BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sudah mulai berkembang
lagi sejak abad ke-7 dan berkembang secara pesat ke seluruh dunia dari waktu ke
waktu. Dalam penyebarannya secara otomatis Islam telah meletakkan nilai-nilai
kebudayaannya.
Kebudayaan Islam adalah hasil
olah akal, budi, cipta, rasa, karsa, dan karya manusia yang berlandaskan pada
nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan
berkembang. Hasil olah akal,budi,rasa,dan karsa yang telah terseleksi oleh
nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah
peradaban.
Dalam perkembangannya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber pada nafsu hewani, sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau perdaban Islam.
Dalam perkembangannya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber pada nafsu hewani, sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau perdaban Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal Usul Budaya
Budaya atau kebudayaan
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah. Merupakan bentuk jamak dari
buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal berkaitan dengan budi dan
akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture. Berasal dari kata
Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa juga diartikan mengolah
tanah atau bertani. Kata culture, juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur”
dalam bahasa Indonesia.
Dalam Islam, istilah
ini disebut dengan adab. Islam telah menggariskan adab-adab Islami yang
mengatur etika dan norma-norma pemeluknya. Adab-adab Islami ini meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia. Tuntunannya turun langsung dari Allah l
melalui wahyu kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan terbaik
dalam hal etika dan adab ini.
Sebelum kedatangan
Islam, yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Arab ketika itu ialah budaya
jahiliyah. Di antara budaya jahiliyah yang dilarang oleh Islam, misalnya
tathayyur, menisbatkan hujan kepada bintang-bintang, dan lain sebagainya.
Dinul-Islam sangat
menitik beratkan pengarahan para pemeluknya menuju prinsip kemanusiaan yang
universal, menoreh sejarah yang mulia dan memecah tradisi dan budaya yang
membelenggu manusia, serta mengambil intisari dari peradaban dunia modern untuk
kemaslahatan masyarakat Islami. Allah berfirman:
ö@è% $¨YtB#uä «!$$Î/ !$tBur tAÌRé& $uZøn=tã !$tBur tAÌRé& #n?tã zNÏdºtö/Î) @Ïè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur Uqà)÷ètur ÅÞ$t7óF{$#ur !$tBur uÎAré& 4ÓyqãB 4Ó|¤Ïãur cqÎ;¨Y9$#ur `ÏB öNÎgÎn/§ w ä-ÌhxÿçR tû÷üt/ 7ymr& óOßg÷YÏiB ß`óstRur ¼çms9 tbqßJÎ=ó¡ãB ÇÑÍÈ `tBur Æ÷tGö;t uöxî ÄN»n=óM}$# $YYÏ `n=sù @t6ø)ã çm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÌÅ¡»yø9$# ÇÑÎÈ
“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa
yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq,
Ya’qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi
dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan
hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri”. Barang siapa mencari agama selain
dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” [‘Ali ‘Imran/3:84-85]
B.
Penetrasi Budaya
Proses penetrasi budaya
merupakan suatu hal yang tak bisa dihindari. Karena kehidupan manusia yang
saling berhubungan satu sama lain. Interaksi sosial di antara manusia
menyebabkan terjadinya proses penetrasi budaya ini. Yang dimaksud dengan
penetrasi kebudayaan, ialah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke dalam
kebudayaan lainnya.
Penetrasi budaya dapat
terjadi dengan dua cara.
a.
Penetrasi Damai
(Penetration Pasifique).
Yaitu masuknya sebuah
kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu ke
Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan
konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua
kebudayaan inipun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya
masyarakat.
Penyebaran kebudayaan
secara damai akan menghasilkan akulturasi, asimilasi atau sintesis.
Akulturasi, ialah
bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa
menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur
yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dengan India.
Asimilasi, adalah
bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan
Sintesis, yaitu bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya
sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
Dan sesudah tersebarnya
agama Islam di Nusantara, pengaruh-pengaruh kebudayaan yang telah berasimilasi
itu masih tersisa dan dipertahankan oleh sebagian orang. Oleh karena itu, kita
melihat unsur-unsur budaya India ini pada sebagian ritual keagamaan yang
dilakukan oleh sebagian orang Islam, misalnya dalam upacara-upacara selamatan,
seperti halnya upah-upah di Mandailing, peusijeuk di Aceh, dan tepung tawar di
Melayu, serta upacara-upacara perkawinan dan kematian.
b.
Penetrasi Kekerasan
(Penetration Violante).
Yaitu masuknya sebuah
kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Sebagai contoh, masuknya kebudayaan
Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan, sehingga
menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat.
C.
Kebudayaan Di Indonesia
Kebudayaan Indonesia
dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum
terbentuknya negara Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang
berasal dari berbagai budaya suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral
dari kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Indonesia
walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh
kebudayaan besar lainnya, seperti kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan India.
Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di
Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan
agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi,
ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, yakni kerajaan Kutai,
sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa
masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang
intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain
itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari
daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikah
dengan penduduk local, hingga akhirnya menghasilkan perpaduan kebudayaan
Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi
salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia, semisal
kebudayaan Jawa dan Betawi.
Adapun adab-adab Islam
masuk ke Indonesia seiring dengan perkembangannya di Nusantara, yang dibawa
oleh dai-dai dari Timur Tengah dan Asia Selatan.
D.
Pandangan Islam Terhadap Kebudayaan Manusia
‘Aisyah Radhiyalahu
‘anha menceritakan: “Sesungguhnya pernikahan pada masa jahiliyah ada empat
macam. Pernikahan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sekarang. Yaitu
seseorang datang meminang wanita atau anak gadis kepada walinya, lalu ia
memberi mahar kepadanya kemudian menikahinya”.
Jenis pernikahan
lainnya, seorang lelaki berkata kepada istrinya apabila telah suci dari
haidhnya, “pergilah menemui si Fulan lalu ambillah benih darinya,” kemudian
suaminya menjauhi dan tidak menyentuhnya lagi hingga jelas kehamilannya dari
benih si fulan tadi. Jika ternyata hamil, maka si suami boleh menyetubuhinya
bila ia mau. Ia melakukan itu untuk mendapatkan anak. Pernikahan jenis ini
disebut nikah istibdhâ`.
Pernikahan jenis lain,
yaitu berkumpullah beberapa orang lelaki yang berjumlah sekitar sepuluh orang.
Mereka semua menyetubuhi seorang wanita. Apabila wanita itu hamil atau
mengandung, dan telah lewat beberapa hari setelah melahirkan kandungannya, maka
iapun mengirim bayinya kepada salah seorang dari laki-laki itu. Maka mereka pun
tidak bisa mengelak. Kemudian mereka semua berkumpul dengan wanita itu, lalu si
wanita berkata kepada mereka: “Tentunya kalian telah mengetahui urusan kalian.
Aku telah melahirkan seorang anak, dan anak ini adalah anakmu hai Fulan”. Si
wanita menyebutkan nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan anak
tersebut dinisbatkan kepada lelaki itu tanpa bisa menolaknya lagi.
Pernikahan jenis lain,
yaitu sejumlah lelaki menyetubuhi seorang wanita tanpa menolak siapapun lelaki
yang datang kepadanya. Dia ini ialah perempuan pelacur. Mereka menancapkan
bendera pada pintu-pintu rumah sebagai tanda. Siapa saja lelaki yang ingin
menyetubuhinya, ia bebas mendatanginya. Jika perempuan ini hamil dan melahirkan
anak, maka para lelaki itupun dikumpulkan. Lalu dipanggilah qâfah[1] kemudian
anak tersebut dinisbatkan kepada salah seorang dari mereka yang telah ditunjuk
oleh qâfah tersebut. Maka anak itupun dinisbatkan kepadanya tanpa bisa
menolaknya.
Ketika Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi rasul dengan membawa kebenaran,
dihapuslah seluruh jenis pernikahan jahiliyah kecuali penikahan yang dilakukan
oleh orang-orang sekarang ini.[2]
Dari riwayat ini, kita
dapat mengetahui bahwa Islam membiarkan beberapa adat kebiasaan manusia yang
tidak bertentangan dengan syariat dan adab-adab Islam atau sejalan dengannya.
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghapus
seluruh adat dan budaya masyarakat Arab yang ada sebelum datangnya Islam. Akan
tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang budaya-budaya yang
mengandung unsur syirik, seperti pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang,
dan budaya-budaya yang bertentangan dengan adab-adab Islami.
Jadi, selama adat dan
budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, silakan melakukannya. Namun
jika bertentangan dengan ajaran Islam, seperti memamerkan aurat pada sebagian
pakaian adat daerah, atau budaya itu berbau syirik atau memiliki asal-usul
ritual syirik dan pemujaan atau penyembahan kepada dewa-dewa atau tuhan-tuhan
selain Allah, maka budaya seperti itu hukumnya haram.
E.
Beberapa Contoh Kebudayaan Masyarakat Indonesia
a.
Budaya Tumpeng.
Tumpeng adalah cara
penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Itulah sebabnya
disebut “nasi tumpeng”. Olahan nasi yang dipakai, umumnya berupa nasi kuning,
meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian
nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa, dan biasanya dibuat
pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian,
masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum. Tumpeng biasa disajikan
di atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun pisang.
Acara yang melibatkan
nasi tumpeng disebut secara awam sebagai “tumpengan”. Di Yogyakarta misalnya,
berkembang tradisi “tumpengan” pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara. Ada
tradisi tidak tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng
dihidangkan bagi orang yang profesinya tertinggi dari orang-orang yang hadir.
Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut.
Ada beberapa macam
tumpeng ini, di antaranya sebagai berikut.
a)
Tumpeng Robyong.
Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa.
Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai sayuran. Di bagian puncak
tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
b)
Tumpeng Nujuh Bulan.
Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan, dan terbuat dari
nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini juga dikelilingi
enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi
daun pisang.
c)
Tumpeng Pungkur.
Digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat
dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian
dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
d) Tumpeng Putih. Warna
putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk
acara sakral.
e)
Tumpeng Nasi Kuning.
Warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk
syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan
sebagainya.
f)
Tumpeng Nasi Uduk.
Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
Dari situ dapat kita
ketahui bila tumpeng dibuat dalam rangka acara-acara atau ritual-ritual di
atas, maka Islam tidak membenarkannya. Namun kalau sekedar membuat tumpeng
sebagai seni memasak tanpa disertai acara dan ritual tersebut, maka tidaklah
mengapa.
b.
Peusijeuk, upah-upah (manyonggot), tepung tawar dan
selamatan.
Adat istiadat ini biasa
diadakan apabila seseorang memiliki hajatan atau hendak pergi jauh untuk
menghilangkan kesialan. Di daerah Aceh, acara ini disebut peusijeuk. Di pesisir
Melayu disebut tepung tawar, dan di Jawa dikenal dengan sebutan selamatan. Di
daerah Tapanuli Utara dan Asahan dikenal dengan sebutan upah-upah atau
manyonggot.
Tepung tawar biasa
dilakukan dengan menghambur-hambur beras kepada orang yang ditepung tawari.
Adapun upah-upah, juga merupakan upacara menolak kesialan. Biasanya dilakukan
terhadap orang yang sakit agar spiritualnya (roh) kembali ke jasadnya. Yaitu
dengan memasak ayam kemudian diletakkan di piring lalu dibawa mengitari orang
yang akan diupah-upahi, kemudian disuapkan kepada orang tersebut. Tujuannya
ialah mengembalikan semangat pada orang sakit itu.
Acara-acara seperti
tersebut di atas, tidak lepas dari unsur-unsur kepercayaan animisme, dan konon
asal-usulnya berasal dari ritual-ritual nenek moyang.
c.
Sungkeman.
Biasanya, kebiasaan ini
berasal dari pulau Jawa yang umumnya dilakukan pada saat Hari Raya dan pada
upacara pernikahan, tetapi kadang kala dilakukan juga setiap kali bertemu.
Dilakukan dengan cara sujud kepada orang tua atau orang yang dianggap sepuh
(Jawa, tua atau dituakan). Adat ini mengandung unsur sujud dan rukuk kepada
selain Allah, yang tentunya dilarang dalam Islam.
d.
Beberapa adat-istiadat dalam upacara perkawinan adat
Jawa
yang bertentangan
dengan syariat Islam, karena mengandung unsur syirik atau maksiat atau lainnya.
1.
Tarub atau janur
kuning. Sehari sebelum pernikahan, biasanya gerbang rumah pengantin perempuan
akan dihiasi tarub atau janur kuning yang terdiri dari bermacam tumbuhan dan
daun-daunan, dua pohon pisang dengan setandan pisang masak pada masing-masing
pohon, melambangkan suami yang akan menjadi kepala rumah tangga yang baik dan
pasangan yang akan hidup baik dan bahagia dimanapun mereka berada (seperti
pohon pisang yang mudah tumbuh di manapun).
Tebu Wulung atau tebu
merah, yang berarti keluarga yang mengutamakan pikiran sehat.
Cengkir Gading atau
buah kelapa muda, yang berarti pasangan suami istri akan saling mencintai dan
saling menjagai dan merawat satu sama lain.
Berbagai macam daun
seperti daun beringin, mojo-koro, alang-alang, dadap serep, sebagai simbol
kedua pengantin akan hidup aman dan keluarga mereka terlindung dari mara
bahaya. Selain itu di atas gerbang rumah juga dipasang belketepe, yaitu hiasan
dari daun kelapa untuk mengusir roh-roh jahat dan sebagai tanda bahwa ada acara
pernikahan sedang berlangsung di tempat tersebut.
Sebelum tarub dan janur
kuning tersebut dipasang, sesajen atau persembahan sesajian biasanya
dipersiapkan terlebih dahulu. Sesajian tersebut antara lain terdiri dari
pisang, kelapa, beras, daging sapi, tempe, buah-buahan, roti, bunga,
bermacam-macam minuman termasuk jamu, lampu, dan lainnya. Arti simbolis dari
sesajian ini ialah agar diberkati leluhur dan dilindungi dari roh-roh jahat.
Sesajian ini diletakkan di tempat-tempat dimana upacara pernikahan akan
dilangsungkan, seperti kamar mandi, dapur, pintu gerbang, di bawah tarub, di
jalanan di dekat rumah, dan sebagainya. Dekorasi lain yang dipersiapkan adalah
Kembar Mayang yang akan digunakan dalam upacara panggih.
2.
Upacara Siraman. Acara
yang dilakukan pada siang hari sebelum ijab atau upacara pernikahan ini,
bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga. Siraman biasanya dilakukan di kamar
mandi atau taman keluarga masing-masing dan dilakukan oleh orang tua atau wakil
mereka.
Ada tujuh Pitulungan
atau penolong (Pitu artinya tujuh) -biasanya tujuh orang yang dianggap baik
atau penting- yang membantu acara ini. Airnya merupakan campuran dari kembang setaman
yang disebut Banyu Perwitosari, yang jika memungkinkan diambil dari tujuh mata
air dan melambangkan kehidupan. Keluarga pengantin perempuan akan mengirim
utusan dengan membawa Banyu Perwitosari ke kediaman keluarga pengantin pria dan
menuangkannya di dalam rumah pengantin pria.
3.
Pecah Kendi. Yaitu ibu
pengantin perempuan atau Pameas (untuk siraman pengantin pria) atau orang yang
terakhir akan memecahkan kendi dan mengatakan “wis pecah pamore”, artinya
sekarang sang pengantin siap untuk menikah.
4.
Pangkas Rikmo lan Tanam
Rikmo. Acara memotong sedikit rambut pengantin perempuan dan potongan rambut
tersebut ditanam di rumah belakang.
5.
Ngerik, Yaitu pengantin
perempuan duduk di dalam kamarnya. Pameas lalu mengeringkan rambutnya dan
memberi pewangi di rambutnya. Rambutnya lalu disisir dan digelung atau dibentuk
konde. Setelah Pameas mengeringkan wajah dan leher sang pengantin, lalu ia
mulai mendandani wajah sang pengantin. Lalu sang pengantin akan dipakaikan baju
kebaya dan kain batik. Sesajian untuk upacara Ngerik pada dasarnya sama untuk
acara siraman. Biasanya supaya lebih mudah sesajian untuk siraman digunakan /
dimasukkan ke kamar pengantin dan dipakai untuk sesajian upacara Ngerik.
6.
Gendhongan. Kedua
orangtua pengantin perempuan menggendong anak mereka yang melambangkan
ngentaske, artinya mengentaskan seorang anak.
7.
Dodol Dhawet. Kedua
orangtua pengantin wanita berjualan minuman dawet, yaitu minuman manis khas
Solo, tujuannya agar banyak tamu yang datang.
8.
Temu Panggih.
Penyerahan pisang sanggan berupa gedung ayu suruh ayu sebagai tebusan atau
syarat untuk pengantin perempuan.
9.
Penyerahan Cikal.
Sebagai tanda agar kehidupan mendatang menjadi orang berguna dan tak kurang
suatu apapun.
10. Penyerahan Jago Kisoh.
Sebagai tanda melepaskan anak dengan penuh ikhlas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulannya:
"Sesungguhnya pernikahan pada masa jahiliyah ada
empat macam. Ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam diutus menjadi
rasul dengan membawa kebenaran, dihapuslah seluruh jenis pernikahan jahiliyah
kecuali pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang sekarang ini.
[Aadabusy-Syar'iyyah, Ibnu Musflih]
Dari riwayat ini, kita dapat mengetahui bahwa Islam
memberikan beberapa adat kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan
syariat dan adab-adab Islam atau sekalan dengannya.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak menghapus seluruh adat dan budaya masyarakat Arab yang ada sebelum
datangnya Islam.
Akan tetapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang budaya-budayayang mengandung syirik, seperti pemujaan terhadap leluhur
dan nenek moyang, dan budaya-budaya yang bertentangan dengan adab-adab Islami.
DAFTAR
PUSTAKA
Tim Dosen PAI UNM.2006.Reorientasi Pendidikan Islam: Menuju Pengembangan
Kepribadian Insan Kamil.Malang:Hilal Pustaka
Tim Dosen PAI UB.2006. Buku Daras Pendidikan Agama
Islam. Malang: PPA UB
Gazalba, Sidi.1975 .Mesjid: Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam .Jakarta: Pustaka Antara
http://sahrul-media.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar