Senin, 05 Juni 2017

MAKALAH HAM DEMOKRASI DAN PEMILU



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Konsep Hak Asasi Manusia (HAM), Demokrasi, dan Penegakan Hukum di Indonesia. Dari kalangan semua orang yang mengikuti perkembangan politik dan hukum pada tingkat nasional maupun internasional saat ini sudah dapat dipastikan tidak asing dengan persoalan HAM, Demokrasi, dan Penegakan Hukum. Mereka sering membicarakan dan mendiskusikan tentang tiga persoalan diatas, baik menyangkut tentang pelanggaran HAM oleh sekelompok seseorang maupun oleh pihak aparat pemerintah sendiri serta berbagai kontrovesial dalam pelaksanaan di berbagai negara.
Warga negara yang baik ialah warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya.Oleh karena itu dengan memahami HAM, Demokrasi dan Penegakan Hukum sejak dini (disekolah) maka mereka diharapkan dapat bersikap dan berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, Demokrasi, dan Hukum yang berlaku. Demikian pula ketika mereka menjalani hidup di masyarakat terutama saat menghadapi persoalan yang ada kaitannya dengan persoalan HAM, Demokrasi dan Hukum akan lebih siap.
Pelaksanaan pemilu sebagai sarana demokrasi baik pada masa orde baru maupun era reformasi terselenggara dengan baik. Pilihan ideology dan system politik demokrasi Pancasila sebagai dasar dan falsafah  negara Indonesia merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa yang akan menjadi pedoman dalam kehidpan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meskipun praktik-praktik demokrasi Pancasila pada masa lalu menunjukkan pengalaman yang kurang baik, bukan berarti nilai-nilai Pancasila tidak memiliki hubungan dengan system politik demokrasi yang berkembang hingga saat ini.
Sejak awal kemerdekaan para pendiri negara dan bangsa Indonesia telah sepakat merumuskan Pancasila sebagai dasar negara sehingga sila-sila Pancasila yang tercantum di dalamnya merupakan nilai-nilai dasar yang melandasi penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Singkatnya pelaksanaan demokrasi di Indonesia dalam perjalanannya mengalami pasang surut. Hal itu ditandai dengan perubahan bentuk demokrasi yang pernah dilaksanakan di Indoneisa.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di kemukakan di atas maka pokok permasalahan ini adalah :
1.         Apa sebenarnya HAM itu?
2.         Apa demokrasi itu?
3.         Bagaimana Pelaksanaan Pemilu di indonesia?



















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hak Asasi Manusia
Istilah “hak” memiliki banyak arti.Hak dapat di artikan sesuatu yang benar, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, atau kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu.Sedangkan “asasi” berarti bersifat dasar, pokok atau fundamental.Sehingga hak asasi manusia adalah hak yang bersifat dasar atau hak pokok yang di miliki oleh manusia, seperti hak hidup, hak berbicara, dan hak mendapat perlindungan. Karna sifatnya yang dasar dan pokok ini, maka hak asasi manusia sering dianggap sebagai hak yang tidak bisa dicabut atau dihilangkan. Dengan kata lain, hak asasi manusia perlu mendapat jaminan oleh negara atau pemerintah dan siapa saja yang melanggarnya maka harus mendapat sangsi yang tegas.
Pada umumnya, ada sejumlah hak yang tidak bisa dicabut atau dihilangkan, seperti: kebebasan berbicara dan berpendapat, kebebasan beragama dan keyakinan, kebebasan berserikat, dan hak untuk mendapatkan perlindungan yang sama di depan hukum. Presiden Roosevelt mengemukakan The Four Freedoms (Empat kebebasan) manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, yaitu:
1.         Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat(Freedom of Speech)
2.         Kebebasan beragama (Freedom of Religion/Worship)
3.         Kebebasan dari rasa takut (Freedom from Fear)
4.         Kebebasan dari kemelaratan (Freedom from Want)
Hak asasi manusia tidak bisa dicabut, apalagi bagi orang yang beragama dan meyakini bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan maka hak asasi manisia adalah hak yang melekat pada diri manusia dan merupakan hak yang diberikan sebagai karunia Tuhan. Karena semua hak asasi manusia itu dari Tuhan maka tidak diperbolehkan ada pihak lain termasuk manusia kecuali Tuhan sendiri yang mencabutnya. Undang Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merumuskan bahwa “hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta pelindungan harkat dan martabat manusia”. Dari rumusan ini jelas bahwa dibalik adanya hak asasi manusia yang perlu dihormati mengandung makna adanya kewajiban asasi dari setiap orang.Kewajiban asasi yang di maksud adalah kewajiban dasar manusia yang ditekankan dalam Undang-undang tersebut sebagai seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. (Budiayanto. 2007)
Hak asasi manusia yang dalam kepustakaan Barat dikenal dengan istilah Human Rights telah lama diperjuangkan hingga pada akhirnya diterima oleh bangsa-bangsa di dunia yang tergabung dalam organisasi internasional, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dalam bentuk Universal Declaration of Human Rights (Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Manusia) tahun 1948. Perjuangan dalam menegakkan hak asasi hingga berhasil diterima oleh masyarakat dunia dan menjadi dokumen PBB diawali oleh adanya sejumlah dokumen antara lain:
1.         Piagam Magna Charta (1215), ialah dokumen yang berisi beberapa hak yang diberikan oleh raja John di Inggris kepada para bangsawan atas tuntunan mereka yang sekaligus membatasi Raja dan menghormati hak-hak rakyat.
2.         Dokumen Bill of Rights (1689), ialah sebuah undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil mengadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi tak berdarah.
3.         Piagam Declaration des droits de l’homme et du citoyen (1789), ialah suatu pernyataan hak-hak manusia dan warga negara yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Prancis sebagai perlawanan terhadap rejim yang berkuasa secara absolut.
4.         Piagam Bill of Rights (1789), ialah suatu naskah undang-undang tentang hak yang disusun oleh rakyat Amerika. Piagam ini sekarang telah menjadi bagian dari undang-indag dasar Amerika pada tahun 1791.
Pernyataan sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang di proklamirkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No.217 A pada tanggal 10 Desember 1948 pada dasarnya berisi tentang hal-hal yang bersifat umum dan memungkinkan dapat diterima oleh seluruh bangsa di dunia.Deklarasi yang terdiri atas 30 pasal ini di awali oleh bagian Mukadimah yangmengemukakan beberapa pertimbangan perlunya hak asasi manusia. Secara singkat pertimbangan dalam mukadimah itu sebagai berikut:
1.         Pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dihilangkan dari semua anggota masyarakat dunia, ialah dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia.
2.         Mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan yang bengis dan kejam.
3.         Hak-hak manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum.
4.         Perlunya peningkatan persahabatan antar bangsa.
Ada lima hak asasi manusia yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat dunia, yaitu:
1.         Kebebasan berbicara, berpendapat dan pers
2.         Kebebasan beragama
3.         kebebasan berkumpul dan berserikat
4.         Hak atas perlindungan yang sma didepan hukum
5.         Hak atas pendidikan dan penghidupan yang layak
Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) dalam UUD 1945 secara eksplisit tidak ada namun secara implisit kita dapat menafsirkan bahwa hak asasi manusia dapat ditemukan pada bagian Pembukaan UUD 1945 Alinea pertama dan ada bagian Batang Tubuh UUD1945 mulai Pasal 27 sampai dengan Pasal 31. Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Dari bunyi paragraf pertama Pembukaan UUD 1945 ini jelaslah bahwa hak asasi manusia terutamma hak kemerdekaan bagi semua bangsa mendapat jaminan dan dijunjung tinggi oleh seluruh bangsa Indonesia. Lebih terurai lagi, jaminan hak asasi manusia dinyatakan pada bagian Batang Tubuh UUD 1945. (Budiayanto. 2007)

B.       Konsep Demokrasi Konstitusional
Secara etimologis, demokrasi berasal dari kata Yunani “demos” berarti rakyat dan “kratos atau kratein” berarti kekuasaan atau berkuasa. Demokrasi dapat diterjemahkan “rakyat berkuasa” atau government or rule by the people (pemerintahan oleh rakyat). Dengan kata lain, demokrasi berarti pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui perwakilan) setelah adanya proses pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sering disebut “luber dan judil”. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.Secara singkat, demokrasidapat diartikan, mengacu pada ucapan Abraham Lincoln, “the government from the people, by the people and for the people” (suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).
Dalam kondisi seperti sekarang yang ditandai oleh masyarakat modern dengan jumlah penduduk dalam suatu kota yang sangat besar dan tingkat kerumitan permasalahan yang tinggi, maka peluang untuk menjalankan demokrasi langsung adalah suatu hal yang mustahil. Bentuk demokrasi paling umum saat ini dengan jumlah penduduk suatu kota ada yang 50.000 orang bahkan jutaan orang adalah demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. (Marzuki, Suparman. 2011)
Dalam demokrasi tidak langsung ini, para pejabat membuat undang-undang dan menjalankan program untuk kepentingan umum atas nama rakyat. Hak-hak rakyat dihormati dan dijunjung tinggi karena para pejabat itu dipilih dan diangkat oleh rakyat. Dalam demokrasi tidak dibenerkan adanya keputusan politik dari pejabat yang dapat merugikan hak-hak rakyat apalagi kebijakan yang bertujuan untuk menindas rakyat demi kepentingan penguasa. Menurut Alamudi (Ed,1991) demokrasi ssesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga mencakup seperangkat praktek dan prosedur yang melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan dari kebebasan. Demokrasi sebagai dasar sistem pemerintahan konstitusional sudah teruji oleh zaman yang menjunjung tinggi kebebasan, hak asasi manusia, persamaan didepan hukum yang harus dimiliki oleh setiap individu dan masyarakat.
Demokrasi juga diartikan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi mencakup juga seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan dan kebebasan.
Namun demikian, dalam perkembanganya demokrasi telah mengalami pasang surut. Hal ini ditandai antara lain oleh terdapatnya istilah atau nama dari demokrasi yang menunjukkan bentuk pelaksanaan sistem pemerintahan demokrasi disuatu negara. Kita mengenal istilah demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi rakyat, demokrasi nasional, demokrasi Rusia, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila. Semuanya menganggap sistem pemerintahan negara dilaksanakan secara demokratis.Dalam negara yang demokratis warganya bebas mengambil keputusan.
Dari sekian banyaknnya istilah dan aliran fikiran yang menanamkan demokrasi, Budiardjo (1988) mengkatagorikan aliran pemikiran demokrasi itu atas dua, ialah demokrasi konstitusionil dan “demokrasi”.Aliran pemikiran ini yang terakhir ini pada hakekatnya lebih mendasarkan dari pada komunisme. Walaupun kedua ajaran itu pada dasarnya berasal dari Eropa, namun selanjutnya diadopsi (dianut) oleh negara-negara diluar Eropa. Di Asia, demokrasi konstitusionil dianut antara lain oleh India, Pakistan, Filipina dan Indonesia. Walaupun dalam pelaksanaannya masih belum sempurna, namun hakekatnya negara-negara tersebut mencita-citakan demokrasi konstitusionil. Demokrasi yang mendasarkan dari pada faham komunisme dianut antara lain oleh RRC dan Korea Utara. (Marzuki, Suparman. 2011)
Walaupun ada pengertian timbal balik antara konsep “demokrasi” dan “kebebasan” namun makna kedua konsep tersebut tidaklah sama. Telah dikatakan terdahulu bahwa demokrasi yang sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan yang dibatasi oleh aturan hukum (konstitusi).Oleh karena itu, Budiardjo (1988) mengidentifikasikan demokrasi konstitusional sebagai suatu gagasan pemerintahan demokratis yang kekuasaanya terbatas dan pemerintahnya tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang. Ketentuan dan peraturan hukum yang membatasi kekuasaan pemerintah ini ada dalam konstitusi sehingga demokrasi konstitusional sering disebut “pemerintahan berdasarkan konstitusi”. Istilah lain yang sering pula digunakan adalah constitutional government, limited government atau restrained government.
Pengertian demokrasi konstitusionil yang ditandai oleh adanya pembatasan yuridispada masa itu mengandung prinsip-prinsip dan pelaksanaan yang kaku (rigid) bukan hanya di bidang politik melainkan pula dalam bidang ekonomi. Demokrasi konstitusionil yang menjungjung tinggi supremasi hukum ditapsirkan seolah-olah negara hanya sebagai penjaga Malam (Nachtwachterstaat). Negara tidak mau ikut campur dalam urusan lain kecuali dalam bidang ketertiban dan keamanan umum.
Dalam abad ke-20,definisi dan pelaksanaan dari demokrasi konstitusional telah mengalami perubahan orientasi. Negara bukan hanya sebagai penjaga malam yang hanya mengurus masalah keamanan dan ketertiban melainkan telah ikuti serta pula menangani masalah-masalah sosial danekonmi. Dewasa ini, pengertian demokrasi konstitusional harus lebih luas dan berusaha secara aktif mengatur mengatur kehidupan ekonomi dan sosial.Negara semacam ini di kenal dengan sebutan negara ke sejahteraan, welfare state atau social sarvice state.
Sejarah dengan adanya perubahan konseptual dan penyelenggaraan dalam demokrasi konstitusional dari klasik kepada rule of law yang lebih dinamis, Budiarjo(1988) mengidentifikasi sejumlah syarat-syarat dasar untuk terselenggara pemerintah yang demokrasi dibawah Rule of law, sebagai berikut:
1.         Perlindungan konstitusional
2.         Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
3.         Pemilihan umum yang bebas
4.         Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5.         Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
6.         Pendidikan kewarganegaraan
Kaitannya dengan profesi pendidikan, khususnya dengan pendidikan persekolahan dan lebih khusus lagi dengan pendidikan kewarganegaraan ,maka betapa pentingnya pendidikan kewarganegaraan sebagai mata pelajaran di persekolahan untuk menegakan dan menyelenggarakan Rule of Law sebagai dasar dari demokrasi konstitusional.
Pada bagian terdahulu telah dinyatakan bahwa masyarakat demokratis merupakan syarat penting dari masyarakat madani (civil society) . Ciri masyarakat demokratis yang penting adalah tegaknya supremasi hukum atau Rule of Law .Untuk menegakan hukum dalam masyarakat demokrasi perlu adanya pendidikan demokrasi .Pendidikan kewarganegaraan merupakan sarana yang strategis untuk pendidikan demokrasi demi tegaknya demokrasi konstitusional.
Setiap bangsa dan negara memiliki ciri khas dalam menyelengarakan demokrasi konstitusional. Sanusi (1999) mengidentifikasi Sepuluh Pilar demokrasi konstitusional Indonesia yang dikenal pula dengan “The Ten Pilars of Indonesian Constitutional Democracy” berdasarkan filsafat bangsa pancasila dan konstitusi negara RI UUD 1945 sebagai berikut;
1.         Demokrasi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa
2.         Demokrasi berdasarkan Hak Asasi Manusia
3.         Demokrasi berdasarkan kedaultan rakyat
4.         Demokrasi berdasarkan kecerdasan rakyat
5.         Demokrasi berdasarkan pemisahan kekuasaan negara
6.         Demokrasi beedasarkan otonomi daerah
7.         Demokrasi berdasarkan supremasi hukum (Rule of Law)
8.         Demokrasi berdasarkan peradilan yang bebas
9.         Demokrasi berdasarkan kesejahteraan rakyat
10.     Demokrasi berdasarkan keadilan sosial
Dari hasil analisis terhadap UUD 1945 di atas,jelaslah bahwa pilar-pilar demokrasi di negara kita secara konseptual sudah dapat dimasukkan sebagai demokrasi konstitusional. Namun dalam aplikasi sudah dapat dipastikan bahwa negara kita belum dapat melaksanakannya secara menyeluruh. Bahmueller (1996) menyatakan bahwa pada umumnya pelaksanaan demokrasi di sejumlah negara berada pada tahap kemenduaan atau belarti dua,an ambiguous democratic moment. sebagai ilustrasi ia melukiskan bahwa pada permulaan tahun 1990 mulai muncul gelombang perubahan demokrasi baru walaupun belum sepenuhnya berhasil, gerakan untuk demokrasi semakin terbuka di cina demikian pula di afrika, keinginan untuk adanya muliti partai dalam pemilu semakin bermunculan ke permukaan dari satu negara ke negara lainnya. Pada pertengahan tahun 1990-an, gambarannya menjadi tidak begitu jelas. Walaupun sejumlah ahli dan pengamat berteriak bahwa pada saat itu adalah masa kemenangan demokrasi, tetapi beberapa tahun kemudian kembali menjalani ketidakpastian. Perang antar etnis dan perjuangan untuk merdeka terjadi di mana-mana, terutama di negara-negara bekas satelit Rusia dan Eropa Timur. Di India, pelaksanaan demokrasi pun mengalami pasang surut. Di sini pernah terjadi perang saudara antara kelompok Muslim dan Hindu yang pernah mengancam status India sebagai negara demokrasi. Di bagian benua Eropa, ada pula gerakan yang mengarah pada pendamaian dan penegakan demokrasi baru, seperti Republik Checko, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Slovakia, dan Polandia, kecuali di bekas negara pecahan Yugoslavia dimana terjadi adanya perang antar etnis. Ada upaya dari kelompok Serbia sebagai mayoritas yang ingin membersihkan etnis Bornia yang mayoritas Muslim. Namun demikian, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan demokrasi di negara-negara Asia, Afrika Amerika Latin dan Eropa Timur umumnya tengah mengalami perubahan pasang surut dalam demokrasi konstitusional.
Bahmuller (1996) mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi penegakkan hukum demokrasi konstitusional disuatu negara, yakni faktor ekonomi, sosial politik, dan faktor budaya kewarganegaraan dan akar sejarah.
Pertama faktor ekonomi.Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan demokrasi dinegara tertentu.Hal ini tidak berarti bahwa negara-negara miskin tidak dapat menerapkan demokrasi atau negara kaya akan selalu demokratis.Kekayaan bukanlah indikator suatu negara demokratis.Pengalaman sejarah menunjukan bahwa negara yang kuat ekonominya justru terjadi di negara otoriter dan sebaliknya. Misalnya,di Afrika, Gambia tahun 1992 dengan per capita GNP $390 menunjukan sistem pemerintahan dan masyarakat demokratis sedangkan Garbon dengan pendapatan per capita $4,480 terutama pendapatan dari minyak malah terkenal sebagai negara otoriter.Dengan kata lain, apabila suatu negara miskin dalam pertumbuhan ekonomi.
Ada beberapa alasan. Pertama, bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat mencerdaskan masyarakat dan masyarakat yang cerdas merupakan salah satu kriteria bahkan syarat suatu masyarakat demokratis.Kekecualian adalah di India, dimana pada tahun 1990 sebanyak 52% dari anak usia 15 tahun tidak memperoleh pendidikan.Kedua, selain dapat meningkatkan kecerdasan masyarakat, pertumbuhan ekonomi juga dapat menimbulkan proses urbanisasi. Proses ini dapat dijadikan sebagai indikator pra produksi keberhasilan demokratisasi. Pertumbuhan kota dapat mendorong pengembangan masyarakat madani(civil society), masyarakat mandiri yang otonom, dan memiliki kebebasan. Madani adalah masyarakat perkotaan bukan perkampungan. Namun demikian, tidak berarti bahwa masyarakat kota akan selalu demokratis dan menjadi masyarakat madani. Ada kemungkinan masyarakat kota dimobilisasi/diprovokasi sehingga anti demokrasi. Tetapi, apabila masyarakatnya cerdas, kejadian ini tidak akan berlangsung lama dan mereka akan cepat melakukan konsolidasi untuk kembali demokrasi, menciptakan iklim yang bebas berpikir dan berpolitik, melakukan pelatihan keterampilan berkewarganegaraan agar tercipta suatu kehidupan politik yang demokratis.
Kondisi masyarakat kota yang indikatornya keberhasilan dalam pertumbuhan ekonomi identik dengan lahirnya kelas menengah yang menjadi indikator bagi kestabilan demokrasi.
Ada beberapa kategori atau kelompok negara demokratis dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi atau dari tentang besarnya percapita (GNP). Kategori ini dapat dibagi atas tiga,sebagai berikut: 1. Kategori rendah, berkisar antara $ 1000,00-$3500,00 per capita, 11. Kategori sedang, berkisar antara $12.000,00-lebih per capita. (Ismatullah, Dedi. 2012)
Negara negara yang pertumbuhan ekonominya lebih dari $12.000,00(tinggi) umumnya adalah negara-negara demokratis yang telah lama dan stabil, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Singapura, Jerman, Perancis, dan negara lain yang umumnya adalah negara industri maju. Negara-negara yang termasuk berkategori sedang pertumbuhan ekonominya adalah negara-negara kecil seperti Yunani,Israel, dan Irlandia. Di negara-negara kategori sedang ini sudah ada kehidupan demokrasi hanya belum stabil. Sedangkan negara-negara yang berkategori rendah pertumbuhan ekonomunya adalah negara yang sedang berkembang. Negara yang paling miskin di dunia adalah Mali di Afrika dengan GNP $220,00. Menurut Bahmueller(1996), dua negara terakhir ini tidak mungkin hidup secara demokratis kecuali mereka dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
Diantara negara yang kaya dan miskin menunjukkan kondisi negara yang beragam antara demokratis dan tidak demokratis. Temuan lain dari studinya menyimpulkan bahwa jalan menuju demokrasi tidak selalu mulus, banyak liku-liku, dan pasang surutnya. Selain itu, banyak pula negara ketika setelah mencapai kehidupan yang demokratis dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,kemudian mengalami lagi masa kehidupan yang tidak demokratis seperti di negara-negara: Argentina, Brazil, dan Chile.
Temuan penting lain dari hasil penelitian Lipset adalah terdapatnya hubungan antara pembangunan ekonomi dan peran kelas menengah.Semakin kompleks masalah ekonomi,semakin tinggi norma dan nilai politik yang dapat mengantarkan orang terhadap sikap anti otoriter dan semakin kuat gerakan atau tuntutan untuk demokrasi.
Kedua, faktor sosial dan politik.Paktor penting yang berkaitan dengan pembangunan demokrasi di suatu negara dan mungkin sering diabaikan adalah masalah perasaan kesatuan nasional atau identitas sebagai bangsa.Namun,perasaan nasionalisme dalam konteks ini bukanlah nasionalisme sempit atau nasionalisme berlebihan sebagaimana pernah dialami oleh Nazi Jerman atau Fascis Italia.Semangat kebangsaan dan bernegara dari setiap individu dalam suatu negara untuk menegakkan pemerintahan sendiri dan menjalankan demokrasi. (Ismatullah, Dedi. 2012)
Dalam hal ini, karakter dan tingkat keretakan sosial merupakan faktor utama. Keberhasilan dalam membangun masyarakat demokratis, misalnya di Amerika Serikat, karena batasan antar kelompok sangat lemah. Hal ini berbeda dengan kondisi di Sri Lanka, misalnya, rasa permusuhan antar kelompok minoritas Tamil dan mayoritas Sinhala mengakibatkan munculkan kelompok pemberontakan Tamil. Di Nigeria, terjadi praktek diskriminasi terhadap minoritas Ibo yang mengakibatkan peran Biafrican tahun 1960 dan kehilangan ribuan jiwa penduduk. DI Fiji muncul kebencian penduduk asli Fiji terhadap kemenangan imigran India dan pada tahun-tahun terakhir ini terjadi perang berdarah antar etnis dan agama di negara-negara pecahan Yugoslavia antara Serbia, Bosnra, dan kroatia. Oleh karena itu, faktor sosial dan politik, khususnya upaya pembangunan bangsa,nations and charakter building, sangat penting dalam mewujudkan suatu masyarakat dan negara demokratis.
Ketiga, faktor budaya kewarganegaraan dan sejarah. Bahmueller (1996) mengungkapkan hasil temuan Robert Putnam yang mengadakan penelitian di Italia selama lebih dari 20 tahun yang menyimpulkan bahwa daerah-daerah yang memiliki tradisi kuat dalam nilai-nilai kewarganegaraan menunjukan tingkat efektivitas paling tinggi dalam upaya pembangunan demokratis.Wilayah yang berhasil menerapkan sistem pemerintahan demokratis ini disebut masyarakat civic (berkewarganegaraan) atau dikenal pula “comunity civic”.Masyarakat demikian memiliki ciri-ciri adanya keterikatan berkewarganegaraan,berpartisipasi secara aktif dan tertarik dengan masalah-masalah publik (civic virtue).
Masyarakat civic berhasil menciptakan masyarakat sebagai modal dasar (sosial capital).Masyarakat sebagai modal disini berbeda dengan modal dalam ekonomi,uang (economic capital) maupun dengan manusia sebagai midal (human capital) seperti pendidikan, keterampilan, dan pengetahuan. Modal masyarakat dapat meliputi suatu kondisi saling percaya antar sesama,ada norma yang mengatur tentang saling percaya tersebut,ada jaringan sosial,seperti asosiasi dalam masyarakat yang memadukan norma-norma ini dengan sikap saling percaya.

C.      Pemilihan Umum
1.         Pengertian Pemilihan Umum
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presidenwakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorikapublic relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. (Asshiddiqie, Jimly. 2005)
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih. Undang-Undang yang menjadi dasar pemilu adalah Undang-Undang Rpublik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Pemilihan umum memiliki arti penting sebagai berikut:
a.         Untuk mendukung atau mengubah personel dalam lembaga legislative
b.        Membentuk dukungan yang mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka tertentu
c.         Rakyat melalui perwakilannya secara berkala dapat mengoreksi atau mengawasi kekuatan eksekutif.
Pemilihan umum dapat dibedakan dengan dua cara:
a.         Cara langsung berarti rakyat secara langsung memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat. Contohnya, pemil di Indonesia untuk memilih anggota DPRD II, DPRD I, dan DPR.
b.        Cara bertingkat berarti rakyat memilih dulu wakilnya (senat), kemudian wakilnya itulah yang akan memilih wakil rakyat yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat.
Dalam pemilihan umum diharapkan wakil-wakil yang dipilih benar-benar sesuai dengan aspirasi dan keinginan rakyat yang memilihnya. Oleh sebab itu, dalam ilmu politik secara teoritis dikenal cara atau system memilih wakil rakyat agar mewakili rakyat yang memilihnya.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas terdapat 3 (tiga) system pemilihan umum, yaitu:
a.         Sistem Distrik
Sistem distrik merupakan system pemilu yang paling tua dan didasarkan kepada kesatuan geografis, di mana satu kesatuan geografis mempunyai satu wakil di parlemen. Sistem distrik sering dipakai dalam negara yang mempunyai system dwi partai, seperti Inggris serta bekas jajahannya (India dan Malaysia) dan Amerika Serikat. Namun, system distrik juga dapat dilaksanakan pada suatu negara yang menganut system multipartai, seperti di Malaysia. Di sini system distrik secara alamiah mendorong partai-partai untuk koalisi, mulai dari menghadapi pemilu.
Sistem distrik memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
1)        Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik itu, hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Wakil tersebu lebih condong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Wakil tersebut lebih independen terhadap partainya karena rakyat lebih memberikan pertimbangan untuk memilih wakil tersebut karena factor integritas pribadi sang wakil. Namun demikian, wakil tersebut juga terikat dengan partainya, seperti untuk kampanye dan lain-lain.
2)        Sistem ini lebih cenderung ke arah koalisi partai-partai karena kursi yang diperebutkan dalam satu daerah, distrik hanya satu. Sehingga mendorong partai menonjolkan kerja sama ketimbang perbedaan, setidak-tidaknya menjelang pemilu, melalui stembus record.
3)        Fragmentasi partai atau kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat terbendung, malah dapat melakukan penyederhanaan partai secara alamiah tanpa paksa. Di Inggris dan Amerika Serikat system ini menunjang bertahannya system dwipartai.
4)        Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen tidak perlu diadakan koalisi partai lain, sehingga mendukung stabilitas nasional.
5)        Sistem ini sederhana dan serta mudah untuk dilaksanakan.
Di samping keuntungan, system distrik juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1)        Kurang memperhatikan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apabila golonga tersebut terpencar dalam beberapa distrik.
2)        Kurang representative, di mana partai yang kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Dengan demikian, suara tersebut tidak diperhitungkan lagi. Kalau sejumlah partai ikut dalam setiap distrik akan banyak jumlah suara yang hilang sehingga dianggap kurang adil oleh partai atau golongan yang dirugikan.
3)        Ada kecenderungan si wakil lebih mementingkan kepentingan daerah pemilihannya daripada kepentingan nasional.
4)        Umumnya kurang efektif bagi suatu masyarakat heterogen.
b.        Sistem Proporsional
Sistem perwakilan proporsional adalah presentasi kursi di DPR dibagi kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan jumlah suara yang diprolehnya dalam pemilihan umum khusus di daerah pemilihan. Jadi, jumlah kursi yang diperoleh satu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dalam masyarakat. Untuk keperluan itu kini ditentukan satu pertimbangan, misalnya 1 (satu) orang wakil : 400.000 penduduk. Sistem proporsional sering kali dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain, seperti system daftar (list system), di mana partai mengajukan daftar calon dan si pemilih memilih satu partai dengan semua calon yang diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang diperebutkan.
Sistem proporsional memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
1)        Sistem proporsional dianggap lebih demokratis, dalam arti lebih egalitarian, karena one man one vote dilaksanakan secara penuh tanpa ada suara yang hilang.
2)        Sistem ini dianggap representative, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat dalam pemilu.
Di samping segi-segi positif, system proporsional juga memiliki kelemahan, yaitu:
1)        Mempermudah fragmentasi (pembentukan partai baru). Jika terjadi konflik intern partai, anggota yang kecewa cenderung membentuk partai baru, sehingga peluang untuk bersatu kurang. Bahkan ada kecenderungan partai buka diletakkan pada landasan ideology atau asas, melainkan kepentingan untuk memperebutkan jabatan atau kursi di parlemen.
2)        Sistem ini lebih memperbesar perbedaan yang ada dibandingkan dengan kerja sama sehingga ada kecenderungan untuk memperbanyak jumlah partai, seperti di Indonesia setelah reformasi 1998.
3)        Sistem ini memberikan peranan atau kekuasaan yang sangat kuat kepada pemimpin partai, karena kepemimpinan menentukan orang-orang yang akan dicalonkan menjadi wakil rakyat. Bahkan ada kecenderungan wakil rakyat lebih menjaga kepentingan dewan pimpinan partainya daripada kepentingan rakyat. Pada zaman Orba system ini dapat digunakan oleh pimpinan partai untuk me-recall anggotanya yang vocal atau tidak sejalan dengan haluan partai di parlemen
4)        Wakil yang dipilih renggang ikatannya dengan warga yang telah memilihnya, karena saat pemilihan umum yang lebih menonjol adalah partainya dan wilayah pemilihan sangat besar (sebesar provinsi). Peranan partai lebih menonjol daripada kepribadian sang wakil. Di Indonesia banyak kritikan pada system ini dengan sebutan seperti memilih  “kucing dalam karung”, artinya rakyat memilih tanda gambar peserta pemilu, tetapi siapa wakil yang dipilih kurang diketahui rakyat pemilih.
5)        Karena banyaknya partai yang bersaing sulit bagi suatu partai untuk meraih mayoritas (50% + 1) dalam parlemen.
c.         Sistem Gabungan
Sistem gabungan merupakan system yang menggabungkan system distrik dengan proporsional. Sistem ini membagi wilayah negara dalam beberapa daerah pemilihan. Sisa suara pemilih tidak hilang, melainkan diperhitungkan dengan jumlah kursi yang belum dibagi. Sistem gabungan ini diterapkan di Indonesia sejak pemilu tahun 1977 dalam memilih anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II. Sistem ini disebut juga system proporsional berdasarkan stelsel daftar.
Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional. Sistem proporsional lahir untuk menjawab kelemahan dari sistem distrik. Sistem proporsional merupakan sistem pemilihan yang memperhatikan proporsi atau perimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan. Dengan sistem ini, maka dalam lembaga perwakilan, daerah yang memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh kursi yang lebih banyak di suatu daerah pemilihan, begitu pun sebaliknya.
Sistem proporsional juga mengatur tentang proporsi antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai politik untuk kemudian dikonversikan menjadi kursi yang diperoleh partai politik tersebut. Karena adanya perimbangan antara jumlah suara dengan kursi, maka di Indonesia dikenal Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). BPP merefleksikan jumlah suara yang menjadi batas diperolehnya kursi di suatu daerah pemilihan. Partai politik dimungkinkan mencalonkan lebih dari satu kandidat karena kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan lebih dari satu. Suseno, (Franz Magnis. 1999)


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Hak asasi manusia tidak bisa dicabut, apalagi bagi orang yang beragama dan meyakini bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan maka hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia dan merupakan hak yang diberikan sebagai karunia Tuhan.
Demokrasi sebagai dasar sistem pemerintahan konstitusional sudah teruji oleh zaman yang menjunjung tinggi kebebasan, hak asasi manusia, persamaan didepan hukum yang harus dimiliki oleh setiap individu dan masyarakat.Dari sekian banyaknnya istilah dan aliran fikiran yang menanamkan demokrasin, Budiardjo (1988) mengkatagorikan aliran pemikiran demokrasi itu atas dua, ialah demokrasi konstitusionil dan “demokrasi”. Aliran pemikiran ini yang terakhir ini pada hakekatnya lebih mendasarkan dari pada komunisme.
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorikapublic relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.

B.       Saran
Manusia di dunia ini tidak bisa hidup sendiri karena manusia di ciptakan sebagai makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan orang lain, sehingga manusia harus bisa saling menghormati antara satu dengan yang lain. Setiap orang memiliki Hak Asasi Manusia, berhak mendapat segala haknya. Oleh karena itu kita tidak boleh mengambil hak orang lain karena kita sudah memiliki hak sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Budiayanto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga

Ismatullah, Dedi. 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Pustaka Setia : Bandung

Marzuki, Suparman. 2011. Tragedi Ilmu Politik. Pustaka Belajar : Jogjakarta

Haricahyono, Cheppy. 1995. Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. IKIP : Semarang

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sas...