BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang
paling sempurna, agama keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala
ketentuan yang menjadi rambu-rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin selamat dunia akhirat maka ia harus taat pada semua rambu
dan tunduk pada segala ketentuan. Oleh karena itu dalam
kehidupan sehari-hari, praktek berislam harus kita-kita laksanakan dalam
berbagai aspek, termasuk dalam urusan minjam-meminjam. (Ariyah)
Sebagaimana yang kita lihat
kondisi zaman semakin lama semakin tidak teratur, antara yang boleh dan yang
dilarang sudah semakin samar, yang halal dan yang haram semakin tipis. Ditambah
lagi dengan manusianya yang menyepelekan hal-hal yang sudah ada aturannya dan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, seperti meminjam tanpa izin pemiliknya, dst. Maka
dari itu kita sebagai muslim yang taat terhadap ketentuan agama islam harus
memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh agama kita dan tidak menyepelekan
peraturan-peraturan agama.
Seperti kita ketahui, dalam ketentuan Ariyah ada
beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya Al-Muir dan Al-Mustair adalah
orang yang berakal dan dapat bertindak atas nama hokum, tidak diperkenankan
orang yang hilang akal melakukan akad ‘Ariyah, barang yang dipinjam bukan bukan
jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, seperti makanan,
minumana. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang yang utuh dan tidak musnah,
contohnya buku atau barang lain yang dapat dimanfaatkan oleh peminjam.
B.
Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian Ariyah?
2. Rukun dan Syarat Ariyah?
3. Perbedaan antara Qard dengan
Ariyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Menurut bahasa ‘ariyah
berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah mengambil manfaat barang
kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu tertentu untuk
dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. (Al Aziz, 2005:390)
Definisi ‘ariyah yang
dikemukaan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1.
Ulama Hanafiah
Menurut syara’ ‘ariyah adalah kepemilikan atas manfaat
tanpa disertai dengan imbalan.
2.
Ulama Malikiyah
Sesungguhnya ‘ariyah itu adalah kepemilikan atas
manfaat yang bersifat sementara tanpa disertai dengan imbalan.
3.
Ulama Syafi’iyah
Hakikat ‘ariyah menurut syara’ adalah dibolehkannya
mengambil manfaat dari orang yang berhak memberikan secara sukarela dengan
cara-cara pemanfaatan yang dibolehkan sedangkan bendanya masih tetap utuh,
untuk kemudian dikembalikan kepada orang yang memberikannya.
4.
Ulama Hanbaliyah
I’jarah adalah kebolehan
memanfaatkan suatu barang tanpa imbalan dari orang yang memberi pinjaman atau
lainnya. (Muslich, 2010: 467)
B.
Dasar Hukum
Dasar hukum ‘ariyah
adalah sebagai berikut:
1.
Q.S. Al Madinah (5): 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
2.
Hadits Anas bin Malik
Dari Anas bin Malik ia
berkata, “Telah terjadi rasa ketakutan
(atas serangan musuh) di kota Madinah. Lalu Nabi S.A.W. meminjam seekor kuda
dari Abi Thalhah yang diberi nama Mandub, kemudian beliau mengendarainya.
Setelah beliau kembali beliau bersabda, ‘Kami tidak melihat apa-apa, dan yang
kami temukan hanyalah lautan.’’ (H.R. Muttafaq ‘alaih).
Dari ayat Al Qur’an dan
hadits tersebut, membuktikan bahwa ‘ariyah diperbolehkan bahkan dianjurkan
dalam Islam.
C.
Rukun dan Syarat
Menurut ulama’
Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama
termasuk Syafi’iyah, rukun ‘ariyah adalah:
1.
Orang yang meminjamkan
2.
Orang yang meminjam
3.
Barang yang dipinjamkan
4.
Shighat
Syarat-syarat dalam
‘ariyah berkaitan dengan rukun-rukunnya. Berikut syarat-syarat ‘ariyah:
1.
Syarat-syarat orang yang meminjamkan
Orang-orang yang meminjamkan
sesuatu harus memiliki kemampuan tabarru’ (pemberian tanpa imbalan), yang
meliputi:
a.
Baligh. Menurut ulama Hanafiyah, baligh tidak
dimasukkan dalam syarat ‘ariyah melainkan cukup mumayyiz.
b.
Berakal
c.
Bukan orang
yang boros atau pailit
d.
Orang yang meminjamkan harus pemilik atas barang yang
manfaat akan dipinjamkan.
2.
Syarat-syarat orang yang meminjam
Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat
berikut
a.
Orang yang meminjam harus jelas
b.
Orang yang meminjam harus memiliki hak nafkah atau
memiliki wali yang memiliki sumber nafkah.
3.
Syarat-syarat barang yang dipinjam
Barang yang memiliki syarat sebagai berikut:
a.
Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada
waktu sekarang maupun nanti.
b.
Barang yang dipinjamkan harus berupa barang yang
mubah, yakni barang yang diperbolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara’
bukan barang yang diharamkan.
c.
Barang yang dipinjamkan apabila diambil menfaatnya
tetap utuh.
4.
Syarat-syarat shighat
Shighat disyaratkan harus menggunakan lafal yang
berisi pemberian izin kepada peminjam untuk memanfaatkan barang yang dimiliki
oleh orang yang meminjamkan.
D.
Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang
meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki hutang kepada yan
berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang
tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk
aniaya. Rasulullah saw bersabda:
“orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”. (HR.
Bukhori dan Muslim).[1]
Meminjam Pinjaman Dan Menyewakan
Abu hanifa dan malik
berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang
lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaannya untuk
hal-hal yang tidak berlaianan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut madzhab
hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang peminjaman atau siapa saja yang
menggantikan statusnya selama peminjamannya berlangsung, kecuali jika barang
tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliah menyewakan barang pinjaman
tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda
meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan
kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan salah seorang diantara keduanya.
Dalam keadaan hal ini, lebih baik pemilik barang meminta jaminan kepada pihak
kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak. [2]
Perubahan Status
Status amanah pada
‘ariyah dapat berubah menjadi status tanggungan disebabkan oleh beberapa alasan
sebagai berikut:
1.
Ditelantarkan. Misalnya menempatkan barang di tempat yang
tidak aman.
2.
Tidak dijaga dengan baik ketika menggunakan.
3.
Menggunakan barang pinjaman secara berlebihan tidak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut kebiasaan.
4.
Menyalahi cara menjaga barang yang disepakati. Tidak
sesuai pesan dari orang yang meminjamkan barang tersebut.
E.
Perbedaan Qardh dan
Ariyah
Di dalam fiqih Islam,
hutang piutang telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara
etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan
kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari
harta orang yang memberikan hutang kepda orang yang menerima hutang.
Sedangkan pengertian
istilah Qardh menurut ulama Hanafiyah
berpendapat qardh adalah: harta yang diberikan seseorang dari maal mitsli untuk kmudian dibayar atau dikembalikan.
Safi’iyah berpendapat qardh adalah: sesuatu yang diberikan kepada orang lain,
yang suatu saat harus di kembalikan.
Hanbaliyah berpendapat
qardh adalah: memberikan harta kepada
orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantiannya. Atau
dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak
milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari
sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp
1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu
juta juga.
Al-Qardhu atau Al-Qard
menurut pandangan syara’ adalah sesuatu yang dipinjamkan atau hutang diberikan.
Menurut istilah para fuqaha, hutang ialah memberi hak milik sesuatu barang
kepada orang lain dengan syarat orang tersebut mengembalikannya tanpa tambahan.
Lebih jelasnya perbedaan antara qardh dengan ‘ariyah
yaitu kalau Qardh, pemberian barang yang dipinjamkan ke
orang lain dan dikembalikan dengan jenis yang serupa, terjadi pemindahan
kepemilikan. Contohnya, uang satu juta dikembalikan uang satu juta, dan beras
satu kilo dikembalikan beras satu kilo. Sedang
‘Ariyah, tidak terjadi pemindahan kepemilikan, yang dikembalikan barang
yang dipakai. Contohnya, meminjam bajak sawah dikembalikan bajak sawah.
F.
Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang
dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang
nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut :
a.
pinjam meminjam supaya dikuatkan dengan tulisan dari
pihak yang meminjam dengan menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau
seorang saksi laki-laki dan 2 (dua) orang saksi perempuan.
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa”. (Q.S. Al-Baqarah : 282)
b.
Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang
mendesak disertai niat dalam hati akan membayar/mengembalikannya.
c.
Pihak yang memberi pinjaman hendaknya berniat
memberikan pertolongan kepada pihak yang meminjam. Bila yang meminjam tidak
mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membalaskannya.
d.
Pihak yang meminjam bila sudah mampu membayar
pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran pinjamannya karena lalai dalam
pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.
G.
Adab Pinjam Meminjam
Adab pinjam meminjam
terbagi 2 yaitu untuk musta’ir dan mu’ir
:
a.
Untuk Musta’ir
Tidak meminjam kecuali
dalam kondisi darurat
Berniat melunasinya
Berusaha untuk meminjam
kepada orang yang shalih
Meminjam sesuai dengan
kebutuhan
Lunasi tepat pada
waktunya dan jangan menundanya
Membayar dengan cara
yang baik
b.
Untuk Mu’ir
Niat yang benar dalam
memberi pinjaman
Bersikap baik dalam
menagih pinjaman
Memberi tenggang waktu
jika yang meminjam belum mampu membayar pada waktunya
Menghapus pinjaman bagi
yang tidak mampu mengembalikanya.[3]
H.
Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah
memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia
berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena
yang lainnya. Demikian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan
Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda: “Pemegang
kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.[4]
Sementara para pengikut
hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin
barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah
Saw. Bersabda:
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban
mengganti kerusakan” (Dikeluarkan al-Daruquthin)
Kewajiban Peminjam
1.
Mengembalikan batang itu kepada pemiliknya jika telah
selesai. Rasulullah SAW bersabda : “Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang
meminjam sesuatu harus membayar”. (HR. Abu Dawud)[5][5]
2.
Merawat barang pinjaman dengan baik. Rasulullah SAW
bersabda : “Kewajiban meminjam merawat
yang dipinjamnya, sehingga ia kembalikan barang itu”. (HR. Ahmad)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut bahasa ‘ariyah
berarti pinjaman. Menurut istilah artinya adalah mengambil manfaat barang
kepunyaan orang lain secara halal dengan jangka waktu tertentu untuk
dikembalikan lagi tanpa mengurangi atau merusak zatnya. Kemudian untuk
terciptanya proses ‘ariyah, terdapat beberapa rukun yang harus ada didalamnya,
yaitu orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, shighat, serta barang yang
dipinjamkan. Tidak sampai kepada rukun saja, ada beberapa syarat yang harus
disanggupi demi terwujudnya proses ariyah yang benar, yaitu orang-orang yang
meminjamkan sesuatu harus memiliki kemampuan tabarru’ (pemberian tanpa
imbalan), yang meliputi: Baligh, berakal, bukan
orang yang boros atau pailit, dan orang yang meminjamkan harus pemilik
atas barang yang manfaat akan dipinjamkan. Selanjutnya yaitu orang yang
meminjam harus jelas dan orang yang meminjam harus memiliki hak nafkah atau
memiliki wali yang memiliki sumber nafkah. Tak kalah penting, barang yang
dipinjamkan memiliki kriteria syarat yaitu barang tersebut bisa diambil
manfaatnya, baik pada waktu sekarang maupun nanti, barang yang dipinjamkan
apabila diambil menfaatnya tetap utuh, barang yang dipinjamkan harus berupa
barang yang mubah, yakni barang yang diperbolehkan untuk diambil manfaatnya
menurut syara’ bukan barang yang diharamkan. Maka sudah jelaslah perbedaan
antara qardh dan ariyah yang dimana qardh adalah pemberian barang yang
dipinjamkan ke orang lain dan dikembalikan dengan jenis yang serupa, terjadi
pemindahan kepemilikan. Sedangakan ariyah tidak terjadi pemindahan kepemilikan,
yang dikembalikan barang yang dipakai.
B.
Saran
Makalah ini merupakan
bentuk dari hasil kerja kerja keras kami dalam memenuhi tugas mata kuliah Fiqh
Muamalah 2. Kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan baik dari redaksi
maupun penyusunan makalah secara
DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi. FIQH MUAMALAH, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2011,
Lihat Sayyid Sabiq, dalam; Fikh al-sunnah,
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada
IbnuHajar al-Asqalani, Bulugh Al Maram Min Adillat Al
Hakam, (Jakarta : Akbar, 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar