BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsep Hak Asasi
Manusia (HAM), Demokrasi, dan Penegakan Hukum di Indonesia. Dari kalangan semua
orang yang mengikuti perkembangan politik dan hukum pada tingkat nasional
maupun internasional saat ini sudah dapat dipastikan tidak asing dengan
persoalan HAM, Demokrasi, dan Penegakan Hukum. Mereka sering membicarakan dan
mendiskusikan tentang tiga persoalan diatas, baik menyangkut tentang
pelanggaran HAM oleh sekelompok seseorang maupun oleh pihak aparat pemerintah sendiri
serta berbagai kontrovesial dalam pelaksanaan di berbagai negara.
Warga negara yang baik
ialah warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya.Oleh karena itu dengan
memahami HAM, Demokrasi dan Penegakan Hukum sejak dini (disekolah) maka mereka
diharapkan dapat bersikap dan berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip HAM,
Demokrasi, dan Hukum yang berlaku. Demikian pula ketika mereka menjalani hidup
di masyarakat terutama saat menghadapi persoalan yang ada kaitannya dengan
persoalan HAM, Demokrasi dan Hukum akan lebih siap.
Pelaksanaan pemilu sebagai sarana
demokrasi baik pada masa orde baru maupun era reformasi terselenggara dengan
baik. Pilihan ideology dan system politik demokrasi Pancasila sebagai dasar dan
falsafah negara Indonesia merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai luhur
budaya bangsa yang akan menjadi pedoman dalam kehidpan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Meskipun praktik-praktik demokrasi Pancasila pada
masa lalu menunjukkan pengalaman yang kurang baik, bukan berarti nilai-nilai
Pancasila tidak memiliki hubungan dengan system politik demokrasi yang
berkembang hingga saat ini.
Sejak awal kemerdekaan para pendiri
negara dan bangsa Indonesia telah sepakat merumuskan Pancasila sebagai dasar
negara sehingga sila-sila Pancasila yang tercantum di dalamnya merupakan
nilai-nilai dasar yang melandasi penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis.
Singkatnya pelaksanaan demokrasi di Indonesia dalam perjalanannya mengalami
pasang surut. Hal itu ditandai dengan perubahan bentuk demokrasi yang pernah
dilaksanakan di Indoneisa.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah di kemukakan di atas maka pokok permasalahan ini
adalah :
1.
Apa sebenarnya HAM itu?
2.
Apa demokrasi itu?
3.
Bagaimana Pelaksanaan
Pemilu di indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hak Asasi Manusia
Istilah “hak” memiliki
banyak arti.Hak dapat di artikan sesuatu yang benar, kewenangan, kekuasaan
untuk berbuat sesuatu, atau kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk
menuntut sesuatu.Sedangkan “asasi” berarti bersifat dasar, pokok atau
fundamental.Sehingga hak asasi manusia adalah hak yang bersifat dasar
atau hak pokok yang di miliki oleh manusia, seperti hak hidup, hak berbicara,
dan hak mendapat perlindungan. Karna sifatnya yang dasar dan pokok ini, maka
hak asasi manusia sering dianggap sebagai hak yang tidak bisa dicabut atau
dihilangkan. Dengan kata lain, hak asasi manusia perlu mendapat jaminan oleh
negara atau pemerintah dan siapa saja yang melanggarnya maka harus mendapat
sangsi yang tegas.
Pada umumnya, ada
sejumlah hak yang tidak bisa dicabut atau dihilangkan, seperti: kebebasan
berbicara dan berpendapat, kebebasan beragama dan keyakinan, kebebasan
berserikat, dan hak untuk mendapatkan perlindungan yang sama di depan hukum.
Presiden Roosevelt mengemukakan The Four Freedoms (Empat kebebasan)
manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, yaitu:
1.
Kebebasan untuk
berbicara dan menyatakan pendapat(Freedom of Speech)
2.
Kebebasan beragama (Freedom
of Religion/Worship)
3.
Kebebasan dari rasa
takut (Freedom from Fear)
4.
Kebebasan dari
kemelaratan (Freedom from Want)
Hak asasi manusia tidak
bisa dicabut, apalagi bagi orang yang beragama dan meyakini bahwa manusia
adalah ciptaan Tuhan maka hak asasi manisia adalah hak yang melekat pada diri
manusia dan merupakan hak yang diberikan sebagai karunia Tuhan. Karena semua hak
asasi manusia itu dari Tuhan maka tidak diperbolehkan ada pihak lain termasuk
manusia kecuali Tuhan sendiri yang mencabutnya. Undang Undang RI Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia merumuskan bahwa “hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta pelindungan harkat dan martabat manusia”. Dari
rumusan ini jelas bahwa dibalik adanya hak asasi manusia yang perlu dihormati
mengandung makna adanya kewajiban asasi dari setiap orang.Kewajiban asasi yang
di maksud adalah kewajiban dasar manusia yang ditekankan dalam Undang-undang tersebut
sebagai seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. (Budiayanto.
2007)
Hak asasi manusia yang
dalam kepustakaan Barat dikenal dengan istilah Human Rights telah lama
diperjuangkan hingga pada akhirnya diterima oleh bangsa-bangsa di dunia yang
tergabung dalam organisasi internasional, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB),
dalam bentuk Universal Declaration of Human Rights (Pernyataan Sedunia
tentang Hak-Hak Manusia) tahun 1948. Perjuangan dalam menegakkan hak asasi
hingga berhasil diterima oleh masyarakat dunia dan menjadi dokumen PBB diawali
oleh adanya sejumlah dokumen antara lain:
1.
Piagam Magna Charta
(1215), ialah dokumen yang berisi beberapa hak yang diberikan oleh raja
John di Inggris kepada para bangsawan atas tuntunan mereka yang sekaligus
membatasi Raja dan menghormati hak-hak rakyat.
2.
Dokumen Bill of
Rights (1689), ialah sebuah undang-undang yang diterima oleh Parlemen
Inggris sesudah berhasil mengadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam
suatu revolusi tak berdarah.
3.
Piagam Declaration
des droits de l’homme et du citoyen (1789), ialah suatu pernyataan hak-hak
manusia dan warga negara yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Prancis
sebagai perlawanan terhadap rejim yang berkuasa secara absolut.
4.
Piagam Bill of
Rights (1789), ialah suatu naskah undang-undang tentang hak yang disusun
oleh rakyat Amerika. Piagam ini sekarang telah menjadi bagian dari undang-indag
dasar Amerika pada tahun 1791.
Pernyataan sedunia
tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
yang di proklamirkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No.217 A pada tanggal 10
Desember 1948 pada dasarnya berisi tentang hal-hal yang bersifat umum dan
memungkinkan dapat diterima oleh seluruh bangsa di dunia.Deklarasi yang terdiri
atas 30 pasal ini di awali oleh bagian Mukadimah yangmengemukakan beberapa
pertimbangan perlunya hak asasi manusia. Secara singkat pertimbangan dalam
mukadimah itu sebagai berikut:
1.
Pengakuan atas martabat
alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dihilangkan dari semua anggota
masyarakat dunia, ialah dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia.
2.
Mengabaikan dan
memandang rendah hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan yang bengis dan
kejam.
3.
Hak-hak manusia perlu
dilindungi oleh peraturan hukum.
4.
Perlunya peningkatan
persahabatan antar bangsa.
Ada lima hak asasi
manusia yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat dunia, yaitu:
1.
Kebebasan berbicara,
berpendapat dan pers
2.
Kebebasan beragama
3.
kebebasan berkumpul dan
berserikat
4.
Hak atas perlindungan
yang sma didepan hukum
5.
Hak atas pendidikan dan
penghidupan yang layak
Istilah Hak Asasi
Manusia (HAM) dalam UUD 1945 secara eksplisit tidak ada namun secara implisit
kita dapat menafsirkan bahwa hak asasi manusia dapat ditemukan pada bagian
Pembukaan UUD 1945 Alinea pertama dan ada bagian Batang Tubuh UUD1945 mulai
Pasal 27 sampai dengan Pasal 31. Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan:
“Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan”.
Dari bunyi paragraf
pertama Pembukaan UUD 1945 ini jelaslah bahwa hak asasi manusia terutamma hak
kemerdekaan bagi semua bangsa mendapat jaminan dan dijunjung tinggi oleh
seluruh bangsa Indonesia. Lebih terurai lagi, jaminan hak asasi manusia
dinyatakan pada bagian Batang Tubuh UUD 1945. (Budiayanto. 2007)
B.
Konsep Demokrasi Konstitusional
Secara etimologis,
demokrasi berasal dari kata Yunani “demos” berarti rakyat dan “kratos atau
kratein” berarti kekuasaan atau berkuasa. Demokrasi dapat diterjemahkan “rakyat
berkuasa” atau government or rule by the people (pemerintahan oleh
rakyat). Dengan kata lain, demokrasi berarti pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat
baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui perwakilan) setelah adanya
proses pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil,
sering disebut “luber dan judil”. Dalam sistem pemerintahan demokrasi,
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.Secara singkat, demokrasidapat
diartikan, mengacu pada ucapan Abraham Lincoln, “the government from the
people, by the people and for the people” (suatu pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat).
Dalam kondisi seperti
sekarang yang ditandai oleh masyarakat modern dengan jumlah penduduk dalam
suatu kota yang sangat besar dan tingkat kerumitan permasalahan yang tinggi,
maka peluang untuk menjalankan demokrasi langsung adalah suatu hal yang
mustahil. Bentuk demokrasi paling umum saat ini dengan jumlah penduduk suatu
kota ada yang 50.000 orang bahkan jutaan orang adalah demokrasi tidak langsung
atau demokrasi perwakilan. (Marzuki, Suparman. 2011)
Dalam demokrasi tidak
langsung ini, para pejabat membuat undang-undang dan menjalankan program untuk
kepentingan umum atas nama rakyat. Hak-hak rakyat dihormati dan dijunjung
tinggi karena para pejabat itu dipilih dan diangkat oleh rakyat. Dalam demokrasi
tidak dibenerkan adanya keputusan politik dari pejabat yang dapat merugikan
hak-hak rakyat apalagi kebijakan yang bertujuan untuk menindas rakyat demi
kepentingan penguasa. Menurut Alamudi (Ed,1991) demokrasi ssesungguhnya adalah
seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga mencakup
seperangkat praktek dan prosedur yang melalui sejarah panjang dan sering
berliku-liku sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan dari
kebebasan. Demokrasi sebagai dasar sistem pemerintahan konstitusional sudah
teruji oleh zaman yang menjunjung tinggi kebebasan, hak asasi manusia,
persamaan didepan hukum yang harus dimiliki oleh setiap individu dan
masyarakat.
Demokrasi juga
diartikan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi mencakup
juga seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang
dan sering berliku-liku sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan dan
kebebasan.
Namun demikian, dalam
perkembanganya demokrasi telah mengalami pasang surut. Hal ini ditandai antara
lain oleh terdapatnya istilah atau nama dari demokrasi yang menunjukkan bentuk
pelaksanaan sistem pemerintahan demokrasi disuatu negara. Kita mengenal istilah
demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi rakyat, demokrasi
nasional, demokrasi Rusia, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila. Semuanya
menganggap sistem pemerintahan negara dilaksanakan secara demokratis.Dalam
negara yang demokratis warganya bebas mengambil keputusan.
Dari sekian banyaknnya
istilah dan aliran fikiran yang menanamkan demokrasi, Budiardjo (1988)
mengkatagorikan aliran pemikiran demokrasi itu atas dua, ialah demokrasi
konstitusionil dan “demokrasi”.Aliran pemikiran ini yang terakhir ini pada
hakekatnya lebih mendasarkan dari pada komunisme. Walaupun kedua ajaran itu
pada dasarnya berasal dari Eropa, namun selanjutnya diadopsi (dianut) oleh
negara-negara diluar Eropa. Di Asia, demokrasi konstitusionil dianut antara
lain oleh India, Pakistan, Filipina dan Indonesia. Walaupun dalam
pelaksanaannya masih belum sempurna, namun hakekatnya negara-negara tersebut
mencita-citakan demokrasi konstitusionil. Demokrasi yang mendasarkan dari pada
faham komunisme dianut antara lain oleh RRC dan Korea Utara. (Marzuki,
Suparman. 2011)
Walaupun ada pengertian
timbal balik antara konsep “demokrasi” dan “kebebasan” namun makna kedua konsep
tersebut tidaklah sama. Telah dikatakan terdahulu bahwa demokrasi yang
sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan yang
dibatasi oleh aturan hukum (konstitusi).Oleh karena itu, Budiardjo (1988)
mengidentifikasikan demokrasi konstitusional sebagai suatu gagasan pemerintahan
demokratis yang kekuasaanya terbatas dan pemerintahnya tidak dibenarkan
bertindak sewenang-wenang. Ketentuan dan peraturan hukum yang membatasi kekuasaan
pemerintah ini ada dalam konstitusi sehingga demokrasi konstitusional sering
disebut “pemerintahan berdasarkan konstitusi”. Istilah lain yang sering pula
digunakan adalah constitutional government, limited government atau restrained
government.
Pengertian demokrasi
konstitusionil yang ditandai oleh adanya pembatasan yuridispada masa itu
mengandung prinsip-prinsip dan pelaksanaan yang kaku (rigid) bukan hanya
di bidang politik melainkan pula dalam bidang ekonomi. Demokrasi konstitusionil
yang menjungjung tinggi supremasi hukum ditapsirkan seolah-olah negara hanya
sebagai penjaga Malam (Nachtwachterstaat). Negara tidak mau ikut campur
dalam urusan lain kecuali dalam bidang ketertiban dan keamanan umum.
Dalam abad
ke-20,definisi dan pelaksanaan dari demokrasi konstitusional telah mengalami
perubahan orientasi. Negara bukan hanya sebagai penjaga malam yang hanya
mengurus masalah keamanan dan ketertiban melainkan telah ikuti serta pula
menangani masalah-masalah sosial danekonmi. Dewasa ini, pengertian demokrasi konstitusional
harus lebih luas dan berusaha secara aktif mengatur mengatur kehidupan ekonomi
dan sosial.Negara semacam ini di kenal dengan sebutan negara ke sejahteraan, welfare
state atau social sarvice state.
Sejarah dengan adanya
perubahan konseptual dan penyelenggaraan dalam demokrasi konstitusional dari
klasik kepada rule of law yang lebih dinamis, Budiarjo(1988) mengidentifikasi
sejumlah syarat-syarat dasar untuk terselenggara pemerintah yang demokrasi
dibawah Rule of law, sebagai berikut:
1.
Perlindungan
konstitusional
2.
Badan kehakiman yang
bebas dan tidak memihak
3.
Pemilihan umum yang
bebas
4.
Kebebasan untuk
menyatakan pendapat
5.
Kebebasan untuk
berserikat/berorganisasi dan beroposisi
6.
Pendidikan
kewarganegaraan
Kaitannya dengan
profesi pendidikan, khususnya dengan pendidikan persekolahan dan lebih khusus
lagi dengan pendidikan kewarganegaraan ,maka betapa pentingnya pendidikan
kewarganegaraan sebagai mata pelajaran di persekolahan untuk menegakan dan
menyelenggarakan Rule of Law sebagai dasar dari demokrasi
konstitusional.
Pada bagian terdahulu
telah dinyatakan bahwa masyarakat demokratis merupakan syarat penting dari
masyarakat madani (civil society) . Ciri masyarakat demokratis yang
penting adalah tegaknya supremasi hukum atau Rule of Law .Untuk menegakan hukum
dalam masyarakat demokrasi perlu adanya pendidikan demokrasi .Pendidikan
kewarganegaraan merupakan sarana yang strategis untuk pendidikan demokrasi demi
tegaknya demokrasi konstitusional.
Setiap bangsa dan
negara memiliki ciri khas dalam menyelengarakan demokrasi konstitusional.
Sanusi (1999) mengidentifikasi Sepuluh Pilar demokrasi konstitusional Indonesia
yang dikenal pula dengan “The Ten Pilars of Indonesian Constitutional
Democracy” berdasarkan filsafat bangsa pancasila dan konstitusi negara RI UUD
1945 sebagai berikut;
1.
Demokrasi berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa
2.
Demokrasi berdasarkan
Hak Asasi Manusia
3.
Demokrasi berdasarkan
kedaultan rakyat
4.
Demokrasi berdasarkan
kecerdasan rakyat
5.
Demokrasi berdasarkan pemisahan
kekuasaan negara
6.
Demokrasi beedasarkan
otonomi daerah
7.
Demokrasi berdasarkan
supremasi hukum (Rule of Law)
8.
Demokrasi berdasarkan
peradilan yang bebas
9.
Demokrasi berdasarkan
kesejahteraan rakyat
10. Demokrasi berdasarkan
keadilan sosial
Dari hasil analisis
terhadap UUD 1945 di atas,jelaslah bahwa pilar-pilar demokrasi di negara kita
secara konseptual sudah dapat dimasukkan sebagai demokrasi konstitusional.
Namun dalam aplikasi sudah dapat dipastikan bahwa negara kita belum dapat
melaksanakannya secara menyeluruh. Bahmueller (1996) menyatakan bahwa pada
umumnya pelaksanaan demokrasi di sejumlah negara berada pada tahap kemenduaan
atau belarti dua,an ambiguous democratic moment. sebagai ilustrasi ia
melukiskan bahwa pada permulaan tahun 1990 mulai muncul gelombang perubahan
demokrasi baru walaupun belum sepenuhnya berhasil, gerakan untuk demokrasi
semakin terbuka di cina demikian pula di afrika, keinginan untuk adanya muliti
partai dalam pemilu semakin bermunculan ke permukaan dari satu negara ke negara
lainnya. Pada pertengahan tahun 1990-an, gambarannya menjadi tidak begitu
jelas. Walaupun sejumlah ahli dan pengamat berteriak bahwa pada saat itu adalah
masa kemenangan demokrasi, tetapi beberapa tahun kemudian kembali menjalani
ketidakpastian. Perang antar etnis dan perjuangan untuk merdeka terjadi di
mana-mana, terutama di negara-negara bekas satelit Rusia dan Eropa Timur. Di
India, pelaksanaan demokrasi pun mengalami pasang surut. Di sini pernah terjadi
perang saudara antara kelompok Muslim dan Hindu yang pernah mengancam status
India sebagai negara demokrasi. Di bagian benua Eropa, ada pula gerakan yang
mengarah pada pendamaian dan penegakan demokrasi baru, seperti Republik Checko,
Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Slovakia, dan Polandia, kecuali di bekas
negara pecahan Yugoslavia dimana terjadi adanya perang antar etnis. Ada upaya
dari kelompok Serbia sebagai mayoritas yang ingin membersihkan etnis Bornia
yang mayoritas Muslim. Namun demikian, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
demokrasi di negara-negara Asia, Afrika Amerika Latin dan Eropa Timur umumnya
tengah mengalami perubahan pasang surut dalam demokrasi konstitusional.
Bahmuller (1996)
mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi penegakkan hukum
demokrasi konstitusional disuatu negara, yakni faktor ekonomi, sosial politik,
dan faktor budaya kewarganegaraan dan akar sejarah.
Pertama faktor ekonomi.Tingkat pertumbuhan ekonomi
menunjukkan faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan demokrasi dinegara
tertentu.Hal ini tidak berarti bahwa negara-negara miskin tidak dapat
menerapkan demokrasi atau negara kaya akan selalu demokratis.Kekayaan bukanlah
indikator suatu negara demokratis.Pengalaman sejarah menunjukan bahwa negara
yang kuat ekonominya justru terjadi di negara otoriter dan sebaliknya.
Misalnya,di Afrika, Gambia tahun 1992 dengan per capita GNP $390 menunjukan
sistem pemerintahan dan masyarakat demokratis sedangkan Garbon dengan
pendapatan per capita $4,480 terutama pendapatan dari minyak malah terkenal
sebagai negara otoriter.Dengan kata lain, apabila suatu negara miskin dalam
pertumbuhan ekonomi.
Ada beberapa alasan.
Pertama, bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat mencerdaskan masyarakat dan
masyarakat yang cerdas merupakan salah satu kriteria bahkan syarat suatu
masyarakat demokratis.Kekecualian adalah di India, dimana pada tahun 1990
sebanyak 52% dari anak usia 15 tahun tidak memperoleh pendidikan.Kedua, selain
dapat meningkatkan kecerdasan masyarakat, pertumbuhan ekonomi juga dapat
menimbulkan proses urbanisasi. Proses ini dapat dijadikan sebagai indikator pra
produksi keberhasilan demokratisasi. Pertumbuhan kota dapat mendorong
pengembangan masyarakat madani(civil society), masyarakat mandiri yang
otonom, dan memiliki kebebasan. Madani adalah masyarakat perkotaan bukan perkampungan.
Namun demikian, tidak berarti bahwa masyarakat kota akan selalu demokratis dan
menjadi masyarakat madani. Ada kemungkinan masyarakat kota
dimobilisasi/diprovokasi sehingga anti demokrasi. Tetapi, apabila masyarakatnya
cerdas, kejadian ini tidak akan berlangsung lama dan mereka akan cepat
melakukan konsolidasi untuk kembali demokrasi, menciptakan iklim yang bebas
berpikir dan berpolitik, melakukan pelatihan keterampilan berkewarganegaraan
agar tercipta suatu kehidupan politik yang demokratis.
Kondisi masyarakat kota
yang indikatornya keberhasilan dalam pertumbuhan ekonomi identik dengan
lahirnya kelas menengah yang menjadi indikator bagi kestabilan demokrasi.
Ada beberapa kategori
atau kelompok negara demokratis dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi atau
dari tentang besarnya percapita (GNP). Kategori ini dapat dibagi atas
tiga,sebagai berikut: 1. Kategori rendah, berkisar antara $ 1000,00-$3500,00
per capita, 11. Kategori sedang, berkisar antara $12.000,00-lebih per capita. (Ismatullah, Dedi.
2012)
Negara negara yang
pertumbuhan ekonominya lebih dari $12.000,00(tinggi) umumnya adalah
negara-negara demokratis yang telah lama dan stabil, seperti Amerika Serikat,
Inggris, Jepang, Singapura, Jerman, Perancis, dan negara lain yang umumnya
adalah negara industri maju. Negara-negara yang termasuk berkategori sedang
pertumbuhan ekonominya adalah negara-negara kecil seperti Yunani,Israel, dan
Irlandia. Di negara-negara kategori sedang ini sudah ada kehidupan demokrasi
hanya belum stabil. Sedangkan negara-negara yang berkategori rendah pertumbuhan
ekonomunya adalah negara yang sedang berkembang. Negara yang paling miskin di
dunia adalah Mali di Afrika dengan GNP $220,00. Menurut Bahmueller(1996), dua
negara terakhir ini tidak mungkin hidup secara demokratis kecuali mereka dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
Diantara negara yang
kaya dan miskin menunjukkan kondisi negara yang beragam antara demokratis dan
tidak demokratis. Temuan lain dari studinya menyimpulkan bahwa jalan menuju
demokrasi tidak selalu mulus, banyak liku-liku, dan pasang surutnya. Selain
itu, banyak pula negara ketika setelah mencapai kehidupan yang demokratis
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,kemudian mengalami lagi masa kehidupan
yang tidak demokratis seperti di negara-negara: Argentina, Brazil, dan Chile.
Temuan penting lain
dari hasil penelitian Lipset adalah terdapatnya hubungan antara pembangunan
ekonomi dan peran kelas menengah.Semakin kompleks masalah ekonomi,semakin
tinggi norma dan nilai politik yang dapat mengantarkan orang terhadap sikap
anti otoriter dan semakin kuat gerakan atau tuntutan untuk demokrasi.
Kedua, faktor sosial dan politik.Paktor penting yang
berkaitan dengan pembangunan demokrasi di suatu negara dan mungkin sering
diabaikan adalah masalah perasaan kesatuan nasional atau identitas sebagai
bangsa.Namun,perasaan nasionalisme dalam konteks ini bukanlah nasionalisme
sempit atau nasionalisme berlebihan sebagaimana pernah dialami oleh Nazi Jerman
atau Fascis Italia.Semangat kebangsaan dan bernegara dari setiap individu dalam
suatu negara untuk menegakkan pemerintahan sendiri dan menjalankan demokrasi. (Ismatullah, Dedi.
2012)
Dalam hal ini, karakter
dan tingkat keretakan sosial merupakan faktor utama. Keberhasilan dalam
membangun masyarakat demokratis, misalnya di Amerika Serikat, karena batasan
antar kelompok sangat lemah. Hal ini berbeda dengan kondisi di Sri Lanka,
misalnya, rasa permusuhan antar kelompok minoritas Tamil dan mayoritas Sinhala
mengakibatkan munculkan kelompok pemberontakan Tamil. Di Nigeria, terjadi praktek
diskriminasi terhadap minoritas Ibo yang mengakibatkan peran Biafrican tahun
1960 dan kehilangan ribuan jiwa penduduk. DI Fiji muncul kebencian penduduk
asli Fiji terhadap kemenangan imigran India dan pada tahun-tahun terakhir ini
terjadi perang berdarah antar etnis dan agama di negara-negara pecahan
Yugoslavia antara Serbia, Bosnra, dan kroatia. Oleh karena itu, faktor sosial
dan politik, khususnya upaya pembangunan bangsa,nations and charakter building,
sangat penting dalam mewujudkan suatu masyarakat dan negara demokratis.
Ketiga, faktor budaya kewarganegaraan dan sejarah.
Bahmueller (1996) mengungkapkan hasil temuan Robert Putnam yang mengadakan
penelitian di Italia selama lebih dari 20 tahun yang menyimpulkan bahwa
daerah-daerah yang memiliki tradisi kuat dalam nilai-nilai kewarganegaraan
menunjukan tingkat efektivitas paling tinggi dalam upaya pembangunan
demokratis.Wilayah yang berhasil menerapkan sistem pemerintahan demokratis ini
disebut masyarakat civic (berkewarganegaraan) atau dikenal pula “comunity
civic”.Masyarakat demikian memiliki ciri-ciri adanya keterikatan
berkewarganegaraan,berpartisipasi secara aktif dan tertarik dengan
masalah-masalah publik (civic virtue).
Masyarakat civic
berhasil menciptakan masyarakat sebagai modal dasar (sosial capital).Masyarakat
sebagai modal disini berbeda dengan modal dalam ekonomi,uang (economic
capital) maupun dengan manusia sebagai midal (human capital) seperti
pendidikan, keterampilan, dan pengetahuan. Modal masyarakat dapat meliputi
suatu kondisi saling percaya antar sesama,ada norma yang mengatur tentang
saling percaya tersebut,ada jaringan sosial,seperti asosiasi dalam masyarakat
yang memadukan norma-norma ini dengan sikap saling percaya.
C.
Pemilihan Umum
1.
Pengertian Pemilihan Umum
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah
proses pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan
tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di
berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks
yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan
seperti ketua OSIS atau
ketua kelas, walaupun
untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Pemilu merupakan salah satu usaha
untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan
kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan
lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara
demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi
dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus
selalu komunikator politik.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam
Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta
Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye
dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. (Asshiddiqie, Jimly. 2005)
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan
dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan
pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan
disosialisasikan ke para pemilih. Undang-Undang yang menjadi dasar pemilu
adalah Undang-Undang Rpublik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum.
Pemilihan umum memiliki arti penting
sebagai berikut:
a.
Untuk mendukung atau mengubah
personel dalam lembaga legislative
b.
Membentuk dukungan yang mayoritas
rakyat dalam menentukan pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka tertentu
c.
Rakyat melalui perwakilannya secara
berkala dapat mengoreksi atau mengawasi kekuatan eksekutif.
Pemilihan umum dapat dibedakan
dengan dua cara:
a.
Cara langsung berarti rakyat secara
langsung memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di badan-badan perwakilan
rakyat. Contohnya, pemil di Indonesia untuk memilih anggota DPRD II, DPRD I,
dan DPR.
b.
Cara bertingkat berarti rakyat
memilih dulu wakilnya (senat), kemudian wakilnya itulah yang akan memilih wakil
rakyat yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat.
Dalam pemilihan umum diharapkan wakil-wakil yang
dipilih benar-benar sesuai dengan aspirasi dan keinginan rakyat yang
memilihnya. Oleh sebab itu, dalam ilmu politik secara teoritis dikenal cara
atau system memilih wakil rakyat agar mewakili rakyat yang memilihnya.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas terdapat 3 (tiga)
system pemilihan umum, yaitu:
a.
Sistem Distrik
Sistem distrik merupakan system
pemilu yang paling tua dan didasarkan kepada kesatuan geografis, di mana satu
kesatuan geografis mempunyai satu wakil di parlemen. Sistem distrik sering dipakai
dalam negara yang mempunyai system dwi partai, seperti Inggris serta bekas
jajahannya (India dan Malaysia) dan Amerika Serikat. Namun, system distrik juga
dapat dilaksanakan pada suatu negara yang menganut system multipartai, seperti
di Malaysia. Di sini system distrik secara alamiah mendorong partai-partai
untuk koalisi, mulai dari menghadapi pemilu.
Sistem distrik memiliki beberapa
keuntungan, yaitu:
1)
Karena kecilnya distrik, maka wakil
yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik itu, hubungannya dengan
penduduk distrik lebih erat. Wakil tersebu lebih condong untuk memperjuangkan
kepentingan distrik. Wakil tersebut lebih independen terhadap partainya karena
rakyat lebih memberikan pertimbangan untuk memilih wakil tersebut karena factor
integritas pribadi sang wakil. Namun demikian, wakil tersebut juga terikat
dengan partainya, seperti untuk kampanye dan lain-lain.
2)
Sistem ini lebih cenderung ke arah
koalisi partai-partai karena kursi yang diperebutkan dalam satu daerah, distrik
hanya satu. Sehingga mendorong partai menonjolkan kerja sama ketimbang
perbedaan, setidak-tidaknya menjelang pemilu, melalui stembus record.
3)
Fragmentasi partai atau
kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat terbendung, malah dapat
melakukan penyederhanaan partai secara alamiah tanpa paksa. Di Inggris dan
Amerika Serikat system ini menunjang bertahannya system dwipartai.
4)
Lebih mudah bagi suatu partai untuk
mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen tidak perlu diadakan koalisi partai
lain, sehingga mendukung stabilitas nasional.
5)
Sistem ini sederhana dan serta mudah
untuk dilaksanakan.
Di samping keuntungan, system distrik juga memiliki
beberapa kelemahan, yaitu:
1)
Kurang memperhatikan adanya
partai-partai kecil dan golongan minoritas, apabila golonga tersebut terpencar
dalam beberapa distrik.
2)
Kurang representative, di mana
partai yang kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya.
Dengan demikian, suara tersebut tidak diperhitungkan lagi. Kalau sejumlah
partai ikut dalam setiap distrik akan banyak jumlah suara yang hilang sehingga
dianggap kurang adil oleh partai atau golongan yang dirugikan.
3)
Ada kecenderungan si wakil lebih
mementingkan kepentingan daerah pemilihannya daripada kepentingan nasional.
4)
Umumnya kurang efektif bagi suatu
masyarakat heterogen.
b.
Sistem Proporsional
Sistem perwakilan proporsional
adalah presentasi kursi di DPR dibagi kepada tiap-tiap partai politik, sesuai
dengan jumlah suara yang diprolehnya dalam pemilihan umum khusus di daerah
pemilihan. Jadi, jumlah kursi yang diperoleh satu golongan atau partai adalah
sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dalam masyarakat. Untuk keperluan
itu kini ditentukan satu pertimbangan, misalnya 1 (satu) orang wakil : 400.000
penduduk. Sistem proporsional sering kali dikombinasikan dengan beberapa
prosedur lain, seperti system daftar (list system), di mana partai
mengajukan daftar calon dan si pemilih memilih satu partai dengan semua calon
yang diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang
diperebutkan.
Sistem proporsional memiliki
beberapa keuntungan, yaitu:
1)
Sistem proporsional dianggap lebih
demokratis, dalam arti lebih egalitarian, karena one man one vote
dilaksanakan secara penuh tanpa ada suara yang hilang.
2)
Sistem ini dianggap representative,
karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara yang
diperolehnya dari masyarakat dalam pemilu.
Di samping segi-segi positif, system proporsional juga
memiliki kelemahan, yaitu:
1)
Mempermudah fragmentasi (pembentukan
partai baru). Jika terjadi konflik intern partai, anggota yang kecewa cenderung
membentuk partai baru, sehingga peluang untuk bersatu kurang. Bahkan ada
kecenderungan partai buka diletakkan pada landasan ideology atau asas,
melainkan kepentingan untuk memperebutkan jabatan atau kursi di parlemen.
2)
Sistem ini lebih memperbesar
perbedaan yang ada dibandingkan dengan kerja sama sehingga ada kecenderungan
untuk memperbanyak jumlah partai, seperti di Indonesia setelah reformasi 1998.
3)
Sistem ini memberikan peranan atau
kekuasaan yang sangat kuat kepada pemimpin partai, karena kepemimpinan
menentukan orang-orang yang akan dicalonkan menjadi wakil rakyat. Bahkan ada
kecenderungan wakil rakyat lebih menjaga kepentingan dewan pimpinan partainya
daripada kepentingan rakyat. Pada zaman Orba system ini dapat digunakan oleh
pimpinan partai untuk me-recall anggotanya yang vocal atau tidak sejalan
dengan haluan partai di parlemen
4)
Wakil yang dipilih renggang
ikatannya dengan warga yang telah memilihnya, karena saat pemilihan umum yang
lebih menonjol adalah partainya dan wilayah pemilihan sangat besar (sebesar
provinsi). Peranan partai lebih menonjol daripada kepribadian sang wakil. Di
Indonesia banyak kritikan pada system ini dengan sebutan seperti memilih
“kucing dalam karung”, artinya rakyat memilih tanda gambar peserta pemilu,
tetapi siapa wakil yang dipilih kurang diketahui rakyat pemilih.
5)
Karena banyaknya partai yang
bersaing sulit bagi suatu partai untuk meraih mayoritas (50% + 1) dalam
parlemen.
c.
Sistem Gabungan
Sistem gabungan merupakan system
yang menggabungkan system distrik dengan proporsional. Sistem ini membagi
wilayah negara dalam beberapa daerah pemilihan. Sisa suara pemilih tidak
hilang, melainkan diperhitungkan dengan jumlah kursi yang belum dibagi. Sistem
gabungan ini diterapkan di Indonesia sejak pemilu tahun 1977 dalam memilih
anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II. Sistem ini disebut juga system proporsional
berdasarkan stelsel daftar.
Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali
pemilihan umum sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan
umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional. Sistem proporsional lahir untuk menjawab kelemahan dari sistem distrik.
Sistem proporsional merupakan sistem pemilihan yang memperhatikan proporsi atau
perimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi di suatu daerah
pemilihan. Dengan sistem ini, maka dalam lembaga perwakilan, daerah yang
memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh kursi yang lebih banyak di suatu
daerah pemilihan, begitu pun sebaliknya.
Sistem
proporsional juga mengatur tentang proporsi antara jumlah suara yang diperoleh
suatu partai politik untuk kemudian dikonversikan menjadi kursi yang diperoleh
partai politik tersebut. Karena adanya perimbangan antara jumlah suara dengan
kursi, maka di Indonesia dikenal Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). BPP
merefleksikan jumlah suara yang menjadi batas diperolehnya kursi di suatu
daerah pemilihan. Partai politik dimungkinkan mencalonkan lebih dari satu
kandidat karena kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan lebih dari satu. Suseno, (Franz Magnis. 1999)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hak asasi manusia tidak
bisa dicabut, apalagi bagi orang yang beragama dan meyakini bahwa manusia
adalah ciptaan Tuhan maka hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri
manusia dan merupakan hak yang diberikan sebagai karunia Tuhan.
Demokrasi sebagai dasar
sistem pemerintahan konstitusional sudah teruji oleh zaman yang menjunjung
tinggi kebebasan, hak asasi manusia, persamaan didepan hukum yang harus
dimiliki oleh setiap individu dan masyarakat.Dari
sekian banyaknnya istilah dan aliran fikiran yang menanamkan demokrasin,
Budiardjo (1988) mengkatagorikan aliran pemikiran demokrasi itu atas dua, ialah
demokrasi konstitusionil dan “demokrasi”. Aliran pemikiran ini yang terakhir
ini pada hakekatnya lebih mendasarkan dari pada komunisme.
Pemilu merupakan salah
satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan
melakukan kegiatan retorika, public relations,
komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di
Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik
agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau
politikus selalu komunikator politik.
B. Saran
Manusia di dunia ini
tidak bisa hidup sendiri karena manusia di ciptakan sebagai makhluk sosial yang
harus berinteraksi dengan orang lain, sehingga manusia harus bisa saling
menghormati antara satu dengan yang lain. Setiap orang memiliki Hak Asasi
Manusia, berhak mendapat segala haknya. Oleh karena itu kita tidak boleh
mengambil hak orang lain karena kita sudah memiliki hak sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Budiayanto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas XI.
Jakarta: Erlangga
Ismatullah, Dedi. 2012. Pengantar
Ilmu Hukum. Pustaka Setia : Bandung
Marzuki, Suparman. 2011. Tragedi Ilmu
Politik. Pustaka Belajar : Jogjakarta
Haricahyono, Cheppy. 1995. Dimensi-dimensi
Pendidikan Moral. IKIP : Semarang
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press,
2005.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar