BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan
sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan
tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan
terciptanya ketertipan dalam bermasyarakat diharapkan kepentingan manusia akan
terlindungi.dalam mencapai tujuan itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban
antar perorangan di dalam masyarakat mengatur wewenang dan mengatur cara memecahkan
masalah hukum dan memelihara kepastian hukum.
Fungsi
hukum adalah melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan
manusia itu sendiri.sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tak
terhitung jumlah dan jenisnya. Disamping itu kepentingan manusia akan
berkembang sepanjang masa.
Belakangan
ini, muncul penilaian dari banyak anggota masyarakat tentang lunturnya
nilai-nilai Pancasila dalam praktik kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat, termasuk juga dalam praktik penegakan hukumnya (law
enforcement), tetapi bahkan formulasi substansi hukumnya (legal
substance) pun banyak yang tidak mencerminkan nilai-nilai luhur
Pancasila, seperti: ketuhanan, keadilan, kepatutan, keselarasan
(harmoni), persatuan, perdamaain, kemanusiaan (humanisme), dan gotong-royong.
Pada
aras substansi hukum (legal substance) pidananya, masih dipakainya KUHP (ex.
WvS) yang notabene buatan Pemerintah kolonial Belanda dan dengan sendirinya
berspirit kolonialisme, liberalism, dan individualism, dan sudah uzur (1 abad)
yang tentu saja tidak dapat lagi menampung perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan budaya masyarakat, sehingga terpaksa membuat ketentuan
perundang-undangan pidana di luar KUHP yang sangat banyak.
Pada
tataran penegakan hukum (law enforcement), kita menyaksikan drama-drama
penegakan hukum yang sangat mengenaskan dan mencabik-cabik rasa keadilan dan
harga diri (beberapa contoh akan dijelaskan kemudian). Ke dua fenomena di
atas jelas menggelisahkan kita semua, berkaitan dengan masa depan hukum dan
penegakannya di bumi Indonesia.
Berikut
ini akan dipaparkan tentang kebijakan hukum pidana di Indonesia..
B. Rumusan
masalah
Rumusan
masalah dari penulisan makalah ini adalah bagaimana suatu hukum yang melindungi
kepentingan manusia yang akan dijabarkan melalui sudut pandang suatu kebijakan
yang mengatur hukum pidana.
C. Tujuan
penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Mahasiswa
dapat memahami apa itu kebijakan hukum pidana
2.
Mahasiswa
dapat menilai apakah kebijakan hukum pidana yang diterapkan diindonesi sudah
berjalan seperti yang diinginkan
3.
Sebgai
tugas perkuliahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Istilah
“kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (inggris) atau “politiek”
(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum
pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam
kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain “penal policy”, criminal law policy, atau
strafrechtspolitiek.
Pengertian
kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun
dari politik kriminal.
Menurut
Prof. Sudarto, Politik Hukum, adalah:
1.
Usaha
untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat.
2.
Kebijakan
dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam mesyarakat dan untuk menvapai apa
yang dicita-citakan.[1]
Bertolak
dari penegrtian demikian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa
melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai
hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan dayaguna. Dalam kesemptan lain beliau menyatakan, bahwa
melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, usaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Dengan
demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana
mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam
definisi “penal policy”, Mars Ancel yang telah dikemukakan pada uraian yang
secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang
bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik”. Dengan demikian yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the
positive rules) dalam definisi Mars Ancel itu jelas adalah peraturan
perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian istilah “penal policy” menurut
Mars Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”
Di
samping itu usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatn undang-undang (hukum)
pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan
masyarakat (socisl welfare). Oleh karena itu wajar pulalah apabila kebijakan
atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau
politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat
diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
dan dan sekali gus mencakup perlindunagn masyarakat. Jadi di dalam pengertian
“social policy” sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan
“social defence policy”.[2]
B. Masalah
Pembaharauan Hukum Pidana
Pembaharuan
hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum
pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan
erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu
sendiri. Latar belakang dan urdensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat
ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofis, sosio kultural atau dari
berbagai aspek kenijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan
kebijakan penegakan hukum). Ini berarti makna dan hakikat pembaharuan hukum
pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaharuan
hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan
pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatar-belakangi itu.
Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung mengandung
makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang
sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio filosofis, sosio-kulturan
masyarakat indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan
kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan,
bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan
yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekali gus
pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach).
Pembaharuan
hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada
hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy
(yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, pilitik hukum pidana, politik
kriminal, politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula
pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula
berorientasi pada pendekatan nilai.
Dengan
uaraian di atas dapat disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana
sebagai berikut:
1.
Dilihat
dari sudut pendekatan-kebijakan:
a.
Sebagai
bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk
masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional
(kesejahteraan masyarakat dan sebagainya),
b.
Sebagai
bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya
penanggulangan kejahatan),
c.
Sebagai
bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari uapaya memperbaharui substansi hukum (legal substance)
dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hokum
2.
Dilihat
dari sudut pendekatan-nilai
Pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian
kembali (re-oriented dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik,
sosio-filosofis, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap
muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah
pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana
yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari
hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).[3]
C. Pendekatan
Kebijakan Dan Kebijakan Nilai
Dua
masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana) adalah:
1.
Perbuatan
apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2.
Sanksi apa
yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Penganalisaan
terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral
antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan
nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial-politik yang telah
ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan
dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah
barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang
hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. Pendekatan
demikian terlihat pula misalnya pada tulisan Satjipto Rahardjo yang berjudul
“Pembangunan Hukum yang Diarahkan kepada Tujuan Nasional”. Dikemukakan oleh
Satjipto Raharjo bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan
susudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil
dalam kedua masalah tersebut dan pengimplementasiannya ke dalam sistem hukum
masing-masing. Apabila keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17
Agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, maka
keputusan demikian harus dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan struktur
hukumnya pun harus menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu.
Bertolak
dari pendekatan itu pula, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah
sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus
diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:[4]
1.
Pembangunan
hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan
Pancasila. Sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan
penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2.
Perbuatan
yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus
merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan
kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat,
3.
Penggunaan
hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and
benefit principle),
4.
Penggunaan
hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas
(overvelasting)
Pendekatan
yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang. Dalam
salah satu laporannya dinyatakan antara lain sebagai berikut:
"Masalah
kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik
kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam
masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam
rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat."
Khususnya
mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi, laporan simposium itu
antara lain menyatakan: untuk menetapkan suatau perbuatan itu sebagai tindak
kriminal, perlu memperhatikan kreteria umum sebagai berikut :
1.
Apa perbuatan
itu tidak disukai atau benci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat
merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban
2.
Apakah
biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya
cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta bebanyang
dipukul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang
dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
3.
Apakah
akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata
tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki.
4.
Apakah
perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga
merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Di
samping kreteria umum di atas, Simposium memandang perlu pula untuk
memperhatikan sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu
perbuatan tertentu, dengan melakukan penelitian,khususnya yang berhubungan
dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial.
Demikian
pula menurut Bassiouni, keputusan untuk melakuakan kriminalisasi dan
dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang
mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk;
1.
keseimbangan
sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin
dicapai;
2.
analisis
biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan
tujuan-tujuan yang dicari;
3.
penelitian
atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan
prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;
4.
pengaruh
sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau
dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.
Selanjutnya
dikemukakan bahwa problem dari pendekatan yang beroreantasi pada kebujakan
adalah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak
memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif, misalnya
nilai-nilai, ke dalam proses pembuatan keputusan. Namun demikian, pendekatan
yang beroreantasi pada kebijakan ini menurut Bassiouni seharusnya
dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai
alternatif dari pendekatan dengan penilaian emisional (the emosionally laden
value judgment approach) oleh kebanyakan badan-badan legislatif. Dikemukakan
pula bahwa perkembangan darai “a policy oriented approach” ini lamban
datangnya, karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian.
Masalahnya antara lain terletak pada sumber-sumber keuangan untuk melakukan
orientasi ilmiah itu. Kelambanan yang demikian ditambah dengan proses
kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya
terhadap keseluruhan sistem,mengakibatkan timbulnya:[5]
1.
krisis
kelebihan kriminalisasi (the crisis of
over-criminalization), dan
2.
Krisis
kelamopauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal
law).
Yang
pertama mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan
perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan, dan yang kedua mengenal usaha
pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi yang efektif.
Pendekatan
kebijakan seperti dikemukakan di atas jelas merupakan pendekatan yanag
rasional, karena karakteristisk dari suatu politik kriminal yang rasional tidak
lain daripada penerapan metode-metode yang rasional. Menurut G.P. Hoefnagels
suatu politik kriminal harus rasional; kalau tidak demikian tidak sesuai dengan
definisinya sebagai “a rational total of the responses to crime”. Disamping
itu, hal ini penting karena konsepsi mengenai kejahatan dan kekuasaan atau
proses untuk melakukan kriminalisasi sering ditetapkan secara emosional.
Pendekatan
yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap
langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena seperti
dikatakan oleh Sudarto, dalam melaksanakan politik (kebijakan, pen.) orang
mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang
dihadapi. Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum
pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan
sengaja dan sadar. Ini berarti memilih dan dan menetapkan hukum pidana sebagai
sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan
semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu
dalam kenyataannya.
Jadi
diperlukan pula pendekatan yang fungsional; dan inipun merupakan pendekatan
yang melekat (inherent) pada kebijakan yang rasional. Salah satu kesimpulan
dari Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 di Semarang antara lain menyatakan,
hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social
defence. Pemilihan pada konsepsi perlindungan masyarakat inipun membawa
konsekuensi pada pendekatan yang rasional, seperti dikemukakan oleh Johannes
Andenaes sebagai berikut:
"Apabila
orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat/social
defence, maka tugas selanjutnya adalah mengembangkannya serasional mungkin.
Hasil-hasil maksimum harus dicapai dengan biaya yang menimum bagi masyarakat
dan minimum penderitaan bagi individu. Dalam tugas demikian, orang harus
mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan
dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi."[6]
D. Contoh
Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan
Hukum Pidana Yang Tertuang Dalam Undang- Undang Narkotika (Uu No. 35/2009 )
Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika.
Mengingat
betapa besar bahaya penyalahgunaan Narkotika ini, maka perlu diingat beberapa
dasar hukum yang diterapkan menghadapi pelaku tindak pidana narkotika berikut
ini:
1.
Undang-undang
RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
2.
Undang-undang
RI No. 7 tahun 1997 tentang PengesahanUnited Nation Convention Against Illicit
Traffic in Naarcotic Drug and Pshychotriphic Suybstances 19 88 ( Konvensi PBB
tentang Pemberantasan Peredaran Gelap narkotika dan Psikotrapika, 1988)
3.
Undang-undang
RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pengganti UU RI No. 22 tahun
1997.
Penyelenggaraan
acara pidana (khususnya untuk tindak pidana umum) didasarkan pada
Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang populer
dengan sebutan KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman, dan peraturan perundang-undangan
lainnya sebagai pelengkap. KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman itu memuat
asas-asas yang harus diwujudkan dalam penyelenggaraan acara pidana, khususnya
oleh jajaran aparat penegak hukum (official criminal justice system). Asas-asas
dimaksud antara lain:
1.
Peradilan
cepat, sederhana, dan biaya ringan
2.
Presumption
of innocence(Praduga tak bersalah)
3.
Oportunitas
4.
Pemeriksaan
terbuka untuk umum
5.
Semua
orang diperlakukan sama di depan hakim
6.
Tersangka/terdakwa
berhak mendapatkan bantuan hukum
7.
Akusatoir
dan
8.
Pemeriksaan
oleh hakim secara langsung dan lisan.
Dengan
penyebutan berbeda, Yahya Harahap, mengemukakan landasan asas atau prinsip
sebagai dasar patokan hukum yang melandasi KUHAP dalam penegakan hukum, yang
merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran penegak hukum dalam menerapkan
pasal-pasal KUHAP, juga berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat
dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP. Landasan
asas atau prinsip itu antara lain:
1.
Asas
Legalitas
2.
Asas
Keseimbangan
3.
Asas
Praduga tak bersalah
4.
Prinsip
Pembatasan penahanan
5.
Asas
Ganti rugi dan rehabilitasi
6.
Penggabungan
pidana dengan tuntutan ganti rugi
7.
Asas
Unifikasi
8.
Prinsip
Diferensiasi fungsional
9.
Prinsip
Saling koordinasi;
10. Asas
Peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dan
11. Prinsip
Peradilan terbuka untuk umum.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan
sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan
tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan
terciptanya ketertipan dalam bermasyarakat diharapkan kepentingan manusia akan
terlindungi.dalam mencapai tujuan itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban
antar perorangan di dalam masyarakat mengatur wewenang dan mengatur cara
memecahkan masalah hukum dan memelihara kepastian hukum.
Dengan
demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana
mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan pidana yang baik.
Usaha
dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya
tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan
atau politik hukum pidana juga merupakan bagian adri politik kriminal. Dengan
perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana
identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.
B. Saran
Adapun
saran yang dapat penulis sampaikan adalah semoga dalam penulisan makalah ini
dapat bermanfaat dan dapat difungsikan sebagai referensi tambahan bagi
pembacanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Barda Nawawi Arif, 1998, Beberapa Aspek
Kebijaksanaan penegakan dan pengembangan Hukum pidana, PT
Citra Aditya Bagti, Bandung.
Darwin prinst, 2003, Hukum anak Indonesia ,
citra daya bakti Bandung.
Gatot supramono, 2007 Hukum acara pengadilan Anak,
Djambatan, Jakarta.
Hamzah,
Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Moeljatno, 1987, Asas-asas Hukum pidana Indonesia,
Bina Aksara, Jakarta.
Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana. Jakarta:
PT RINEKA CIPTA 1993.
Petranse,
Syarifudin H.Ap dan Sabuan Ansori. 2000. Hukum Acara Pidana. Indralaya:
Universitas Sriwijaya.
[1]
Hamzah, Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia.
Jakarta: Ghalia Indonesia, hal 56
[2]Barda
Nawawi Arif, 1998, Beberapa Aspek Kebijaksanaan penegakan dan
pengembangan Hukum pidana, PT Citra Aditya Bagti, Bandung
hal, 153
[3]
Darwin prinst, 2003, Hukum anak Indonesia , citra daya
bakti Bandung, hal 328
[4]
Moeljatno, 1987, Asas-asas Hukum pidana Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta, hal 37
[5]
Gatot supramono, 2007 Hukum acara pengadilan Anak, Djambatan,
Jakarta hal 8
[6]
Petranse, Syarifudin H.Ap dan Sabuan Ansori. 2000. Hukum Acara
Pidana. Indralaya: Universitas Sriwijaya, hal 29