BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia setelah NU. Pendidikan telah menjadi “trade-merk” gerakan Muhammadiyah,
besarnya jumlah lembaga pendidikan merupakan bukti konkrit peran penting
Muhammadiyah dalam proses pemberdayaan umat Islam dan pencerdasan bangsa.
Dalam konteks ini Muhammadiyah tidak hanya berhasil mengentaskan bangsa Indonesia dan umat islam dari kebodohan dan penindasan, tetapi juga menawarkan
suatu model pembaharuan sistem pendidikan “modern”
yang telah terjaga identitas dan kelangsungannya.
Diskusi tentang pendidikan Muhammadiyah sebagai salah satu pembaharuan pendidikan islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pemikiran para pendirinya. Salah satu tokoh pendidikan Muhammadiyah yang paling
menonjol adalah K.H. Ahmad Dahlan. Oleh
karenanya penulis akan membahas makalah yang berjudul “Tokoh Pendidikan Islam K.H Ahmad Dahlan”.
B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan makalah ini tidak melenceng dari pembahasan, maka penulis
menarik rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan ?
2. Bagaimana Latar pendidikan K.H.
Ahmad Dahlan?
3. Apa Tujuan dari
berdirinya Organisasi Muhammadiyah?
4. Bagaimana Pemikiran
K.H. Ahmad Dahlan?
5. Bagaimana Konsep
Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan diakui sebagai salah
seorang tokoh pembaru dalam pergerakan Islam Indonesia, antara lain, karena ia
mengambil peran dalam mengembangkan pendidikan Islam dengan
pendekatan-pendekatan yang lebih modern.
Ia berkepentingan dengan pengembangan pendidikan Islam masyarakat yang
menurutnya tidak sesuai dengan ajaran Al –Qur’an dan Hadits.[1]
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, 1 Agustus 1868
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh
bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H Abu Bakar adalah seorang
ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu[2],dan
ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. Dalam sumber lain
K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan pada tahun 1869.[3]
Diwaktu kecil K.H.
Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis, nama Ahmad Dahlan adalah pergantian
setelah berangkat untuk menunaikan ibadah haji di Makkah. Sebelum mendirikan
Persyarikatan Muhammadiyah, beliau bergabung sebagai
anggota Boedi Oetomo yang merupakan organisasi kepemudaan pertama di Indonesia.
Dengan kedalaman ilmu
agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan Islam, K.H.
Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan Islam ke
pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. K.H. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas
desakan para muridnya pada tanggal 18 November 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di
Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo dan
Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan
umat Islam dan bangsa. K.H. Ahmad Dahlan meninggal pada
tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen,
Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta.
B. Latar Belakang
Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Nama kecil K.H. Ahmad
Dahlan adalah Muhammad Darwis. Saat masih kecil beliau diasuh oleh
ayahnya sendiri yang bernama K.H. Abu bakar. Karena sejak kecil Muhammad Darwis
mempunyai sifat yang baik, budi pekerti yang halus dan hati yang lunak serta berwatak
cerdas, maka ayah bundanya sangat sayang kepadanya. Ketika Muhammad Darwis
menginjak usia 8 tahun Ia dapat membaca Al-Qur’an dengan lancar. Dalam hal ini
Muhammad Darwis memang seorang yang cerdas pikirannya karena dapat mempengaruhi
teman-teman sepermainannya dan dapat mengatasi segala permasalahan yang terjadi
diantara mereka.
Muhammad Darwis tinggal
di kampung kauman yang mana di tempat itu anti dengan penjajah. Suasana seperti
itu tidak memungkinkan bagi Muhammad Darwis untuk memasuki sekolah yang
dikelola oleh pemerintah penjajah. Pada waktu itu siapa yang memasuki sekolah
gubernamen, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah jajahan,
dianggap kafir atau kristen. Sebab itu muhammad Darwis tidak meuntut ilmu pada
sekolah Gubernamen, Ia mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan
dari ayahnya sendiri.
Pada abad ke-19 berkembang suatu tradisi mengirimkan
anak kepada guru untuk menuntut ilmu, dan menurut Karel Steebbrink sebagaimana
yang dikutip oleh Weinata Sairin ada enam macam guru yang terkenal pada masa
itu; guru ngaji Qur’an, guru kitab, guru tarekat, guru untuk ilmu ghaib, pejual
jimat dan lain-lain. Dari lima macam guru tadi, Muhammad Darwis belajar mengaji
Qur’an pada ayahnya, sedangkan belajar kitab pada guru-guru lain.[4]
Setelah menginjak dewasa, Muhammad Darwis mulai membuka kebetan
kitab mengaji kepada K.H. Muhammad Saleh dalam bidang ilmu Fiqh dan kepada K.H.
Muhsin dalam bidang ilmu nahwu. Kedua guru tersebut merupakan kakak ipar yang
rumahnya berdampingan dalam suatu komplek. Sedangkan pelajaran yang lain beliau
belajar kepada ayahnya sendiri. Guru-guru Muhammad Darwis lain yang bisa
disebut adalah; Kyai haji Abdul Khamid, KH. Muhammad Nur, dan Syaikh Hasan.
Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, KH. Ahmad
Dahlan mempelajari perubahan-perubahan yang terjadi di Mesir, Arab, dan India,
untuk kemudian berusaha menerapkannya di Indonesia. Ahmad Dahlan juga sering
mengadakan pengajian agama di langgar atau mushola.[5]
C. Tujuan Berdirinya
Organisasi Muhammadiyah
Sesuai dengan ide pembaruan yang di serapnya dari
pemikiran Timur Tengah, ia pun mulai melakukan usaha meluruskan akidah dan amal
ibadah masyarakat Islam. Melihat kondisi umat Islam yang saat itu cukup kritis,
K.H. Ahmad Dahlan terdorong untuk mendirikan organisasi yang kemudian dinamakan
Muhammadiyah. Organisasi ini berdiri pada 8 November 1912 di yogyakarta.
Perkumpulan Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran Islam kepada sumber
aslinya, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini diwujudkan melalui usaha
memperluas dan mempertinggi pendidikan Islam, serta memperteguh keyakinan agama
Islam.
Tujuan dari berdirinya organisasi ini ialah mengadakan
dakwah Islam, memajukan pendidikan dan pengajaran, menghidupkan sifat
tolong-menolong, mendirikan tempat ibadah dan wakaf, mendidik dan mengasuh
anak-anak agar menjadi umat Islam yang berarti, berusaha ke arah perbaikan
penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam, serta berusaha
dengan segala kebijaksanaan supaya kehendak dan peraturan islam berlaku dalam
masyarakat. Rumusan tujuan ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Anggaran
Dasar Muhammadiyah Desenber 1950. Setelah organisasi ini berdiri, sekolah yang
didirikan semakin banyak, karena pendirian sekolah dan madrasah menjadi
prioritas dalam setiap gerakan Muhammadiyah. Oleh karena itu, di mana ada
cabang perkumpulan organisasi ini dipastikan terdapat sekolah atau Madrasah
Muhammadiyah. Hal ini dimungkinkan karena kalangan pendukung Muhammadiyah
kebanyakan berasal dari kaum pedagang dan pegawai di wilayah perkotaan sehingga
mudah untuk dikoordinasikan.
D. Pemikiran K.H. Ahmad
Dahlan
Merasa prihatin terhadap
perilaku masyarakat Islam di Indonesia yang masih mencampur-baurkan
adat-istiadat yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran umat islam, inilah
yang menjadi latar belakang pemikiran K.H. ahmad Dahlan untuk melakukan
pembaruan, yang juga melatar belakangi lahirnya Muhammadiyah. Selain faktor
lain diantaranya, yaitu pengaruh pemikiran pembaruan dari para gurunya di Timur
Tengah.[6]
Hampir seluruh pemikiran K.H. Ahmad Dahlan
berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam
waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan (stagnasi), kebodohan, serta
keterbelakangan. Kondisi ini semakin diperparah dengan politik kolonial belanda
yang sangat merugikan bangsa Indonesia.[7]
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, upaya
strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang
statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Memang, Muhammadiyah sejak tahun 1912 telah menggarap
dunia pendidikan, namun perumusan mengenai tujuan pendidikan yang spesifik baru
disusun pada 1936. Pada mulanya tujuan pendidikan ini tampak dari ucapan K.H.
Ahmad Dahlan: “ Dadiji kjai sing
kemajorean, adja kesel anggonu njambut gawe kanggo Muhammadiyah”( Jadilah manusia
yang maju, jangan pernah lelah dalam bekerja untuk Muhammadiyah)
Untuk mewujudkannya,
menurut K.H. Ahmad Dahlan pendidikan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Pendidikan moral,
akhlak, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan karakter manusia yang baik,
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah
2. Pendidikan Individu,
yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh, yang
berkesinambungan antara keyakinan dan intelek, antara akal dan pikiran serta
antara dunia dan akhirat
3. Pendidikan kemasyarakatan,
yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kese”iya”an dan keinginan hidup
masyarakat.
Tanpa mengurangi
pemikiran para intelektual muslim lainnya, paling tidak pemikiran Ahmad Dahlan
tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan pendidikan
Islam di Indonesia. Gagasan pembaruannya sempat mendapat tantangan dari
masyarakat waktu itu, terutama dari lingkunagan pendidikan tradisional. Kendati
demikian, bagi Dahlan, tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan
tantangan yang perlu dihadapi secara arif dan bijaksana.[8]
Arus dinamika
pembaharuan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan
kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam
menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang
serius. Hal ini disebabkan, karena pendidikan merupakan media yang sangat
strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis
dan memiliki daya analisa yang tajam dalam membaca peta kehidupan masa depannya
yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan K.H Ahmad
Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan
inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih
proporsional.
E. Konsep Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Kehadiran penjajah
Belanda ke Indonesia telah merusak tatanan sosial yang ada dalam masyarakat
Indonesia. Di jawa, Belanda telah merusak dan menghancurkan komponen kehidupan
perdagangan dan politik umat Islam. Selain itu, kondisi umat Islam mulai
menyimpang dari kesucian dan kemurnian ajaran Islam. Dalam segi kegiatan
keagamaan, mulai berkembang sikap fatalisme, khurafat, takhayul, serta
konservatisme yang tertanam kuat dalam kehidupan keagamaan dan sosial ekonomi
masyarakat Islam. Kondisi ini diperburuk lagi dengan dengan misi kristenisasi
yang membuat umat Islam mengalami kejumudan dalam setiap aspek kehidupannya.
Memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan Islam dan akibat dari pemerintahan
kolonial Belanda, terutama di pulau Jawa, K.H. Ahmad Dahlan merasa sangat
prihatin. Umat Islam saat itu berada dalam keterbelakangan, kebodohan, dan
kemiskinan. Selain itu, sistem pendidikan yang ada sangat lemah sehingga tidak
mampu menandingi misi kaum Zindiq maupun Kristen.
Melihat kenyataan
diatas, beliau sebagai seorang muallim merasa terpanggil untuk mempertahankan
sistem dari abad-abad permulaan Islam sebagai suatu sistem yang benar dan bebas
dari unsur-unsur bid’ah, berusaha membangun kembali agama Islam yang didasarkan
pada sendi-sendi ajaran yang benar, yakni sejalan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Oleh sebab itu K.H. Ahmad dahlan memfokuskan dirinya untuk memperbaiki tatanan
masyarakat dengan meningkatkan taraf pendidikan khususnya di Indonesia.
Pelaksanaan pendidikan
menurut Dahlan hendaknya di dasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini
merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan kerangka filosofis bagi Islam,
baik secara vertikal (Khaliq) maupun Horizontal (makhluk). Dalam pandangan
Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai abd’
Allah dan khalifah fi al-ardh.
Dalam proses
kejadiannya, manusia diberikan Allah dengan al-ruh dan al’aql. Untuk itu,
pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh
untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada
Khaliqnya. Disini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik
yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan
metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun
horizontal dalam konteks tujuan penciptaannya.[9]
Pendidikan menurut K.H. Ahmad
Dahlan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan
umat. Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan K.H. Ahmad Dahlan ini meliputi:
1. Tujuan Pendidikan
Menurut K.H. Ahmad
Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia
muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham
masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut
merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat
itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu
sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih
dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda
merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan
pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu
agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi K.H. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan
dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah
yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan
ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
2. Materi pendidikan
Menurut Dahlan, materi
pendidikan adalah pengajaran Al-Qur’an dan Hadits, membaca, menulis, berhitung,
Ilmu bumi, dan menggambar. Materi Al-Qur’an dan Hadits meliputi; Ibadah,
persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya,
musyawarah, pembuktian kebenaran Al-Qur’an dan Hadits menurut akal, kerjasama
antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu
dan kehendak, Demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika
kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).[10]
3.
Metode Mengajar
Di dalam menyampaikan pelajaran agama K.H. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang
tekstual tetapi kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya
dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi
dan kondisi.
Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogan,
madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda. Bahan pelajaran di pesantren mengambil dari kitab-kitab agama saja. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya mengambil dari kitab agama dan buku-buku umum. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para
kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah
Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan antara guru-murid yang akrab.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di
atas, pemakalah dapat menyimpulkan bahwasanya K.H. Ahmad Dahlan adalah
merupakan tokoh pendidikan yang sangat besar jasanya bagi dunia pendidikan di
Indonesia ini.
Kyai Haji Ahmad Dahlan
(Muhammad Darwis) lahir di Kauman, Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Sebelum
mendirikan organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan mempelajari
perubahan-perubahan yang terjadi di Mesir, Arab, dan India, untuk kemudian
berusaha menerapkannya di Indonesia. Ahmad Dahlan juga sering mengadakan
pengajian agama di langgar atau mushola. Pada tahun 1912 beliau mendirikan
Muhammadiyah yang semata-mata bertujuan untuk mengadakan dakwah Islam,
memajukan pendidikan dan pengajaran, menghidupkan sifat tolong-menolong,
mendirikan tempat ibadah dan wakaf, mendidik dan mengasuh anak-anak agar
menjadi umat Islam yang berarti, berusaha ke arah perbaikan penghidupan dan
kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam
Ide-ide yang di kemukakan K.H.Ahmad Dahlan telah membawa
pembaruan dalam bidang pembentukan lembaga pendidikan Islam yang semula
bersistem pesantren menjadi sistem klasikal, dimana dalam pendidikan klasikal
tersebut dimasukkan pelajaran umum kedalam pendidikan madrasah. Meskipun
demikian, K.H. Ahmad Dahlan tetap
mendahulukan pendidikan moral atau ahlak, pendidikan individu dan pendidikan
kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis- Nizar,
Syamsul. 2010. Ensiklopedi Tokoh
pendidikan Islam, Jakarta: Quantum teaching
Kurniawan, Syamsul -
Mahrus, Erwin. 2011. Jejak Pemikiran
Tokoh Pendidikan Weinata Islam,
(Jogjakarta:Ar-Ruzz Media)
Sairin, Gerakan pembaharuan Muhammdiyah,
Salam, Junus 2009. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah,
Tangerang: Al-Wasat Publising House
Soedja, Muhammad, 1993.
Cerita
tentang kyiai haji Ahmad Dahlan,
Jakarta: Rhineka Cipta
Baihaqi, Mif. 2008. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan, Bandung:
Penerbit Nuansa
[1]Syamsul
Kurniawan-Erwin Mahrus, jejak pemikiran
Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media), hal.193
[2]Junus
salam, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah,
(Tangerang: Al-Wasat Publising House, 2009), hal.56.
[3]Muhammad
Soedja, Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan, (
Jakarta: Rhineka Cipta, 1993), hal 202.
[4]Weinata
Sairin, Gerakan pembaharuan Muhammdiyah,
hal 39.
[5]Mif
Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan, (Bandung:
Penerbit Nuansa, 2008),hal.36
[6]Syamsul
kurniawan-Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran
Tokoh Pendidikan Islam,(Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2011), hal.195-196
[7]Ramayulis-Syamsul
Nizar, Ensiklopedi Tokoh pendidikan Islam,
(Jakarta:Quantum teaching,2010).hal 193.
[8]Ibid
hal. 200
[9] Ramayulis-Syamsul
Nizar, Ensiklopedi Tokoh pendidikan
Islam, (Jakarta:Quantum teaching,2010).hal 195.
[10]Ramayulis-Syamsul
Nizar, Ensiklopedi Tokoh pendidikan Islam,(Jakarta:Quantum
teaching,2010).hal 199.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar