BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Suatu ciri utama
kehidupan dalam ber-Agama Hindu adalah percaya dan bakti kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini disebabkan kekuasaan-Nya tidak terbatas
sedangkan kemampuan manusia sangat terbatas. Manusia dalam ketidaksempurnaannya
selalu ingin mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar memperoleh
perlindungan dan petunjuk dalam menempuh kehidupan. Mereka yang memahami
pengertian ini menjadi manusia yang mulia karena senantiasa mengutamakan
ke-Tuhanan dalam tatanan kehidupannya.
Dalam kehidupan
beragama khususnya di Bali, tidak pernah lepas dari adanya suatu pelaksanaan
yadnya. Pelaksanaan yadnya tidak hanya begitu saja dilaksanakan oleh umat
Hindu. Akan tetapi yadnya yang dilaksanakan sesungguhnya memiliki dasar yang
kuat baik yang berupa sabda suci Tuhan maupun ajaran smerti. Yang menjadi pokok dasar dilaksanakannya yadnya adalah
sesuai dengan sastra suci weda yang merupakan wahyu Tuhan. Adapun weda yang
memuat adanya pelaksanaan yadnya adalah pada Rg.weda X.90 yang kemudian
ditegaskan pada kitab upanisad dan diperjelas lagi dalam Bhagawadgita serta
diajarkan dalam beberapa susastra Hindu lainnya.
Pada Rg.weda X.90 yang
memberikan ide pertama dilaksanakannya yadnya menyatakan bahwa “alam ini ada
berdasarkan yadnya-Nya (Maha Purusa), dengan yadnya dewa memelihara manusia dan
dengan yadnya manusia memelihara dewa”. Ini berarti bahwa yang menjadi
dasar adanya alam semesta beserta isinya ini adalah adanya
yadnya Tuhan dalam manifestasinya sebagai Maha Purusa. Selanjutnya para dewa
yang merupakan sinar suci dari Tuhan pun memelihara kehidupan di alam semesta
ini dengan yadnya, sehingga dengan demikian manusia pun harus melaksanakan
yadnya untuk memelihara dewa. Adanya hubungan timbal balik antara manusia dan
dewa serta dengan terjaganya saling memelihara ini akan menciptakan kebahagiaan
bagi semua mahluk, seperti apa yang tersurat dalam Bhagawad gita III.11 yang
isinya adalah “saling memelihara satu sama lain maka manusia akan mencapai
kebahagiaan”. Ketika hubungan timbal balik ini tidak selaras niscaya alam
semesta ini akan hancur. Tuhan melingkupi serta menyusupi semua yang ada, jadi
apabila tidak adanya hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia dan
dengan alam yang notabene adalah bagian dari kemahakuasaan Tuhan, maka akan
menimbulkan kesengsaraan.
Untuk dapat mendekatkan
diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, manusia yang memiliki keterbatasan
membutuhkan sarana sebagai perantara.
Untuk dapat menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi, maka
dibuatkan sebuah pralingga atau pun tempat suci sebagai sthana Ida Sang Hyang
Widhi beserta manifestasinya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar
belakang di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas
adalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana pengelompokan
pura di Bali?
2.
Apa yang dimaksud
dengan sanggah/merajan?
3.
Apa dasar dari
pembuatan sanggah/merajan?
4.
Apa fungsi dari
Sanggah/Merajan?
C.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui
pengelompokan Pura di Bali
2.
Untuk mengetahui pengertian
sanggah/merajan.
3.
Untuk mengetahui dasar
dari pembuatan sanggah/merajan.
4.
Untuk mengetahui fungsi
dari sanggah/merajan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengelompokan Pura
Sebagai Tempat Suci Agama Hindu
Tentang pengelompokan
pura di Bali, dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu ke
X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali
sebagai berikut:
1.
Berdasarkan atas
fungsinya
Berdasarkan atas
fungsinya, pura dikelompokan menjadi 2 yaitu:
a.
Pura Jagat, yaitu pura
yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawaNya (manifestasinya), dan dapat
digunakan oleh umat untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem,
hari raya Hindu lainnya tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan.
b.
Pura Kawitan, yaitu
Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma
Siddha Dewata (Roh Suci Leluhur), termasuk di dalamnya: sanggah, merajan,
(paibon, kamulan), dadia, dan pedharman.
2.
Berdasarkan atas
karakterisasinya
Pengelompokan berdasarkan
ciri atau karakterisasinya, yang antara lain diketahui atas dasar penyiwi atau
kelompok masyarakat pemuja. Penyiwi terkelompok di dalam berbagai jenis ikatan
seperti: ikatan sosial, ekonomi, genealogis (garis keturunan), Ikatan sosial
antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial), ikatan
pengakuan jasa seorang guru suci (Dang Guru). Ikatan ekonomis antara lain
dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian seperti bertani,
berdagang, nelayan dan lain-lainnya. Ikatan genealogis adalah atas dasar garis
kelahiran. Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut di atas maka terdapat beberapa
kelompok pura di Bali sebagai berikut:
a.
Pura Umum atau Pura
Kahyangan Jagat
Pura ini mempunyai ciri
umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala prabawaNya (Dewa). Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh
umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat. Pura-pura yang tergolong
mempunyai ciri - ciri tersebut adalah Pura Besakih, Pura Batur, dan Pura Sad
Kahyangan lainnnya.
Pura lainnya, yang
tergolong pura umum adalah pura yang fungsinya sebagai tempat pemujaan untuk
memuja kebesaran atau jasa guru suci atau Dang Guru. Pura ini dipuja oleh
seluruh umat Hindu yang merasa berhutang jasa kepada Dang Guru atas dasar
ajaran agama Hindu yang telah diberikan. Pura-pura yang tergolong ke dalam
karakter yang disebut Dang Kahyangan.
b.
Pura Kahyangan Desa
(Teritorial)
Pura ini mempunyai ciri
kesatuan wilayah sebagai tempat pemujaan suatu desa adat. Ciri khas suatu desa
adat pada dasarnya memiliki tiga buah pura yang disebut Kahyangan Tiga yaitu
Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Nama-nama Kahyangan Tiga tampaknya juga
bervariasi seperti pada beberapa desa di Bali, Pura Desa sering disebut Pura
Bale Agung, Pura Puseh sering disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa
Besakih disebut Pura Banua.
c.
Pura Swagina (Pura
Fungsional)
Pura ini memiliki ciri
yaitu penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina
(kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti Pura
Subak, Melanting dan sebagainya.
d.
Pura Kawitan
Pura ini memiliki ciri
yaitu pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan “wit” atau leluhur
berdasarkan garis (vertical geneologis)
seperti: Sanggah, Merajan, Pura Ibu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Pedharman dan
yang sejenisnya.
B. Sanggah/Merajan
Dilihat dari segi
fungsinya, ada 2 (dua) jenis pura yaitu: sebagai tempat memuja Hyang Widhi (Dewa Pratistha) dan sebagai memuja roh
suci leluhur (Atma Pratistha).
Ditinjau dari sisi karakternya, pura dibagi lagi menjadi empat kelompok
yaitu: Pura Kahyangan Jagat (Pura Umum), Pura Kahyangan Desa (Pura Teritorial),
Pura Swagina (Pura Fungsional) dan Pura
Kawitan.
Hampir dalam setiap
pura atau pura keluarga (sanggah/pemerajan) di Bali terdapat bangunan suci atau
disebut palinggih. Palinggih merupakan salah satu simbol atau lambang alam
semesta yang oleh umat Hindu diyakini sebagai tempat bersthananya Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Palinggih merupakan citra Hindu sebagai media untuk
mendekatkan diri dengan Tuhan. Ditinjai dari fungsinya, secara fundamental
palinggih (bangunan suci) tersebut berfungsi sebagai sarana umat Hindu untuk
memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasi beliau. Demikian
juga, palinggih dapat pula difungsikan
sebagai sarana untuk memuja roh suci leluhur dengan berbagai tingkatannya
(Sandika, 2011: 76).
Pura Kawitan adalah
tempat pemujaan roh suci leluhur dari umat Hindu yang memiliki ikatan “wit”
atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Jadi Pura Kawitan bersifat
spesifik atau khusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan
darah sesuai dengan garis keturunannya. Contoh-contoh pura yang termasuk dalam
kelompok Pura Kawitan antara lain: Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman,
dan yang sejenisnya.
Pura Panti dan Pura
Dadia pada dasarnya berada pada kelompok dan pengertian yang sama. Artinya apa
yang dimaksud dengan Pura Panti dapat pula disebut dengan Pura Dadia. Sama
halnya dengan sebutan sanggah dapat pula disebut dengan istilah merajan. Yang
membedakannya hanyalah terletak pada jumlah penyiwi atau pemujanya.
Di dalam Lontar
Sundarigama bahwa: Bhagawan Manohari, Beliau beraliran Siwa mendapatkan tugas
dari Sri Gondarapati, memelihara dengan baik Sad Kahyangan kecil, sedang dan
besar, sebagai kewajiban semua orang. Setiap 40 pekarangan rumah (keluarga)
disabdakan mendirikan panti, adapun setengah dari jumlah tersebut (20 keluarga)
agar mendirikan Palinggih Ibu, kecilnya 10 pekarangan keluarga mendirikan
palinggih Pratiwi (Pertiwi) dan setiap keluarga mendirikan Palinggih Kamulan
(sanggah/merajan).
Merajan/Sanggah,
apabila dilihat dari segi istilah kedua kata itu berasal dari bahasa Sanskerta,
yaitu raja yang juga disebut rajan
yang secara umum berarti raja, ialah sebutan atau gelar kepala pemerintahan
dari suatu sistem pemerintahan kerajaan dan merupakan jabatan yang mulia atau
dimuliakan. Timbul tradisi dan kebiasaan bilamana menyebut seorang raja
didahului dengan kata penghormatan seperti misalnya dengan kata yang mulia. Kata rajan memperoleh awalan ma
menjadi merajan yang bermakna tempat
memuliakan dan memuja yang dalam hal ini untuk memuliakan dan memuja arwah suci
para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada.
Sedangkan kata sanggah berasal dari kata sanggar yang secara harafiah berarti kuil atau sangga dalam kaitan kata anangga
yang berarti memegang tinggi-tinggi juga dapat bermakna menjunjung atau memuja.
Jadi, dengan demikian sanggah berarti
tempat suci untuk menjunjung tinggi atau memuja leluhur dan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dalam berbagai prabawa
atau manifestasinya (Soebandi, 2008: 23-24).
Sedangkan dalam
Wikarman (2010: 1), sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat
untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci). Sedangkan pemerajan berasal dari kata
“praja” yang berarti masyarakat, turunan, keluarga. Pengater Pa dan akhiran an
mengacu pada tempat pemujaan keluarga atau turunan.
Berdasarkan atas
pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sanggah/merajan adalah tempat
suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu dan bapak
yang sudah tiada dan berada di alam baka (sunia loka) bagi masyarakat Hindu di
Bali.
Merajan/Sanggah dalam
sebuah keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci yang berdasarkan konsep
Tri Angga, Tri Mandala, dan juga Tri Hita Karana. Sanggah merupakan tempat
untuk memuja Tuhan dan juga leluhur. Dasar Tri Angga, Merajan adalah sebuah
tempat utama seperti ibaratnya kepala manusia. Genah madyanya adalah rumah itu
sendiri yang ibaratkan badan manusia, nista angganya adalah perkebunan atau
pekarangan seperti anggota badan itu sendiri (Anom, 2009, 1-2).
Menurut bentuknya,
Sanggah/Merajan ada tiga versi yaitu:
1.
Yang dibangun mengikuti
konsep Mpu Kuturan.
Sanggah/merajan yang
mengikuti konsep Mpu Kuturan menggunakan konsep Tri Murti sehingga pelinggih
yang letaknya di “hulu” (kaja-kangin) adalah palinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua,
Satu,), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/Padmasari.
2.
Yang dibangun mengikuti
konsep Dang Hyang Nirartha
Sanggah/merajan yang
mengikuti konsep Dang Hyang Nirartha menggunakan konsep Tri Purusa sehingga
pelinggih yang letaknya di “hulu” (kaja-kangin) adalah Padmasana/padmasari,
sedangkan pelinggih kemulan tidak berada di Utama Mandala.
3.
Yang dibangun mengikuti
kombinasi keduanya
Sanggah/merajan yang
menggunakan kombinasi dari Mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha biasanya
dibangun setelah abad ke-13, maka ada pelinggih Padmasana/Padmasari, namun di
sebelahnya ada pelinggih kemulan.
Pelinggih utama yang
terdapat dalam sanggah/merajan adalah kemulan. Menurut Lontar Kuturan yang
memuat pewarah Mpu Kuturan, sanggah pamerajan bagi keluarga kecil adalah:
kemulan rong tiga, taksu, dan pangerurah. Bangunan palinggih yang dimaksud
adalah:
a.
Palinggih Kamulan.
Palinggih (bangunan
suci) yang berbentuk Rong Tiga (Rong Telu) yang kini lebih dikenal dengan
sebutan Kamulan umumnya ditempatkan di bagian Timur dan menghadap ke Barat
dalam sebuah merajan. Hal ini disebabkan pada palinggih inilah dihormatinya dan
dimuliakannya dan dipujanya arwah suci nenek moyang atau leluhur oleh prati
sentana (keturunan). Nenek moyang atau leluhur adalah merupakan cikal bakal
yang dihormati serta dimuliakan dan dipuja pada palinggih rong tiga atau
kamulan yang letaknya pada bagian timur pada merajan atau sanggah. Kata Timur
berarti Kangin yang di dalam bahasa Kawi disebut Purwa, dan kata Purwa juga
berarti awal atau permulaan, sebab itu palinggih (bangunan suci) ini
ditempatkan di timur (purwa) sebagai perlambang cikal bakal atau pemula dri
prati sentana (Soebandi, 2008: 58).
b.
Palinggih taksu
Palinggih Taksu
berbentuk seperti gedong yang bentuknya ada 2 macam, yaitu: taksu yang
berbentuk gedong bertiang empat (saka pat) beruang dua, dan bentuk taksu yang
memiliki tiang pendek (saka tunggal), namun saka pendek ini sudah memberikan
arti dua ruangan. Taksu merupakan sebuah palinggih yang merupakan sthana untuk
memuja Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya dengan swabhawanya sebagai Sang
Hyang Butha Kala Raja sebagai Sedahan Taksu. Taksu sesungguhnya adalah kekuatan
magis dari Sang Hyang Widhi, dimana kekuatan tersebut merupakan kekuatan
gravitasi dan kekuatan tersebut menyatu dengan kekuatan magis manusia serta
membangkitkan kekuatan manusia, sehingga manusia memiliki kharisma, kekuatan
yang menarik dan kemampuan spiritual sesuai dengan profesinya (Suhardana, 1998:
63-64).
c.
Palinggih Ratu Ngurah
(Panglurah)
Bhatara Ngelurah atau
disebut juga panglurah biasanya memiliki 2 macam bentuk, yaitu: ada yang
memakai bentuk tepas sari (seperti gedong) dan ada pula yang memiliki bentuk
tepasan (tidak beratap). Pengelurah asal katanya lurah yang artinya pembantu (pepatih), mendapat awalan pe dan sisipan ng, menjadi kata kerja, jadi pengelurah
artinya bertugas menjadi pembantunya para dewa atau dewata (menjadi patihnya)
pada setiap pura atau pamerajan. Pangelurah merupakan sthana untuk manifestasi
Sang Hyang Widhi dalam swabhawanya “Butha Dewa” yang maksudnya setengah dewa
setengah butha, termasuk kelompok Gandharwa. Beliau memiliki fungsi sebagai
penjaga para dewa atau dewata, disamping itu sebagai juru bicara atau sebagai
katalisator antara Dewa atau Dewata dengan manusia sebagai umatnya.
Setelah kedatangan
Danghyang Nirartha ke Bali di abad ke-15, diperkenalkan konsep Tripurusa dengan
mewujudkan palinggih Padmasari atau padmasana. Sejak itu maka sanggah pamerajan
dilengkapi dengan padmasari. Palinggih yang terdapat di sanggah/merajan alit
umumnya adalah Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu. Sedangkan dalam
sanggah/merajan dadia umumnya padmasana, Kemulan Rong Tiga, Limas Sari, Limas
Catu, Manjangan Sakaluang, Pangrurah, Sapta Petala, Taksu, Raja Dewata. Dalam
Sanggah/merajan Panti palinggih yang ada adalah pelinggih yang ada dalam
sanggah/merajan Dadia ditambah dengan meru
atau gedong palinggih Bhatara Kawitan.
Palinggih-palinggih
lainnya yang tidak teridentifikasi seperti tersebut di atas, disebut ‘pelinggih wewidian’ yaitu pelinggih yang
berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau, misalnya mendapat
paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain, misalnya dari Pura Pulaki,
Penataran Ped, Bukit Sinunggal, dan lain-lain, maka dibuatkanlah pelinggih
khusus berbentuk limas atau sekepat sari.
C. Dasar Pembuatan
Sanggah/Merajan
Seperti yang diuraikan
di atas, tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur
terutama ibu dan bapak yang sudah tiada dan berada di alam baka (sunia loka)
bagi masyarakat Hindu di Bali disebut dengan merajan atau sanggah. Pembuatan
sanggah/merajan tidak sekedar hanya hiasan belaka, namun didasari atas landasan
sastra yang menaunginya. Landasan sastra dalam membangun sanggah atau merajan
banyak terdapat dalam kitab suci, seperti dalam Bhagavad Gita yang menyebutkan:
“Samkaro narakayaiva
kulaghnanam kulasya ca
pantati pitaro hy esam
lupta-pindodaka-kriyah”.
(Bhagavad Gita I. 42)
Terjemahan:
Keruntuhan moral ini
membawa keluarga dan para pembunuhnya ke neraka, arwah moyang jatuh (ke
neraka), semua terpana, air dan nasi tidak ada lagi baginya. (Pudja, 2005: 26).
Penjelasan dari arti
sloka diatas: bahwa jika keluarga sudah hancur, maka kewajiban keluarga
terhadap tradisi dan agama tidak terurus lagi, seperti upacara sradha, dimana
dilakukan upacara mengenang jasa-jasa nenek moyang di pitra loka (tempat arwah mereka segera sesudah meninggal sebelum
mencapai surga) dengan mempersembahkan sesajen yang terdiri dari makanan,
buah-buahan dan lain-lain. Ini berarti bahwasanya adanya tempat suci untuk
memuja leluhur sangat diperlukan untuk dapat memuja serta memuliakan arwah
leluhur yang akan dan telah disucikan.
Sedangkan di dalam
lontar Purwa Bhumi Kemulan antara lain disebutkan: yan tan semangkana tan
tutug pali-pali sang dewapitra manaken sira gawang tan molih ungguhan, tan hana
pasenetanya.
Terjemahan: bilamana belum
dilaksanakan demikian (belum dibuatkan tempat suci) belumlah selesai upacara
yang dewa pitra (leluhur) tidak mendapat suguhan dan tidak ada tempat
tinggalnya. Lebih lanjut di dalam lontar ini dijelaskan : apan sang
dewapitranya salawase tan hana jeneknya. Terjemahan: oleh karena sang
dewa pitara (leluhur) tidak ada tempat menetapnya, dapat dijelaskan bahwa
upacara ngunggahang dewa pitara (leluhur) adalah untuk menetapkan stana
sementara dari dewa pitara (leluhur) pada bangunan pemujaan sebagai simbolis,
bahwa dewa piatra telah mempunyai sthana tempat yang setara dengan dewa.
Begitu pula dijelaskan
dalam Lontar Nagarakerthagama yang menyebutkan:
ngka tang nusantarane
Balya matemahan secara ring javabhumi,
dharma mwang kramalawan
kuwu tinapak adeh nyeki sampu tiningkah.
Adapun maksudnya kurang
lebihnya menyebutkan bahwa apa yang
diterapkan di Bali persis mengikuti keadaan di Jawa terutama berkaitan dengan
bentuk bangunan candi, pasraman dan pesanggrahan atau rumah. Yang disebut candi
tidak lain adalah parahyangan untuk memuja leluhur.
Di dalam Lontar Ciwagama
diuraikan tentang ketentuan mendirikan pelinggih (bangunan suci) yang disebut
ibu dan panti. Yang dimaksud dengan pelinggih di dalam lontar ini adalah tempat
suci untuk memuliakan dan memuja arwah leluhur, di Bali ini disebut
merajan/sanggah. Bagi masyarakat Hindu di Bali merajan tidak saja sebagai
tempat memuja leluhur tapi juga sebagai tempat untuk memuliakan dan memuja
Hyang Widhi dengan segala prabawaNya.
Begitu pula dijelaskan
dalam Lontar Loka Pala yang menguraikan:
“…………….. seperti manusia yang sudah lupa dengan saya, Sayalah yang menyebabkan ada mereka, saya
tiada lain adalah Sang Hyang Guru Reka, yang mengadakan seluruh isi jagat raya.
Sayalah yang dipuja dengan sebutan Dewa Hyang Kawitan yang beraga Sang Hyang
Uma Kala, dan saya jugalah yang dipuja dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ingatlah
semuanya. Menjadi satu dalam Rong Tiga, dan sayalah yang mencipta, saya
memelihara dan saya jugalah yang melebur ……………….”
Kutipan di atas, apabila dipahami, maka berbhakti kepada leluhur
melalui merajan dengan rong tiga adalah sebuah keharusan agar kita memperoleh
keselamatan dan terhindar dari mara bahaya (Anom, 2009: 5-6).
Berdasarkan atas beberapa sumber lontar di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pembuatan merajan tidak hanya sebatas asal buat saja oleh manusia,
melainkan atas rujukan beberapaa sastra seperti yang diuraikan di atas. Hai ini
disebabkan merajan adalah sebuah tempat suci untuk memuja kebesaran Tuhan Yang
Maha Esa dan juga para leluhur, beserta Tri Murthi. Seluruhnya adalah sebuah
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan merupakan sebuah upaya
manusia untuk menuju keadan yang sejahtera.
D. Fungsi Pura dan
Sanggah/Merajan
Selain sebagai tempat
suci untuk bersembahyang, fungsi Pura dan Sanggah Pamrajan berkembang menjadi
beberapa fungsi ikutan, yaitu:
1.
Pemelihara persatuan;
di saat Odalan, semua warga dan sanak keluarga berkumpul saling melepas rindu
karena bertempat tinggal jauh dan jarang bertemu namun merasa dekat di hati
karena masih dalam satu garis keturunan.
2.
Pemelihara dan pembina
kebudayaan; di saat Odalan dipentaskan tari-tarian sakral, kidung-kidung
pemujaan Dewa, tabuh gambelan, wayang, dan lain-lain.
3.
Pendorong pengembangan
pendidikan di bidang agama, adat, dan etika/susila; ketika mempersiapkan Upacara Odalan, ada kegiatan
gotong royong membuat tetaring, menghias palinggih, majejahitan, mebat, dan lain-lain.
4.
Pengembangan kemampuan
berorganisasi; membentuk panitia pemugaran, panitia piodalan, dan lain-lain.
5.
Pendorong kegiatan
sosial; dengan mengumpulkan dana punia untuk tujuan sosial baik bagi membantu
anggota keluarga sendiri, maupun orang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
KeSimpulan
Berdasarkan atas
pembahsan di atas, maka dapat disimpulkan:
1.
Pengelompokan Pura di
Bali terbagi atas dua kriteria. Berdasarkan atas fungsinya maka pura di Bali
dikelompokkan menjadi 2 yaitu Pura Jagat dan Pura Kawitan. Berdasarkan atas
karakterisasinya, pura dibagi menjadi 4 yaitu Pura Umum (Pura Kahyangan Jagat),
Pura Kahyangan Desa (Pura Teritorial), Pura Swagina (Pura Fungsional), dan Pura
Kawitan.
2.
Sanggah/Merajan adalah
tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu
dan bapak yang sudah tiada dan berada di alam baka (sunia loka) bagi masyarakat
Hindu di Bali. Berdasarkan bentuknya, sanggah/merajan ada yang dibangun berdasarkan
konsep Mpu Kuturan, ada yang berdasarkan konsep Dang Hyang Nirartha, serta ada
pula yang menggunakan kombinasi keduanya. Pelinggih utama yang ada dalam
sanggah/merajan alit adalah kemulan, taksu dan panglurah. Setelah kedatangan
Dang Hyang Nirartha, maka dikenalkan dengan konsep Padmasna/Padmasari.
3.
Dasar Pembuatan
Sanggah/Merajan dilihat dari berbagai sumber yang menyebutkan tentang
pentingnya mendirikan sanggah/merajan. Adapun sumber-sumber yang menjelaskan
tentang pentingnya mendirikan sanggah /merajan terdapat dalam kitab suci
Bhagavad Gita, serta lontar-lontar seperti lontar Purwa Bhumi Kamulan,
Ciwagama, Nagara Kerthagama, dan Lontar Loka
Pala.
4.
Selain sebagai tempat
suci untuk bersembahyang, fungsi Pura dan Sanggah Pamrajan berkembang menjadi beberapa
fungsi ikutan, yaitu sebagai pemelihara persatuan, pemelihara dan pembina
kebudayaan, pendorong pengembangan pendidikan di bidang agama, adat, dan
etika/susila, pengembangan kemampuan berorganisasi serta sebagai pendorong
kegiatan sosial;
B.
Saran
Makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan
guna penyempurnaan penyusunan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sivanada Swami sri, All About Hiduisme (Intisari
Ajaran Agama Hindu), The Divine Life Society / Paramita surabaya, surabaya
1993.
Sudirga, Ida Bagus.2003. Agama Hindu. Ganeca
Exact;Jakarta.
Pudja, Gede. 2003. Bhagawad Gita. Paramita;
Surabaya.
Adiputra, Gede Rudia.2003. Pengetahuan Dasar
Agama Hindu. STAH DNJ;Jakarta.
Rai, I Gusti Ngurah.2012. Modul Sradha.
Jakarta.
Sudiani, Ni Nyoman. 2012. Materi Ajar Mata Kuliah
Darsana. STAH DNJ: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar