BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu dan
teknologi dewasa ini turut mempercepat laju perkembangan ekonomi dan industri,
yang mempunyai imbas yang sangat penting terhadap dunia pendidikan. Salah satu
dampak pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang paling nyata dirasakan yaitu
menyangkut lapangan kerja, baik dilihat dari kebutuhan masyarakat maupun
kemempuan dalam menyediakan tenaga kerja. Dalam hubungannya dalam masalah
penyiapan tenaga kerja, yang dihadapi dilapangan yaitu rendahnya mutu tenaga
kerja di negara kita. Banyak hal yang turut mempengaruhi mutu tenaga kerja,
biasanya kondisi fisik, kualitas pendidikan, dan etos kerja adalah hal yang
sangat dominan dalam menentukan produktifitas tenaga kerja.
Dalam rangka mempersiapkan
tenaga kerja yang sesuai dengan permintaan masyarakat, pemerintah mulai
berusaha meningkatkan mutu pendidikan. Para pengelola pendidikan mulai
meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dalam bidang pendidikan untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan diperlukan
penataan, pengaturan, penilain dan pengawasan yang tersusun secara rapi. Semua
itu dapat terlaksana dengan baik jika pengelola pendidikan telah mempunyai
pengetahuan yang memadai tentang pengaturan system pendidikan (manajemen pendidikan).
Manajemen pendidikan
adalah modal yang penting dalam menggeser paradigma lama dalam pendidikan
menuju paradigma baru guna mengembangkan dan mempersiapkan tenaga kerja yang
berkualitas tinggi. Manajemen pendidikan haruslah dikuasai dengan baik dan
dilaksanakan dengan lebih bijak agar menjadikan pendidikan lebih mudah
dikembangkan. Dalam manajemen pendidikan dipaparkan tentang banyak hal yang
berkaitan dengan pendidikan, bagaimana mengatur pendidikan yang baik, apa saja
prinsip dalam mengatur suatu organisasi, dan lain sebagainya. Manajemen
pendidikan ini sangat penting untuk dipelajari guna mempersiapkan pendidikan
yang dapat mencipatakan tenaga kerja yang berkualitas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Paradigma Baru Manajemen Pendidikan
Pada era reformasi, masyarakat
Indonesia menginginkan perubahan dalam semua aspek kehidupan bangsa. Pembaharuan pada sektor pendidikan yang
memiliki peran strategis dan fungsional (Hujair AH.Sanaky,2003:3 dalam
Sudarmiani,2009:13), juga memerlukan paradigma baru yang harus menekankan pada
perubahan cara berpikir dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan.
Pendidikan yang telah berjalan selama ini tidak bisa menjadi penggerak
pembangunan di Indonesia, malahan pendidikan telah menghambat pembangunan
ekonomi dan teknologi, buktinya adalah dengan adanya kesenjangan sosial,
budaya, dan ekonomi. Berbagai masalah yang timbul tersebut diakibatkan oleh
semakin lemahnya pendidikan nasional. Pembaharuan pendidikan nasional yang
telah mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas
paradigma dan peran pendidikan dalam pembangunan (zamroni,2000:5-6 dalam
Sudarmiani,2009:13).
Paradigma tersebut harus
berimplikasi pada perubahan perspektif dalam pembangunan pendidikan, mulai dari
perspektif yang menganggap pendidikan sebagai sektor pelayanan umum ke
perspektif pendidikan sebagai suatu investasi produk yang mampu mendorong
pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Pendidikan sebagai faktor
yang dipengaruhi oleh berbagai permasalahan yang terjadi dalam berbagai
kehidupan.
Melalui paradigma baru
tersebut, dimaksudkan pendidikan harus mampu melawan berbagai tantangan dan
permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan. Pendidikan dan kehidupan
telah menyatu, maka pendidikan dapat dikatakan sebagai proses memanusiakan
manusia.
Berikut ini adalah
langkah-langkah untuk melakukan rekonstruksi pendidikan dalam rangka membangun
paradigma baru sistem pendidikan nasional :
1. Pendidikan nasional
hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada demokratisasi bangsa.
2. Pendidikan nasional
hendaknya memiliki misi agar tercipta partisipasi masyarakat secara menyeluruh.
Pendidikan tidak hanya terfokus dalam penyiapan tenaga kerja, tapi untuk
memperkuat kemampuan dasar pembelajar sehingga memungkinkan baginya untuk
berkembang lebih jauhdalam konteks kehidupan global.
3. Substansi pendidikan dasar
hendaknya mengacu pada perkembangan potensi dan kreativitas pembelajar.
Pendidikan mengengah dan tinggi hendaknya diarahkan pada membuka kemungkinan
pengembangan kepribadian secara vertikal (keilmuan) dan horisontal (keterkaitan
antar bidang keilmuan).
4. Pendidikan dasar dan
menengah perlu mengembangkan sistem pembelajaran yang egaliter dan demokratis
agar tidak terjadi pengelompokan kelas atas dasar kemampuan akademik.
5. Pendidikan tinggi harus
mempersiapkan dan memperkuat kemampuan dasar mahasiswa untuk memungkinkan
mereka berkembang baik secara individu, anggota msyarakat, maupun sebagai warga
negara dalam konteks global.
6. Kebijakan kurikulum untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional, harus memperhatikan tahap perkembangan
pembelajar dan kesesuaian dengan lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, budaya, seni serta sesuai dengan jenjang masing-masing satuan pendidikan dengan mengembangkan proses
pembelajaran kreatif
7. Perlu mengaktualisasikan
enam unsur kapasitas belajar, yaitu:
a. Kepercayaan (confidence)
b. Keingintahuan (curioucity)
c. Sadar tujuan
(intensionality)
d. Kendali diri (self
control)
e. Mampu bekerja sama (work
together
f. Kemampuan bergaul secara
harmonis dan saling pengertian (relatedness)
8. Untuk menjaga relevansi
outcome pendidikan, dengan mengimplementasikan filsafat rekonstruksivisme dalam
berbagai tingkat kebijakan dan praktisi pendidikan
9. Pendidikan nasional
hendaknya mendapatkan proporsi alokasi dana yang cukup memadai.
10. Realisasi pendidikan dalam
konteks lokal diperlukan badan-badan pembantu dalam dunia pendidikan. Misalnya
saja ‘Dewan Sekolah’ yang memiliki peran untuk memberi masukan-masukan dalam
berbagai aspek.
11. Menetapkan model
rekruitmen pejabat pendidikan secara profesional. Kompetensi dan sertifikasi
guru dan dosen juga harus dilakukan dengan profesional. Pemerintah harus
membentuk badan ‘independen’ profesi guru dan dosen yang anggotanya terdiri
dari tenaga kependidikan profesional, terpercaya, dan bertanggung jawab yang akan menilai kompetensi
profesional, keilmuan, personal dan sosial dari guru dan dosen.
Paradigmanya adalah
manajemen pendidikan harus sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan
zaman. Maka dinyatakan School Based Manajement (SBM) sebagai alternatif paradigma
baru, dengan pendekatan akar rumput (grass root approach).
B.
Perubahan Paradigma Manajemen Pendidikan
Undang-undang tentang
Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada daerah termasuk kewenangan dalam
pengelolaan pendidikan di sekolah. Berdasarkan hal tersebut maka manjeman
pendidikan perlu melakukan revitalisasi dan penyesuaian dari manajemen
paradigma lama yang bersifat sentralistik menuju manajemen pendidikan paradigma
baru yang lebih bersifat demokratis dan desentralistik.
C. Desentralisasi Manajemen
Pendidikan
Konsep desentralisasi dan
sentralisasi mengacu pada sejauh mana wewenang dilimpahkan, dari suatu
tingkatan manajemen kepada tingkatan manajemen berikutnya yang berada di
bawahnya, atau tetap berada pada tingkat puncak. Manfaat desentralisasi adalah
melepaskan beban manajemen puncak, penyempurnaan pengambilan keputusan,
latihan, semangat kerja, dan inisiatif yang lebih baik pada tingkatan yang
lebih rendah.
Desentralisasi pendidikan
di Indonesia mengacu pada pemberian kewenangan kebijakan dari pemerintah pusat
pada pemerintah daerah kabupaten/kota. Tujuannya untuk mewujudkan ketercapaian
program wajib belajar 9 tahun, meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap
dunia pendidikan, dan menyelenggarakan sistem pendidikan yang efektif dan efisien.
Konsep desentralisasi
pendidikan berdasarkan UU No.22 dan 25 tahun 1999 meliputi 2 aspek yaitu :
substansi yang mencakup teknis edukatif, personel, finansial, sarana dan
prasarana, serta administratif; dan fungsi manajemen yang menckup planning, organizing,
actuating, dan controlling.
Untuk mewujudkan berbagai
perubahan ke arah desentralisasi, diperlukan empat hal, yaitu:
1. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur desentralisasi pendidikan dari tingkat daerah,
provinsi, sampai tingkat kelembagaan
2. Pembinaan kemampuan daerah
3. Pembentukan perencanaan
unityang bertanggung jawab untuk menyusun perencanaan pendidikan
4. Perangkat sosial, berupa
kesiapan masyarakat setempat untuk menerima dan membantu menciptakan iklim yang
kondusif bagi pelaksanaan desentralisasi tersebut
Alasan utama
diberlakukannya desentralisasi pendidikan adalah mengubah paradigma pendidikan
sentralistik pada desentralistik. Permasalah yang timbul dalam desentralisasi
pendidikan mencakup landasan filosofis dan pelaksanaannya. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa filosofi deentralisasi pendidikan di Indonesia adalah
Pancasila, UUD 1945 dan UU no.22 dan 25 tahun 1999. Agar pelaksanaan
desentralisasi pendidikan dapat efektif, diperlukan poros-poros perumusan
desentralisasi pendidikan yang meliputi: wawasan nusantara, asas demokrasi,
kurikulum, tenaga kependidikan, PBM, efisiensi pembiayaan, dan partisipasi.
Model pendidikan dalam
prinsip desentralisasi merupakan terobosan pola rancangan dalam meningkatkan
partisipasi masyarakat, pemerataan kesempatan serta efisiensi pelayanan. Bentuk
terobosan tersebut meliputi :
1. Perancangan yang didesain
secara bottom-up pada level kabupaten/kota.
2. Integrasi antar satuan
pendidikan sekolah dan madrasah
3. Integrasi antar jenjang
pendidikan SD dan SLTP dalam pakaet pendidikan dasar
4. Integrasi sekolah negeri
dan swasta
5. Integrasi lintas instansi
yaitu Depdiknas, Depag, dan Depdagri
6. Integrasi antar tataran
atau layer-layer birokrasi pada level sekolah, kabupaten, kota, provinsi dan
pusat
Pengembangan konsepsi
desentralisasi pendidikan di Indonesia dikemas dalam program pendidikan School
Based Management (MBS) dan School Based Community. Partisipasi masyarakat dalam
MBS diwadahi melalui komite/dewan sekolah yang memiliki peran sebagai berikut:
a. Pemberi pertimbangan
(Advisory Agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan
b. Pendukung (supporting
Agency) baik yang berwujud financial, pemikiran maupun tenagadalam
penyelenggaraan pendidikan
c. Pengontrol (controlling
agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan
keluaran pendidikan
d. Mediator antara pemerintah
(eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) dengan masyarakat.
Dengan demikian
desentralisasi pendidikan dapat terlaksana dengan baik apabila ditunjang oleh
perangkat peraturan perundangan yang memadai, model pelaksanaan yang memberikan
keleluasaan kewenangan dalam proses penetapan manajerial pendidikan, serta
adanya dukungan kuat dari partisipasi masyarakat.
D.
Profil Manajer Pendidikan di Era Desentralisasi
Pengembangan konsepsi desentralisasi
pendidikan di Indonesia di kemas dalam program pendidikan School Based
Management (SBM). Dalam konteks SBM, sekolah harus meningkatkan keikutsertaan
masyarakat lokal dalam pengelolaannya untuk meningkatkan kualitas dan
efisiensinya.
Agar desentralisasi dan
otonomi pendidikan berhasil dengan baik, kepemimpinan kepala sekolah perlu
diberdayakan. Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara fungsional,
sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan
tanggung jawabnya. Kepala sekolah harus berperan sebagai manajer dan pemimpin
yang efektif. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melakukan
funsi-fungsi manajemen dengan baik, yaitu : perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, dan pengawasan.
Seorang kepala sekolah
perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan
transformasional adalah sebuah gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian
kesempatan, dan atau dorongan semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja
atas dasar sistem nilai yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah
(guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat) bersedia tanpa paksaan,
berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Kepala sekolah yang
memilki kepemimpinan partisipasi-transformasional memiliki kecenderungan untuk
menghargai ide-ide baru, cara baru, praktik-praktik baru dalam proses
belajar-mengajar di sekolahnya.
Agar proses inovasi di
sekolah dapat berjalan dengan baik, kepala sekolah perlu dan harus bertindak
sebagai pemimpin (leader), dan bukan sebagai boss.
Kepemimpinan Kepala
sekolah harus menghindari terciptanya pola hubungan dengan guru yang hanya
mengandalkan kekuasaan, sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional;
menghindarkan diri dari one man show; sebaliknya harus menekankan pada kerja
sama kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba menakutkan,
sebaliknya perlu menciptakan keadaan yang membuat semua guru percaya diri;
menghindarkan diri dari wacana retorika, sebaliknya perlu membuktikan memiliki
kemampuan untuk kerja profesional; menghindarkan diri dari sifat dengki dan
kebencian, sebaliknya harus menumbuhkembangkan antuisme kerja para guru; tetapi
harus mampu membetulkan (mengoreksi) kesalahan guru; dan menghindarkan diri
agar tidak menyebabkan pekerjaan guru menjadi membosankan, tetapi sebaliknya
justru harus mampu membuat suasana kerja yang membuat guru tertarik dan betah
melakukan pekerjaannya.
E.
Paradigma MSB dalam Manajemen Pendidikan
Karakter MBS adalah
mengenai proses manajemen pendidikan yang meliputi masukan (input), proses
(process), hasil/lulusan (output) dan outcomes.
Biasanya sekolah yang
mandiri dan efektif memiliki proses pendidikan sebagai berikut:
1. Efektifitas proses belajar
mengajarnya tinggi
Proses belajar mengajar pada paradigma baru manajemen
pendidikan lebih menekankan pada kemampuan untuk bekerja, cerdas hidup bersama
dan belajar menjadi diri sendiri.
2. Gaya kepemimpinan yang
tangguh
Kepala sekolah sebagai manajer dituntut memiliki
kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh dan kuat agar mampu mengambil
keputusan yang mengunutngkan semua pihak serta selalu memiliki prakarsa untuk
meningkatkan mutu pendidikan sekolahnya sesuia visi, misi, tujuan dan sasaran
sekolah yang telah ditetapkan
3. Lingkungan sekolah yang
aman dan nyaman
Sekolah yang ideal selalu menciptakan iklim sekolah dan
lingkungan yang aman dan nyaman serta bersih dan sehat demi berlangsungnya
kegiatan pembelajaran.
4. Pengelolaan tenaga
kependidikan yang efektif dan profesional
Sejak awal pola perekrutan dan pengelolaan tenaga
kependidikan harus memenuhi standar, artinya menguasai bidang keahlian
kependidikan secara profesional. Implementasi MBS menuntut dukungan tenaga
kependidikan yang terampil dan berkualitas agar dapat membangkitkan mtivasi
kerja yang lebih produktif
5. Sekolah memiliki budaya
mutu
Untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, maka sekolah harus memiliki budaya mutu sbb:
a. Mengakses dan memiliki
informasi yang berkwalitas demi perbaikan dan pengembangan mutu sekolah
b. Mampu melaksanakan
kewenangan sesuia tugas dan tanggung jawabnya
c. Hasil atau output
pendidikan diikuti rewards dan punishment
d. Melakukan sinergi dan
kolaborasi dengan masyarakat dan instansi terkait dalam bentuk kerjasama yang
saling menguntungka
e. Mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan tetap berpegang pada nilai-nilai
kepribadian bangsa
f. Adanya rewards atau
intensive yang proporsional dengan nilai pekerjaan
g. Warga sekolah merasa
memiliki sekolah, sehingga ada rasa tanggung jawab terhadap organisasi
sekolahnya (termsuk alumni)
h. Menumbuhkan daya saing
yang sehat
6. Kebersamaan yang
mencerminkan persatuan dan kesatuan sekolah
Budaya koordinasi dan kerjasama baik antar individu
maupun antar fungsi dalam sekolah harus dibiasakan dalam organisasi sekolah,
sehingga rasa kebersamaan dalam persatuan dan kesatuan antar warga sekolah
tetap terhaga
7. Otonomi daerah
Seiring dengan adanya Otonomi daerah, maka sekolah
memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk mengelola sekolahnya sebaik mungkin
secara mandiri.
8. Katerlibatan warga sekolah
dan masyarakat
MBS memberika kesempatan yang luas kepada warga sekolah
dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan demi kemajuan
sekolah.
9. Open manajement (manajemen
terbuka)
Pengelolaan kegiatan sekolah yang menyangkut fungsi-fungsi
manajemen dan penggunaan sumber daya sekolah, khsusnya penggunaan keuangan
harus bersifat transaparan dan selalu melibatkan pihak-pihak terkait.
10. Adanya kemauan untik
berubah
Warga sekolah harus menyadari bahwa dunia ini tidak ada
yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri, sebab susuatu yang telah berubah,
suatu saat akan berubah lagi, demikian seterusnya.
11. Sekolah harus peka
terhadap kebutuhan
Sekolah harus mampu menyusun kebutuhan pendidikan sesuai
dengan skala prioritas sekolah agar tidak ketinggalan jaman. Fasilitas sekolah
dan profesionalisme guru harus ditingkatkan dan disesuaikan dengan perkembangan
zaman.
12. Melakukan evaluasi dan
perbaikan diri.
Baik gru dan siswa harus melakukan evaluasi sesuai dengan
tugasnya masing-masing. Hasil evaluasi baik guru maupun siswa adalah sebagai
bahan untuk melakukan perbaikan dan pembinaan kinerja masing-masing.
13. Organisasi dan
akuntabilitas yang sehat
Organisasi yang dikelola
secra profesional dan akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus
dilakukan sekolah terhadap penyelenggaraan program sekolah sebagai bagian dari
pelaksanaan MBS.
Fungsi-fungsi yang
didesentralisasikan ke sekolah dalam MBS antara lain :
a. Perencanaan dan evaluas
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang sebagaiaman
diharapkan dalam visi dan misi, maka sekolah harus membuat need assesment
berdasarkan analisis kebutuhan program. Kemudian hasilnya tersebut akan
digunakan untuk menyusun Rencana Strategis Sekolah. Rencana program sekolah
tersebut harus dievaluasi untuk memantau dan mengetahui hasil program-program
yang telah dilaksankan. Hal ini dimaksudkan jika program yang dilaksanakan
tidak sesuai dengan rencana atau terjadi penyimpangan, dengan cepat segera
diantsipasi.
b. Pengelolaan kurikulum
Pada kurikulum 2006 yang dikenal dengan istilah KTSP
pihak sekolah dapat mengembangkan (memperdaya, memperkaya, memodofikasi, bahkan
inovasi) sesuia dengan kebutuhan masyarakat (regional, nasional,
internasional). Pengelolaan kurikulum dalam kaitannya dengan MBS adalah adanya
keleluasaan sekolah dalam mengimplementasikan kurikulum dan mengembangkan
muatan kurikulum lokal serta menyiapkan kecakapan hidup bagi peserta didik.
c. Pengelolaan Proses Belajar
Mengajar (PBM)
Sesuai prinsip MBS sekolah dibebaskan memilih strategi,
metode, media, teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang dianggap paling
efektif sesuai dengan tuntutan KTSP, yaitu berorientasi pada pemberdayaan
pembelajaran peserta didik.
d. Pengelolaan ketenagaan
Pada MBS pengelolaan tenaga kependidikan mulai dari
analisis kebutuhan, perencanaan, rekruitment, pengembangan dan pelatihan,
penghargaan dan sanksi, hubungan kerja dan evaluasi kerja dapat dilakukan oleh
sekolah.
e. Pengelolaan fasilitas
Semua fasilitas sekolah mulai dari pengadaan,
pemeliharaan, perbaikan dan pengembangannya dikelola oleh sekolah.
f. Pengelolaan dana/keuangan
Dalam MBS, sekolah juga mempunyai keleluasaan untuk
mencari dan mengelola dana sesuia dengan kebutuhan sekolah.
g. Pengelolaan layanan siswa
Siswa adalah input pokok bagi sekolah, maka sekolah harus
mengelolanya secara profesional, mulai dari perekrutan siswa baeu, pengembangan
potensi bakat dan minat, pembinaan dan bimbingan karier, penempatan untuk
melanjutkan sekolah, atau memasukidunia kerja sampai pengelolaan alumni.
h. Pengelolaan hubungan
sekolah-masyarakat
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan, perlu melakukan kerja
sama kemitraan dengan masyarakat guna memperoleh dukungan moral dan finansial.
i.
Pengelolaan iklim sekolah
Penciptaan dan pengelolaan
iklim sekolah yang sehat, tertib dan aman akan memberikan rasa nyaman bagi
semua warga sekolah, sehingga menumbuhkan semangat belajar dan mengajar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembaharuan dalam bidang
pendidikan harus dilakukakn karena mengingat zaman kian hari kian berubah.
Mewujudkan paradigma baru dalam manajemen pendidikan merupakan salah satu
langkah untuk mencetak generasi yang bermutu, sehingga dapat mengantisipasi
semua tantangan dan hambatan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan. Untuk
melakukan rekonstruksi pendidikan dalam rangka membangun paradigma baru sistem
pendidikan nasional membutuhkan beberapa langkah yang harus dilakukan dengan
benar dan bertanggung jawab. Sebagai alternatif paradigma baru adalah dengan
adanya School Based Management (SBM).
Manajemen pendidikan perlu
melakukan revitalisasi dan penyesuaian dari manajemen paradigma lama yang
bersifat sentralik menuju manajemen yang bersifat desentralistik. Hal tersebut
bersumber dari munculnya otonomi daerah, sehingga pendidikan dapat menyesuaikan
diri dengan kebutuhan yang diperlukan berdasarkan lingkungannya. Masing-masing
daerah bahkan masing-masing lembaga mempunyai keleluasaan/kemandirian untuk
membuat dan menentukan kurikulum untuk lembaganya namun juga harus bisa
bertanggung jawab dalam lingkup nasional.
Untuk mendukung paradigma
baru manajemen pendidikan dibutuhkan seorang profil manajer yang efektif dan
bergaya kepemimpinan transformasional, sehingga semua potensi yang ada di
sekolah dapat berfungsi secara optimal. Dalam hal ini juga perlu adanya pemahaman
tentang perbedaan antara pemimpin dan boss.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarmiani.2009.Diktat Manajemen
PEndidikan
Tim Dosen Administrasi Pendidikan
UPI.2010.Manajemen Pendidikan.Alfabeta:Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar