BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa
ini, pembahasan mengenai agama dan negara merupakan hal yang menjadi topik
tersendiri bagi berbagai pihak. Dalam suatu negara kehidupan beragama menjadi
pilihan bagi warganya karena hal tersebut merupakan hak asasi bagi setiap
manusia. Namun dalam menjalankan kehidupan bernegara, menghubungkan antara
agama dan negara menjadi polemik di antara berbagai pihak yang lain.
Dalam
sejarah peradaban dunia, hubungan agama dan negara telah mempengaruhi
berjalannya sistem politik sekarang ini. Pada masa abad pra pertengahan negara
berjalan di bawah otoritas agama dan pada abad pertengahan telah terjadi
pemisahan antara agama dan negara.
Indonesia
yang mayoritas penduduknya adalah muslim juga mengalami permasalahan mengenai
hubungan agama dan negara. Munculnya kaum – kaum yang menuntut pemerintahan
Islam juga menjadi hal yang harus dapat ditangani oleh bangsa ini. Berdasarkan
hal tersebut, maka kami memilih judul ”Hubungan Agama dan Negara”.
B. Rumusan masalah
1. Apa definisi negara dan agama ?
2. Bagaimana hubungan negara dan agama dalam
tinjauan politik Islam?
3. Bagaimana hubungan negara dan agama dalam
tinjauan politik Barat?
4. Bagaimana hubungan negara dan agama di
Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan definisi agama dan negara.
2. Menjelaskan hubungan negara dan agama dalam
tinjauan politik Islam.
3. Menjelaskan hubungan negara dan agama dalam
tinjauan politik Barat.
4. Menjelaskan hubungan negara dan agama di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Agama dan Negara
1.
Definisi
Agama
Menurut
Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang linguis,
mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta;
a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama
adalah bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara
berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan.
Selain
definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam
bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa
disebut Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din
atau juga.
Dari
pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki perbedaan-perbedaan
pokok dan luas antara maksud-maksud agama pada kata ‘agama’ dalam bahasa
Sansekerta, dengan kata ‘religio’ bahasa latin, dan kata ‘din’ dalam
bahasa Arab. Namun secara terminologis, ketiganya memiliki inti yang sama,
yaitu suatu gerakan di segala bidang menurut kepercayaan kepada Tuhan dan suatu
rasa tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan keyakinan, untuk
mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas manusia, untuk menegakkan hubungan
baik antar anggota masyarakat serta melenyapkan setiap bentuk diskriminasi
buruk.
Agama
adalah kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan manusia didorong
oleh kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat akan pertolongan
dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut.
Sebagai realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan
ghaib tersebut.[1]
Eka
Darmaputera mendefinisikan negara sebagai realitas sosial dan sebuah kenyataan
manusiawi yang dapat difungsikan sebagai ideal type. Ketika agama
terperangkap kepada institusionalisme, yakni terjadinya penekanan dan pemusatan
kepada dimensi kelembagaan atau institusional suatu agama, sehingga upaya
penguatan dan pengembangan institusional menjadikan agama semakin kuat, semakin
berkuasa, dengan demikian, maka agama akan mudah sekali terjebak dalam sindrom
mayoritas maupun minoritas.[2]
R.R.
Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi dan
pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu perasaan
dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi
emosionilnya walaupun idenya kabur.
J. G.
Frazer, megatakan agama adalah suatu ketundukan atau penyerahan diri kepada
kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai mengatur dan
mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.
Eden
Sheffield Brigtman, memberikan definisi dan pengertian agama, yaitu bahwa agama
merupakan suatu unsur pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai yang
tinggi; pengabdian kepada suatu kekuasaan-kekuasaan yang dipercayai sebagai
sesuatu yang menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini;
dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan serta pengabdian tersebut baik
dengan cara melakukan upacaraupacara yang simbolis maupun melaui
perbuatan-perbuatan yang lain yang bersifat perseorangan serta yang bersifat
kemasyarakatan.
Harun
Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang
terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi
kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan
bahwa agama merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Beberapa
definisi dan pengertian agama, memperlihatkan betapa luasnya cakupan agama dan
sekaligus menunjukkan betapa pengertian agama itu cukup banyak. Hal ini di
samping menunjukkan adanya perhatian besar dari para ahli terhadap agama, juga
menunjukkan bahwa merumuskan pengertian agama itu sangat sulit sehingga tidak
cukup satu pengertian saja.[3]
2. Definisi Negara
a. Pengertian dan Tujuan Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari
beberapa kata asing, yakni state (Inggris), staat (Belanda dan
Jerman), dan etat (Perancis). Kata – kata tersebut berasal dari bahasa
latin status atau statum yang memiliki pengertian tentang keadaan yang
tegak dan tetap. Pengertian status atau station (kedudukan).
Istilah ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup antar
manusia yang disebut dengan istilah status republicae. Dari pengertian
yang terakhir inilah kata status selanjutnya dikaitkan dengan kata
negara.
Sedangkan secara terminologi, negara diartikan
sebagai organisasi tertinggi di antara suatu kelompok masyarakat yang mempunyai
cita cita – cita untuk bersatu, hidup di suatu kawasan dan mempunyai
pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari
sebuah negara yang pada hakikatnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat, yaitu
masyarakat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.[4]
Beberapa tokoh mendefinisikan pengertian negara
sebagai berikut :
1. Roger H. Soultau: negara didefinisikan sebagai agency
(alat) atau authority (wewenang)
yang mengatur atau mengendalikan persoalan – persoalan bersama, atas nama
masyarakat.
2. Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara
merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang
bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau manusia
yang hidup bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan – keinginan mereka
bersama.
3. Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah
suatu masyarakat yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara
sah dalam suatu wilayah.[5]
Dari
beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu daerah
teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut
dari warga negaranya untuk taat pada
peraturan perundang – undangan melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan
yang sah.[6]Dalam
konsep ajaran Plato, tujuan adanya negara adalah untuk memajukan kesusilaan
manusia, sebagai perseorangan dan sebagai makhluk sosial.
b. Bentuk – Bentuk Negara
1. Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah negara yang bersusunan
tunggal. Tidak ada negara dalam negara. Pemerintah pusat mempunyai wewenang
tertinggi dalam pemerintahan atau mengatur seluruh daerah. Ciri – ciri dari
negara kesatuan antara lain :
·
Satu UUD
/ konstitusi
·
Satu
kepala negara
·
Satu
dewan menteri/kabinet
2. Negara Serikat
Negara serikat adalah negara yang tersusun dari
beberapa negara yang semula berdiri sendiri. Negara – negara itu mengadakan
kerjasama yang efektif. Sebagian urusan diserahkan kepada pemerintah federal,
sebagian urusan ditangani negara bagian masing – masing. Ciri – ciri negara
serikat antara lain :
·
Ada
negara dalam negara
·
Ada
beberapa UUD/konstitusi
·
Ada
beberapa kepala negara
·
Ada
beberapa dewan dan lembaga perwakilan
c. Bentuk – Bentuk Pemerintahan
1. Ajaran Klasik
Ajaran klasik yang diwakili oleh Plato,
Aristoteles, dan Polybius menyebutkan bahwa bentuk – bentuk pemerintahan antara
lain :
·
Monarki
: pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dam dijalankan untuk kepentingan
umum.
·
Tirani :
pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dan dijalankan untuk kepentingan
diri sendiri.
·
Aristokrasi
: pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan dijalankan untuk
kepentingan umum.
·
Oligarki
: pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan dijalankan untuk
kepentingan diri sendiri
·
Demokrasi
pemerintahan yang dipegang oleh rakyat dan untuk kepentingan umum.
·
Anarkhi
: pemerintahan yang dipegang oleh banyak orang yang tidak berhasil menjalankan
kekuasaan dan kepentingan umum.
2. Ajaran Modern
·
Monarki
(Kerajaan) yang mempunyai ciri – ciri :
o Kepala negara disebut raja
o Kepala negara menjabat secara turun temurun
o Masa jabatan kepala negara seumur hidup
·
Republik
dengan ciri – ciri :
o Kepala negara disebut presiden
o Pengangkatan kepala negara berdasarkan hasil
pemilu
o Masa jabatan kepala negara terbatas sesuai
dengan undang – undang.
B. Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan
Politik Islam
Pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan
negara dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma
integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik:
a. Paradigma Integralistik
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama
dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini memberikan pengertian
bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan
politik (negara). Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam
Syi’ah.
b. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan
negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan
negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu
juga sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara
dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.
c. Paradigma sekularistik
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan
(disparitas) antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua (2) bentuk
yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing,
sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain
melakukan intervensi (campur tangan).[8]
Dalam
Islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup panjang di
antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan menurut Azyumardi Azra, perdebatan
ini telah belangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini.
lebih lanjut Azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama
dan negara diilhami oleh hubungan yang agak canggung dalam Islam sebagai agama
dan negara. Berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din
dan konsep kultur politik masyarakat muslm, dan eksperimen tersebut dalam
banyak hal sangat beragam.
Samir
Amin mengungkapkan bahwa selayaknya dunia Islam melakukan diferensiasi antara
utopia – utopia yang muncul di masa lalai dan mengekspresikan konflik sosial
antarkalangan yang dieksploitir, penguasa yang dizalimi, dan kalangan yang
menyeru pada gerakan – gerakan kontemporer untuk mendirikan Negara Islam. Hanya
saja menurut Amir, sejarah yang benar membukktikan bahwa penyatuan agama dan
kekuasaan tidak terwujud kecuali pada masa – masa belakangan dari perkembangan
masyarakat Islam.[9][9]
C. Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan
Politik Barat
Politik
bangsa barat tidak terlepas dari peradaban Kristiani. Sebelumnya, peradaban
bangsa barat mengalami fase kelam. Fase ini dikenal dengan abad kegelapan di
Eropa yang dipenuhi pertumpahan darah karena perang saudara-agama, pengekangan
kebebasan, anti-intelektualisme, daan maraknya takhayul serta paham
itasionalisme. Namun demikian, berkat para pemuka agama kristen yang reformis,
keadaan menjadi berbalik arah, dan masa pencerahan segera tiba.
Puncak
sumbangan Kristiani terhadap peradaban Barat adalah peranan agama ini dalam
melahirkan gerakan reformasi protestan. Dengan tokohnya antara lain Luther,
Zwingli, dan calvin. Reformasi iini kemudian menjadi tonggok penting sejara
pemikiran dan peradaban Barat. Sejarah membuktikan
doktrin reformasi Protestan ini berdampak pada perilaku ekonomi orang – orang
kristen di barat. [10]
Peradaban
romawi juga mempengaruhi perkembangan politik barat. Gagasan barat mengenai
negara, kekuasaan politik, keadilan dan demokrasi secara intelektual bisa
dilacak dari tradisi politik Yunani Klasik yang dinamakan polis atau city
states. Sumbangan terbesar peradaban Romawi terhadap Barat yaitu pada bidang
hukum dan lembaga-lembaga politik. Tradisi keilmuan Yunani-Romawi telah
memberikan Barat metode-metode eksperimental dan spekulatif yang peranannya
sangat fundamental empirisme dan rasionalisme. Ada tiga bentuk pemikiran hukum
Romawi yang mempengaruhi pemikiran hukum Barat Ius Civile, Ius Gentium dan Ius
Naturale. Romawi membuat pemikiran spekulatif Yunani yang bisa diterapkan. Dari
segi pemikiran politik, Romawi membrikan pemahaman kepada Barat tentang teori
imperium. Berupa kekuasaan dan otoritas negara, equal rights (hak persamaan
politik), governmental contract (kontrak pemerintah).[11]
D. Hubungan Negara dan Agama di Indonesia
Berbicara
mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang
menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas
islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di
kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka
hubungan agama dan negara dapat digolongkan menjadi 2 :
Hubungan
Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik . Maksud hubungan antagonistik
adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antar negara dengan
islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah
Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis.
Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis.
Gerakan
nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang bersekolah
di Belanda.Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa
terkesan dengan kemajuan teknis di Barat.Pada waktu itu pengetahuan agama
sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu
menyelesaikan berbagai persoalan.Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis
mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran
agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu.Akibatnya, aktivispolitik
Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama negara pada 1945
serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang
secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di
Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat
dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal
hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan
ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam
di alam Indonesia merdeka.
Upaya
untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara
terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada
upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun
1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih
berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan
Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-1987). Hubungan agama dan negara pada masa
ini dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam
sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain,
umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi
untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan
Hubungan
Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak
pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara
mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan
semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah
kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar) masyarakat
Islam.Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat:
1. Struktura, yaitu dengan semakin terbukanya
kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam Negara.
2. Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah
undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap kepentingan Islam.
3. Infrastructural, yaitu dengan semakin
tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam
menjalankan “tugas-tugas” keagamaan.
4. Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara
terhadap islam yaitu menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata
ideologis maupun politik negara.
Melihat
sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami
dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto
dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan
Islam politik di Indonesia.
Alasan
Negara berakomodasi dengan islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan yang
tidak dapat diabaikan jika hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik
yang cukup rumit. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah
figur yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman
yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya. Ketiga, adanya
perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri.
Sedangkan alasan yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh
lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses
mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti dan ditambah adanya transformasi
pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam.
Hubungan
islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi
akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia
ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam
masalah ideologi Pancasila.[12]
Dewasa
ini sering muncul konflik yang mengatasnamakan agama. Untuk dapat mengakhiri
hal tersebut, kewajiban kita adalah menciptakan kehidupan beragama yang penuh
dengan perdamaian, saling menghargai, menghormati, dan mencintai sebagai umat
manusia yang beradab.
Pancasila
telah memberikan dasar – dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa
Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama. Dalam hal ini,
negara memberikan jaminan kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk
suatu agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu.
Setiap
agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada
dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta
hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara
dan masyarakat berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan
toleransi dan saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab.[13]
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
1
Negara
adalah suatu wilayah dimana didalamnya terdapat kumpulan masyarakat yang
memiliki kekuasaan politik, ekonomi, militer, dan budaya. Sebuah Negara
biasanya dipimpin oleh yang namanya pemerintah. Pemerintah merupakan penguasa
tertinggi dalam suatu wilayah yang disebut negara.
2
Setiap
agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada
dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta
hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara
dan masyarakat berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan
toleransi dan saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab
DAFTAR PUSTAKA
Djalaludin
H., Psikologi Agama, (jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm. 15
Eka
Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi, dalam
Agama dan demokrasi,
Chan 7
Abdul Rozak, Pendidikan
Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006).
Miriam
Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987).
Khairon, dkk,
Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999),
Farih Utami, BKS
Pendidikan Kewarganegaraa, (Kediri: Tim MGMP), hlm. 6
Alfian
Suhendrasah, Hubungan Agama dan Negara,
Husein
Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad Suaedy,
Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000).
Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam
Multi Perspektif, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007).
Nahid Fadaq, Pemikiran Politik Barat, http://nahidfadaq.blogspot.com/2013/04/pemikiran-politik-barat.html, 16 April 2013,
Hainur
Rahman, dkk, Relasi Agama dan Negara, http://mku-pkn-utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-negara.html,
Heri
herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara,
(Jakarta: Erlangga, 2010).
[2]Eka
Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi, dalam
Agama dan demokrasi, (Jakarta: P3M, 1994, hlm. 58-59)
[4][4] Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan,
(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006), hlm. 24
[5][5] Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Media, 1987), hlm. 39-40
[8] Alfian
Suhendrasah, Hubungan Agama dan Negara,
[9] Husein
Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad Suaedy,
Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 88
[10][10] Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam
Multi Perspektif, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 190-193
[11][11] Nahid Fadaq, Pemikiran Politik Barat,
http://nahidfadaq.blogspot.com/2013/04/pemikiran-politik-barat.html, 16 April
2013, diakses tanggal 4 Maret 2014
[12][12] Hainur Rahman, dkk, Relasi Agama dan
Negara, http://mku-pkn-utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-negara.html, diakses
tanggal 4 Maret 2014
[13][13] Heri herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas,
Kritis, dan Aktif Berwarganegara, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm.168
Tidak ada komentar:
Posting Komentar