BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tema
keikutsertaan aktifis Islam baik dari kalangan ulama, du’at dan pemikirnya
dalam pertarungan politik hingga kini masih saja menjadi tema yang menarik dan
hangat untuk dibicarakan.Dan itu dibuktikan dengan terjadinya pro-kontra
dikalangan mereka yang mengkaji dan mendiskusikannya. Dan polemik ini jika
diteliti lebih jauh bukanlah polemik yang baru kali ini terjadi, namun sejak
dahulu bahkan sejak berabad-abad lalu tema keterlibatan para ulama dan
cendekiawan muslim secara politis dalam penyelenggaraan negara baik sebagai
eksekutif, legislatif ataupun yudikatif selalu menjadi perdebatan yang hangat
dikaji. Dan siapa pun yang membaca literatur-literatur zaman itu akan menemukan
misalnya bagaimana sebagian ulama mengingatkan bahaya “mendekati pintu sultan” atau
bahkan menolak jabatan sebagai seorang qadhi. Meskipun tentu saja perdebatan
itu tidak dalam kapasitas memvonis haram halalnya “profesi politis” tersebut,
namun hanya setakat menyoal boleh atau makruhnya hal tersebut tentu saja
kemakruhan ini karena dilandaskan sikap wara’ semata, tidak lebih dari itu.
Sikap wara’ itu
sendiri jika ditelisik lebih jauh nampaknya dilandasi oleh dua hal:
Pertama,
tingkat resiko pertanggungjawaban yang sangat
tinggi yang terdapat dalam jabatan tersebut.
Kedua, bahwa posisi yudikatif (qadha’)
secara khusus memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan posisi imamah
kubra (kepemimpinan tertinggi) yang dalam hal ini dipegang oleh
para khalifah yang memiliki kadar keadilan yang berbeda-beda satu sama lain.
Dan sangat disayangkan bahwa tabiat umum para khalifah itu pasca al-Khulafa’
al-Rasyidun justru lebih diwarnai oleh kefasikan; hal yang kemudian
membuat banyak ulama yang wara’ lebih memilih untuk menjauhi
jabatan apapun yang akan mengaitkan mereka dengan para khalifah itu. Alasannya
tentu sangat jelas rasa takut dan khawatir jika terpaksa harus menyetujui dan
melegitimasi kezhaliman mereka, atau karena khawatir harta yang akan mereka
peroleh dari jalur itu termasuk harta yang tidak halal untuk mereka gunakan.
Meskipun
menjadi suatu fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri pula bahwa terdapat
sejumlah besar ulama yang tidak ragu untuk menerima jabatan-jabatan penting
tersebut karena melihat sisi maslahat yang menurut mereka lebih besar.
Dan jika
kita berpindah dan melihat realita kontemporer kaum muslimin, kita akan melihat
sebuah kenyataan yang tentu saja sangat jauh berbeda dengan kondisi Islam pada
masa-masa sebelumnya. Perbedaan ini terwujud sangat nyata dalam “kemenangan”
kekuatan sekularisme dalam pentas kehidupan sehari-hari.Interaksi kaum muslimin
sendiri pun sangat jauh berubah terhadap Islam. Setelah sebelumnya agama
memiliki kekuatan yang nyaris sempurna terhadap perilaku individu dan
masyarakat, kini hampir dapat dikatakan bahwa kekuatan peran agama nyaris tidak
melewati batas individu saja kecuali jika ingin mengecualikan beberapa kalangan
masyarakat Islam, seperti sebagian masyarakat yang ada di Jazirah Arab
misalnya, yang itupun memiliki tingkat kepatuhan dan keterpengaruhan pada Islam
yang tidak sama satu dengan yang lain.
Meskipun
sekularisme (pemisahan agama dengan negara) jelas merupakan ide yang asing bagi
umat Islam, namun “anehnya” secara pemikiran dan praktek ia begitu melekat dan
mewabah di tengah mereka. Dan itu sampai pada taraf membuat “keinginan untuk
menerapkan Syariat Islam” menjelma menjadi tuduhan menakutkan yang kemudian
dilemparkan kepada kaum muslimin oleh kaum muslimin sendiri dan yang
menyedihkan bahwa sebagian kaum cendekiawannya berperan sangat besar dalam hal
ini.Atas dasar situasi yang dilematis inilah terjadi perbedaan pandangan di
kalangan kaum muslimin, terutama para ulama, du’at dan aktifisnya, dalam
menentukan sikap mereka.
Ada yang
berpandangan bahwa semua masyarakat itu secara lembaga maupun individu telah
menyimpang dari jalan yang benar dan perbaikan mendasar hanya dapat dilakukan
melalui jalan dan cara politis. Meskipun mereka kemudian berbeda pandangan lagi
apakah perubahan itu harus melalui kudeta?Atau mengikuti persaingan politik
yang keras?Atau justru dengan melakukan kekacauan dan menanamkan ketakutan pada
diri para penguasa politis sebuah negara?
Ada pula
yang berpandangan bahwa masyarakat Islam sedikit banyak masih berada di atas
jalan yang semestinya, meskipun mereka sepakat bahwa ada banyak hal yang harus
diperbaiki di tubuh umat ini secara lembaga maupun individu. Tapi yang menjadi
pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara memperbaikinya?
Karena
itu tidak mengherankan jika para ulama pun berbeda pandangan dalam menyikapi
pemilu yang diselenggarakan di berbagai tempat dan hukum keikutsertaan di
dalamnya. Tema inilah yang ingin diangkat dalam makalah ini, dimana ia akan
berusaha mengulas dan mendudukkan persoalan ini berdasarkan kaidah-kaidah
syar’i yang ada
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Politik Islam
Guna
melengkapi dan memudahkan pemahaman pembaca, sebelum memasuki pembahasan
tentang pengertian poltik dalam perspektif Islam, terlebih dahulu akan
disuguhkan pengertian politik dalam terminologi yang berkembang saat ini.
Secara umum telah banyak sekali pengertian tentang politik yang diberikan para
sarjana politik. Diantara pengertian-pengertian politik tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Menurut
Asad (1954), politik adalah menghimpun kekuatan; meningkatkan kualitas dan
kuantitas kekuatan; mengawasi dan mengendalikan kekuatan; dan menggunakan
kekuatan, untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan institusi lainnya.
2. Dalam
pandangan Abdulgani, perjuangan politik bukan selalu “de kunst het mogelijke”
tapi seringkali malahan "de kunst van onmogelijke" (Politik
adalah seni tentang yang mungkin dan tidak mungkin). Sering pula politik
diartikan "machtsvorming en machtsaanwending" (Politik adalah
pembentukan dan penggunaan kekuatan).
3. Bluntschli
(1935) memandang politik sebagai "Politik is more an art a
science and to do with the practical conduct or guidance of the state"
(Politik lebih merupakan seni daripada ilmu tentang pelaksanaan tindakan dan
pimpinan (praktis negara)).
4. Isjwara
(1967) mencatat beberapa arti tentang politik dari sejumlah ahli. Diantaranya
adalah : -Loewenstein yang
berpendapat "Politik is nicht anderes als der kamps um die Macht"
(politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan);
·
Suys
yang mengartikan politik sebagai "Strijd om macht" (jalan ke
kekuasaan);
·
Roucek
yang mendefinisikan politik sebagai berikut, "for central problem of
politics is that of the distribution and control of power. Politics is
the quest for power and political relationships are power relationships, actual
or potential" (problema sentral dari politik adalah distribusi
kekuasaan dan kontrol kekuasaan. Politik adalah mencari kekuasaan,
sedangkan hubungan politik adalah hubungan kekuasaan, aktual atau potensial).
·
Lasswell
yang menyatakan bahwa "when we speak of the science of politics, we
mean the science of power” (Apabila kita berbicara tentang ilmu politik,
maksudnya ialah ilmu tentang kekuasaan). Pada lain kesempatan Lasswell
juga mengartikan ilmu politik sebagai "the study of
influence and influential...The influential are those who get most of what
there is to get" (studi tentang pengaruh dan yang berpengaruh...adapun
yang berpengaruh itu ialah mereka yang memperoleh sebanyak-banyaknya yang dapat
diperoleh. Yang dapat diperoleh adalah deference, income, safety
(kehormatan, penghasilan, keselamatan).
·
Catlin
yang mendefiniskan ilmu politik sebagai “a study of control or as the act of
human or social control" (Studi tentang kontrol, yaitu tindakan
kontrol manusia dan kontrol masyarakat).
·
Isjwara
sendiri menyimpulkannya sebagai berikut. Politik adalah perjuangan untuk
memperoleh kekuasaan; teknik menjalankan kekuasaan; masalah-masalah pelaksanaan
dan kontrol kekuasaan; atau pembentukan kekuasaan.[1]
Politik
Islam di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah.Oleh sebab
itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah siyasah syar’iyyah.
Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam
kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan bererti Qama ‘alaiha wa
radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya).
Alsiyasah
juga berarti mengatur, mengendalikan,mengurus,atau
membuat keputusan,mengatur kaum, memerintah, dan memimpinya. Secara tersirat
dalam pengertian siyasah terkandung dua dimensi yang berkaitan satu sama lain,
yaitu:
1. “Tujuan”
yang hendak di capai melalui proses pengendalian,
2. “Cara” pengendalian menuju tujuan tersebut
Secera
istilah politik islam adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’. Pengertian siyasah lainya oleh Ibn A’qil, sebagaimana yang
dikutip oleh Ibnu Qayyim, politik Islam adalah segala perbuatan yang membawa manusia
lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan,
sekalipunRasullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah SWT tidak menentukanya.[2]
Pandangan politik menurut syara’, realitanya pasti berhubungan dengan masalah
mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat.Sehingga definisi dasar
menurut realita dasar ini adalah netral.Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme,
sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum
mengatur sistem politik mereka.Dari sinilah muncul pengertian politik yang
mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi “netral”.[3]
B.
Dalil Berpolitik Dalam Islam
Rasulullah
SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :
"Adalah
Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang
nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun
akan ada banyak para khalifah."
(Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Jelaslah
bahawa politik atau siyasah itu bermakna adalah mengurusi urusan masyarakat.
Rasulullah SAW. bersabda :
"Siapa
saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya, maka
orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak
memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka
(iaitu kaum Muslim). (Hadis Riwayat Thabrani)[4]
C.
Politik dalam Pandangan
Cendekiawan dan Ulama
Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Siyasah as-Syar’iyyah,
hal 168 menjelaskan:
“Wajib diketahui bahwa mengurusi dan melayani kepentingan
manusia merupakan kewajiban terbesar agama dimana agama dan dunia tidak bisa
tegak tanpanya. Sungguh bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam
agama tanpa adanya jamaah dan tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan. Nabi
bersabda: ‘Jika keluar tiga orang untuk bersafar maka hendaklah mereka
mengangkat salah satunya sebagai pemimpin’ (HR. Abu Daud). Nabi mewajibkan
umatnya mengangkat pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun dalam rangka
melakukan amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan,
menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan sholat Ied, menolong orang yang
dizalimi, dan menerapkan hukum hudud.”
Lebih jauh Ibnu Taimiyyah –mengutip Khalid Ibrahim
Jindan- berpendapat bahwa kedudukan agama dan negara ”saling berkelindan,
tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya,
sementara tanpa wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.”
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa kekuasaan penguasa merupakan tanggung jawab
yang harus dipenuhi dengan baik. Penguasa harus
mengurusi rakyatnya seperti yang
dilakukan pengembala yang dilakukan kepada
gembalaanya. Penguasa disewa rakyatnya agar bekarja untuk kepentingan
meraka, kewajiban timbal balik kepada kedua belah pihak menjadikan perjanjian
dalam bentuk kemitraan.[5]
Pendapat Ibnu Aqil seperti yang dikutip Ibnu Qayyim
mendefinisikan: “Siyasah syar’iyyah sebagai segala perbuatan yang membawa
manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan,
sekalipun Rasul tidak menetapkan dan Allah tidak mewahyukan. Siyasah yang
merupakan hasil pemikiran manusia tersebut harus berlandaskan kepada etika
agama dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariah”.
Imam Al Mawardi dalam “Ahkamus Sultaniyyah Wal
Walayatud Diniyah” menjelaskan siyasah syar’iyah sebagai:
“Kewajiban yang dilakukan kepala negara pasca kenabian
dalam rangka menjaga kemurnian agama dan mengatur urusan dunia (hirosatud
din wa raiyyatud dunya).”
Al Ghazali melukiskan
hubungan antara agama dengan kekuasaan
politik dengan ungkapan :
” Sultan (disini berarti
kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib
untuk ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat.
Inilah tujuan sebenarnya para Rasul.. Jadi wajib adanya imam merupakan
kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya.”[6]
Asyahid Imam Hasan Al Banna menjelaskan politik adalah,
“Hal memikirkan persoalan internal (yang mencakup
diantaranya: mengurusi persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya,
memerinci hak dan kewajibannya, melakukan pengawasan terhadap penguasa) dan
eksternal umat (yang meliputi diantaranya: memelihara kemerdekaan dan kebebasan
bangsa, mengantarkan bangsanya mencapai tujuan yang diidamkan dan membebaskan
bangsanya dari penindasan dan intervensi pihak lain).”
Dr. V. Fitzgerald menjelaskan bahwa,
” Islam bukanlah
semata-mata agama (a religion) namun juga merupakan sebuah sistem politik( a
political syistem). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan
dari umat Islam yang mengklain sebagai kalangan modernis, yang berusah memisahkan kedua sisi itu, namun
seluruh gugusan pemikiran Islam dibangaun di atas pundamen bahwa kedua sisi itu
saling bergandengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.”[7]
Prof Barents mengemukakan politik ialah ”ilmu mempelajari kehidupan bernegara.”[8]
Yusuf Qaradhawi dalam Fiqh Daulah mendefinisikan Siyasah
Syar’iyah:
“Fiqh Islami yang mencakup hubungan individu dengan
daulah (negara dan pemerintahan), atau hubungan pemimpin dengan rakyat,
hubungan hakim dengan terdakwa, hubungan kekuasaan dengan masyarakat yang dalam
terminologi modern disebut sistem ketatanegaraan, sistem keuangan, sistem
pemerintahan dan sistem hubungan internasional.”
Sedangkan definisi Siyasah Syar’iyah menurut Abdul
Wahhab Khallaf adalah:
“Pengaturan urusan pemerintahan kaum Muslimin secara
menyeluruh dengan cara mewujudkan maslahat, mencegah terjadinya kerusakan
(mafsadat) melalui batasan-batasan yang ditetapkan syara’ dan prinsip-prinsip
umum Syariah (maqosidhus syari’ah) –kendati hal itu tidak ada dalam ketetapan
nash dan hanya menyandarkan pendapat para imam mujtahij”. (Asy Siyasah
Asyar’iyyah, hal 12-127)
Al- Farabi mengemukakan syarat-syarat pemimpin Islam yang
baik dan dipandang patut dijadikan contoh, yaitu :
1. Ia
haruslah seorang hakim
2. Harus
berpengetahuan luas dan mampu memelihara undang-undang, adad istiadat,
kebiasaan,tradisi, dan etika
3. Harus
mampu menaarik kesimpulan baru untuk
konsep yang bukan dan belum diciptakan oleh para pendahulunya
4. Harus
memiliki pertimbangan baik dalam menyimpulkan undang-undang baru dan berupaya
menigkatkan kesejahteraan Negara
5. Ia harus
mampu menjadi panutan bagi masyarakat yang ia pimpin
6. Ia
haaaraus memiliki fisik yang kuat dalam rangka mengemban tugas-tugas perang,
menjadi pimpinan militer dan menguasai seni berperang.[9]
Definisi dan pembahasan ruang lingkup politik Islam (as-siyasah
syar’iyyah) dalam pandangan para ulama dan cendekiawan Islam setidaknya
mencakup tiga isu utama, yakni:
1. Paradigma dan konsep politik dalam Islam, yang secara
garis besar mencakup kewajiban mewujudkan kepemimpinan Islami (khalifah)
dan kewajiban menjalankan Syariah Islam (Hukum Islam).
2. Regulasi dan ketetapan hukum yang dibuat oleh pemimpin
atau imam dalam rangka menangkal dan membasmi kerusakan serta memecahkan
masalah-masalah yang bersifat spesifik, yang masuk dalam pembahasan fiqh
siyasah.
3. Partisipasi aktif setiap Muslim dalam aktivitas politik
baik dalam rangka mendukung maupun mengawasi kekuasaan.[10]
Imam
al-Ghazali menulis dalam kitab Ihya' Ulumuddin:Politik ataupun siasah dalam
mengislahkanMakhluk Allah dan memberi petunjuk kepada mereka ke jalan yang
lurus yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat terdiri drpd 4 martabat:
Martabat
Pertama yaitu martabat tertinggi adalah adalah siasah para Nabi dan hukum
mereka ke atas golongan khas dan awam zahir dan batin.Dan merkalah para Nabi
ahli siasah yang paling afdal.
Martabat
Kedua:Siasah para Khalifah,raja dan sultandan hukum mereka ke atas golongan
khas dan awam sekalian tetapi dalam hukum zahir sahaja bukannya batin.
Martabat
Ketiga:Siasah Ulama' BILLAH yang merupakan pewaris Nabi.(Ulama Tasauf yang
menghimpunkan antara hakikat dan syariat..Hukum mereka ke atas batin golongan
khas sahaja kerana golongan awam tidak mampu untuk mengambil faedah daripada
mereka.
Martabat Keempat:Siasah Fuqaha' dan hukum mereka ke atas batin golongan awam. Siasah yang paling mulia selepas nubuwwah ialah menyebarkan limu yang bermanfaat dan memperelokkan jiwa manusia daripada akhlak mazmumah yang membinasakan dan memberi petunjuk kepada manusia untuk berakhlak mahmudah yang akan membahagiakan mereka di akhirat kelak.[11]
Martabat Keempat:Siasah Fuqaha' dan hukum mereka ke atas batin golongan awam. Siasah yang paling mulia selepas nubuwwah ialah menyebarkan limu yang bermanfaat dan memperelokkan jiwa manusia daripada akhlak mazmumah yang membinasakan dan memberi petunjuk kepada manusia untuk berakhlak mahmudah yang akan membahagiakan mereka di akhirat kelak.[11]
D.
Sejarah Pemikiran Politik Islam
Dalam
ajaran islam, masalah politik termasuk dalam kajian fiqih siyasah. Fiqih siyasah adalah salah satu disiplin
ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya, dan
negara pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijakan yang dibuat oleh
pemegang kekuasaan yang bernafaskan ajaran islam.
Al Quran
tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana system politik itu muncul, tetapi
menegaskan bahwa kekuasaan politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan
beramal shaleh.Ini berarti kekuasanan politik terkait dengan kedua factor
tersebut. Pada sisi lain politik juga terkait dengan ruang dan waktu. Ini
berarti ia adlah budaya manusia sehingga
keberadaanya tiak dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan.[12]
Sistem
pemerintahan islam sudah dimulai sejak masa Rasulullah SAW. Dua tahun setelah
hijrah dari mekkah ke madinah, tepatnya pada tahun 622 M, Rasulullah SAW
bersama seluruh komponen masyarakat Madinah memaklumkan piagam yang disebut
Piagam Madinah. Adapuni isi dari piagam Madinah ini ialah :
1. Tiap
kelompokdijamin kebebasanya dalam beragama
2. Tipa
kelompok berhak menghukum anggota kelompoknya yang bersalah
3. Tiap
kelompok harus saling membantu dalam mempertahankan Madinah, baik yang muslim
maupun non muslim
4. Semua
penduduk Madinah sepakat mengangkat Muhammad sebagai pemimpinya dan memberi
keputusan hukum segala perkara yang
dihadapkan kepadanya.[13]
Setidaknya
terdapat 3 kelompok/paradigma yang berkembang dalam dunia islam tentang
keterkaitann antara islam dan politik.
Paradigma tradisional/ paradigma formalistik
Bahwa
islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Didalamnya terdapat ketatanegaraan
atau politik.Kelompok ini berpendapat bahwa sistem ketatanegaraan yang harus
diteladani adalah sistem yang dilaksanakan oleh Rasululllah SAW.
Paradigma Sekuler
Bahwa
islam adalah agama dalam pengertian barat. Artinya agama tidak ada hubungannya
dengan urusan kenegaraan.Muhammad hanyalah saorang Rasul yang bertugas
menyampaikan risalah Tuhan kepada segenap alam. Nabi tidak bertugas untuk mendirikan
dan memimpin suatu negara
Paradigma Substantivistik
Kelompok
yang menolak paradigma formalistik dan juga paradigma sekuler. Aliran ini berpendirian bahwa islam tidak
terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika
bagi kehidupan bernegara. Menurut kelompok ini, tak satu nash pun dalam al
quran yg memerintahkan didirikannnya sebuah negara islam.[14]
E.
Keduduakn Politik Dalam Islam
Terdapat
tiga pendapat di kalangan pemikir muslim tentang kedudukan politik
dalam syariatislam. Yaitu :
Pertama,kelompok yang menyatakan bahwa
Islamadalah suatu agama yang serbah lengkap didalamnya terdapat pula antara
lainsystem ketatanegaraan atau politik. Kemudian lahir sebuah istilah yang
disebutdengan fikih siasah (system ketatanegaraan dalam islam) merupakan
bagianintegral dari ajaran islam. Lebih jauhkelompok ini berpendapat
bahwa system ketatanegaraan yang harus diteladaniadalah system yang telah
dilaksanakan oleh nabi Muhammad SAW dan oleh parakhulafa al-rasyidin yaitu
sitem khilafah.
Kedua,kelompok yangberpendirian bahwa Islam adalah
agama dalam pengertian barat. Artinya agamatidak ada hubungannya dengan
kenegaraan. Menurut aliran ini nabi Muhammadhanyalah seorang rasul, seperti
rasul-rasul yang lain bertugas menyampaikanrisalah tuhan kepada segenap alam. Nabi
tidak bertugas untuk mendirikan danmemimpin suatu Negara.
Aliran Ketiga
menolak bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap yang terdapat didalamnya
segala sistemketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa islam
sebagaimana pandanaganbarat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhan.
Aliran iniberpendirian bahwa dalam islam tidak teredapat sistem ketatanegaraan,
tetapaiterdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
F.
Asas-asas Sistem Politik Islam
a.
Hakimiyyah Ilahiyyah
Hakimiyyah
atau memberikan kuasa pengadilandan kedaulatan hukum tertinggi dalam sistem
politik Islam hanyalah hak mutlakAllah.
Dan
Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhakdisembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah
segala puji di dunia dan di akhirat, danbagi-Nyalah segala penentuan dan hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
(Al-Qasas: 70)
Hakimiyyah
Ilahiyyah membawa pengertian-pengertian berikut:
Bahawasanya
Allah Pemelihara alam semesta yang pada hakikatnya adalahTuhan yang menjadi
pemelihara manusia, dan tidak ada jalan lain bagi manusiakecuali patuh dan
tunduk kepada sifat IlahiyagNya Yang Maha Esa
Bahawasanya
hak untuk menghakimi dan meng adili tidak dimiliki olehsesiap kecuali Allah
Bahawasanya
hanya Allah sahajalah yang memiliki hak mengeluarkan hukumsebab Dialah
satu-satuNya Pencipta
Bahawasanya hanya Allah sahaja yang memiliki hak mengeluarkan peraturan-peraturan sebab Dialah
satu-satuNya Pemilik
Bahawasanya hukum Allah adalah suatu yang benar
sebabhanya Dia sahaja yang Mengetahui hakikat segala sesuatu dan di
tanganNyalahsahaja penentuan hidayah dan penentuan jalan yang selamat dan lurus
Hakimiyyah Ilahiyyah membawa arti bahwa terasutama kepada
sistem politik Islam ialah tauhid kepada Allah di segi Rububiyyahdan Uluhiyyah.
b.
Risalah
Risalah bererti bahawa kerasulan beberapaorang lelaki di
kalangan manusia sejak Nabi Adam hingga kepada Nabi Muhammads.a.w adalah suatu
asas yang penting dalam sistem politik Islam. Melaluilandasan risalah inilah
maka para rasul mewakili kekuasaan tertinggi Allahdalam bidang perundangan
dalam kehidupan manusia. Para rasul meyampaikan,mentafsir dan menterjemahkan
segala wahyu Allah dengan ucapan dan perbuatan.
Dalam sistem politik Islam, Allah telahmemerintahkan agar
manusia menerima segala perintah dan larangan Rasulullahs.a.w. Manusia
diwajibkan tunduk kepada perintah-oerintah Rasulullah s.a.w dantidak mengambil
selain daripada Rasulullah s.a.w untuk menjadi hakim dalamsegala perselisihan
yang terjadi di antara mereka. Firman Allah:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikanAllah
kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untukAllah,
Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin danorang-orang yang
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang
kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamumaka terimalah dia.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; danbertakwalah kepada
Allah. SesungguhnyaAllah
sangat keras hukuman-Nya.
(Al-Hasyr: 7)
Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hinggamereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudianmereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamuberikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.(An-Nisa’:
65)
c.
Khilafah
Khilafah
bererti perwakilan. Kedudukan manusia di atas muka bumiini adlah sebagai wakil
Allah. Oleh itu, dengan kekuasaanyang telah diamanahkanini, maka manusia
hendaklah melaksanakan undang-undang Allah dalam batas yangditetapkan. Di atas
landasan ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemiliktetapi hanyalah
khalifah atau wakilAllah yang menjadi Pemilik yang sebenar.
Kemudian
Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di mukabumi sesudah mereka,
supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. (Yunus: 14)
Seseorang
khalifah hanya menjadi khalifah yang sah selama mana iabenar-benar mengikuti
hukum-hukum Allah. Ia menuntun agar tugas khalifahdipegang oleh orang-orang
yang memenuhi syarat-syarat berikut:
Terdiri dari
pada orang-orang yang benar-benar boleh menerima dan mendukung
prinsip=prinsiptanggngjawab yang terangkum dalam pengertian kkhilafah
Tidak terdiri
daripada orang-orang zalim, fasiq, fajir dan lalai terhadap Allah
sertabertindak melanggar batas-batas yang ditetapkan olehNya
Terdiri dari
pada orang-orang yang berilmu, berakal sihat, memiliki kecerdasan, kearifanserta
kemampuan intelek dan fizikal
Terdiri dari
pada orang-orang yang amanah sehingga dapt dipikulkan tanggungjawab
kepadamereka dengan yakin dan tanpa keraguan.
G.
Prinsip-Prinsip Dasar Politik Islam
a.
Musyawarah
Asas
musyawarah yang paling utama adalah berkenaan dengan pemilihan ketua negara dan
orang-orang yang akan menjawab tugas-tugas utama dalam pentadbiran ummah. Asas
musyawarah yang kedua adalah berkenaan dengan penentuan jalan dan cara pelaksanaan
undang-undang yang telah dimaktubkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Asas
musyawarah yang seterusnya ialah berkenaan dengan jalan-jalan bagi menentukan
perkara-perkara baru yang timbul di kalangan ummah melalui proses ijtihad.
b.
Keadilan
Prinsip
ini adalah berkaitan dengan keadilan sosial yang dijamin oleh sistem sosial dan
sistem ekonomi Islam. Dalam pelaksanaannya yang luas, prinsip keadilan yang
terkandung dalam sistem politik Islam meliputi dan merangkumi segala jenis
perhubungan yang berlaku dalam kehidupan manusia, termasuk keadilan di antara
rakyat dan pemerintah, di antara dua pihak yang bersebgketa di hadapan pihak
pengadilan, di antara pasangan suami isteri dan di antara ibu bapa dan
anak-anaknya.kewajiban berlaku adil dan menjauhi perbuatan zalim adalah di
antara asas utama dalam sistem sosial Islam, maka menjadi peranan utama sistem
politik Islam untuk memelihara asas tersebut. Pemeliharaan terhadap keadilan
merupakan prinsip nilai-nilai sosial yang utama kerana dengannya dapat dikukuhkan
kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
c.
Kebebasan
Kebebasan
yang diipelihara oleh sistem politik Islam ialah kebebasan yang makruf dan
kebajikanyang sesuai dengan Al–Qur’an dan Hadist.Menegakkan prinsip kebebasan
yang sebenarnya adalah tujuan terpenting bagi sistem politik dan pemerintahan
Islam serta menjadi asas-asas utama bagi undang-undang perlembagaan negara
Islam.
d.
Persamaan
Persamaan
di sini terdiri daripada persamaan dalam mendapatkan dan menuntut hak,
persamaan dalam memikul tanggung jawab menurut peringkat-peringkat yang
ditetapkan oleh undang-undang perlembagaan dan persamaan berada di bawah kuat
kuasa undang-undang.
e.
Hak menghisab pihak pemerintah
Hak
rakyat untuk menghisab pihak pemerintah dan hak mendapat penjelasan terhadap
tindak tanduknya.Prinsip ini berdasarkan kepada kewajipan pihak pemerintah
untuk melakukan musyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan dan
pentadbiran negara dan ummah.Hak rakyat untuk disyurakan adalah bererti
kewajipan setiap anggota dalam masyarakat untuk menegakkan kebenaran dan
menghapuskan kemungkaran.[15]
f.
Diwajibkan untuk memperkuat tali silaturahmi
Dikalangan
kaum muslimin di dunia dan untuk mencegah semua kecenderungan sesat yang
didasarkan pada perbedaan ras, bahasa, ras, wilayah ataupun semua pertimbangan
materealistis lainya serta untuk melestarikan dan memperkuat kesatuan Millah Al-Islamiyyah
g.
Kedaulatan tertinggi atas alam semesta dan
hukumnya hanya berada di tangan Allah semata.[16]
Dasar
kekuatan politik Islam yang pertama
adalah Allah SWT, tidak ada seorangpun yang memeliki kekuasaan mutlak.
Kekuasaan manusia hanya bersifat temporal karena yang berkuasa secara mutlak
adalah Allah SWT, Tuhan semsta alam, Tuhan langit dan bumi. Kkekuasaan Allah
tidak bias dibatasi oleh kekuatan hukum yang ada, karena Ia sendiri adlah
sumber dari hukum tersebut.[17]
Selain prinsip-prinsip dasar negara yang konstitusinya berdasar
syari’ah, ada juga prinsip-prinsip tambahan (subsider) yang merupakan
kesimpulan dan termasuk ke dalam bidang fikih siyasah (hukum
ketatanegaraan dalam Islam). Prinsip-prinsip tambahan
tersebut adalah mengenai pembagian fungsi-fungsi pemerintahan yaitu
hubungan antara Badan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam hubungan
ketiga badan (lembaga negara) tersebut prinsip-prinsip berkonsultasi (syura)
mesti dilaksanakan di dalam riset, perencanaan, menciptakan undang-undang dan
menjaga nilai-nilai syari’ah dengan memperhatikan otoritas (kewenangan) yang
dimiliki masing-masing lembaga tersebut.[18]
H.
Tujuan Politik Islam
Tujuan
sistem politik Islam adalahuntuk membangunkan sebuah sistem pemerintahan dan
kenegaraan yang tegak di atasdasar untuk melaksanakan seluruh hukum syariat
Islam. Tujuan utamanya ialah menegakkan sebuah negara Islam
atau Darul Islam. Dengan adanya pemerintahan yang mendukungsyariat, maka
akan tertegaklah Ad-Dindan berterusanlah segala urusan manusia menurut
tuntutan-tuntutan Ad-Dintersebut. Para fuqahak Islam telah menggariskan 10
perkara penting sebagai tujuankepada sistem politik dan pemerintahan Islam:
a. Memelihara keimanan menurut prinsip-prinsip yang
telahdisepakati oleh ulamak salaf daripada kalangan umat Islam
b. Melaksanakanproses
pengadilan dikalangan rakyat dan menyelesaikan masalah dikalanganorang-orang
yang berselisih
c. Menjagakeamanan
daerah-daerah Islam agar manusia dapat hidup dalam keadaan aman dandamai
d. Melaksanakanhukuman-hukuman
yang telah ditetapkan syarak demi melindungi hak-hak manusia
e. Menjaga perbatasan negara dengan pelbagai
persenjataanbagi menghadapi kemungkinan serangan daripada pihak luar
f. Melancarkan jihad terhadap golongan yang menentang Islam
g. Mengendalikan urusan pengutipan cukai, zakat, dan
sedekahsebagaimana yang ditetapkan syarak
h. Mengatur anggaran belanjawan dan perbelanjaan
daripadaperbendaharaan negara agar tidak digunakan secara boros atau
kikir Melantik pegawai-pegawai yang cekap dan jujur bagimengawal kekayaan
negara dan menguruskan hal-ehwal pentadbiran negara
i.
Menjalankan pengawalan dan
pemeriksaan yangrapi dalam hal-ehwal awam demi untuk memimpin negara dan
melindungi Ad-Din[19]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Politik
merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat.Pemikiran tersebut
berupa pedoman, keyakinan hokum atau aktivitas dan informasi. Beberapa prinsip
politik islam berisi: mewujudkan persatuan dan kesatuan bermusyawarah,
menjalankan amanah dan menetapkan hokum secara adil atau dapat dikatakan
bertanggung jawab, mentaati Allah, Rasulullahdan Ulill Amr (pemegang kekuasaan)
dan menepati janji. Korelasi pengertian politik islam dengan politik
menghalalkan segala cara merupakan dua hal yang sangat bertentangan. Islam
menolak dengan tegas mengenai politik yang menghalalkan segala cara.
Pemerintahan yang otoriter adalah pemerintahan yang
menekan dan memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Setiap pemerintahan harus
dapat melindungi, mengayomi masyarakat.Sedangkan penyimpangan yang terjadi
adalah pemerintahan yang tidak mengabdi pada rakyatnya; menekan rakyatnya.
Sehingga pemerintahan yang terjadi adalah otoriter. Yaitu bentuk pemerintahan
yang menyimpang dari prinsip-prinsip islam.Tujuan politik islam pada hakikatnya
menuju kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh umat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abd. Mu’in Salim, 2002,
Fiqih Siyasah:Konsepsi Kekuasaan Politik
dalam Al Quran, Jakarta: Raja
Grafindo Persada,
Abul
A’la Al-Maududi, 1995, Hukum dan
Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan,
Djazuli,
2007, Fiqih Siyasah Implementasi
Kemaslahatan Umat Rambu-rambu Syariah, Jakarta:Prenada Media Grup,
Mumtaz
Ahmad, 1996, Maslah-masalah Teori Politik
Islam, Bandung;Mizan,
Muhammad
Iqbal, Amin Husaen Nasution, 2010, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer,
Jakarta:Prenada Media Grup
Rahmat
Tohir, dkk. 2001, Teori Politik Islam,
Jakarta: Gema Insan Press.
Syarifuddin
Jurdi, 2008, Pemikiran Politik Islam
Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Belajar
Zainal
Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam,
Jakarta: Bulan Bintang
http://tomysmile.wordpress.com/category/kajian-fiqh/
http://ms.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
Nanang
Tahqiq, Politik Islam,
Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 12-13
http://xs-kombi.blogspot.com/2012/04/politik-dalam-pandangan-islam.html
http://ibnuazmiasy-syafii.blogspot.com/2009/01/politik-menurut-islam.html
http://arsippresentnunu.blogspot.com/2012/11/makalah-tentang-politik-ham-dan.html
http://gudangariepinokio.blogspot.com/2012/01/makalah-sistem-politik-dalam-islam.html
http://kamalsukses.blogspot.com/2012/01/makalah-politik-islam.html
http://10109472.blog.unikom.ac.id/pengertian-politik.1rm
[1]
http://10109472.blog.unikom.ac.id/pengertian-politik.1rm
[2]
A. Djazuli,Fiqih Siyasah Implementasi
Kemaslahatan Umat Rambu-rambu Syariah, Jakarta:Prenada Media Grup, 2007, h.
28-27
[3]
[3]
http://tomysmile.wordpress.com/category/kajian-fiqh/
[4]
http://ms.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
[5]
Mumtaz Ahmad, Maslah-masalah Teori
Politik Islam, Bandung;Mizan, 1996, h. 82
[6]
Muhammad Iqbal, Amin Husaen Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer,
Jakarta:Prenada Media Grup, 2010, h. 28-29
[7]
Rahmat Tohir, dkk. Teori Politik Islam,
Jakarta: Gema Insan Press. 2001,h. 5
[8]
[8]Zainal
Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, h. 46
[10]
http://xs-kombi.blogspot.com/2012/04/politik-dalam-pandangan-islam.html
[11]
http://ibnuazmiasy-syafii.blogspot.com/2009/01/politik-menurut-islam.html
[12]
Abd. Mu’in Salim, Fiqih Siyasah:Konsepsi
Kekuasaan Politik dalam Al Quran,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 286
[13]
Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta:UII Press, 1998, h.37
[14]
http://arsippresentnunu.blogspot.com/2012/11/makalah-tentang-politik-ham-dan.html
[15]
http://gudangariepinokio.blogspot.com/2012/01/makalah-sistem-politik-dalam-islam.html
[16]
Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan
Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1995, h. 352
[17]
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik
Islam Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Belajar, 2008, h.61
[18]
http://kamalsukses.blogspot.com/2012/01/makalah-politik-islam.html
[19]
http://gudang-ilmu1.blogspot.com/2011/12/makalah-politik-dalam-islam.html
If you have any views on the current political situation, send them to us for publication! For more information, visit our website here https://pilpres2024wrd.wordpress.com/
BalasHapus