w $pkÏk=pgä !$pkÉJø%uqÏ9 wÎ) uqèd 4
ôMn=à)rO Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö F{$#ur 4 w ö/ä39Ï?ù's? wÎ) ZptGøót/ 3 y7tRqè=t«ó¡o y7¯Rr(x. ; Å"ym $pk÷]tã ( ö@è%
$yJ¯RÎ) $ygßJù=Ïæ y0ZÏã «!$# £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÊÑÐÈ
Artinya:”Mereka menanyakan
kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah:
"Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku;
tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat
itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat
itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka
bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah:
"Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah,
tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".(QS. Al-Araf:187)[15]
Contoh hadis maudhu yang
bertentangan dengan hadis mutawatir:
وان كل من يسمي بهذه
السماء (محمدواحمد)لآيدخل انار
Artinya:” Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama
(Muhammd Ahmad dan semisalnya) ini, tidak akan dimaksukkan ke neraka.”
Contoh hadis palsu yang bertentangan dengan hadis shahih adalah hadis-hadis tentang pujian terhadap
prang yang namanya Muhammad atau Ahmad dan bahwa orang-orang
yang namanya seperti itu tidak akan masuk neraka. Jadi hadis tersebut jelas
bertentangan dengan ajaran agama, bahwa neraka tidak akan terpengaruh oleh
nama-nama tertentu. untuk selamat darinya hanya bisa dilakukam dengan beriman
dan beramal shaleh.[16]
Setiap hadis yang meriwayatkan Ali
adalah shahih yang menyatakan wasiat khalifah ada pada Ali r.a. tidaklah
shahih. Karena ia bertentangan dengan ijma’ ulama, bahwa nabi SAW tidak menegaskan
siapa yang akan mengganti beliau.
d.
Menyalahi realita
sejarah
Misalnya hadis yang
menjelaskan bahwa Nabi memungut jizyah (pajak) para penuduk khaibar dengan di
saksikan oleh Sa’ad bin Mu’ads padahal Sa’ad telah meninggal pada masa perang
khandaq sebelum kejadian tersebut.
e.
Hadis sesuai dengan mazhab
perawi
misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Habbah bin Juwaihi, ia berkata: saya mendengar Ali berkata
عبدت الله مع ر سوله قبل
ان يعبده ااحدمن هذه الا مة خمس سنين اوسبع سنين
artinya:” Aku menyembah
Tuhan bersama Rasul-Nya sebelum menyembah-Nya
seorang pun dari umat ini lima atau tujuh tahun.”
Hadis ini
mengkultuskan Ali sesuai dengan prinsip madzhab syiah, tetapi mengkultuskan itu
juga tidak masuk akal, bagaimana Ali beribadah bersama rasul lima atau tujuh
tahun sebelum umat ini.
f.
Mengandung pahala yang
berlebih bagi amal yng kecil.
Biasanya motif pemalsuan hadis ini disampaikan para tukang kisah yang ingin
menarik perhatian para pendengarnya atau
agar menarik pendengar agar melakukan amal saleh. Tetapi memang tinggi dalam membesarkan suatu amal kecil dengan pahala yang berlebihan. Misalnya:
من صل الضفي كذاوكذاركعة
اعطي ثواب سبعين نبيا
g.
Sahabat dituduh
menyembunyikan hadist
Sahabat dituduh
menyembunyikan hadis dan tidak menayampaikan atau tidak meriwayatkan kepada
orang lain, padahal hadis itu secara transparan harus disampaikan Nabi SAW,
misalnya, nabi memegang tangan Ali bin Abi Thalib di hadapan para sahabat
semua, kemudian bersabda: ini wasiatku dan saudaraku dan khalifah setelah aku. Seandainya ini benar wasiat
dari Nabi SAW tentu banyak diantara para sahabat yang meriwayatkannya, karena
masalahnya adalah untuk kepentingan umum yakni kepemimpinan. Tidak mungkin para
sahabat diam tidak meriwayatkan jika hal itu terjadi benar pada diri Rasulullah.
4.
Usaha para ulama dalam
mengatasi hadis palsu
Ada beberapa usaha yang
dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadis maudhu, dengan tujuan agar hadis
tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang-orang kotor.
Disamping itu agar lebih jelas posisi hadis maudhu tidak tercampur dengan hadis-hadis shahih. Diantara usaha-usaha itu adalah:
a.
Memelihara sanad hadis
Dalam rangka memelihara sunnah
siapa saja yang mengaku mendapat sunnah harus disertai sanad. jika tidak
disertai dengan sanad,maka suatu hadits tidak dapat di terima. Abdullah bin
Al-Mubarok berkata : yang mencari agamanya tanpa sanad bagaikan orang yang naik
loteng tanpa tangga.keharusan sanad dalam menerima hadis bukan pada orang-orang
khusus saja, bagi masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya
dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak
masa tabi’in, hingga merupakan suatu
kewajiban bagi ahli hadis menerangkan sanad hadis yang ia riwayat kan.
b.
Meningkatkan kesungguhan
penelitian
Sejak masa sahabat dan
tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan hadis yang mereka
dengar dan yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadis yang mereka terima itu
meragukan atau datang bukan dari sahabat
yang langsung terlibat dalam permasalahan hadis, segera mereka melakukan rihlah
(perjalanan) sekalipun dalam jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para
sahabat senior atau yang terlibat dalam kejadian hadis.
Hasilnya mereka bukukan dalam
berbagai buku hadis seperti buku hadis induk enam atau tujuh. Imam syafie
menulis ar-risalah dan al-umm yang memuat ulumul hadis, at-tirmidzi dalam
akhir kitab jami-nya.[18]
c.
Mengisolir para pendusta hadis
Para ulama berhati-hati dalam
menerima dan meriwayatkan hadis. Orang-orang yang dikenal sebagai pendusta
hadis dijauhi dan masyarakat pun di jauhkan dari padanya. Semua ahli hadis juga
menyampaikan hadis-hadis maudhu dan pembuatnya itu kepada murid-muridnya, agar
mereka menjauhi dan tidak meriwayatkan hadis dari padanya. Diantara para ulama
yang dkenal menentang para maudhu adalah Amir Asy-Sya’bi,Syu’bah bin Al-Hajj,
Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Mubarak dll
d.
Menerangkan keadaan
para perawi
Para ahli hadis berusaha menelusuri sejarah kehidupan
baik mulai dari lahir hingga wafat atau pun dari segi-segi sifat-sifat para
perawi hadis, dari yang jujur, adil, dan andalnya ingatannya dan sebaliknya. Sehingga dapat dibedakan mana hadis shahih dan mana hadis yang palsu. Hasilnya mereka himpun
dalam buku Rijal Al-Hadis dan Al-Jarrh wa At-Ta’dil sehingga oleh generasi
berikutnya.
e.
Memberikan kaidah-kaidah hadis
Para ulama meletakkan
dasar-dasar secara metodelogis tentang penelitian hadis untuk menganalisa
otensitasnya sehingga dapat diketahui mana shahih, hasan, dhaif dan maudhu.
Kaidah-kidah itu dijadikan standar penilaian suatu hadis menurut criteria
sebagai hadis yang diterima atau ditolak.[19]
5.
Para pendusta dan kitab-kitab
hadis maudhu
Diantara pendusta hadis yang diketahui setelah melakukan penelitian yang
dilakukan para ulama adalah sebagai berikut:
a.
Aban bin Jafar Al-Numaiqi,
membuat 300 hadis yang disandarkan kepada abu hanifah
b.
Ibrhim bin Zaid Al-Aslami,
membuat hadis disandarkan dari malik
c.
Ahmad bin Abdullah Al-Juwaini,
yang membuat beribu-ribu hadis kepentingan al-karramiyah
d.
Jabir bin Zaid Al-Juafi,
membuat 30.000 hadis
e.
Nuh bin Abu Maryam
membuat hadis maudhu tentang fadhail surah-surah dalam Al-Quran
f.
Muhammad bin Syuja
Al-Wasithi, Al-Harits bin Said Al-Mashlub, Al-Waqidi Muqatil bin sulaiman,
Muhammad bin Saad Al-Mashlub, Al-Waqidi dan Ibnu Abu Yahya.
Diantara kitab-kitab
yang memuat hadis maudhu adalah sebagai berikut:
a. Tadzkirah al-maudhuat,
karya Abu al-Fadhal Muhammad bin Thahir al-Maqdisi (448-507 H) didalam kitab
ini disebutkan nama perawi yang dinilai cacat (tarjih)
b. Al-Maudhu’at al-Kubra,
karya Abu al-Faraj Abdurrahman al-Jauzi (508-597)
c. Al-La’ali al-Mashnu’ah
fi al-Maudhu’ah, karya Jalaluddin as-Suyuti (849-911 H)
d. Al-ba’its ‘ala
al-Khalash Min Hawadits al-Qashash, karya Zainuddin Abdurahman al-Iaraqi(725-806
H)
e. Al-fawa’id al-Majmu’ah
fi al-Ahadits al-Mawdhu’ah, karya al-Qadhi Abu Abdullah Muhammad Asy-Syaukani
(1173-1255 H)
F. Cara Tukang Pembuat
Hadist Maudhu’
Penyebaran hadist maudhu’ pada masa
pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan mulai menaburkan benih-benih fitnah,
tetapi pada masa ini belum begitu meluas karena masih banyak sahabat ulama yang
masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan kepalsuan suatu hadist. Para
sahabat ini mengetahui bahaya dari hadist maudhu’
karena ada ancaman yang keras dikeluarkan olen Nabi SAW terhadap orang yang
memalsukan hadist,[20].
Faktor-faktor
Penyebab Munculnya Hadist Maudhu’:
1.
Pertentangan Politik dalam Soal Pemilihan Khalifah
Pertentangan di
antara umat islam timbul setelah terjadinya pembunuhan terhadap khalifah Utsman
bin Affan oleh para pemberontak dan kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi
Thalib.
Umat islam pada
masa itu terpecah-belah menjadi beberapa golongan, seperti golongan yang ingin
menuntut bela terhadap kematian khalifah Utsman dan golongan yang mendukung
kekhalifahan Sayyidina Ali (Syi’ah). Setelah perang Siffin, muncul pula
beberapa golongan lainnya, seperti Khawarij dan golongan pendukung Muawiyyah.
Di antara
golongan-golongan tersebut, untuk mendukung golongannya masing-masing, mereka
membuat hadist palsu. Yang pertama dan yang paling banyak membuat hadist maudhu’ adalah dari golongan Syi’ah dan
Rafidhah.[21][4]
2.
Asanya Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam
Golongan ini
adalah terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani yang
senantiasa menyimpan dendam terhadap agama islam. Mereka tidak mampu untuk
melawan kekuatan islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini.
Mereka menciptakan sejumlah besar hadist maudhu’
dengan tujuan merusak ajaran islam.
Faktor ini
merupakan factor awal munculnya hadist maudhu’. Hal ini berdasarkan peristiwa
Abdullah bin Saba’ yang mencoba memecah-belah umat Islam dengan mengaku kecintaannya
kepada Ahli Bait. Sejarah mencatatbahwa ia adalah seorang Yahudi yang
berpura-pura memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, ia berani menciptakan hadist maudhu’ pada saat masih banyak sahabat
ulama masih hidup.
Tokoh-tokoh
terkenal yang membuat hadist maudhu’
dari kalangan orang zindiq ini, adalah:
a.
Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah
membuat sekitar 4000 hadist maudhu’
tentang hukum halal-haram. Akhirnya, ia dihukum mati olen Muhammad bin
Sulaiman, Walikota Bashrah.
b.
Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang akhirnya
dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Mashur.
c.
Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang
akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah.[22]
3. Membangkitkan Gairah Beribadah untuk
Mendekatkan Diri Kepada Allah
Mereka membuat
hadist-hadist palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah, melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan, atau
dorongan-dorongan untuk meningkatkan amal, melalui hadist tarhib wa targhib (anjuran-anjuran untuk meninggalkan yang tidak
baik dan untuk mengerjakan yang dipandangnya baik) dengan cara berlebihan.[23]
4. Menjilat Para Penguasa untuk Mencari
Kedudukan atau Hadiah
Ulama-ulama membuat hadist palsu ini untuk membenarkan
perbuatan-perbuatan para penguasa sehingga dari perbuatannya tersebut, mereka
mendapat upah dengan diberi kedudukan atau harta.
Sebab-sebab Pemalsuan Hadist dan
kelompok-kelompok Pemalsuannya;
1.
Sebab pemalsuan hadis yang pertama kali muncul adalah adanya prselisihan
yang melanda kaum Muslimin yang bersumber pada fitnah dan kasus-kasus yang
mengikutinya yakni umat Islam menjdi beberapa kelompok.
2.
Permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelek-jelekkannya. Yaitu upaya yang
ditempuh oleh orang-orang zindik, lebih-lebih oleh keturunan bangsa-bangsa yang
terkalahkan oleh umat Islam.
3.
Upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, seperti pendekatan kepada
pemerintah atau upayamengumpulkan manusia ke dalam majelis,seperti yang
dilakukan oleh para juru cerita dan para peminta-minta. Dampak negative
kelompok ini sangat besar.
Kepalsuan yang
terjadi pada hadis seorang rawi tanpa disengaja, seperti kesalahannya
menyandarkan kepada Nabi SAW.[24][7]
a) Pemberantasan Hadis Palsu dan
MediaTerpenting untuk Memberantasnya
Para ulama mengambil langkah untuk memerangi pemalsu hadis dan menghindarkan bahaya para pemalsu. Untuk itu, merekamenggunakan berbagai metodologi yang cukup untuk kesimpulannya sebagai berikut:
Meneliti karakteristik para rawi dengan mengamati tingkah laku dan riwayat mereka.
Para ulama mengambil langkah untuk memerangi pemalsu hadis dan menghindarkan bahaya para pemalsu. Untuk itu, merekamenggunakan berbagai metodologi yang cukup untuk kesimpulannya sebagai berikut:
Meneliti karakteristik para rawi dengan mengamati tingkah laku dan riwayat mereka.
b) Memberi peringatan keras kepada para
pendusta dan mengungkap-ungkap kejelekan mereka, mengumumkan kedustaan mereka
kepada para pemuka masyarakat.
c) Pencarian sanad hadis, sehingga
mereka tidak menerima hadis yang tidak bersanad, bahkan hadis yang demikian
mereka anggap sebagai hadis yang batil.
d) Menguji kebenaran hadis dengan
membandingkannya dengan riwayat yang melalui jalur lain dan hadi-hadis yang
telah diakui keberadaannya.
e) Menetapkan pedoman-pedomanuntuk
mengungkapkan hadis maudhu’.
f) Menyusun kitab himpunan
hadis-hadismaudhu’ untuk member penerangan dan peringatan kepada masyarakt
tentang keberadaan hadis-hadis tersebut.[25][8]
G. Latar
Belakang Kemunculan Hadits Maudhu’
Kemunculan
hadits maudhu’ dilatarbelakangi oleh berbagai motivasi, di antaranya:
1. Motivasi kepentingan politik dan kekuasaan
Berawal
pada masa kekacauan, pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, yaitu pada
perang shiffin. Contoh:
لكل أمة فرعون و فرعون هذه الأمة معاوية
“setiap
umat ada fir’aunnya. Fir’aunnya umat ini adalah Muawiyah.
2. Motivasi mengeruhkan dan merusak kemurnian ajaran
agama
Seperti
sebuah hadits yang dibuat oleh kaum zindik, contohnya:
انا
خاتم النبيين لا نبي بعدي الا أن يشاء الله
“saya
adalah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi setelahku kecuali kalau Allah
menghendaki”.
Kalimat
‘kecuali kalau Allah menghendaki’ ditambahkan oleh Muhammad ibn Sa’id, seorang
pendusta yang kemudian dieksekusi di tiang gantungan oleh Khalifah Al-Mansur di
hadapan para kaum zindik.
3. Motivas
membangkitkan semangat beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Ini
dilakukan dalam rangka mendorong agar rajin beribadah dan berbuat kebaikan
serrta menjauhi kejahatan. Misalnya, agar umat kembali kepada al-Quran dan
rajin membacanya.
Nuh
ibn Abi Maryam telah membuat hadits-hadits mengenai keutamaan membaca beberapa
surat tertentu dalam al-Quran. Ketika ditanya mengapa membuat hadits-hadits
seperti itu, ia menjawab: “saya melihat orang-orang sudah berpaling dari
al-Quran. Mereka hanya sibuk belajar fiqh Abu Hanifah dan sejarah Muhammad ibn
Ishak”. Contohnya tentang kautamaan membaca surah yasin;
من سمع سورة يس عدلت له عشرين
دينارا فى سبيل الله و من قرأها عدلت له عشرين حجة و من كتبها و شربها ادخلت جوفه
الف يقين و الف نور و الف بركة و الف رحمة و الف رزق و نزعت منه كل غل
“barangsiapa
mendengarkan bacaan surah yasin, maka senilai dengan menyumbangkan 20 dinar ke
jalan Allah, barangsiapa yang membaca surah yasin senilai dengan pergi haki 20
kali, barang siapa menulisnya dan meminumnya, maka akan dimasukkan ke dalam
mulutnya 1000 keyakinan dan 1000 cahaya, 1000 berkah, 1000 rahmat dan 1000 rezeki,
dan dikeluarkan dari dalam tubuhnya segala macam penyakit”.
4. Motivasi
menarik simpati dengan cara
membuat kisah-kisah menarik para pendengar
Dalam
sebuah riwayat dari Anas ibn Malik disebutkan bahwa seorang perempuan
diberitahu bahwa ayahnya sedang sakit menjelang akhir hayatnya. Ia meminta izin
kepada suaminya untuk mengunjungi ayahnya, namun suaminya melarang. Ketika
ayahnya meninggal dunia isteri tersebut meimnta izin lagi kepada suaminya untuk
melayat dan berkumpul bersama keluarganya ketika jenazah ayahnya diantar ke
pemakaman, namun suaminya tetap melarangnya. Akhirnya isteri tersebut datang
kepada Nabi SAW. mengadukan apa yang dialami dan perlakuan suaminya. Mendengar
pengaduan isteri tersebut, Nabi SAW. bersabda: “sungguh Allah telah mengampuni
ayahmu disebabkan engkau mematuhi perintah suamimu.[26]
Riwayat
ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang sangat mengedepankan hubungan
silaturrahim terutama kepada orang tua. Tidak mungkin Nabi SAW. merestui
perbuatan yang memutuskan hubungan silaturrahim.
5. Motivasi
kepentingan pribadi dan duniawi
Dalam
rangka mendapatkan fasilitas duniawi sehingga mengadakan pendekatan kepada
pihak pemerintah. Misalnya Ghiyat ibn Ibrahim yang datang menghadap kepada
khalifah al-Mahdi (khalifah yang senang burung merpati dan suka bermain
dengannya).
Ketika
itu ada seekor burung dihadapannya, datanglah Ghiyat mengatakan seorang telah
meriwayatkan kepadaku, katanya telah meriwayatkan kepada bahwa Rasulullah SAW.
bersabda:
لا سبق الا فى نصل أو خف أو
حافر أو جناح
“tidak
ada perlombaan kecuali lomba panahan, lomba lari unta, lari kuda atau lomba
burung”.
Kata
‘lomba burung’ merupakan tambahan Ghiyats ke dalam hadits tersebut. Dengan
usahanya membuat hadits maudhu’ dengan cara menambahkan satu kata sehingga ia
mendapat uang 10.000 dirham dari
khalifah.
H. Ciri-ciri
Hadits Maudhu’
Para ulama muhadditsin,
disamping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui shahih, hasan atau dha’ifnya
suatu hadits, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk mengetahui ke-maudhu’-an
suatu hadits.
Ke-maudhu’-an
suatu hadits dapat dilihat dari ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.
1. Ciri-ciri
yang terdapat pada Sanat, antara lain:
a.
Pengakuan dari si pembuat
sendiri
Seorang guru tasawuf misalnya, meriwayatkan hadits-hadits tentang keutamaan
ayat-ayat tertentu, ketika ditanya oleh Ibnu Ismail Al-Imam Al-Bukhari [27]tentang hadits-hadits yang dia riwayatkan itu ia berkata dengan
terus terang:
لَم
يُحدّثنى أحد ولكن رأينا الناس قد رغبوا عن القرأن فوضعنا هذا الحديث
"Tidak satupun yang meriwayatkan hadits kepadaku,
akan tetapi serentak kami melihat manusia-manusia membenci Al-Quran. Kami
ciptakan untuk mereka hadits ini (keutamaan ayat-ayat Al-Quran), agar mereka
menaruh perhatian untuk mencintai Al-Quran".
Karena menjadi kewajiban kita sebagai kaum terpelajar
untuk melacak hadits-hadits tentang keutamaan beberapa surat atau ayat-ayat
Al-Qur'an dengan tetap berpedoman kepada para alim yang dianugerahi Allah
pemahaman. Misalnya:
مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ
لَيْلَةٍ أَصْبَحَ مَغْفُوْرًا لَهُ
"Barangsiapa
yang membaca surat Yaasiin dalam satu malam, maka ketika ia bangun pagi hari
diampuni dosanya.” (Riwayat Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (I/247).
Imam Ibnul
Jauzi berkata: Hadits ini dari semua jalannya adalah bathil, tidak ada asalnya.
Imam Daraquthni berkata: “Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini
adalah tukang memalsukan hadits.” [28]
b.
Qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudhu'
Misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits dari
seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau
menerima hadits dari seorang guru yang telah meninggal dunia sebelum ia
dilahirkan.
c.
Adanya qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya
Seperti juga
kisah Giyats bin Ibrahim An-Nakh'i Al-Kufi dengan Amir Mukminin Al-Mahdi,
ketika masuk ke ruangan Amirul Mukminin dan menjumpai Al-Mahdi tengah
bermain-main dengan burung merpati. Maka ia menambahkan perkataan dalam hadits
yang disandarkan kepada Nabi, bahwa beliau bersabda:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فيِ
نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جُنَاحٍ
"Tidak ada
perlombaan kecuali bermain pedang, pacuan, menggali atau
sayap."
Ia menambahkan
kata sayap (junah), yang dilakukan untuk menyenangkan Al Mahdi, lalu Al
Mahdi memberinya sepuluh dirham. Setelah berpaling, Sang Amir berkata:"Aku
bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam. Kemudian Al-Mahdi menyuruh untuk menyembelih burung
merpati itu. Tingkah laku Ghiyats semacam ini menjadi qarinah untuk
menetapkan ke-maudhu'-an hadits.
I.
Mengamalkan dan Menyampaikan
Hadits Dha’if dan Hadits Palsu
Dalam kajian ilmu hadits,
hadits dha’if dan hadits palsu dilihat dari sisi kehujjahannya termasuk
kategori hadits mardud (tertolak). Hadits palsu tertolak secara pasti dan
meyakinkan. Berbeda dengan hadits dha’if yang ringan, ada kemungkinan diterima
dengan kriteria tertentu.
Dalam
konteks ini, para ulama hadits berbeda pendapat, yaitu:
1.
Hadits
dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik berkaitan dengna hukum halal
dan haram maupun fadhail al-a’mal (keutamaan amal). Pendapat ini
didukung oleh Ibnu Sayyid an-Nas, Abu Bakar ibn al-‘Arabi. Imam Bukhari dan
Muslim juga berpendapat demikian, keduanya tidak meriwayatkan hadits dha’if.
2.
Hadits
dha’if boleh diamalkan secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Ahmad
ibn Hambal dan Abu Daud. Hadist dha’if yang boleh diamalkan seperti yang dimaksud
boleh jadi dalam konteks sekarang adalah hadits hasan, baik hasan lighairihi
maupun lidzatihi.
3.
Boleh
mengamalkan hadits dha’if dalam hal fadhail al-‘amal dengan
syarat-syarat tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan al-Hafizh ibn Hajar (852
H/1449 M), yang dikutip oleh Nurdin ‘Itr, yaitu:
a.
Telah
disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits yang tidak terlalu dha’if , tidak bisa
diamalkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta atau orang yang
banyak salah.
b.
Hadits
dha’if itu berada di bawah suatu dalil yang umum, sehingga tidak dapat
diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.
Sedangkan
hadits dha’if yang berat, seperti hadits maudhu’, matruk, munkar dan sejenisnya
tidak boleh diriwayatkan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits dha’if pada dasarnya
adalah hadits yang mardud (tertolak). Namun ada beberapa hal yang menjadikan
sebagian dari hadits dha’if tersebut bisa diterima, yaitu dikarenakan hadits
tersebut tergolong dalam hadits dha’if yang ringan seperti mu’allaq, munqathi’,
mu’dhal mursal dan yang sejenisnya.
Adapun hadits dha’if yang
tertolak adalah hadits dha’if berat seperti hadits maudhu’, munkar, matruk dan
sejenisnya.
B. Saran
Dari apa yang telah dibahas
dan dijelaskan dalam makalah ini, tentunya masih terdapat keurangan yang harus
diperbaiki. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah ini, memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis
makalah ini juga kepada saudara-saudara yang sedang mendalami disiplin ilmu
ulumul hadits ini.
Daftar
Pustaka
Wajidi
Sayadi. 2009. Pengantar Studi Hadis. Pontianak: Pustaka Abuya
Agus
Solahuddin dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka setia
Al-Albani, Muhammad
Nashiruddin. 1997. Sisilah hadis Dha’if dan Maudhu. Jakarta: Gema Insani
Press
Al-khatib, Muhammad Ajaj.
1998. Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Jakarta: dar
al-al-mas’udi, hafid hasan. Ilmu Musthalah Hadis. Surabaya: Al-Hikmah
Al-qaththan, syaikh manna.
2004. Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta : pustaka Al-Kautsar
Al-adlabi, Shalahudin ibn
Ahmad. 2004. Kritik Metodologi Matan Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Azami, M. Mustafa. 1996. Metedologi
Kritik Hadis. Bandung: Pustaka Hidayah Fikr
Ismail, H.M. Syuhudi. 1995. Hadis
Nabi Menurut Pembela, Pengikar, dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press
Khon, H. Abdul Majid. 2009. Ulumul
Hadis. Jakarta:Amza
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul hadis. Bandung:PT. Al Ma’arif
Yunus, H. Mahmud.1986. Terjemah Al-Qur’an Karim. Bandung: Pt
Al-Ma’ari
Agus Solahudin. Ulumul Hadist. Bandung: CV.
Pustaka Setia.
Kasman. Hadist Dalam
Pandangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Mitra
Pustaka. 2012.
Nurrudin, Ulumul Hadis.PT Remaja Rosdakarya
Bandung. Cetakan pertama. 2012
[3]Al-Albani,
1986: 450; Yaqub, 2003: 2; Al-Malibary, t.th: 7; Al-‘Ajluni, 1421 H, I: 154.
[4]
Al-Albani, 1986: 451; Yaqub, 2003: 2; Al-‘Ajluni, 1421 H, I: 154).
[6]Hafid Hasan al-Mas’udi, Ilmu Musthalah Hadis,
Surabaya, Al Hikmah, hal 24-25
[7] Muhammad Nashiruddin af-Albni, Sisilah hadis Dha’if
dan Maudhu, Jakarta, Gem Insani Press, 1997 hal 23-24
[11] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Hadis, Jakarta, Pustaka Al kausar, 2004, hal 132
[12] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Hadis, Jakarta, Pustaka Al kausar, 2004, hal 132
[20] Kasman,
Hadist Dalam Pandangan
Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka. 2012, hlm.43
[22] Agus
Solahudin, Ulumul Hadist. Bandung:
CV. Pustaka Setia. Hlm172-173
[23]
urrudin, Ulumul Hadis.op cit. hlm
309-316
[26][6]
Muhammad Al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah baina ahl al-Fiqh wa ahl
al-Hadits, (Kairo: Dar asy-Syuruq, 1989), cet IV h.43
[27] Al-Imam
Al-Bukhari
[28]
Al-Maudhuu’aat oleh Ibnul Jauzi (I/246-247), Mizaanul I’tidal III/549),
Lisaanul Mizan (V/168), al-Fawaa-idul Majmu’ah fii Ahaaditsil Maudhu’ah (hal.
268 no. 944).
bismillah
BalasHapusassaalamu'aalaikum wr wb
Izin menyebarkan makalah ini ya akhi