Jumat, 09 Juni 2017

MAKALAH HADITS DHO'IF DAN MAUDHU'



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya. Namun pada kasus ini, tidak semua hadits yang disandarkan kepada Nabi adalah benar. Kadang adanya sebuah penambahan pada matan, kecacatan pada rawi, terputusnya sanad dan berbagai bentuk ketidakbenaran lainnya. Dari kasus  seperti ini, maka diadakanlah kodifikasi hadits atau pembukuan hadits secara rinci yang membagi tingkatan-tingkatan hadits dari keshahihannya sampai kedhaifannya.
Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhaif. Di mana hadits dhaif ini adalah salah satu tingkatan hadits yang menjadi sasaran penting untuk dipelajari dalam disiplin ilmu hadits.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apap Itu hadist dhoi’if dan hadist maudhu’
2.      Apa saja yang terkandung dalam hadis dho’if dan hadist maudhu’?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits Dha’if
Hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan.
الحديث الضعيف هو ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح و لا صفات الحسن
Artinya: “hadits dha’if ialah hadits yang tidah memenuhi kriteria hadits shahih dan hadits hasan.[1]
Dha’if itu artinya lemah. Hadits dha’if artinya hadits yang lemah, maksudnya hadits tersebut tidak kuat dijadikan landasan dan sandaran dalam menetapkan masalah hukum halal dan haram. Hadits dinilai dha’if bukanlah karena Nabi SAW. akan tetapi disebabkan oleh para periwayat dalam sanadnya yang terlibat dalam proses periwayatannya.
Ke-dha’if-an hadits disebabkan pada beberapa hal, yaitu:
1.      sanadnya terputus
2.      kualitas moral (ke-‘adil-an) periwayatnya yang cacat
3.      kualitas intelektual (ke-dhabith-an) periwayatnya yang rusak
4.      susunan redaksinya yang bermasalah
5.      kandungan maknanya rancu
B.     Klasifikasi Hadits Dha’if
Pada dasarnya hadits dha’if termasuk bagian dari hadits mardud (tertolak). Namun, tidak semua hadits dha’if tertolak. Ada hadits dha’if  yang dapat diterima dan diamalkan dengan kriteria tertentu. Dengan demikian ada hadits dha’if yang diterima dan ada juga yang ditolak. Hadits dha’if dilihat dari segi kahujjahannya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam[2], yaitu:
1.      Hadits dha’if ringan. Maksudnya hadits yang kedh’ifannya dapat berubah kualitasnya karena mendapat dukungan yang menguatkan dari hadits-hadits shahih lainnya yang kandungan maknanya sama, sehingga berubah menjadi hadits hasan li ghairihi. Hadits dha’if yang dapat berubah kualitasnya menjadi hadits hasan li ghairihi karena didukung dan dikuatkan oleh hadits shahih lain sebagai mutabi’ atau syahid adalah hadits dha’if ringan yang kedha’ifannya disebabkan oleh;
a.       Sanadnya terputus, seperti hadits mu’allaq, munqathi’, mu’dhal, dan mursal
b.      Ke-dhabith-an periwayatnya buruk, misalnya banyak bimbang dan ragu-ragu, atau hafalan buruk
c.       Tidak jelas ke-‘adil-an periwayatnya, misalnya mubham, majhul al-‘ain, dan al-mastur.
Contohnya:
اغتنم خمسا قبل خمس : شبابك قبل هرمك و صحتك قبل سقمك و غناك قبل فقرك و فراغك قبل شغلك و حياتك قبل موتك
“perhatikanlah lima sebelum datang yang lima; mudamu sebelum tua, masa sehatmu sebelum sakit, masa kayamu sebelum miskin, masa luangmu sebelum sbuk, dan masa hidupmu sebelum meninggal”.
1.      Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad, bersumber dari ‘Amr bin Maimun adalah dha’if, yaitu mursal. Hanya saja dha’ifnya ringan karena sanadnya tidak bersambung.
2.      Hadits tersebut selain bersumber dari ‘Amr bin Maimun juga bersumber dari Ibnu Abbas. Hakim dan Nasai meriwayatkan melalui jalur Ibnu Abbas. Melalui sanad ini, kualitasnya shahih.
3.      Oleh karena itu hadits dha’if ringan yang diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi dan Ahmad tersebut berubah kualitasnya menjadi hadits hasan.
2.      Hadits dha’if berat. Maksudnya adalah hadits dha’if yang kedha’ifannya bersifat paten, tidak berubah kualitasnya walau sebanyak apa pun hadits shahih lainnya yang semakna dan mendukungnya. Hadits dha’if yang paling parah atau kelas berat adalah hadits maudhu’ atau hadits palsu. Hadits dha’if berat tidak dapat berubah kualitasnya disebabkan kualitas moral periwayatnya cacat, seperti dusta, tertuduh dusta, fasik, atau hapalannya rusak atau kacau (ikhtilath). Hadits dha’if yang diriwayatkan oleh periwayat seperti ini disebut hadits yang sangat dha’if, seperti hadits maudhu’, hadits munkar dan hadits matruk.
Contoh:
اطلبوا العلم ولو بالصين
“tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”.
Hadits ini diriwayatkan oleh bberapa riwayat, di antaranya Ibn ‘Adiy (356 H) dalam bukunya Al-Kamil fi Dhu’afa’ Ar-Rijal, Abu Nu’aim (450 H) dalam bukunya Akhbar Al-Ashbihan, Al-Katib Al-Baghdadiy (463 H) dalam bukunya Tarikh Baghdad dan Ar-Rihlah fi Thalab Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlihi[3]dan lainnya.
1.      Dilihat dari sisi sumber sanadnya, hadits ini melalui al-Hasan ibn ‘Atiyah dari Abu ‘Atikah Tarif ibn Sulaiman dari Anas ibn Malik. Kualitas hadits ini dinilai oleh para ulama hadits sebagai hadits dha’if. Kedha’ifan hadits ini disebabkan salah seorang periwayatnya dalam sanadnya bernama Abu ‘Atikah Tarif ibn Sulaiman. Abu ‘Atikah dinilai oleh kritikus hadits seperti al-‘Uqaili sebagai matruk (tertolak).
Bukhari menilai bahwa haditsnya munkar. An-Nasai menilai haditsnya tidak kuat. Abu Hatim menilai, haditsnya dzahib (dibuang). Kata as-Sulaimani, Abu ‘Atikan dikenal pernah memalsukan hadits. Ahmad ibn Hambal (243 H) tidak mengakui hadits tersebut. Ibn Hibban (354 H/965 M) menilai hadits ini bathil, tidak ada dasar dan sumbernya. Bahkan Ibn Al-Jauzi dalam bukunya koleksi hadits-hadits palsu al-maudhu’at, menilai bahwa hadits tersebut adalah palsu[4]





C.    Pengertian Hadits Maudhu’
Ditinjau dari sisi bahasa, hadits maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari kata وضع – يضغ. Kata وضع memiliki beberapa makna, yaitu menggugurkan, meninggalkan dan mengada-ada dan membuat-buat.
Menurut para muhadditsin, hadits maudhu’ adalah
هو ما نسب الى رسول الله صلى الله عليه و سلم اختلاقا و كذبا مما لم يقله او يفعله او يقره.
“sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan”.
Dari pengertian tersebut dapak kita simpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik perbuatan, perkataan maupun taqrir, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat Islam, hadits maudhu’ disebut juga dengan hadits palsu.
D.    Kedudukan Hadits Dhaif
Para muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua jurusan. Yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan. Dari jurusan sanad diperinci menajadi dua bagian:
1.      terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun kehafalannya, seperti : dusta, tertuduh dusta, fasik, banyak salah, lengah dalam menghafal, banyak waham, menyalahi orang kepercayaan, tidak diketahui identitasnya, penganut bid’ah dan tidak baik hafalannya.
2.      tidak bersambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemunya satu dengan yang lainnya.
           Sebab-sebab tertolaknya hadis karena sanad digugurkan (tidak bersambung)
1.      Kalau yang digugurkan itu sanad pertama
2.      Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (sahabat)
3.      Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut.[5]
Dari jurusan matan, hadis dhaif yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan ialah:
a.      Hadis maufuq ilah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan baik sanadnya bersambung atau tidak, dengan syarat sunyi dari tanda-tanda marfu’. Kalau tidak sunyi maka hukumnya marfu’. Seperti riwayat Bukhari :” adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas keduanya berbuka puasa dan meringkas shalat pada perjalanan empat burad (12 mil)
b.      Hadis maqthu ialah hadis yang disandarkan kepada tabiin dan orang-orang yang datang sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan maupu ketetapan, baik sanadnya bersambung atau tidak, tetapi dengan syarat sunyi dari tanda-tanda marfu’ dan mauquf. Contohnya : perkataan tabiin”berbuat demikian”.[6]
Contoh hadis dhaif
من قا م ليلتي العيد ين محتسبا الله لم يمت قلبه يو م تمو ت
Arinya: Barang siapa menyamarakkan malam dua hari raya hanya semata-mata mengharap ridha Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari ketika manusia mati.
Hadis ini sangat dhaif. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah dengan sanad dari buqayah bin al-walid, dari Tsur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Umamlah r.a, sanad riwayat ini dhaif dikarenakan Buqayah dikenal sebagai orang yang suka mencampur adukkan perawi, dengan demikian yang dinyatakan al-Hafizh al-Iraqi dalam Tahrij al-Ihya-nya.[7]
3.      Hukum Periwayatan Hadis Dhaif
Ulama hadis mengingatkan agar orang yang meriwayatkan hadis dhaif  tanpa sanad tidak meriwayatkan dengan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh bahwa ia merupakan hadis. Sehingga ia tidak diperkenankan mengatakan: Rasulullah SAW. Menyabdakan begini-begini”dan sejenisnya. Bahkan Ia harus meriwayatkan dengan redaksi yang menujukkan keraguan akan keshahihannya misalnya; ruwiya (diriwayatkan) ja’a (datang), nuqila (di pindahkan), fima yurwa. (pada sesuatu yang diriwayatkan) dan sejenisnya. Adapun meriwayatkan hadis-hadis dhaif lengkap dengan sanadnya tidak di makruhkan menggunakan redaksi yng menunjukkan kemantapan, bila diriwayatkan kepada ahli ilmu.       Bila diriwayatkan kepada orang awam, maka menggunakan redaksi yang tidak menunjukkan kemantapan penuh, sama seperti ketika meriwayatkan tanpa sanad.[8] Para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat:
a.       Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
b.      Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, Tetapi berkaitan dengan masalahh mau’izhah, targhib watarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.
Berbeda dengan meriwayatkan hadits shahih, harus menggunakan kata aktif yang meyakinkan Rasulullah SAW bersabda…….. makruh meriwayatkan dengan menggunakan bentuk kata pasif seperti hadis dhaif. Kecuali jika hadis dhaif diriwayatkan dengan menyebutkan sanad, sebaiknya dengan menggunakan bentuk kata aktif dan meyakinkan ketika dikonsumsi oleh kalangan ahli ilmu dan untuk kalangan orang umum boleh dengan menggunakan bentuk pasif tidak sebagaimana tanpa sanad.[9]
4.      Hukum pengamalan hadis dhaif
Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadis dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi tiga pendapat yaitu:
a.       Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak baik mengenai fadhilah amal maupun dalam hukum. Ini diceritakan oleh Ibnu Sayyid an-nas dari Yahya bin Ma’in dan pendapat inilah yang dipilih Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazam
b.      Hadis dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhilah al-amal atau dalam masalah hukum (ahkam). Pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari pada pendapat ulama.
c.       Hadis dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mau’izah, targhib (janiji-janji yang menggemparkan) dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yaitu sebagai berikut:
1.      Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadis mawdhu’) atu dituduh dusta (hadis matruk), orang yang daya ingat hapalannya sangat kurang dan berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadis munkar)
2.      Masuk kedalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadis muhkan (hadis maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain), nasikh (hadis yang membatalkan hukum pada hdis sebelumnya) dan rajah (hadis yang lebih unggul dibandingkan oposisinya)
3.      Tidak diyakinkan secara unggul yakin kebenaran hadis dari nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.[10]
Hadis-hadis dha’if banyak terdapat pada sebagian karya berikut ini:
a.       Ketiga mu;jani at-thabari- al-kabir, al-awsat, as-shaghir
b.      Kitab al-afrad, karya ad-daruquthni. Didalam hadis-hadis afrad terdapat hadis-hadis al-fardu al-muthlaq dan al-frdu an-nisb
c.       Kumpulan karya al-khathib al-baghdadi
d.      Kitab hilyatul auliya ‘wa-thbaqtul ashfiya’kary abu nu’aim al-ashbahani.[11]

E.     Kedudukan Hadits Maudhu’
Jumhur ahli hadis juga berpendapat, bahwa berdusta termasuk dosa besar. Semua ahli hadis menolak khabar pendusta. Bahkan Syeikh Abu Muhammad al-juwainiy mengkafirkan pemalsu hadis. Semua hadis maudhu bathil lagi tertolak dan tidak bisa dijadikan pegangan, karena merupakan kedustan atas diri rasul SAW.
Disamping sepakat mengenai keharaman membuat hadis palsu, ulama juga sepakat  mengenai keharaman meriwayatknnya, tanpa menjelaskan kemaudhuannya dan kedustaannya. Mereka tidak memperbolehkan meriwayatkan sedikit pun hadis palsu, baik berkenaan dengan kisah, tarhib, targthib, hukum-hukum ataupun tidak, berdasarkan sabda Rasulullah SAW
من احذث عني بحد ير انه كذب فهواحدالكاذبين
Artinya:” Barang siapa yang meriwayatkan dariku sebuah hadis dan terlihat bahwa hadis itu dusta, maka Ia juga termasuk satu diantara para pendusta”.
1.      Tanda-tanda hadis maudhu
Hadis maudhu dapat diketahui melalui tanda-tandanya baik yang ada pada sanad maupun pada matan. Tanda-tanda maudhu pada sanad, diantaranya sebagai berikut:
a.       Pengkuan dari ornag yang membuat sendiri
Sebagaimana pengakuan abdul Karim bin Abu Al-Auja ketika akan dihukum mati ia mengatakan: “ demi Allah aku palsukan padamu 4000 buah hadis. Di dalamnya aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram”. Kemudian dihukum pancung lehernya atas instruksi Muhammad bin Sulaiman bin Ali gubernur Basrah (160-173 H). Maysarah bin Abdi Rabbih al-Farisi mengaku banyak membuat hadis maudhu lebih dari 70 hadis. Demikian Abu Ishmah bin Maryam yang bergelar Nuh Al-Jami mengaku banyak membuat hadis maudhu yang disandarkan kepada abbas tentang keutamaan al-quran.
b.      Adanya bukti (qarinah) mengenai pengakuan
Seperti seorang yang meriwayatkan hadis dengan ungkapan yang mantap serta meyakinkan (jazam) dari seorang syeikh padahal dalam sejarah ia tidak pernah bertemu atau dari seorang syeikh di suatu negeri yang ia tidak pernah ke sana atau seorang syeikh yang telah wafat sementara ia masih kecil atau belum lahir.
          Ma’mun bin ahmad al-kharawi mengaku mendengar hadis dari Hisyam bin Hammar. Al-hafizh bin Hibban bertanya:’ kapan anda datang ke syam?”, Ma’mun menjwab: “ pada tahun 250 H. “ Ibnu Hibban menjelaskan bahwa Hisyam bin Amar meninggal pada tahun 245 H. sambut Ma’mun :” Hisyam bin Amar yang lain. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Amar.
c.       Adanya bukti pada perawi
Adanya indikasi pada perawi yang menujukkan akan kepalsuannya, misalnya seorang perawi yang rafidhah dan hadisnya berisikan tentang keutamaan ahlul baith.
d.      Kedustaan perawi
Seorang perawi yang dikenal dusta meriwayatkan suatu hadis sendirian dan tidak ada seorang tsiqah yang meriwayatkannya.[12]
2.      Tanda-tanda maudhu pada matan
a.       Lemah susunan lafal dn maknanya
Dari segi maknanya, maka hadis itu bertentangan dengan al-quran, hadis, dengan ijma dan logika yang sehat.[13][16] Secara logis tidak di benarkan bahwa ungkapan itu datang dari Rasul. Banyak hadis-hadis panjang yang lemah susunan bahasa dan maknanya. Seorang yang memiliki ketajaman dalam memahami hadis dari Nabi atau bukan hadis maudhu ini bukan bahasa Nabi yang mengandung sastra (fashahah), karena sangat rusak susunanya, Ar-Rabi’ bin  Khats yang berkata: sesungguhnya hadis itu bercahaya seperti cahaya kami mengenalnya dan memilki kegelapan bagaikan gelap malam kami menolaknya.
Hadis palsu jika diriwayatkan secara eksplisit  bahwa ini lafal dari Nabi dapat terdeteksi oleh pakar yang dalam bidangnya sehingga tercium bahwa ini hadis yang sesungguhnya dan hadis palsu. Jika tidak dinyatakan secara eksplisit, menurut Hajar al-Asqalani, hadis itu dikembalikan kepada maknanya yang rusak, karena bisa jadi ia beralasan Riwayah Abi Al-Ma’na atau tidak bisa menyusunnya secara baik
b.      Rusak maknanya
Maksud rusak maknanya karena bertentangan dengan rasio yang sehat, menyalahi kaidah kesehatan, mendorong pelampiasan biologis seks dan lain-lain dan tidak bisa ditakwilkan.
Contoh:
النظرال الوجه الحسن يجاوالبصر والنظرال الوجه القبيح يورث الكا ح
Artinya:” Memandang wajah yang cantik dapat menerangkan mata, memandang wajah yang jelek dapat menyebabkan sedih”.[14]

c.       Bertentangan teks Al-Qur’an atau hadis mutawatir
Contoh yang bertentangan dengan Al-Quran adalah tentang jangka usia dunia, yaitu tujuh ribu tahun. Ini jelas tidak shahih, tentu semau orang akan mengerti kapan kiamat tiba. Padahal Allah Azza Wa Jalla berfirman:


y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ïptã$¡¡9$# tb$­r& $yg8yóßD ( ö@è% $yJ¯RÎ) $ygãKù=Ïæ y0ZÏã În1u ( w $pkÏk=pgä  !$pkÉJø%uqÏ9 wÎ) uqèd 4
ôMn=à)rO Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö F{$#ur 4 w ö/ä39Ï?ù's? wÎ) ZptGøót/ 3 y7tRqè=t«ó¡o y7¯Rr(x. ; Å"ym $pk÷]tã ( ö@è%
$yJ¯RÎ) $ygßJù=Ïæ y0ZÏã «!$# £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÊÑÐÈ
Artinya:”Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".(QS. Al-Araf:187)[15]
Contoh hadis maudhu yang bertentangan dengan hadis mutawatir:
وان كل من يسمي بهذه السماء (محمدواحمد)لآيدخل انار
Artinya:” Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammd Ahmad dan semisalnya) ini, tidak akan dimaksukkan ke neraka.”
Contoh hadis palsu yang bertentangan dengan hadis shahih adalah hadis-hadis tentang pujian terhadap prang yang namanya Muhammad atau Ahmad dan bahwa orang-orang yang namanya seperti itu tidak akan masuk neraka. Jadi hadis tersebut jelas bertentangan dengan ajaran agama, bahwa neraka tidak akan terpengaruh oleh nama-nama tertentu. untuk selamat darinya hanya bisa dilakukam dengan beriman dan beramal shaleh.[16]
          Setiap hadis yang meriwayatkan Ali adalah shahih yang menyatakan wasiat khalifah ada pada Ali r.a. tidaklah shahih. Karena ia bertentangan dengan ijma’ ulama, bahwa nabi SAW tidak menegaskan siapa yang akan mengganti beliau.
d.      Menyalahi realita sejarah
Misalnya hadis yang menjelaskan bahwa Nabi memungut jizyah (pajak) para penuduk khaibar dengan di saksikan oleh Sa’ad bin Mu’ads padahal Sa’ad telah meninggal pada masa perang khandaq sebelum kejadian tersebut.
e.       Hadis sesuai dengan mazhab perawi
misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Habbah bin Juwaihi, ia berkata: saya mendengar Ali berkata
عبدت الله مع ر سوله قبل ان يعبده ااحدمن هذه الا مة خمس سنين اوسبع سنين
artinya:” Aku menyembah Tuhan bersama Rasul-Nya sebelum menyembah-Nya seorang pun dari umat ini lima atau tujuh tahun.”
         Hadis ini mengkultuskan Ali sesuai dengan prinsip madzhab syiah, tetapi mengkultuskan itu juga tidak masuk akal, bagaimana Ali beribadah bersama rasul lima atau tujuh tahun sebelum umat ini.
f.       Mengandung pahala yang berlebih bagi amal yng kecil.
Biasanya motif pemalsuan hadis ini disampaikan para tukang kisah yang ingin menarik perhatian para pendengarnya atau agar menarik pendengar agar melakukan amal saleh. Tetapi memang tinggi dalam membesarkan suatu amal kecil dengan pahala yang berlebihan. Misalnya:
من صل الضفي كذاوكذاركعة اعطي ثواب سبعين نبيا

Artinya:”Barang siapa yang sholat dاuha sekian rakaat diberi pahala 70 nabi.”[17]
g.      Sahabat dituduh menyembunyikan hadist
Sahabat dituduh menyembunyikan hadis dan tidak menayampaikan atau tidak meriwayatkan kepada orang lain, padahal hadis itu secara transparan harus disampaikan Nabi SAW, misalnya, nabi memegang tangan Ali bin Abi Thalib di hadapan para sahabat semua, kemudian bersabda: ini wasiatku dan saudaraku dan khalifah setelah aku. Seandainya ini benar wasiat dari Nabi SAW tentu banyak diantara para sahabat yang meriwayatkannya, karena masalahnya adalah untuk kepentingan umum yakni kepemimpinan. Tidak mungkin para sahabat diam tidak meriwayatkan jika hal itu terjadi benar pada diri Rasulullah.

4.      Usaha para ulama dalam mengatasi hadis palsu
Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadis maudhu, dengan tujuan agar hadis tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan orang-orang kotor. Disamping itu agar lebih jelas posisi hadis maudhu tidak tercampur dengan hadis-hadis shahih. Diantara usaha-usaha itu adalah:
a.       Memelihara sanad hadis
Dalam rangka memelihara sunnah siapa saja yang mengaku mendapat sunnah harus disertai sanad. jika tidak disertai dengan sanad,maka suatu hadits tidak dapat di terima. Abdullah bin Al-Mubarok berkata : yang mencari agamanya tanpa sanad bagaikan orang yang naik loteng tanpa tangga.keharusan sanad dalam menerima hadis bukan pada orang-orang khusus saja, bagi masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu kewajiban bagi ahli hadis menerangkan sanad hadis yang ia riwayat kan.
b.      Meningkatkan kesungguhan penelitian
Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan pemeriksaan hadis yang mereka dengar dan yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadis yang mereka terima itu meragukan atau datang bukan  dari sahabat yang langsung terlibat dalam permasalahan hadis, segera mereka melakukan rihlah (perjalanan) sekalipun dalam jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang terlibat dalam kejadian hadis.
Hasilnya mereka bukukan dalam berbagai buku hadis seperti buku hadis induk enam atau tujuh. Imam syafie menulis ar-risalah dan al-umm yang memuat ulumul hadis, at-tirmidzi dalam akhir kitab jami-nya.[18]
c.       Mengisolir para pendusta hadis
Para ulama berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Orang-orang yang dikenal sebagai pendusta hadis dijauhi dan masyarakat pun di jauhkan dari padanya. Semua ahli hadis juga menyampaikan hadis-hadis maudhu dan pembuatnya itu kepada murid-muridnya, agar mereka menjauhi dan tidak meriwayatkan hadis dari padanya. Diantara para ulama yang dkenal menentang para maudhu adalah Amir Asy-Sya’bi,Syu’bah bin Al-Hajj, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Mubarak dll
d.      Menerangkan keadaan para perawi
Para ahli hadis berusaha menelusuri sejarah kehidupan baik mulai dari lahir hingga wafat atau pun dari segi-segi sifat-sifat para perawi hadis, dari yang jujur, adil, dan andalnya ingatannya dan sebaliknya. Sehingga dapat dibedakan mana hadis shahih dan mana hadis yang palsu. Hasilnya mereka himpun dalam buku Rijal Al-Hadis dan Al-Jarrh wa At-Ta’dil sehingga oleh generasi berikutnya.


e.       Memberikan kaidah-kaidah hadis
Para ulama meletakkan dasar-dasar secara metodelogis tentang penelitian hadis untuk menganalisa otensitasnya sehingga dapat diketahui mana shahih, hasan, dhaif dan maudhu. Kaidah-kidah itu dijadikan standar penilaian suatu hadis menurut criteria sebagai hadis yang diterima atau ditolak.[19]

5.      Para pendusta dan kitab-kitab hadis maudhu
      Diantara pendusta hadis yang diketahui setelah melakukan penelitian yang dilakukan para ulama adalah sebagai berikut:
a.       Aban bin Jafar Al-Numaiqi, membuat 300 hadis yang disandarkan kepada abu hanifah
b.      Ibrhim bin Zaid Al-Aslami, membuat hadis disandarkan dari malik
c.       Ahmad bin Abdullah Al-Juwaini, yang membuat beribu-ribu hadis kepentingan al-karramiyah
d.      Jabir bin Zaid Al-Juafi, membuat 30.000 hadis
e.       Nuh bin Abu Maryam membuat hadis maudhu tentang fadhail surah-surah dalam Al-Quran
f.       Muhammad bin Syuja Al-Wasithi, Al-Harits bin Said Al-Mashlub, Al-Waqidi Muqatil bin sulaiman, Muhammad bin Saad Al-Mashlub, Al-Waqidi dan Ibnu Abu Yahya.
Diantara kitab-kitab yang memuat hadis maudhu adalah sebagai berikut:
a.       Tadzkirah al-maudhuat, karya Abu al-Fadhal Muhammad bin Thahir al-Maqdisi (448-507 H) didalam kitab ini disebutkan nama perawi yang dinilai cacat (tarjih)
b.      Al-Maudhu’at al-Kubra, karya Abu al-Faraj Abdurrahman al-Jauzi (508-597)
c.       Al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Maudhu’ah, karya Jalaluddin as-Suyuti (849-911 H)
d.      Al-ba’its ‘ala al-Khalash Min Hawadits al-Qashash, karya Zainuddin Abdurahman al-Iaraqi(725-806 H)
e.       Al-fawa’id al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Mawdhu’ah, karya al-Qadhi Abu Abdullah Muhammad Asy-Syaukani (1173-1255 H)
F.     Cara Tukang Pembuat Hadist Maudhu’
Penyebaran hadist maudhu’ pada masa pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan mulai menaburkan benih-benih fitnah, tetapi pada masa ini belum begitu meluas karena masih banyak sahabat ulama yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan kepalsuan suatu hadist. Para sahabat ini mengetahui bahaya dari hadist maudhu’ karena ada ancaman yang keras dikeluarkan olen Nabi SAW terhadap orang yang memalsukan hadist,[20].
Faktor-faktor Penyebab Munculnya Hadist Maudhu’:
1.      Pertentangan Politik dalam Soal Pemilihan Khalifah
Pertentangan di antara umat islam timbul setelah terjadinya pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak dan kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.
Umat islam pada masa itu terpecah-belah menjadi beberapa golongan, seperti golongan yang ingin menuntut bela terhadap kematian khalifah Utsman dan golongan yang mendukung kekhalifahan Sayyidina Ali (Syi’ah). Setelah perang Siffin, muncul pula beberapa golongan lainnya, seperti Khawarij dan golongan pendukung Muawiyyah.
Di antara golongan-golongan tersebut, untuk mendukung golongannya masing-masing, mereka membuat hadist palsu. Yang pertama dan yang paling banyak membuat hadist maudhu’ adalah dari golongan Syi’ah dan Rafidhah.[21][4]
2.      Asanya Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam
Golongan ini adalah terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani yang senantiasa menyimpan dendam terhadap agama islam. Mereka tidak mampu untuk melawan kekuatan islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini. Mereka menciptakan sejumlah besar hadist maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran islam.
Faktor ini merupakan factor awal munculnya hadist maudhu’. Hal ini berdasarkan peristiwa Abdullah bin Saba’ yang mencoba memecah-belah umat Islam dengan mengaku kecintaannya kepada Ahli Bait. Sejarah mencatatbahwa ia adalah seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, ia berani menciptakan hadist maudhu’ pada saat masih banyak sahabat ulama masih hidup.
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadist maudhu’ dari kalangan orang zindiq ini, adalah:
a.      Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 hadist maudhu’ tentang hukum halal-haram. Akhirnya, ia dihukum mati olen Muhammad bin Sulaiman, Walikota Bashrah.
b.      Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Mashur.
c.       Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah.[22]
3.      Membangkitkan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri Kepada   Allah
Mereka membuat hadist-hadist palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan, atau dorongan-dorongan untuk meningkatkan amal, melalui hadist tarhib wa targhib (anjuran-anjuran untuk meninggalkan yang tidak baik dan untuk mengerjakan yang dipandangnya baik) dengan cara berlebihan.[23]
4.      Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Ulama-ulama membuat hadist palsu ini untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para penguasa sehingga dari perbuatannya tersebut, mereka mendapat upah dengan diberi kedudukan atau harta.
Sebab-sebab Pemalsuan Hadist dan kelompok-kelompok Pemalsuannya;
1.      Sebab pemalsuan hadis yang pertama kali muncul adalah adanya prselisihan yang melanda kaum Muslimin yang bersumber pada fitnah dan kasus-kasus yang mengikutinya yakni umat Islam menjdi beberapa kelompok.
2.      Permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelek-jelekkannya. Yaitu upaya yang ditempuh oleh orang-orang zindik, lebih-lebih oleh keturunan bangsa-bangsa yang terkalahkan oleh umat Islam.
3.      Upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, seperti pendekatan kepada pemerintah atau upayamengumpulkan manusia ke dalam majelis,seperti yang dilakukan oleh para juru cerita dan para peminta-minta. Dampak negative kelompok ini sangat besar.
                      Kepalsuan yang terjadi pada hadis seorang rawi tanpa disengaja, seperti kesalahannya menyandarkan kepada Nabi SAW.[24][7]
a)      Pemberantasan Hadis Palsu dan MediaTerpenting untuk Memberantasnya
Para ulama mengambil langkah untuk memerangi pemalsu hadis dan menghindarkan bahaya para pemalsu. Untuk itu, merekamenggunakan berbagai metodologi yang cukup untuk kesimpulannya sebagai berikut:
Meneliti karakteristik para rawi dengan mengamati tingkah laku dan riwayat mereka.
b)   Memberi peringatan keras kepada para pendusta dan mengungkap-ungkap kejelekan mereka, mengumumkan kedustaan mereka kepada para pemuka masyarakat.
c)      Pencarian sanad hadis, sehingga mereka tidak menerima hadis yang tidak bersanad, bahkan hadis yang demikian mereka anggap sebagai hadis yang batil.
d)     Menguji kebenaran hadis dengan membandingkannya dengan riwayat yang melalui jalur lain dan hadi-hadis yang telah diakui keberadaannya.
e)      Menetapkan pedoman-pedomanuntuk mengungkapkan hadis maudhu’.
f)       Menyusun kitab himpunan hadis-hadismaudhu’ untuk member penerangan dan peringatan kepada masyarakt tentang keberadaan hadis-hadis tersebut.[25][8]

G.    Latar Belakang Kemunculan Hadits Maudhu’
Kemunculan hadits maudhu’ dilatarbelakangi oleh berbagai motivasi, di antaranya:
1.      Motivasi kepentingan politik dan kekuasaan
Berawal pada masa kekacauan, pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, yaitu pada perang shiffin. Contoh:
لكل أمة فرعون و فرعون هذه الأمة معاوية
“setiap umat ada fir’aunnya. Fir’aunnya umat ini adalah Muawiyah.
2.      Motivasi mengeruhkan dan merusak kemurnian ajaran agama
Seperti sebuah hadits yang dibuat oleh kaum zindik, contohnya:
انا خاتم النبيين لا نبي بعدي الا أن يشاء الله
“saya adalah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi setelahku kecuali kalau Allah menghendaki”.
Kalimat ‘kecuali kalau Allah menghendaki’ ditambahkan oleh Muhammad ibn Sa’id, seorang pendusta yang kemudian dieksekusi di tiang gantungan oleh Khalifah Al-Mansur di hadapan para kaum zindik.
3.      Motivas membangkitkan semangat beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ini dilakukan dalam rangka mendorong agar rajin beribadah dan berbuat kebaikan serrta menjauhi kejahatan. Misalnya, agar umat kembali kepada al-Quran dan rajin membacanya.
Nuh ibn Abi Maryam telah membuat hadits-hadits mengenai keutamaan membaca beberapa surat tertentu dalam al-Quran. Ketika ditanya mengapa membuat hadits-hadits seperti itu, ia menjawab: “saya melihat orang-orang sudah berpaling dari al-Quran. Mereka hanya sibuk belajar fiqh Abu Hanifah dan sejarah Muhammad ibn Ishak”. Contohnya tentang kautamaan membaca surah yasin;
من سمع سورة يس عدلت له عشرين دينارا فى سبيل الله و من قرأها عدلت له عشرين حجة و من كتبها و شربها ادخلت جوفه الف يقين و الف نور و الف بركة و الف رحمة و الف رزق و نزعت منه كل غل
“barangsiapa mendengarkan bacaan surah yasin, maka senilai dengan menyumbangkan 20 dinar ke jalan Allah, barangsiapa yang membaca surah yasin senilai dengan pergi haki 20 kali, barang siapa menulisnya dan meminumnya, maka akan dimasukkan ke dalam mulutnya 1000 keyakinan dan 1000 cahaya, 1000 berkah, 1000 rahmat dan 1000 rezeki, dan dikeluarkan dari dalam tubuhnya segala macam penyakit”.
4.      Motivasi menarik simpati dengan cara membuat kisah-kisah menarik para pendengar
Dalam sebuah riwayat dari Anas ibn Malik disebutkan bahwa seorang perempuan diberitahu bahwa ayahnya sedang sakit menjelang akhir hayatnya. Ia meminta izin kepada suaminya untuk mengunjungi ayahnya, namun suaminya melarang. Ketika ayahnya meninggal dunia isteri tersebut meimnta izin lagi kepada suaminya untuk melayat dan berkumpul bersama keluarganya ketika jenazah ayahnya diantar ke pemakaman, namun suaminya tetap melarangnya. Akhirnya isteri tersebut datang kepada Nabi SAW. mengadukan apa yang dialami dan perlakuan suaminya. Mendengar pengaduan isteri tersebut, Nabi SAW. bersabda: “sungguh Allah telah mengampuni ayahmu disebabkan engkau mematuhi perintah suamimu.[26]
Riwayat ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang sangat mengedepankan hubungan silaturrahim terutama kepada orang tua. Tidak mungkin Nabi SAW. merestui perbuatan yang memutuskan hubungan silaturrahim.
5.      Motivasi kepentingan pribadi dan duniawi
Dalam rangka mendapatkan fasilitas duniawi sehingga mengadakan pendekatan kepada pihak pemerintah. Misalnya Ghiyat ibn Ibrahim yang datang menghadap kepada khalifah al-Mahdi (khalifah yang senang burung merpati dan suka bermain dengannya).
Ketika itu ada seekor burung dihadapannya, datanglah Ghiyat mengatakan seorang telah meriwayatkan kepadaku, katanya telah meriwayatkan kepada bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
لا سبق الا فى نصل أو خف أو حافر أو جناح
“tidak ada perlombaan kecuali lomba panahan, lomba lari unta, lari kuda atau lomba burung”.
Kata ‘lomba burung’ merupakan tambahan Ghiyats ke dalam hadits tersebut. Dengan usahanya membuat hadits maudhu’ dengan cara menambahkan satu kata sehingga ia mendapat  uang 10.000 dirham dari khalifah.
H.    Ciri-ciri Hadits Maudhu’
Para ulama muhadditsin, disamping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui shahih, hasan atau dha’ifnya suatu hadits, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk mengetahui ke-maudhu’-an suatu hadits.
Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat dilihat dari ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.
1.      Ciri-ciri yang terdapat pada Sanat, antara lain:
a.       Pengakuan dari si pembuat sendiri
Seorang guru tasawuf misalnya, meriwayatkan hadits-hadits tentang keutamaan ayat-ayat tertentu, ketika ditanya oleh Ibnu Ismail Al-Imam Al-Bukhari [27]tentang hadits-hadits yang dia riwayatkan itu ia berkata dengan terus terang:
لَم يُحدّثنى أحد ولكن رأينا الناس قد رغبوا عن القرأن فوضعنا هذا الحديث
"Tidak satupun yang meriwayatkan hadits kepadaku, akan tetapi serentak kami melihat manusia-manusia membenci Al-Quran. Kami ciptakan untuk mereka hadits ini (keutamaan ayat-ayat Al-Quran), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Quran".
Karena menjadi kewajiban kita sebagai kaum terpelajar untuk melacak hadits-hadits tentang keutamaan beberapa surat atau ayat-ayat Al-Qur'an dengan tetap berpedoman kepada para alim yang dianugerahi Allah pemahaman. Misalnya:
مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ أَصْبَحَ مَغْفُوْرًا لَهُ
"Barangsiapa yang membaca surat Yaasiin dalam satu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya.” (Riwayat Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (I/247).
Imam Ibnul Jauzi berkata: Hadits ini dari semua jalannya adalah bathil, tidak ada asalnya. Imam Daraquthni berkata: “Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits.” [28]
b.      Qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudhu'
Misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau menerima hadits dari seorang guru yang telah meninggal dunia sebelum ia dilahirkan.
c.       Adanya qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya
Seperti juga kisah Giyats bin Ibrahim An-Nakh'i  Al-Kufi dengan Amir Mukminin Al-Mahdi, ketika masuk ke ruangan  Amirul Mukminin dan menjumpai Al-Mahdi tengah bermain-main dengan burung merpati. Maka ia menambahkan perkataan dalam hadits yang disandarkan kepada Nabi, bahwa beliau bersabda:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فيِ نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جُنَاحٍ
"Tidak ada perlombaan kecuali bermain pedang, pacuan, menggali atau sayap."  
Ia menambahkan kata sayap (junah), yang dilakukan  untuk menyenangkan Al Mahdi, lalu Al Mahdi memberinya sepuluh dirham. Setelah berpaling, Sang Amir berkata:"Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian  Al-Mahdi menyuruh untuk menyembelih burung merpati itu. Tingkah laku Ghiyats semacam ini menjadi qarinah untuk menetapkan ke-maudhu'-an hadits.

I.       Mengamalkan dan Menyampaikan Hadits Dha’if dan Hadits Palsu
Dalam kajian ilmu hadits, hadits dha’if dan hadits palsu dilihat dari sisi kehujjahannya termasuk kategori hadits mardud (tertolak). Hadits palsu tertolak secara pasti dan meyakinkan. Berbeda dengan hadits dha’if yang ringan, ada kemungkinan diterima dengan kriteria tertentu.
Dalam konteks ini, para ulama hadits berbeda pendapat, yaitu:
1.      Hadits dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik berkaitan dengna hukum halal dan haram maupun fadhail al-a’mal (keutamaan amal). Pendapat ini didukung oleh Ibnu Sayyid an-Nas, Abu Bakar ibn al-‘Arabi. Imam Bukhari dan Muslim juga berpendapat demikian, keduanya tidak meriwayatkan hadits dha’if.
2.      Hadits dha’if boleh diamalkan secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Ahmad ibn Hambal dan Abu Daud. Hadist dha’if yang boleh diamalkan seperti yang dimaksud boleh jadi dalam konteks sekarang adalah hadits hasan, baik hasan lighairihi maupun lidzatihi.
3.      Boleh mengamalkan hadits dha’if dalam hal fadhail al-‘amal dengan syarat-syarat tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan al-Hafizh ibn Hajar (852 H/1449 M), yang dikutip oleh Nurdin ‘Itr, yaitu:
a.       Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits yang tidak terlalu dha’if , tidak bisa diamalkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta atau orang yang banyak salah.
b.      Hadits dha’if itu berada di bawah suatu dalil yang umum, sehingga tidak dapat diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.
Sedangkan hadits dha’if yang berat, seperti hadits maudhu’, matruk, munkar dan sejenisnya tidak boleh diriwayatkan.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hadits dha’if pada dasarnya adalah hadits yang mardud (tertolak). Namun ada beberapa hal yang menjadikan sebagian dari hadits dha’if tersebut bisa diterima, yaitu dikarenakan hadits tersebut tergolong dalam hadits dha’if yang ringan seperti mu’allaq, munqathi’, mu’dhal mursal dan yang sejenisnya.
Adapun hadits dha’if yang tertolak adalah hadits dha’if berat seperti hadits maudhu’, munkar, matruk dan sejenisnya.
B.     Saran
Dari apa yang telah dibahas dan dijelaskan dalam makalah ini, tentunya masih terdapat keurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini, memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis makalah ini juga kepada saudara-saudara yang sedang mendalami disiplin ilmu ulumul hadits ini.


Daftar Pustaka

Wajidi Sayadi. 2009. Pengantar Studi Hadis. Pontianak: Pustaka Abuya
Agus Solahuddin dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka setia
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 1997. Sisilah hadis Dha’if dan Maudhu. Jakarta: Gema Insani Press
Al-khatib, Muhammad Ajaj. 1998. Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Jakarta: dar al-al-mas’udi, hafid hasan. Ilmu Musthalah Hadis. Surabaya: Al-Hikmah
Al-qaththan, syaikh manna. 2004. Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta : pustaka Al-Kautsar
Al-adlabi, Shalahudin ibn Ahmad. 2004. Kritik Metodologi Matan Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Azami, M. Mustafa. 1996. Metedologi Kritik Hadis. Bandung: Pustaka Hidayah Fikr
Ismail, H.M. Syuhudi. 1995. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengikar, dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press
Khon, H. Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta:Amza
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul hadis. Bandung:PT. Al Ma’arif
Yunus, H. Mahmud.1986. Terjemah Al-Qur’an Karim. Bandung: Pt Al-Ma’ari
Agus Solahudin. Ulumul Hadist. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Kasman. Hadist Dalam Pandangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka. 2012.
Nurrudin, Ulumul Hadis.PT Remaja Rosdakarya Bandung. Cetakan pertama. 2012





[1]Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag, Pengantar Studi Hadits, Pontianak: Pustaka Abuya. Hal 67.
[2]Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag, Pengantar Studi Hadits, Pontianak: Pustaka Abuya. Hal 69.
[3]Al-Albani, 1986: 450; Yaqub, 2003: 2; Al-Malibary, t.th: 7; Al-‘Ajluni, 1421 H, I: 154.
[4] Al-Albani, 1986: 451; Yaqub, 2003: 2; Al-‘Ajluni, 1421 H, I: 154).
[5] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung, PT. Alma Arif, 1974, hal 167-168
[6]Hafid Hasan al-Mas’udi, Ilmu Musthalah Hadis, Surabaya, Al Hikmah, hal 24-25
[7] Muhammad Nashiruddin af-Albni, Sisilah hadis Dha’if dan Maudhu, Jakarta, Gem Insani Press, 1997 hal 23-24
[8] Op. cit, hal 316
[9] Ulumul hadis, Op. cit. hal 164
[10] Ibid. hal 165-166
[11] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta, Pustaka Al kausar, 2004, hal 132
[12] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta, Pustaka Al kausar, 2004, hal 132

[14] Terjemah Al-Qur’an al-Karim, H Mahmud Yunus, PT Al-Ma’rif, Bandung, tahun 1986, hal 158
[15] Ikhtisar Musthalahul Hadis, Op.cit hal 171
[16] Ulumul Hadis Op.Cit. hal 201-211
[18] Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Op.Cit hal 172
[19] Ulumul Hadis Op.Cit. hal 212-213
[20] Kasman, Hadist Dalam  Pandangan  Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka. 2012, hlm.43

[22] Agus Solahudin, Ulumul Hadist. Bandung: CV. Pustaka Setia. Hlm172-173
[23] urrudin, Ulumul Hadis.op cit. hlm 309-316


[26][6] Muhammad Al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadits, (Kairo: Dar asy-Syuruq, 1989), cet IV h.43
[27] Al-Imam Al-Bukhari
[28] Al-Maudhuu’aat oleh Ibnul Jauzi (I/246-247), Mizaanul I’tidal III/549), Lisaanul Mizan (V/168), al-Fawaa-idul Majmu’ah fii Ahaaditsil Maudhu’ah (hal. 268 no. 944).

1 komentar:

  1. bismillah
    assaalamu'aalaikum wr wb
    Izin menyebarkan makalah ini ya akhi

    BalasHapus

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...